8. Penutup
Makalah ini ditulis dengan maksud untuk didiskusikan. Ada dua hal yang mendorong penulis menulis makalah ini yaitu: (i) dalam tahun delapan puluhan penulis membaca buku karangan Karl R. Popper,
Conjectures and Refutations dan beberapa buku beliau, Thomas S. Kuhn,
The Structure of Scientific Revolution, L. Laudan,
The Problems of Progress, R. Carnap,
An Introduction to the Philosophy of Science, Polanyi,
Personal Knowledge, dan I Lakatos,
The Methodology of Scientific Research Programmes, dan
Mathematics,
Science and Epistemology; dan (ii) membaca makalah-makalah yang akan dipublikasikan dalam Jurnal Ekonomi STEI. Berdasarkan penafsiran penulis dari pustaka yang pernah dibaca itu khususnya mengenai “pengetahuan ilmiah”, penulis ingin mendiskusikan “Penulisan Karya Ilmiah”.
Penulis akui, makalah ini belum dapat disebut ilmiah, karena hanya merupakan pengungkapan kembali bahan-bahan yang dibaca duapuluh tahun yang lalu. Catatan-catatan bacaan dan banyak buku yang pernah penulis miliki telah musnah dimakan rayap. Tetapi karena keinginan kuat untuk menumbuhkan tradisi diskusi rasional, sikap kritis dan obyektif dalam lingkungan masyarakat belajar di Perguruan Tinggi, penulis memberanikan diri menyajikan sesuatu yang jelas tidak sempurna. Banyak kelemahan dan kekeliruan. Kelemahan dan kekeliruan itu karena tulisan ini merupakan hasil pemikiran yang didasarkan dan dipengaruhi oleh bacaan-bacaan masa lalu. Oleh karena itu penulis menyarankan agar teman-teman sejawat menelaah buku-buku yang dicantumkan dalam daftar bacaan.
Daftar Bacaan
Carnap, Rudolf, (1966), An Introduction to the Philosophy of Science, New York: Basic Books
Cooper, William S., (1978),
Foundations of Logico-Linguistics:
A Unified Theory of Information, Language and Logic, Dordrecht: D. Reidel Publishing, Co.
Hempel, Carl G., (1960), “Operationism, Observation, and Theoretical Terms”,
dalam A. Danto & S. Morgenbeser, Philosophy of Science, New York: New American.
Kuhn, Thomas S., (1970)
The Structure of Scientific Revolutions,
Chicago: University of Chicago Press
Lakatos, Imre, (1982),
The Methodology of Scientific Research Programmes,
London : Routledge & Kegan Paul
Lakatos, Imre, (1982),
Mathematics, Science and Epistemology,
London: Routledge & Kegan Paul
Laudan, L., (1977),
The Problems of Progress:
The Growth of Scientific Knowledge, Berkeley: University of California Press.
Meredith, Patrick, (1966),
Instruments of Communication:
An Essay on Scientific Writing, London: Perganon Press.
Platts, Mark (ed.), (1980),
Reference, Truth and Reality,
London: Routledge & Kegan Paul.
Polanyi, M. (1972),
Personal Knowledge, Chicago: The University of Chicago Press.
Polanyi, M. dan H. Frasch, (1975),
Meaning, Chicago: The University of Chicago Press.
.
Popper, Karl R., (1960), The Logic of Scientific Discovery, Oxford: Clarendon Press.
Popper, Karl R., (1965),
Conjectures and Refutations, Oxford: Clarendon Press.
Popper, Karl R. (1979),
Objective Knowledge:
An Evolutionary Approach,
Revised Edition Oxford: Clarendon Press.
Russell, Betrand, (1973),
Essays in Analysis, London: George Allen & Unwin
KRISIS INTELEKTUAL
Salah siapa?
Dr. Achmad Tolla, M. Pd.
Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Tulisan ini lebih cocok digolongkan sebagai refleksi sosiologis yang tampak di depan mata kita setiap saat. Kita prihatin, tetapi bagaimana menghilangkan keprihatinan itu, kita tidak tahu. Semua orang, termasuk kita, pandai berbicara tentang kebenaran, keadilan, kejujuran, tetapi hanya sedikit yang bertindak benar pada dirinya dan pada orang lain; adil pada dirinya dan pada orang lain; serta jujur pada dirinya dan pada orang lain.
Karena pembicaan kita akan lebih banyak menggosip orang, baiklah lebih dahulu kita memohon ampun kepada Allah swt. semoga gosip kita dimaafkan oleh-Nya.
-
Kondisi Dekade Ini
1. Krisis Intelektual
Fritjof Capra dalam bukunya “Titik Balik Peradaban” mengatakan bahwa kehidupan manusia saat ini sudah sampai pada keadaan krisis multidimensional, yaitu krisis intelektual, krisis moral, dan krisis spiritual. Kesimpulan umum yang sering dilontarkan orang ialah bahwa krisis intelektual yang melanda Indonesia dekade ini adalah akibat dari sistem pendidikan yang mekanistis yang cenderung lebih banyak memfungsikan dan memberdayakan unsur intelektual daripada unsur emosional.
Krisis intelektual ini terjadi di kalangan ilmuwan dalam berbagai versi, mulai dari versi yang samar sampai pada tingkat paling kasar. Krisi intelektual versi terselubung, misalnya:
-
menggunakan ijazah atau sertifikat orang lain untuk memperoleh kesempatan bekerja;
-
mengikuti jenjang pendidikan yang tidak setara dengan jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh yang bersangkutan untuk memperoleh surat tanda tamat belajar;
-
mengikuti jenjang pendidikan gelar yang menyimpang dari program umum dalam sistem pendidikan Indonesia, misalnya:
-
gelar S1 diperoleh kurang dari enam semester
-
gelar S2 diperoleh kurang dari dua semester, kadang-kadang kurang dari satu semester
-
gelar S3 diperoleh kurang dari dua semester
Gelar yang diperoleh dalam waktu singkat seperti itu bukanlah gelar akademik yang setara dengan isinya, melainkan hanyalah penambahan gelar. Krisis intelektual yang kasar hingga yang paling kasar terjadi umumnya terjadi dalam lembaga pendidikan kedinasan atau pendidikan profesi yang diselenggarakan oleh departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen, seperti: STPDN, Akabri, pendidikan jabatan, dsb. yang harus dibayar dengan harga mahal. Krisis intelektual yang terjadi dalam lembaga pendidikan umum formal umumnya berbentuk:
-
pemberian kemudahan kepada calon siswa untuk memasuki jenjang pendidikan tertentu dengan pembayaran khusus;
-
sistem kekerabatan yang terjadi dalam penerimaan siswa/mahasiswa;
-
sistem kekerabatan dalam penerimaan pegawai negeri sipil yang mengabaikan prinsip relevansi keahlian dengan jenis pekerjaan.
Banyak kemungkinan yang menjadi penyebab utama krisis intelektual yang dikemukakan di atas. Akan tetapi, kemungkinan yang paling kuat adalah:
-
sejak pemberlakuan Kurikulum 1975 hingga Kurikulum 1994, mata pelajaran “Budi Pekerti” tidak dieksplisitkan sebagai mata pelajaran, bahkan ditiadakan samasekali;
-
mata pelajaran agama terpisah dari mata pelajaran yang lain tanpa ada usaha mencari titik temunya, kecuali ada kesadaran pribadi secara individual;
-
membanjirnya informasi yang dapat berkontaminasi dengan prinsip- prinsip ilmu pengetahuan: objektif, hak umum, tidak terbatas.
2. Dampak Krisis Intelektual
Waktu yang tersedia tidak akan cukup untuk membeberkan tumpukan kemerosotan moral yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Berikut ini disebutkan beberapa yang paling vatal, yaitu:
-
penyalahgunaan wewenang dalam bentuk korupsi;
-
penyalahgunaan wewenang dalam bentuk kepentingan kekerabatan;
-
berbagai macam kekerasan, dari skala kecil hingga skala nasional;
-
penghargaan terhadap nilai-nilai kian memudar;
-
agama tidak lagi menjadi alat pengontrol pribadi bagi umat beragama.
-
Bagaimana Selanjutnya?
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehoidupan lokal,
nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Hakikat pendidikan nasional seperti dikemukakan di atas, selanjutnya dimaknai sesuai dengan cita-cita pembangunan bangsa Indonesia, yaitu membangun manusia seutuhnya. Hal ini ditegaskan di dalam Bab I, Pasal 1 sebagai berikut.
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyaraksat, bangsa dan negara.”
Pernyataan tersebut telah tercantum di dalam GBHN sejak tahun 1973 sebagai produk DPR RI hasil pemilihan umum pertama di masa Orde Baru. Secara matematis, dapat dikatakan bahwa kebanyakan pelaku pembangunan sekarang ini adalah hasil didikan berdasarkan cita-cita pendidikan tersebut. Itu berarti, idealnya mereka harus tampil sebagai figur yang di dalam dirinya terintegrasi sembilan kunci keunggulan yang menjadi dambaan masyarakat dan bangsa kita. Namun, kenyataannya mengecewakan.
Oleh karena generasi pendahulu dan generasi sekarang belum mampu merealisasikan kesembilan kunci keunggulan itu, mari kita rekomendasikan kepada generasi di bawah kita agar mereka mampu menjadi manusia unggul yang di dalam dirinya terintegrasi secara filosofis dan realistis kesembilan kunci keunggulan yang dimaksud.
-
Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahasaesa serta taat melaksankan syariat agamanya;
-
Bersikap jujur, tulus, kata dan perbuatan sejalan;
-
Tidak mengenal putus asa, selalu yakin bahwa di depan pasti ada kebaikan;
-
Berbicara dengan baik, sopan, menghindari fitnah;
-
Mampu beradaptasi dengan masyarakat di mana dan kapan saja;
-
Memiliki komitmen untuk dirinya, untuk masyarakatnya, dan untuk lingkungannya;
-
Bertanggung jawab kepada Tuhannya, dirinya, masyarakatnya, dan lingkungannya;
-
Menyadari keberadaan dirinya, mengakui keberadaan orang lai, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, dan mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain.
-
Hidup dalam prinsip keseimbangan:
-
dunia-akhirat
-
jasmani-rohani
-
materiil-spiritual
-
intelektual-emosional
Mengapa mereka, dan bahkan kita semua tidak mampu merelalisasikan kunci keunggulan itu?
Mari kita mendiskusikan jawaban pertanyaan itu! Hasil dari diskusi kita itulah yang kita harapkan akan menjadi rujukan, paling tidak di dalam lingkungan kita. Kita akan mendidik anak-anak kita menjadi manusia unggul paripurna yang akan membawa negeri ini ke suatu dunia nyata yang makmur di bawah rida Allah swt.