240
Laskar Pelangi
“Persetan kepercayaan diri pokoknya dengar pertanyaannya baik-
baik, pencet tombolnya cepatcepat, dan jawab dengan benar” demikian
kataku. Sahara mengangguk, Lintang tak peduli.
Kami duduk menghadapi sebuah meja mahoni yang besar, panjang,
indah, dan dingin. Seluruh teman sekelasku dan guru-guru hadir untuk
menyemangati kami. Ruangan penuh sesak oleh para pendukung setiap
sekolah. Aku, Lintang, dan Sahara mengerut di balik meja itu. Kami
berpakaian amat sederhana dan sepatu cunghai Lintang masih
menebarkan bau hangus.
Pendukung yang paling dominan tentu saja pendukung sekolah PN.
Jumlahnya ratusan dan menggunakan seragam khusus dengan tulisan
mencolok di punggungnya: VINI, VIDI, VICI, artinya AKU
DATANG, AKU LIHAT, AKU MENANG. Benarbenar menjatuhkan
mental lawan. Sekolah PN mengirim tiga regu, masing-masing regu A,
B, dan C. Anggota regu itu adalah yang terbaik dan yang terbaik.
Mereka diseleksi secara khusus dengan amat ketat dan standar yang
sangat tinggi. Beberapa peserta itu pernah menjuarai lomba cerdas
cermat tingkat provinsi bahkan ada yang telah dikirim untuk tingkat
nasional. Pakaian anggota regu juga sangat berbeda.
Mereka mengenakan jas warna biru gelap yang indah, sepatu yang
seragam dengan celana panjang berwarna serasi, dan mereka berdasi.
Tahun ini mereka dipersiapkan lebih matang, sistematis, dan secara
amat ilmiah oleh seorang guru muda yang terkenal karena
kepandaiannya. Guru ini membuat simulasi situasi lomba
sesungguhnya dengan bel, dewan juri, stop watch, dan antisipasi
variasi-variasi soal. Guru yang cemerlang ini baru saja mengajar di PN,
dulu ia bekerja di sebuah perusahaan asing di unit riset dan
pengembangan kemudian ditawari mengajar di PN dengan gaji
berlipat-lipat dan janji beasiswa S2 dan S3. Ia lulus cum /aude dan
Fakultas MIPA sebuah universitas negeri ternama. Tahun ini ia terpilih
sebagai guru teladan provinsi. Ia mengajar fisi-ka, Drs. Zulfikar, itulah
namanya.
Pendukung kami dipimpin oleh Mahar dan Flo. Meskipun hanya
berjumlah sedikit tapi semangat mereka menggebu. Mereka membawa
dua buah bendera besar Muhammadiyah yang telah lapuk dan berbagai
macam tabuh-tabuhannya seperti para suporter sepak bola. Para pelajar
241
Laskar Pelangi
PN yang menganggap Flo pengkhianat melirik kejam padanya, tapi
seperti Lintang, Flo juga tak peduli. Walaupun besar sekali
kemungkinan tim kami dipermalukan oleh kecerdasan tim PN dalam
lomba ini, tapi Flo tak ragu sedikit pun membela habis-habisan
sekolahnya, sekolah kampung Muhammadiyah.
Di antara pendukung kami ada Trapani dan ibunya, kedua anak
beranak ini saling bergandengan tangan. Aku melihat pelajar-pelajar
wanita berbisikbisik, tertawa cekikikan, dan terus-menerus meliriknya
karena semakin remaja Trapani semakin tampan. Ia ramping, berkulit
putih bersih, tinggi, berambut hitam lebat, di wajahnya mulai tumbuh
kumis-kumis tipis, dan matanya seperti buah kenari muda: teduh,
dingin, dan dalam.
Sesungguhnya dalam seleksi tim yang akan mewakili sekolah kami
Trapani telah terpilih. Skornya lebih tinggi dibanding skor Sahara
namun nilai geografinya lebih rendah. Kekuatan tim kami adalah
matematika, hitungan-hitungan IPA, biologi, dan bahasa Inggris yang
semuanya tak diragukan ada di tangan Lintang. Aku agak baik pada
bidangbidang kewarganegaraan, tarikh Islam, fikih, budi pekerti, dan
sedikit bahasa Indonesia. Yang paling lemah dalam tim kami adalah
geografi dan ahli geografi kami adalah Sahara, Maka demi kekuatan
tim Trapani dengan lapang dada memberi kesempatan pada Sahara
untuk tampil. Trapani adalah pria muda yang amat tampan dan berjiwa
besar.
“Tabahkan hatimu, Ikal “ itulah nasihat Trapani pelan padaku.
Sementara di meja mahoni yang megah itu Lintang diam seribu
bahasa, kelelahan, selayaknya orang yang memikul seluruh beban
pertaruhan nama baik. Aku tak henti-henti berkipas, bukan kepanasan,
tapi hatiku mendidih karena gentar. Tak pernah sekali pun sekolah
kampung menang dalam lomba ini, bahkan untuk diundang saja sudah
merupakan kehormatan besar.
Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang
membawa kami ke ibu kota kabupaten in Tanjong Pandan, ia membisu
seperti orang sakit gigi parah. Ia memandang jauh. Tak mampu
kuartikan apa yang berkecamuk di dadanya. Ayah, Ibu, dan adik-
adiknya juga ikut. Mereka, termasuk Lintang, baru pertama kali ini
pergi ke Tanjong Pandan.
242
Laskar Pelangi
Sahara duduk di tengah. Aku dan Lintang di samping kin dan
kanannya. Ekspresi Lintang datar, ia tersandar lesu tanpa minat.
Agaknya ia demikian minder, berkecil hati, dan malu berada di
lingkungan yang sama sekali asing baginya. Ia hanya menatap Ayah,
Ibu, dan adik-adiknya yang berpakaian amat sederhana, duduk saling
merapatkan diri di pojok, tampak bingung dalam suasana yang hiruk
pikuk. Aku mencoba berkonsentrasi tapi gagal. Lintang dan Sahara
sudah tak bisa diharapkan.
Kulihat tangan para peserta lain mulai meraba tombol di depan
mereka, siap menyalak. Sahara kelihatan pucat, seperti orang bingung.
Ia yang telah ditugasi dan dilatih khusus memencet tombol sedikit pun
tak mampu mendekatkan jarinya ke benda bulat itu. Ia sudah pasrah
atas kemungkinan kalah mutlak, Sahara mengalami demam panggung
tingkat gawat.
Sementara otakku tak bisa lagi dipakai untuk berpikir. Keributan
yang terjadi ketika peserta lain mencoba-coba tombol dan mikrofon
terdengar bagaikan teror bagi kami. Kami tak sedikit pun mencoba
benda-benda itu. Kami sudah kalah sebelum bertanding. Para
pendukung Muhammadiyah membaca kegentaran kami. Mereka
tampak prihatin.
Suasana semakin tegang ketika ketua dewan Juri bangkit dan tempat
duduknya, memperkenalkan diri, dan menyatakan lomba dimulai.
Jantungku berdegup kencang, Sahara pucat pasi, dan Lintang tetap
diam misterius, ia bahkan memalingkan wajah keluar melalui Jendela.
Dan inilah detik-detik kebenaran itu. Pertanyaan ditujukan kepada
semua peserta yang harus berlomba cepat memencet tombol agar dapat
menjawab dan jika keliru akan kena denda. Aku tak berani melihat para
penonton. Dan Bu Mus tak berani melihat wajah kami. Wajahnya
dipalingkan ke lampu besar di tengah ruangan yang berjuntai Junta
laksana raja gurita. Baginya ini adalah peristiwa terpenting selama
lima belas tahun karier mengajarnya. Beliau benar-benar menginginkan
kami menang dalam lomba ini, karena beliau tahu lomba ini sangat
penting artinya bagi sekolah kampung seperti Muhammadiyah.
Wajahnya kusut menanggung beban, mungkin beliau Juga telah bosan
bertahun-tahun selalu diremehkan.
Tak lama kemudian seorang wanita anggun yang bergaun Jas cantik
243
Laskar Pelangi
berwarna merah muda berdiri. Beliau meminta penonton agar tenang
karena beliau akan mengajukan pertanyaan. Suaranya indah, bertimbre
berat, dan tegas seperti penyiar RRI.
Wanita itu mendekatkan wajahnya pada mikrofon dan menegakkan
lembaran kertas di depannya seperti orang akan membaca Pancasila.
Detik-detik kebenaran yang hakiki dan mencemaskan tergelar di depan
kami. Seluruh peserta memasang telinga baik-baik, siap menyambar
tombol, dan siaga mendengar berondongan pertanyaan. Suasana
mencekam
Pertanyaan pertama bergema.
“Ia seorang wanita Prancis, antara mitos dan realita ..
Kring! Kriiiiiiiingggg! Kriiiiiiiiiiiiinnnggggg!
Wanita anggun itu tersentak kaget karena pertanya-annya secara
mendadak dipotong oleh suara sebuah tombol meraung-raung tak
sabar, Aku dan Sahara juga tenpenanjat tak alang kepalang karena baru
saja sepotong lengan kasar dengan kecepatan kilat menyambar tombol
di depan kami, tangan Lintang!
“Regu F!” kata seorang pria anggota dewan Juri lainnya. Wajahnya
seperti almarhum Benyamin S. Ia memakai jas dan dasi kupu-kupu.
“Joan D’Arch, Loire Valley, France!” jawab Lintang membahana,
tanpa berkedip, tanpa keraguan sedikit pun, dengan logat Prancis yang
sengausenqau aduhai.
“Seratusss!” Benyamin S. tadi membalas disambut tepuk tangan
gemuruh para penonton. Kulihat bendera Muhammadiyah berkibar-
kibar.
“Pertanyaan kedua: Terjemahkan dalam kalimat integral dan hitung
luas wilayah yang dibatasai oleh y = 2x dan x = S.”
Lintang kembali menyambar tombol secepat kilat dan jawabannya
serta-merta memecah ruangan.
“Integral batas S dan 0, 2x minus x kali dx, hasilnya: dua belas
koma lima!”
Luar biasa! tanpa ada kesangsian, tanpa membuat catatan apa pun,
kurang dan S detik, tanpa membuat kesalahan sedikit pun, dan nyaris
tanpa berkedip.
“Seratussssss!” lengking Benyamin S.
Mendengar lengkingan Benyamin S. pendukung kami melonjak-
244
Laskar Pelangi
lonjak seperti orang kesurupan. Suara mereka riuh rendah laksana
kawanan kumbang kawin. Flo melompat-lompat sambil mengeluarkan
jurus-jurus kick boxing.
“Pertanyaan ketiga: Hitunglah luas dalam jarak integral 3 dan 0
untuk sebuah fungsi 6 plus 5x minus x pangkat 2 minus 4 x.”
Lintang memejamkan matanya sebentar, ia tak membuat catatan apa
pun, semua orang memandangnya dengan tegang, lalu kurang dan 7
detik kembali ia melolong.
“Tiga belas setengah!”
Tak sebiji pun meleset, tak ada ketergesa gesaan, tak ada keraguan
sedikit pun.
“Seratusssss!” balas Benyamin S. sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya karena takjub melihat kecepatan daya pikir Lintang.
Pendukung kami bersorak sorai histeris gegap gempita. Mereka
mendesak maju karena perlombaan semakin seru. Ayah, Ibu, dan adik-
adik Lintang berusaha berdiri dan bergabung dengan pendukung kami
yang lain. Mereka tersenyum lebar dan kulihat ayah Lintang, pria
cemara angin itu, wajahnya berseri-seri penuh kebanggaan pada
anaknya, matanya yang kuning keruh berkaca-kaca.
Sementara para peserta lain terpana dan berkecil hati. Lintang
menjawab kontan, bahkan ketika mereka belum selesai menulis soal itu
dalam kertas catatan yang disedia-kan panitia. Beberapa di antaranya
membanting pensil tanpa ampun. Trapani yang kalem mengangguk-
angguk pelan. Pak Hanfan bertepuk tangan girang sekali seperti anak
kecil, wajahnya menoleh ke sana kemani. “Lihatlah murid-muridku, ini
baru murid-muridku ...,“ itu mungkin makna ekspresi wajahnya.
Bu Mus bergerak maju ke depan, wajah kusutnya telah sirna
menjadi cerah. Sekarang beliau berani mengangkat wajah nya, matanya
juga berkaca-kaca dan bibirnya bergumam, “Subhanallah, subhanallah
.. .
Ibu jas merah muda berupaya keras menenangkan penonton yang
riuh dan berdecak-decak kagum, terutama menenangkan pendukung
kami yang tak bisa menguasai diri. Beliau melanjutkan pertanyaan.
“Selain menggunakan teknik radiocarbon untuk menentukan usia
sebuah temuan arkeologi, para ahli juga....“
Kring! Kriiiiiiiingggg!
245
Laskar Pelangi
Kembali Lintang mengamuk, dan ia menjawab Lantang.
“Thermoluminescent dating! Penentuan usia melalui pelepasan energi
sinar dalam suhu panas!”
“Seratussss!“
Berikutnya hanyalah kejadian yang persis sama dengan pertanyaan itu,
Wanita cantik benjas merah muda itu tak pernah sempat menyelesaikan
pertanyaannya. Lintang menyambar setiap soal tanpa memberikan
kesempatan sekali pun pada peserta lain.
Ratusan penonton terkagum-kagum. Warga Muhammadiyah di
ruangan itu berjingkrak-jingkrak sambil saling memeluk pundak. Yang
paling bahagia adalah Harun. Dia memang senang dengan keramaian.
Aku melihatnya bertepuk-tangan tak henti-henti, berteriak-teriak
memberi semangat, tapi wajahnya tak melihat ke arah kami, ia menoleh
keluar jendela. Kiranya ia sedang memberi semangat kepada
sekelompok anak perempuan yang sedang
bermain kasti di halaman.
Di tengah hiruk pikuk para penonton aku sempat mendengar
jawaban-jawaban tangkas Lintang:
“Vincent Van Gogh, men yasszonytanc, The Hunch back of
Notredame, paradoks air, Edgar Alan Poe, medula spinalis, Dian
Fossey, artropoda, 300 ribu kilometer per detik. Basedow, dactylorhiza
moculata, ancyostoma duodenale, Stone Henge, Platyhelminthes,
endoskeleton, Serebrum, Langerhans, fluoxetine hydrochloride, 8,5
menit cahaya, extremely low frequency, molekul chiral ....“
Ia tak terbendung, aku meninding melihat kecerdasan sahabatku i.
Peserta lain terpesona dibuatnya. Mereka seperti terbius sebuah
kharisma kuat kecerdasan murni dan seorang anak Melayu pedalaman
miskin, murid sekolah kampung Muhammadiyah yang berambut
keriting merah tak terawat dan tinggal di rumah kayu doyong beratap
daun nun jauh terpencil di pesisir.
Para peserta sekolah PN merasa geram karena tak kebagian satu pun
jawaban. Maka mereka mencoba berspekulasi. Tujuannya bukan untuk
menjawab tapi untuk menjegal Lintang. Mereka berusaha secara tidak
rasional memencet tombol secepat mungkin. Sebuah tindakan tolol
yang berakibat denda karena tak mampu menginterpnetasikan selunuh
konteks pentanyaan. Sedangkan Lintang, seperti dulu pernah
246
Laskar Pelangi
kucenitakan, anak ajaib kuli kopra ini, memiliki kemampuan yang
mengagumkan untuk menebak isi kepala orang.
Dominasi Lintang membuat bebenapa penonton
terusik egonya dan penasaran ingin menguji Einstein kecil ini maka
insiden pun terjadi. Ketika itu juri menanyakan:
“Terobosan pemahaman ilmiah terhadap konsep warna pada awal
abad ke-16 memulai penelitian yang intens di bidang optik. Ketika itu
banyak ilmuwan yang percaya bahwa campuran cahaya dan
kegelapanlah yang menciptakan warna, sebuah pendapat yang rupanya
keliru. Kekeliruan itu dibuktikan dengan memantulkan cahaya pada
sekeping lensa cekung ..,.“
Kriiiiiing! Kriiiiing! Kring! Lintang menyalaknyalak.
“Cincin Newton!’
“Seratussss!”
Sekali lagi suporter kami bergemuruh jumpalitan, tapi tiba-tiba
seseorang di antara penonton menyela, “Saudara ketua! Saudara ketua!
Saudara ketua dewan juri! Saya kira pertanyaan dan jawaban itu keliru
besar!”
Seluruh hadirin sontak diam dan melihat ke arah seorang pemuda
yang kecewa ini. Oh, Drs. Zulfikar, guru fisika teladan dan sekolah PN
itu. Gawat! Urusan ini bisa runyam. Sekarang pandangan seluruh
hadirin menghunjam ke arah guru muda yang otak cemenlangnya
sudah kondang ke mana- mana. Untuk diajar privat olehnya bahkan
harus antre. Ia harapan yang akan melanjutkan tradisi lama sekolah PN
sebagai pemenang pertama lomba kecerdasan ini dan ia sudah
mempersiapkan timnya demikian sempurna. Ia tak ingin dipermalukan
dan ia tak pernah berurusan dengan sesuatu yang tidak terbaik.
Sekarang apa yang akan ia perbuat? Aku dan Sahara waswas tapi
Lintang tenang-tenang saja. Drs. itu angkat bicara dengan gaya
akademisi tulen:
“Percobaan dengan lensa cekung tidak ada kaitannya dengan
bantahan terhadap teori awal yang meyakini bahwa warna dihasilkan
oleh campuran cahaya dan kegelapan. Dan sebaliknya, pemahaman
terhadap penciptaaan warna bukanlah persoalan optik, kecuali dewan
juri ingin membantah Descartes atau Aristoteles. Soal optik dan
spektrum warna adalah dua macam hal yang berbeda. Situasi ini
247
Laskar Pelangi
ambigu, di sini kita menghadapi tiga kemungkinan, pertanyaan yang
salah, jawaban yang keliru, atau kedua-duanya tak berdasar dalam arti
tidak kon t e k s t u a I!”
Aduh...! Komentar ini sudah di luar daya jangkau akalku, asing,
tinggi, dan jauh. ini sudah semacam debat mempertahankan tesis S2 di
depan tiga orang profesor. Tapi tidakkah sedikit banyak kata-kata sang
Drs. itu berbentuk U, kritis namun berputar-putar? Dan ia pintar sekali
membimbangkan dewan juri dengan menyintir pendapat René
Descartes, siapa yang berani membantah sinuhun ilmu zaman lawas
itu? Mudah-mudahan Lintang punya argumentasi. Kalautidak kami
akan habis di sini. Aku membatin dengan cemas tapi tak tahu akan
berbuat apa. Pak Harfan bertelekan pinggang lalu menunduk dan Bu
Mus merapatkan kedua tangannya di atas dadanya seperti orang berdoa,
wajahnya prihatin ingin membela kami tapi beliau tak berdaya karena
serangan Drs. Zulfikar memang sudah ter-lalu canggih. Bu Mus tampak
tak tega melihat kami. Aku memandang Sahara dan ia cepat-cepat
memalingkan muka, ia menoleh keluar jendela seolah tak mengenal
kami. Wajahnya menunjukkan ekspresi bahwa saat itu ia sedang tidak
duduk di situ.
Para penonton dan dewan juri terlihat bingung atas bantahan yang
supercerdas itu, Jangankan menjawab bahkan sebagian tak mengerti
apa yang dipersoalkan. Tapi seseorang memang harus menyelamatkan
situasi ini, maka ketua dewan juri bangkit dan tempat duduknya.
Lintang masih tenang-tenang saja, ia tersenyum sedikit, santai sekali.
‘Tenima kasih atas bantahan yang hebat ini, apa yang harus saya
katakan, bidang saya adalah pendidikan moral Pancasila ...,“ kata ketua
dewan juri.
Si Drs. bersungut-sungut, ia merasa di atas angin. Ekor matanya
seolah mengumumkan kalau ia sudah khatam membaca buku Principle
karya Isaac Newton, bahwa ia juga pelanggan jurnal-jurnal fisika
internasional, bahwa ia kutu laboratonium yang kenyang pengalaman
ekspenimen, bahkan seolah fisikawan Christiaan Huygens itu uwaknya.
Pria ini adalah seorang fresh graduate yang sombong, ia
memperlihatkan karakter manusia sok pintar yang baru tahu dunia.
Bicaranya di awang-awang dengan gaya seperti Pak Habibie. Ia
mengutip buku asing di sana sini tak keruan, menggunakan istilah-
248
Laskar Pelangi
istilah aneh karena ingin mengesankan dirinya luar biasa, Tapi kali ini,
aku jamin dia akan menelan APC, pil pahit segala penyakit andalan
orang kampung Belitong yang amat manjur.
Karena merasa sudah menang dengan kritiknya guru muda itu
meningkatkan sifat buruk dan sombong menjadi tak tahan pada godaan
untuk meremehkan.
“Atau barangkali anak-anak SMP Muhammadiyah ini atau dewan
juri bisa menguraikan pendekatan optik Descartes untuk menjelaskan
fenomena warna?”
Keterlaluan! Seluruh hadirin tentu mengerti bahwa kalimat bernada
menguji itu sesungguhnya tak perlu. Pak Zulfikar hanya ingin
menghina sekaligus melumpuhkan mental kami dan dewan juri karena
ia yakin bahwa kami tak mengerti apa pun mengenai Descartes.
Dengan demikian ia dapat menganulir pertanyaan awal tadi sekaligus
menjatuhkan martabat majelis ini. Yang menyakitkan adalah ia dengan
jelas menekankan kata SMP Muhammediyah untuk megingatkan semua
orang bahwa kami hanyalah sebuah sekolah kampung yang tak penting.
Aku memang tak mengerti pendekatan optik tapi aku tahu sedikit
sejarah penemuan fenomena warna. Aku tahu bahwa Descartes bekerja
dengan prisma dan lembaran-lembaran kertas untuk menguji warna,
bukan murni dengan manipulasi optik. Newton-Iah sesungguhnya sang
guru besar optik. Pak Zulfikar jelas sok tahu dan dengan mulut
besarnya ia mencoba menggertak semua orang melalui kesan seolah ia
sangat memahami teori warna. Aku geram dan ingin membantah Drs.
congkak ini tapi pengetahuanku terbatas. Tabiat Pak Zulfikar adalah
persoalan kiasik di negeri ini, orang-orang pintar sering bicara meracau
dengan istilah yang tak membumi dan teori-teori tingkat tinggi bukan
untuk menemukan sebuah karya ilmiah tapi untuk membodohi orang-
orang miskin. Sementara orang miskin diam terpuruk, tak menemukan
kata-kata untuk membantah.
Aku menatap Lintang, memohon bantuannya jika nanti aku angkat
bicara melawan kezaliman Drs. itu. Aku sangat perlu dukungannya.
Tapi bagaimana nanti kalauternyata aku yang keliru? Bagaimana kalau
aku diserang balik bertubi-tubi?
Ah, risikonya terlalu tinggi, bisa-bisa aku dipermalukan. ini juga
persoalan kiasik bagi orang yang memiliki pengetahuan setengah-
249
Laskar Pelangi
setengah sepertiku. Maka dadaku berkecamuk antara ingin melawan
dan ragu-ragu. Tapi aku sangat marah karena sekolahku dihina dan aku
jengkel karena aku tahu bahwa Drs. itu membawa-bawa nama
Descartes secara keliru dan tidak adil guna keuntungannya sendiri.
Melihatku demikian gusar Lintang tersenyum kecil padaku. Sebuah
senyum damai, Aku tahu, seperti biasa, ia dapat membaca pikiranku
dengan benderang. Ia membalas tatapanku dengan lembut seakan
mengatakan, “Sabar Dik, biar Abang bereskan persoalan ini ....“
Wajahnya tenang sekali. Aku dan Sahara ciut.
Kami mengerut di ketiak kiri kanan pendekar ilmu pengetahuan
yang sakti mandraguna andalan kami ini.
Mendengar tantangan Pak Zulfikaryang tak bersahabat tadi bapak
ketua dewan juri yang baik menarik napas panjang. Beliau menoleh ke
arah para koleganya, anggota dewan juri. Semuanya menggeleng-
gelengkan kepala. Lalu beliau mencoba menengahi dengan diplomatis
dan sangat merendah.
“Maafkan Bapak Guru Muda, atas nama dewan juri saya tenpaksa
mengatakan bahwa pengetahuan kami agaknya belum sampai ke sana,”
Kata-katanya demikian bersahaja. Kasihan bapak tua itu. Ia seorang
guru senior yang rendah hati dan sangat disegani karena dedikasinya
selama puluhan tahun di dunia pendidikan Belitong. Beliau tampak
malu dan putus asa. Lalu beliau mengalihkan pandangan ke arah regu
F, regu kami, Lintang tersenyum dan mengangguk kecil padanya.
Tanpa diduga ketua dewan juri mengatakan, “Tapi mungkin anak
Muhammadiyah yang cemenlang ini bisa membantu.”
Suasana sunyi senyap dalam nuansa yang sangat tidak
mengenakkan, dan semakin tidak enak karena sang Drs. kembali
mengudara dengan komentar sengak tanpa perasaan.
“Saya harapargumentasi mereka bisa setepat jawabannya tadi!”
Semakin keterIaIuan Ia sengaja memprovokasi Lintang dan kali ini
Lintang tenpancing, ia angkat bicara ‘Jika bantahan Bapak mengenai
pertanyaan yang tidak kontekstual dengan jawaban, mungkin saja
bantahan semacam itu bisa diterima. Dewan juri menanyakan sesuatu
yang jawabannya tertera di kertas yang dibacakan ibu pembaca soal,
Saya yakin di sana tertulis cincin Newton dan kami menjawab cincin
Newton, berarti kami berhak atas angka seratus. Maka kalaupun itu
250
Laskar Pelangi
memang tidak kontekstual, itu hanya berarti dewan juri menanyakan
sesuatu yang benar dengan cara keliru . .!
Pak Zulfikar tak terima.
‘Dengan kata lain pertanyaan nomor itu gugur karena bisa saja
peserta lain menduga arah jawaban yang keliru!” Lintang tak sabar.
Dostları ilə paylaş: |