Laskar Pelangi By : Andrea Hirata



Yüklə 2,78 Mb.
səhifə27/32
tarix18.01.2019
ölçüsü2,78 Mb.
#100511
1   ...   24   25   26   27   28   29   30   31   32

membunuh cita—cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-

orang hebat dan pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi.

Di bawah pohon filicium kami akan mengucapkan perpisahan. Aku

hanya diam. Hatiku kosong. Perpisahan belum dimulai tapi Trapani

sudah menangis terisak-isak. Sahara dan Harun duduk bergandengan

tangan sambil tersedu-sedu. Samson, Mahar, Kucai, dan Syahdan

berulang kali mengambil wudu, sebenarnya dengan tujuan menghapus

air mata. A Kiong melamun sendirian tak mau diganggu. Flo, yang

baru saja mengenal Lintang dan tak mudah terharu tampak sangat

284

Laskar Pelangi



muram. Ia menunduk diam, matanya berkaca-kaca.

Baru kali ini aku melihatnya sedih.

Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah

seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di

antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa

dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin in Kuingat

semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil

yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku

ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah

Newton-ku, Adam Smithku, Andre Ampereku.

Lintang adalah mercu suar. Ia bintang petunjuk bagi pelaut di

samudra. Begitu banyak energi positif, keceriaan, dan daya hidup

terpancar dan dirinya. Di dekatnya kami terimbas cahaya yang masuk

ke dalam rongga-rongga otak, memperjelas penglihatan pikiran,

memicu keingintahuan, dan membuka jalan menuju pemahaman.

Darinya kami belajar tentang kerendahan hati, tekad, dan persahabatan.

Ketika ia menekan tombol di atas meja mahoni pada lomba kecerdasan

dulu, ia telah menyihir kepercayaan diri kami sampai hari ini, membuat

kami berani bermimpi melawan nasib, berani memiliki cita-cita.

Lintang seumpama bintang dalam rasi Cassiopeia yang meledak dini

hari ketika menyentuh atmosfer. Ketika orang-orang masih lelap

tertidur. Cahaya Iedakannya menerangi angkasa raya, membeni terang

bagi kecemerlangan pikiran tanpa seorang pun tahu, tanpa ada yang

peduli. Bagai meteor pijar ia berkelana sendirian ke planet-planet

pengetahuan, lalu kelipnya meredup dalam hitungan mundur dan hari

ini ia padam, tepat empat bulan sebelum ia menyelesaikan SMP. Aku

merasa amat pedih karena seorang anak supergenius, penduduk asli

sebuah pulauterkaya di Indonesia hari ini harus berhenti sekolah karena

kekurangan biaya. Hari ini, seekor tikus kecil mati di lum-bung padi

yang berhimpah ruah.

Kami pernah tertawa, menangis, dan menari bersama di dalam

hingkaran bayang kobaran api. Kami tercengang karena terobosan

pemikirannya, terhibur oleh ide-ide segarnya yang memberontak, tak

biasa, dan menerobos. Ia belum pergi tapi aku sudah rindu dengan sorot

mata lucunya, senyum polosnya, dan setiap kata-kata cerdas dan

mulutnya. Aku rindu pada dunia sendiri di dalam kepalanya, sebuah

285

Laskar Pelangi



dunia kepandaian yang luas tak terbatas dan kerendahan hati yang tak

bertepi.


Inilah kisah klasik tentang anak pintar dan keluarga melarat. Hari

ini, hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin

sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga

meriam ini tak •kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku

kehilangan teman sebangku selama sembilan tahun. Kehilangan ini

terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena

kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. ini tidak adil.

Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci

pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena

keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus

berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.

Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku

tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan

yang hebat terhadap perpisahan in Sekolah, kawankawan, buku, dan

pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh

kecintaannya. Suasana sepi membisu, suara-suara unggas yang

biasanya riuh rendah di pohon fihicium sore ini lengang. Semua hati

terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dan hingkaran

pendidikan. Ketika kami satu per satu memeluknya tanda perpisahan,

air matanya mengahir pelan, pelukannya erat seolah tak mau

melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung

tercabut paksa meninggalkan sekolah.

Aku tak sanggup menatap wajahnya yang pilu dan kesedihanku

yang mengharu biru telah mencurahkan habis air mataku, tak dapat

kutahantahan sekeras apa pun aku berusaha. Kini ia menjadi tangis bisu

tanpa air mata, perih sekahi. Aku bahkan tak kuat mengucapkan

sepatah pun kata perpisahan. Kami semua sesenggukan. Bibir Bu Mus

bergetar menahan tangis, matanya semerah saga. Tak setitik pun air

matanya jatuh. Behiau ingin kami tegar. Dadaku sesak menahankan

pemandangan itu. Sore itu adahah sore yang paling sendu di seantero

Behitong, dan muara Sungai Lenggang sampai ke pesisir Pangkalan

Punai, dan Jembatan Mirang

sampai ke Tanjong Pandan. Itu adalah sore yang paling sendu di

seantero jagad alam.

286

Laskar Pelangi



Saat itu aku menyadari bahwa kami Sesungguhnya adalah kumpulan

persaudaran cahaya dan api. Kami berjanji setia di bawah halilintar

yang menyambar-nyambar dan angin topan yang menerbangkan

gunung-gunung. Janji kami tertulis pada tujuh tingkatan langit,

disaksikan naga-naga siluman yang menguasai Laut Cina Selatan.

Kami adalah lapisan-lapisan pelangi terindah yang pernah diciptakan

Tuhan.

287


Laskar Pelangi

Dua belas tahun kemudian..

********

288


Laskar Pelangi

BAB 31.


Zaal Batu

SEORANG wanita setengah baya berjalan de-ngan seorang pria

bernama Dahroji, menghampiriku. Masalah! Pasti masalah lagi!

“Kalau Nyonya mau marah, tumpahkan pada laki-laki berantakan

ini,” kata Dahroji. Ia pergi menahan murka.

Wanita itu mengamatiku baik-baik. Dandanannya, huruf ‘r’ dan “g”

yang keluar dan tenggorokannya, tarikan alisnya, serta gayanya

memandang, mengesankan ia pernah sekian lama tinggal di luar negeri

dan ia muak dengan semua ketidak efisienan di negeri ini.

Agaknya ia memiliki masalah yang sangat gawat. Va, memang

gawat, surat restitusi bea masuk lukisan dan luar negeri yang dikirim

oleh kantor Duane terlambat ia terima karena aku salah sortir.

Seharusnya ia masuk kotak Ciawi tapi aku tak sengaja

melemparkannya ke lubang Gunung Sindur. Human error!

Telah tiga kali aku keliru minggu in Alasanku karena overload.

Dahroji, ketua ekspedisi, tak mau tahu kesulitanku. Volume surat

meningkat tajam dan banyak perluasan wilayah yang membuka wijk

baru yang tak kukenal. Aku memandang kuyu pada tiga karung surat

bercap Union Postale Universele ketika nyonya yang masih seksi itu

komplain. Sejenak aku benci pada hidupku yang kacau balau, Salah

satu ciri hidup yang tak sukses adalah menerima semprotan pelanggan

sebelum sempat sarapan pagi. Tapi sekian lama bekerja di sini aku

telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka

madam itu hanya kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film

bisu hitam putih.

“Hoe vaak moet ikje dat nog zeggen!’ hardiknya sambil melengos

pergi. Benar kan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain

berapa kali masih saja keliru!

Dan kembali aku termangu-mangu menatap tiga karung surat tadi.

Setelah terpuruk akibat dikhotbahi nyonya itu aku masih harus bekerja

keras menyortir semuanya karena pukul delapan seluruh pengantar kilat

289


Laskar Pelangi

khusus termin pertama akan berangkat dan karena aku adalah pegawai

p0s, tukang sortir, bagian kiriman peka waktu, shift pagi, yang bekerja

mulai subuh.

Aku sengsara batin karena ironi dalam hidupku. Rencana Aku dua

belas tahun yang lalu untuk menjadi seorang penulis dan pemain bulu

tangkis ternama telah lenyap, kandas di dalam kotak-kotak sortir surat.

Bahkan rencana Bku, yaitu menjadi penulis buku tentang bulu tangkis

dan kehidupan sosial, juga telah gagal meskipun di dalam hati aku

masih menyimpan komentar-komentar manis para mantan kampiun

bulu tangkis.

Buku itu sebenarnya telah selesai kutulis, tidak tanggung-tanggung,

seluruhnya mencapai 34 bab dan hampir 100.000 kata. Untuk

menulisnya aku telah melakukan riset yang intensif di federasi bulu

tangkis dan komite olahraga nasional serta mengamati kehidupan sosial

beberapa mantan pemain bulu tangkis terkenal. Aku juga mempelajari

budaya pop serta tren terbaru pengembangan kepribadian. Tapi para

penerbit tak sudi menerbitkan bukuku berdasarkan pertimbanqan

komersial. Mereka lebih tertarik pada karya-karya sastra cabul, yaitu

buku buku yang penuh tulisan jorok, karena buku-buku semacam itu

lebih mendatangkan keuntungan. Mereka, para penerbit itu, telah

melupakan prinsip prinsip men sana in corpore sano.

Aku berusaha membesarkan hati dengan berpretensi menyama-

nyamakan diriku dengan John Steinbeck yang tujuh kali ditolak

penerbit tapi akhirnya bisa mengantongi Pulitzer. Aku juga tak

keberatan menjadi Mary Shelley yang hanya pernah sekali menulis

buku Frankenstein lalu hilang dalam kejayaan. Aku harap bukuku: Bulu

Tangkis den Pergaulan dapat menjadi sebuah karya fenomenal yang

dikenang orang sepanjang masa. Setidaknya itulah sumbanganku untuk

kemanusiaan. Namun bagaimanapun aku berusaha menguatkan diri,

kenyataannya aku hampir mati lemas ditumpuki kegagalan demi

kegagalan. Bagaimanapun dulu Pak Harfan dan Bu Mus mengajariku

agar tak gentar pada kesulitan apa pun, namun pada titik ini dalam

hidupku ternyata nasib telah menghantamku dengan technical knock

out.

Pada suatu dini hari yang paling frustrasi, di bawah hujan deras, aku



menumpuk empat bendel master tulisanku beserta enam buah disket.

290


Laskar Pelangi

Tumpukan itu kusimpul mati dengan tali jalin dan pemberat setengah

kilo berupa segel timah plombir untuk mengikat kantong pos. Aku

berlari menuju Jembatan Sempur lalu buku bulu tangkis rencana B ku

itu, buku bergenre humaniora itu sambil memejamkan mata dengan hati

yang redam kulemparkan ke dasar Kali Ciliwung. Jika tak tersangkut di

celah batu-batu di dasar kali maka buku itu akan terapung-apung

bersama banjir kiriman ke

Jakarta, hanyut terombang-ambing bersama cita-citaku.

Aku ingin melarikan diri ke satu-satunya tempat yang paling indah

dalam hidupku, yang telah kukenal sejak belasan tahun yang lalu.

Sebuah desa cantik dengan taman bunga, pagar-pagar batu kelabu yang

mengelilinginya, dan jalan setapak yang ditudungi untaian dahan-dahan

prem. Itulah Edensor, eden berarti surga, nirwana pelarian dalam otak

kecilku dan buku Herriot yang sangat kumal karena telah puluhan kali

kubaca. Semakin sukar hidupku, semakin sering aku membacanya.

Sayangnya aku tak bisa ke Edensor karena sampai hari ini tempat itu

masih tetap hanya ada dalam khayalanku.

Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun

di pokok pohon randu, di pinggir Lapangan Sempur, dekat kamar

kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes Tuhan:

“Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi

penulis dan pemain bulu tangkis maka jadi-kan aku apa saja asal bukan

pegawai pos! Dan jangan ben aku pekerjaan mulai subuh ...!!“

Tuhan menjawab doaku dulu persis sama seperti yang tak kuminta.

Begitulah cara Tuhan bekerja. Jika kita menganggap doa dan

pengabulan merupakan variabel-variabel dalam sebuah fungsi linier

maka Tuhan tak lain adalah musim hujan, sedikit banyak kita dapat

membuat prediksi. Kuberi tahu Kawan, cara bertindak Tuhan sangat

aneh, Tuhan tidak tunduk pada postulat dan teorema mana pun. Oleh

karena itu, Tuhan sama sekali tak dapat diramalkan.

Maka inilah aku sekarang. Dalam asumsi yang konservatif petugas

biro statistik menyebut orang sepertiku sebagai mereka yang bekerja

pada sektor jasa, mengonsumsi di bawah 2.100 kalori setiap hari, dan

berada dekat sekali dengan garis miskin. Miskin, kata itu demikian

akrab sepanjang hidupku, bagaikan sahabat baik, seperti mandi pagi.

Sebenarnya sepanjang waktu aku meloncat-loncat di antara garis

291


Laskar Pelangi

miskin itu, tergantung jam lembur yang diberikan Dahroji. Jika aku

banyak lembur maka bulan itu mereka dapat mempertimbangkanku

dalam lapisan berpenghasilan menengah ke bawah. Toh orang-orang

statistik itu tidak membuat parameter waktu bagi setiap kategori. Tapi

singkatnya begini saja, aku adalah bagian dan 57% rakyat miskin yang

ada republik ini.

Hidup membujang, mandiri, terabaikan, bekerja sepuluh jam sehari,

kisaran usia 25-30 tahun, itulah demografi yang aku wakili. Secara

psikografi identitasku adalah pria yang kesepian. Orang marketing

melihatku sebagai target market produkproduk minyak rambut,

deodoran, peninggi tubuh, peramping perut buncit, atau apa saja yang

berkenaan dengan upaya peningkatan kepercayaan diri. Dunia tak mau

peduli padaku, dan negara hanya mengenalku me-lalui sembilan digit

nomor, 967275337, itulah nomor induk pegawaiku.

Tak ada bahagia pada pekerjaan sortir. Pekenjaan ini tidak termasuk

dalam profesi yang ditampilkan munid-munid SD dalam karnaval.

Setiap hari berkubang dalam puluhan kantong pUS dan negeri antah

berantah. Masa depan bagiku adalah pensiun dalam keadaan miskin

dan rutin berobat melalui fasilitas Jamsostek, lalu mati merana sebagai

orang yang bukan siapa-siapa.

Setelah usai bekerja aku tenlalu lelah untuk bersosialisasi. Aku

mendenita insomnia, Setiap malam antara tidur dan terjaga aku

terhipnotis cerita wayang golek dan suara kemerosok radio AM. Aku

bangun pagi-pagi buta ketika orang-orang Bogon masih meringkuk di

tempat tidur mereka yang nyaman. Aku merangkak-rangkak

kedinginan, terseok-seok menuju kantor poS melewati bantaran Kali

Ciliwung yang masih diliputi kabut untuk kembali menyortir ribuan

surat, Saat orang-orang Bogor

bangun dan mengibas-ngibaskan koran pagi di depan teh panas dan

tangkupan roti, aku juga sarapan makian dan madam Belanda tadi.

Itulah hidupku sekarang, masa depanku tak jelas dan aku sudah tak

punya konsep lagi tentang masa depan. Semuanya serba tak pasti. Yang

kutahu pasti cuma satu hal: aku telah gagal. Aku mengutuki diri sendiri

terutama ketika apel Korpri tanggal 17.

Hanya Eryn Resvaldya Novella satu-satunya hiburan dalam

hidupku. Ia cerdas, agamais, cantik, dan baik hati. Usianya 21 tahun.

292


Laskar Pelangi

Belakangan aku memanggilnya awardee karena ia baru saja menerima

award sebagai mahasiswa paling bermutu di salah satu univensitas

paling bergengsi di negeri ini di kawasan Depok. Ia mahasiswa

universitas itu, jurusan psikologi. Ayah Eryn, abangku, terkena PHK

dan aku mengambil alih membiayai sekolahnya.

Lelah seharian bekerja lenyap jika melihat Eryn dan semangat

belajarnya, jiwa positifnya, dan intelegensia yang terpancar dan sinar

matanya. Aku rela kerja lembur berjam-jam, membantu

menerjemahkan bahasa Ing-gris, menerima ketikan, dan berkorban apa

saja termasuk baru-baru ini menggadaikan sebuah tape deck, hartaku

yang paling benhanga demi membiayai kuliahnya. Pengalaman dengan

Lintang telah menjadi trauma bagiku. Kadang-kadang aku bekenja

begitu kenas demi Eryn untuk menghilangkan perasaan bersalah karena

tak mampu membantu Lintang. Eryn menimbulkan semacam perasaan

bahwa semenyedihkan apa pun, hidupku masih benguna. Tak ada yang

dapat dibanggakan dalam hidupku sekarang, tapi aku ingin

mendedikasikannya pada sesuatu yang penting.

Eryn adalah satu-satunya arti dalam hidupku.

Saat ini Eryn sedang panik karena proposal skripsinya berulang kali

ditolak. Sudah belasan kali hal ini terjadi. Sejak kuliahnya selesai

semester lalu ia telah menghabiskan waktu lima bulan hanya untuk

mencari topik skripsi yang bermutu. Bersama surat penolakan itu

pembimbingnya melampirkan lima belas lembar kertas berisi judul

skripsi yang pernah ditulis. Aku melirik, benar saja, sudah tiga puluh

orang yang menulis tentang personality disorder, puluhan lainnya

menulis topik tentang kepuasan kerja, down syndrome, dan metode

konseling anak. Tak terhitung yang telah menulis skripsi mengenai

autisme.

Pembimbingnya menuntut Eryn menulis sesuatu yang baru, berbeda,

dan mampu membuat terobosan ilmiah karena ia adalah mahasiswa

cerdas pemenang award. Aku setuju dengan pandangan itu. Eryn

sebenarnya telah memiliki konsep tentang sesuatu yang berbeda itu.

Dan pembicaraannya yang meluap-luapaku menangkap bahwa ia telah

mempelajari suatu gejala psikologi di mana seorang individu demikian

tergantung pada individu lain sehingga tak bisa melakukan apa pun

tanpa pasangannya itu. Kemudian ia pun mengajukan tema tersebut,

293


Laskar Pelangi

pembimbingnya setuju.

Masalahnya adalah gejala seperti itu sangat jarang terjadi sehingga

Eryn tak kunjung mendapatkan kasus. Memang terdapat beberapa

kasus dependensi tapi intensitasnya rendah, gejala sehari-hari saja

yang tidak memerlukan perawatan khusus sehingga dianggap kurang

memadai untuk analisis mendalam. Eryn mencari sebuah kasus

ketergantungan yang akut, Ia telah berkorespondensi dengan puluhan

psikolog, psikiater, dosen-dosen universitas, lembaga-lembaga yang

menangani kesehatan mental, dan para dokter di rumah sakit jiwa di

seluruh negeri, tapi hampir empat bulan berlalu kasusnya tak kunjung

ditemukan. Eryn mulai frustrasi,

Namun agaknya nasib menyapa Eryn hari ini. Ketika menyortir aku

menemukan sepucuk surat yang ditujukan ke kontrakanku. Surat untuk

Eryn dengan sampul resmi yang bagus sekali, dan sebuah rumah sakit

jiwa di Sungai Liat, Bangka.

“Awardee! Seseorang dan rumah sakit jiwa agaknya jatuh hati

padamu ...‘ kataku setiba di rumah kontrakanku.

Ia merampas surat dan tanganku, membacanya sekilas, lalu

meloncat-locat gembira.

“Alhamdullilah, finally! Cicik (paman), kita akan berangkat ke

Sungai Liat!”

Eryn telah menemukan kasusnya. Seorang dokter senior profesor

tepatnya yang menjadi staf ahli di rumah sakit jiwa Sungai Liat

memberi tahu bahwa kasus langka yang dicari Eryn ditemukan di sana.

Dokter itu juga mengatakan bahwa kasus itu banyak diincar para

ilmuwan, termasuk beberapa kandidat Ph.D. untuk diteliti, tapi Eryn

diprioritaskan karena prestasi kuliahnya.

Eryn memintaku cuti untuk mengantarnya ke rumah sakit jiwa itu.

Apa dayaku menolak, bukankah semuanya memang untuk mendukung

dirinya. Lagi pula Sungai Liat ada di Pulau Bangka, tetangga Pulau

Belitong. Kami akan sekalian pulang kampung setelah ia riset.

Rumah sakit jiwa Sungai Liat sudah sangat tua. Orang Belitong

menyebutnya Zaal Batu. Barangkali zaman dulu dinding ruang

perawatannya adalah batu. Karena di Belitong tidak ada rumah sakit

jiwa bahkan sampai sekarang maka orang Belitong yang mentalnya

sakit parah sering dikirim melintasi laut ke rumah sakit jiwa in Karena

294


Laskar Pelangi

itu Zaal Batu bagi orang Belitong selalu memberi kesan sesuatu yang

mendirikan bulu kuduk, kelam, sakit, dan putus asa.

**********

Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal Batu. Suara azan ashar

bersahut-sahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua

berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami

melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat

dan bermotif jajaran genjang simetris,

Beberapa jambangan bunga model lama gaya Belanda bederet-deret

di sepanjang selasar itu. Pemandangan lainnya tak berbeda dengan

rumah sakit jiwa lainnya. Pintu-pintu besi dengan gembok besar, kamar

obat berisi botol-botol pendek, bau karbol, meja beroda, para perawat

yang berpakaian serba putih, dan para pasien yang berbicara sendiri

atau memandang aneh. Terdengar lamat-lamat suara cekikikan dan

teriakan beberapa kelompok pasien yang sedang bercanda dengan para

perawat di halaman rumah sakit yang luas.

Setelah melewati selasar kami berhadapan dengan sebuah pintu

jeruji yang dikunci dengan lilitan rantai dan digembok. Kami terhenti

di situ. Seorang perawat pria tergopoh-gopoh menghampiri kami. Ia

tahu kami sedang ditunggu, ia membuka pintu. Kami masuk melintasi

sebuah ruangan panjang. Ruangan yang terkunci rapat ini menampung

beberapa pasien.

Mereka mengikuti gerakgerik kami dengan teliti.

Eryn tak berani jauh-jauh dari perawat tadi. Aku tak takut tapi sedih

melihat penderitaan jiwa mereka. Suasana di sini mencekam. Banyak

pasien berusia lanjut dan meskipun kelihatan sehat tapi kita segera tahu

bahwa orang-orang ini sangat terganggu kewarasannya. Pandangan

matanya penuh tekanan, kesedihan, dan beban, Beberapa di antaranya

bersimpuh di Iantai atau mengguncang-guncang jerejak besi di jendela.

Aku memerhatikan beberapa wajah para pasien di balik batangan

jeruji besi. Perlahan-lahan batangan jeruji itu bergerak sendiri

benselang seling. Wujudnya menjelma menjadi puluhan pasang kaki

manusia. Di sela-sela kaki itu kulihat wajah yang telah sangat lama

kukenal. Kesedihan rumah sakit jiwa ini membuka ruangan gelap di

295


Laskar Pelangi

kepalaku, tempat Bodenga bersembunyi.

Kami kembali terhenti di depan sebuah pintu besi. Kali ini pintu

besi dua lapis. Setelah rantai dibuka kami memasuki ruangan berupa

lorong yang panjang. Sisi kin kanan lorong adalah kamar-kamar

perawatan. Suasana di lorong ini sunyi senyap. Sebagian besar kamar

kosong dengan pintu terbuka. Kamar yang diisi pasien tertutup rapat.

Lamat-lamat terdengar suara orang meratap dan balik pintu-pintu

tertutup itu.

Aku mendengar suara langkah sepatu yang bergema dalam kesepian

ruangan. Seorang pria berusia enam puluhan mendekati kami. Beliau

tersenyum. Wajahnya tenang, bersih, dan bening, tipikal wajah yang

sering tersiram air wudu. Jemari tangannya menggulirkan biji-biji

tasbih, beliau mengucapkan asma-asma Allah, beliau membuatku

sangat segan, seorang intelektual yang rendah hati sekaligus yang taat

beragama. Profesor ini memiliki dua kualitas agung tersebut. Dengan

sangat santun beliau menyatakan terima kasih atas kedatangan kami.

Namanya Profesor Van.

“ini kasus mother complex yang sangat ekstrem ...,‘ kata profesor itu


Yüklə 2,78 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   24   25   26   27   28   29   30   31   32




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin