Lhamdulillah, pembahasan hadits Shahih Bukhari beserta penjelasannya kini memasuki hadits ke-29, masih berada di bawah Kitab A



Yüklə 1,07 Mb.
səhifə28/31
tarix06.08.2018
ölçüsü1,07 Mb.
#67437
1   ...   23   24   25   26   27   28   29   30   31

imu itu diberikan kepada siapa pun.” Lalu Rasulullah SAW meletakkan minuman itu di tangan remaja tadi.” (Muttafaq ‘Alaih). Syarah Hadits Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Perbuatan Zhalim bab Jika Membolehkan atau Menghalalkan dan permulaan bab Minum dan beberapa bab lainya. Sedangkan Muslim meri­wayat­kan­nya dalam kitab Minuman bab Boleh Menggilirkan Air dan Susu dan Lainnya dari Sisi Kanan Permulaannya. Dalam asbab wurud (sebab muncul­nya) hadits tersebut, ada sebuah riwayat Al-Hafizh As-Suyuthi bahwa kisah ini ter­jadi di rumah Ummul Mu’minin Mai­munah binti Al-Harits. Anak remaja yang disebutkan dalam hadits ini adalah Abdullah bin ‘Abbas RA, yang di masa dewasanya mendapat ju­lukan “Juru Bicara Al-Qur’an”, berkat ke­fasihan dan keluasan pengetahuan­nya tentang penafsiran Al-Qur’an. Ia juga sa­lah satu dari tiga Abdullah yang dikenal sebagai pakar-pakar keilmuan era sahabat. Dua lainnya adalah Abdul­lah bin Umar RA dan Abdullah bin Mas‘ud RA. Sedangkan mereka yang disebut orang-orang tua, di antaranya yang hadir itu ialah Sayyidina Abubakar Ash-Shiddiq RA dan Khalid bin Walid RA. Hal yang dapat dipetik dari hadits ini ialah bahwa para sahabat senantiasa berusaha untuk mendapatkan manfaat kedekatan mereka dengan Rasulullah SAW. Salah satunya ialah memburu ber­kah dengan segala bekas pakai Rasulul­lah SAW, termasuk sisa minuman beliau. Ibn Abbas RA tak mau melepas­kan ba­giannya karena merupakan bekas wadah minum Nabi SAW. Demikian pula seba­gaimana kajian hadits sebelumnya yang menyebutkan ada seorang laki-laki me­minta kain bekas pakai Rasulullah SAW untuk membungkus jasadnya (menjadi kain kafannya) kelak jika ia wafat. Ibn ‘Allan menjelaskan, apa yang di­lakukan sahabat Ibn Abbas bukan di­golongkan sifat rakus dan tamak. Bukan pula ia tak mengerti makna itsar (menda­hulukan orang lain ketimbang dirinya, lihat bahasan edisi sebelum ini), tapi, bagai­mana dalam memburu berkah Nabi SAW, para sahabat berlomba-lomba men­dapatkannya, bukan mendapatkan sisi fisiknya, tapi atsarnya. Kalau dikata­kan rakus dengan makanan atau air yang di­sebut hadits itu, itu bukanlah sifat sahabat. Dalam satu maqalah dikatakan, “Innal ihtimam bi amril matha‘im Sya‘nul baha‘im (Sesungguhnya terlalu mem­beri­kan perhatian terhadap urusan ma­kanan adalah ciri hewan ternak).” Wal-‘iyadzu billah. Petikan pelajaran lain dari hadits ini ialah, ketika menjamu tamu, hendaknya menawarkan hidangan kepada orang yang paling mulia di majelis itu, kemudian menawarkannya kepada orang yang berada di sisi kanan tempat ia duduk. Demikian pula hadits ini mendorong un­tuk menunaikan hak bagi mereka yang ber­hak serta bertatakrama yang baik dalam bergaul, baik kepada orang tua maupun muda. Inilah salah satu adab yang diajarkan Rasulullah SAW. Dari Abu Hurairah RA, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Suatu ketika, tatkala Nabi Ayub AS sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba jatuhlah belalang emas. Lantas Nabi Ayyub memungutnya dan menyimpan­nya di kantung bajunya. Kemudian Tuhan Azza wa Jalla menyerunya, ‘Wahai Ayyub, bukankah Aku telah membuatmu kaya, melebihi dari apa yang engkau dapatkan itu?’ Nabi Ayyub menjawab, ‘Tentu, demi keagungan-Mu, wahai Tuhan. Tetapi aku belum merasa cukup dari keberkahan-Mu.” (Diriwayatkan Al-Bukhari). Syarah Hadits Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam kitab Para Nabi bab Firman Allah Ta’ala, “..wa ayyubu idz nada rabbahu..”, kitab Tauhid bab Mereka Mau Mengganti Kalamullah, dan kitab Mandi bab Orang yang Mandi Telanjang. Menurut Al-‘Iraqi dalam Syarh Taq­rib, nasab Nabi Ayyub AS ialah Ayyub bin Razah bin Rum bin Al-‘Aysh bin Ishaq bin Ibrahim AS. Ada yang mengatakan, belalang emas yang dimaksud hadits ini adalah potongan emas yang bentuknya menye­rupai belalang, jadi bukan belalang sung­guhan yang berwarna emas. Ada juga yang mengatakan, sesuai zhahirnya, yakni belalang emas. Terlepas dari itu semua, belalang emas ini merupakan bentuk kemuliaan Allah SWT, yakni bagian dari mu’jizat-Nya bagi Nabi Ayyub AS. Tentang kalimat “Bukankah Aku telah membuatmu kaya”, yakni bah­wasanya Allah SWT telah mengkayakan Nabi Ayyub AS dengan dua kekayaan: kekaya­an haqiqi (harta) dan maknawi (kaya hati). Berdasarkan hadits ini, ada bebe­rapa petikan pelajaran yang dapat diambil. Pertama, hadits ini mendorong manu­sia untuk meminta atau memohon se­suatu kepada Allah Ta’ala yang dapat menambah keberkahan dan kemuliaan, seperti mengumpulkan harta agar dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya demi ke­maslahatan dirinya dan orang lain. Con­tohnya, dengan hartanya, yang diharap­kannya bertambah terus, ia membangun sarana sosial, pendidikan, ibadah, dan sebagainya. Kedua, dalam pandangan jumhur ulama, sebagaimana dinukil Ibn ‘Allan, dibolehkan mandi dalam keadaan telan­jang bulat, dengan syarat ia mandi sendiri dan tidak ada orang lain serta tempat pe­mandiannya tertutup rapat sehingga tidak bisa dilihat orang lain. Akan tetapi, mandi dengan menutup aurat itu lebih utama. Al-Arifbillah Da’iilallah Al-Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz, dalam nasehatnya mengenai Jalinlah Ikatan Suci Dengan Kaum Sholihin Janganlah kalian mensia-siakan persahabatan dengan orang mulia, iaitu orang-orang yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah Ta’ala dan RasulNya. Mereka adalah orang-orang yang cahayanya berkilauan. Sinarnya bergemerlapan. Demi Allah …. memisahkan diri dari mereka merupakan suatu kerugian yang sangat besar. Tidakkah kalain fikir, kerugian tersebut disebutkan oleh pemimpin dari segala pemimpin, iaitu Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم telah bersabda (maksudnya): Celakalah bagi orang yang tidak melihatku pada hari qiamat. Sesungguhnya orang yang tidak melihat kaum sholihin tidak akan bisa melihat Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Orang yang tidak memandang mereka, tidak akan bisa memandang Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Dan orang yang tidak menjalin hubungan dengan mereka tidak akan bisa berhubungan dengan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Ketahuilah, bahwa kaum sholihin adalah bahagian dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pewaris Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah khalifah Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr Baginda Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pemegang sirr setelah kewafatan Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah pewaris rahasia an-Nabawiyyah sepeninggalan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka adalah semulia-mulia perwaris Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Di antara mereka adalah al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه yang telah disifatkan oleh al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi رضي الله عنه dalam bait qashidah beliau: “Kerananya (Imam al-Haddad) sejuklah hati Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Bagi Baginda صلى الله عليه وآله وسلمia adalah sebaik-baik keturunannya. Panutan bagi pengikut. Ka’abah (qiblat) bagi orang yang meniti jalan kebenaran dan merupakan kebanggaan bagi penduduk negerinya. Nasihat-nasihatnya menebarkan ilmu pengetahuan. Kasih-sayangnya meliputi semua umat. Darinya, mereka mengambil manfa’at dengan sebaik-baik manfa’at.” Dalam kesempatan lain, al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi رضي الله عنه menyifatkan al-Imam al-Habib ‘Abdullah bin ‘Alwi bin Muhammad al-Haddad رضي الله عنه dalam untaian syairnya yang begitu indah. Al-Habib ‘Ali mengatakan: “Dialah cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang bersambung nasabnya dengan orang-orang mulia yang kemuliaan mereka dikenal oleh para pejuangan dan pemberani. Dialah penyalur asrar dan ilmu kepada keluarga, keturunan, penduduk negerinya, bahkan kepada umat generasi sesudahnya. Maka semua yang bersuluk dengannya akan bersinar dengan cahaya bilau yang terang benderang.” Cahaya ini tak akan padam dan tak akan sirna. Mengapa? Sebab, Allah Ta’ala lah yang menyalakannya! Itulah sebabnya cahayanya terus bersinar dan kian memancar. Siapakah yang mampu memadam cahaya yang telah dinyalakan oleh Allah Ta’ala? Demi Allah! Cahaya itu tidak akan padam dan takkan pernah sirna selamamana Allah Ta’ala yang menjaganya. Namun sungguh menyedihkan, di antara kita (yakni para ‘Alawiyyin dan keturunan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم) terdapat orang-orang yang terhalang dari cahaya itu. Mereka adalah orang-orang yang enggan masuk ke dalam golongan itu. Bahkan sangat disayangkan, justru mereka masuk ke dalam kelompok lain. al-Imam al-Habib ‘Ali bin Muhammad bin Husain al-Habsyi رضي الله عنه berkata: “Siapa tidak menempuh jalan leluhurnya pasti akan bingung dan tersesat. Wahai anak-cucu Nabi صلى الله عليه وآله وسلم tempuhilah jalan mereka, setapak demi setapak dan jauhi segala bid’ah.” Siapakah yang lebih mengenal Allah Ta’ala dibandingkan para kaum ‘arifin? Siapakah yang lebih mengetahui hakikat Rabbul ‘Alamin dibandingkan dengan imam-imam kita? Siapakah yang lebih mengenal Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dibanding mereka? Selain mereka, kepada siapa kita akan bercermin? Kepada siapa kita akan berteladan? Wahai hamba-hamba Allah, pelajarilah riwayat hidup kaum sholihin. Jalinlah persaudaraan dan kasih-sayang dia antara kalain. Jangan kalian bercerai berai. Bersiap-siaplah menolong jalan mereka. Demi Allah! Jalan mereka tersebar, bendera mereka berkibar. Bukan di negara kalian sahaja, namun diseluruh penjuru dunia. Di belahan dunia, timur mahupun barat. Bagi masyarakat ‘Arab mahupun ‘Ajam (non-‘Arab). Baik di Jaziarah ‘Arab, Amerika, Eropah, Rusia, Asia, China ataupun Indonesia ini. Di sana bendera kelaurga al-Imam al-Habib ‘Alwi bin ‘Ubaidullah bin Ahmad al-Muhajir رضي الله عنه telah berkibar. Di segala penjuru, bendera keluarga al-Faqih al-Muqaddam Muhammad bin ‘Ali Ba’Alawi رضي الله عنه telah berkibar. Di setiap wilayah, kita pasti akan melihat bendera ahli thariqah ini (yakni thariqah ‘Alawiyyah). Mereka memiliki para tentera dan penolong yang berkedudukan tinggi disisiNya. Namun saat ini, di antara para tentera dan penolong itu ada yang tidur, bahkan mereka nyenyak dalam tidurnya. Ada di antara mereka yang hanya duduk berpangku tangan (berpeluk tubuh) dan terus duduk sahaja. Cukuplah wahai saudaraku! Sudah banyak kita melihat orang-orang yang terlambat dan tertinggal. Bangkitlah wahai saudataku! Sampai kapan kalian akan tidur? Sampai kapan kalian akan terus berpeluk tubuh? Amatilah! Apakah perjalanan hidup mereka telah diterapkan dirumah-rumah kalian? Apakah mereka sudah menjadi teladan dalam keluarga kalian? Apakah mereka telah menjadi panutan bagi anak dan isteri kalian? Bagaimana kalian ini? Kalian mengaku cinta dan memiliki ikatan dengan mereka, namun di rumah kalian setiap harinya yang terdengar hanyalah berita mengenai orang-orang kafir. Hanya menyimak khabar dari orang-orang fasiq dan gossip para bintang filem?????!!!! Setahun penuh tidak pernah ada berita mengenai salaf!!! Apakah ini yang disebut cinta????? Apakah ini yang dikatakan memiliki ikatan kekeluargaan???? Jubah Sayyidatuna Fathimah az-Zahra عليها السلام Sungguh ironis sekali!!!! Saat ini sinetron, orang-orang fasiq dan orang-orang kafir lah yang mendidik anak-anak kita. Pemandangan itu yang menjadi hiasan dalam keluarga kita. Betapa banyak anak perempuan kita yang meniru wanita-wanita fasiq di TV, baik dari cara berpakaian, cara bergaul dan sebagainya. Sehingga mereka itdak mengenal lagi siapa Fathimah az-Zahra عليها السلام. Siapakh beliau? Bagaimana biografi beliau? Seperti apa pakaian beliau? Bagaimana kezuhudannya? Bagaimana ibadahnya? Saat ini mereka tidak lagi mengenal puteri-puteri Nabi Muhammad صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak tahu siapa itu Zainab, Ummu Kultsum, Ruqayyah. Mereka juga tidak tahu isteri-isteri Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Mereka tidak lagi mengenal siapa itu Khadijah binti Khuwailid عليها السلام, ‘Aisyah ash-Shiddiqah عليها السلام dan lain-lain. Bagaimana ini boleh terjadi? Wahai para kepala keluarga! Bagaimana kalian mendidik anak-anak kalian? Dengan figur siapa kalian memberikan contoh kepada puteri-puterimu? Apakah kalian berniat menggantikan Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم dengan mereka? Teladan apakah yang telah kalian berikan kepada keluarga dan anak-anak kalian? Kalian meniru orang-orang durhaka, padahal kalian adalah mu’min. sesungguhnya kalian telah memiliki kebesaran, kebanggan dan kemuliaan. Namun mengapa kebesaran, kebanggaan serta kemuliaan itu kalian tukar dengan orang-orang yang jauh dari Allah dan RasulNya Sungguh, kalian telah menggantikan teladan yang telah diredhai Allah Ta’ala dan RasulNya untuk kalian. Apakah kalian lupa akan firman Allah Ta’ala di dalam al-Quran: لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ Artinya : Demi sesungguhnya, adalah bagi kamu pada diri Rasulullah itu contoh ikutan yang baik (Surah al-Ahzab: 21) Wahai saudaraku, tanamlah dalam hatimu untuk berubah dari semua ini. Kembalilah pada jalan yang telah diteladankan oleh Rasulullah صلى الله عليه وآله وسلم. Dalam buku catatan ‘amal kita tertulis kata-kata yang tidak patut, pandangan yang tidak layak, dan niat yang tidak pantas (selayaknya). Jikalau demikian, maka siapakah yang akan menghapuskannya? Bertaubatlah kepada Allah Ta’ala, kerana Dialah yang menerima segala taubat dari hamba-hambaNya dan Dialah yang memaafkan segala kesalahan-kesalahan para hambaNya. Wallahu a’lam. Mawlana Syekh Nazim Adil al-Haqqani qs, didalam Mercy Oceans Book 2 ; Ziarah atau mengunjungi makam seseorang adalah untuk menghormati orang itu, bahwa dia tidak sama dengan binatang. Sebagaimana mereka semasa hidupnya kita hormati karena derajatnya, begitu pula setelah kematiannya dan hal ini tidak akan berubah. Kita menjaga makam para Awliya dan Rasul. Semasa hidupnya, rahmat dilimpahkan kepada mereka dan setelah mereka meninggalkan kehidupan ini, rahmat tetap datang kepada mereka. Dan kita memohon rahmat itu. Bersama dengan mereka semasa hidupnya adalah suatu kesempatan berharga, atau paling tidak kita bisa mengunjungi makamnya. Mereka hidup di makamnya dengan kehidupan yang sesuai dengan alamnya. Mereka bisa melihat dan mendengar. Rasulullah SAW biasa mengunjungi makam pamannya, Sayyidina Hamza RA, duduk dan membaca doa di sana . Itu bukanlah suatu hal yang terlarang. Setiap minggu beliau SAW selalu pergi ke Jannat-il-Baqi’ atau ke gunung Uhud untuk mendoakan para syuhada di sana. Hal ini diizinkan bagi kita dan tidak bertentangan dengan syari’ah. Kita menjaga makam para Awliya agar mereka tidak hilang, bukannya menyembah mereka, tidak! Kita hanya meminta rahmat yang dilimpahkan kepada mereka dan berdoa untuk mereka. Kalian dapat mengirimkan doa untuk semua orang yang beriman sebagai hadiah dari kita. Mawlana Syaikh Muhammad Hisyam al-Kabbani qs, beliau menjelaskan di dalam kitabnya, Naqshbandi Sufi Way, pada bab manaqib Grand Syaikh Allauddin al-Attar qs menerangkan mengenai ziarah kubur ; “Manfaat yang dapat dipetik dari ziarah ke makam Syaikh kalian (Awliya/shalihin) tergantung dari pengetahuanmu tentang mereka.” “Berada di dekat makam orang-orang yang shaleh mempunyai pengaruh yang baik terhadap dirimu, walaupun lebih baik untuk mengarahkan dirimu kepada jiwa mereka dan hal itu bisa membawa pengaruh spiritual yang tinggi” “ Rasulullah saw bersabda, ‘Kirimkanlah do’a kepadaku di mana pun engkau berada.’ Ini menunjukkan bahwa kalian dapat mencapai Rasulullah saw di mana pun kalian berada, dan itu juga berlaku untuk semua Walinya, karena mereka mendapat kekuatan dari Rasulullah saw” “Adab, atau perilaku yang benar dalam berziarah adalah dengan mengarahkan dirimu kepada Allah dan membuat jiwa-jiwa ini sebagai jalanmu (wasilah) menuju Allah, merendahkan hatimu kepada Ciptaan-Nya” “ Kalian merendahkan hati secara eksternal kepada mereka dan secara internal kepada Allah. Menunduk di hadapan orang lain tidak diizinkan kecuali kalian memandang mereka sebagai perwujudan Tuhan. Dengan demikian kerendahan hati itu tidak diarahkan kepada mereka, tetapi diarahkan kepada Tuhan yang tampak dalam diri mereka, dan itulah Tuhan.” Sebenarnya, ziarah adalah sebuah kunjungan ruhani. Ziarah ke makam seseorang yang telah meninggal dunia tidak jauh berbeda dengan mengunjungi rumah seseorang yang masih hidup. Oleh Karena itu, setiap peziarah harus mengetahui tata kesopanan yang berlaku di sana. Dalam bab ini kita akan bersama-sama mempelajari berbagai adab yang telah dirumuskan oleh para ulama sepanjang zaman, sebagai hasil perenungan dan penghayatan mereka atas Al-Quran dan Hadis. Insya Allah kita dapat mengamalkannya. Tujuh Manfaat Ziarah Wali Sunan Ampel adalah orang yang pertama kali melakukan ziarah ke makam para wali. Yaitu makam kakek dan ayahnya,kemudian makam pamannya. Dalam berziarah,beliau mengajak murid-muridnya. Setelah berziarah beliau menjelaskan manfaat-manfaat ziarah,yaitu ada tujuh manfaat.Bagaimana nasihatnya? ZIARAH wali telah lama di lakukan umat Islam khususnya di tanah Jawa dan umumnya di Indonesia. Pertama kali ziarah dilakukan di makam Syekh Jumadil Kubro, yang berada di troloyo, Trowulan, Mojokerto, dan makam Syekh Maulana Malik Ibrahim di Gresik. Orang yang pertama kali melakukan ziarah adalah Sunan Ampel yang waktu itu masih tinggal di Bangil. Tiap ziarah di lakukan pada waktu menjelang Ramadan. Ziarah ini dilakukan tiap tahun. Untuk menuju ke dua makam tersebut, yaitu Syekh Jumadil Kubro dan ayahandanya, Asmaraqandi, Sunan Ampel menggunakan kereta bendi yang ditarik kuda. Ketika berziarah ke makam kakek dan ayahnya, Sunan Ampel disertai murid-muridnya. Jumlahnya mencapai ratusan orang. Usai melakukan ziarah, beliau menjelaskan manfaatnya. Murid-muridnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh sambil menundukkan kepalanya di areal makam. Sepeninggal Sunan Ampel, murid-muridnya melanjutkan ziarah ke makam-makam para wali yang lebih dahulu meninggaldunia. Ziarah murid-murid Sunan Ampel itu kemudian hari dilanjutkan oleh ummat Islam sekarang ini. Di antara manfaat ziarah yang disampaikan oleh Sunan Ampel adalah, pertama, ziarah akan menjadikan seseorang mengenal kematian. Sehingga semasa hidupnya akan selalu ingat kepada Allah dan tidak akan menjalankan maksiat serta berprilaku sombong di muka bumi. Karena pada akhirnya manusia itu tidak berdaya setelah menghadapi maut. Kedua, sebagai pelajaran sejarah . yaitu meneladani apa yang telah dilakukan para wali dalam menjalankan ibadah kepada Allah dan menyebarkan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat yang masih beragama Hindu dan Buddha. Waktu itu Jawa dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Ketiga, do’a di sekitar makam orang-orang saleh atau wali itu memiliki nilai mustajabah atau mudah dikabulkan oleh Allah. Praktik do’a di makam para wali ini pernah dilakukan oleh Syekh Abdulqadir Zaelani, Syekh Jalaluddin Rumi, dan para sufi di masa lampau. Ruh para waliyullah sesungguhnya diberi keistimewaan oleh Allah sehingga bisa pergi kemana-mana, termasuk berwujud manusia sempurna pada suatu waktu. Jga ikut mendo'akan dan mengamini do'a orang-orang yang bertawasul kepadanya. Keempat, memberikan ketenangan hati ketika berada di makam para wali saat berzikir. Sudah ribuan orang merasakan ada ketentraman hati saat berzikir di sekitar makam wali songo. Oleh karena itu, banyak orang yang hampir tiap tahun selalu berziarah ke makam waliullah untuk menenteramkan hati. Kelima, membangkitkan semangat untuk semakin meningkatkan ketakwaan kepada ALLAH. Cukup banyak orang yang hidupnya penuh dengan dosa. Namun setelah sering berziarah di makam, perilakunya berubah dan menjadi orang yang baik. Keenam, untuk masa sekarang, manfaat ziarah ke makam wali songo, pertama untuk latihan sebelun keberangkatan ziarah ke tanah suci Makkah dan Madinah. Sehingga nantinya ketika menunaikan ibadah haji atau umrah bisa khusuk dan khidmat. Ketujuh, meningkatkan spiritual. Sehingga tidak akan mengalami kekeringan rohani dalam menjalani kehidupan yang semakin kompleks. Kemudia hidup semakin ceria untuk menatap masa depan yang penuh dengan optimisme. Meluruskan niat. Sebelum berziarah, seorang Muslim harus menetapkan niat­-niat yang baik. Al-Imam Qurthubi.rhm di dalam tafsirnya menyatakan: "Hendaknya ketika berziarah, seseorang berniat untuk menggapai keridhaan Allah, memperbaiki hati yang rusak atau memberikan manfaat kepada mayit dengan membacakan Al-Quran atau berdoa di makamnya." Kalam Al-Imam al-Habib Ahmad bin Zein al-Habsyi.rhm didalam kitab Syarhul Ainiyyah, menjelaskan ; “Niat saleh” adalah kecenderungan dan keinginan hati untuk berbuat baik. Suara hati merupakan sumber dan penyebab pertama timbulnya niat. Niat adalah ruhnya amal, seperti ruh bagi jasad, dan hujan bagi bumi. Barang siapa yang niat dan tujuannya untuk Allah dan Rasul-Nya, maka ia memiliki niat yang saleh. Karena itulah beliau RA berkata, “carilah selalu niat-niat saleh”. Niat ada yang saleh dan ada yang buruk. Dalam suatu amal kadang kala dapat diperoleh niat yang banyak. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya seseorang itu hanya akan mendapatkan sesuai dengan niatnya.” Niat yang baik akan membuahkan amal yang baik,sedangkan niat yang buruk akan mengakibatkan amal yang buruk. Allah berfirman: “Padahal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan mengikhlaskan ibadah kepada-Nya.” (QS Al-Bayyinah, 98:5) Yakni, dengan niat yang ikhlas untuk Allah. Niat juga merupakan salah satu sebab untuk memperoleh taufik: Jika kedua juru pendamai itu berniat mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu (untuk berdamai). (QS An-Nisa, 4:35) Nabi SAW bersabda, “Barang siapa berniat melakukan kebajikan, namun ia tidak mengamalkannya, Allah akan mencatatkan kebajikan baginya.” Dan sabdanya lagi: “Mereka kelak dikumpulkan berdasarkan niat mereka.” Imam Sofyan At-Tsauri.rhm berkata, “Dahulu mereka mempelajari niat untuk beramal sebagaimana mereka mempelajari amal.” Dan diriwayatkan dalam kitab Taurat bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Segala sesuatu yang diniatkan untuk-Ku, maka sedikitnya adalah banyak, dan segala sesuatu yang ditujukan kepada selain Aku, maka banyaknya adalah sedikit.” Sahabat Bilal bin Sa’ad.ra berkata, “Sesungguhnya seorang hamba akan mengucapkan ucapan seorang mukmin, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan amalnya, jika ia mengamalkannya, maka Allah tidak akan membiarkannya sebelum menyaksikan niatnya, jika niatnya baik, Allah akan memperbaiki kelemahan amalnya.” Niat adalah tiangnya amal, oleh karena itu amal sangat membutuhkan niat. Nabi SAW bersabda: “Niat seorang mukmin lebih baik dari pada amalnya.” Hati adalah pengawas yang ditaati dan niat adalah amal hati. Amal tanpa niat yang saleh, tidak akan bermanfaat, dan amal dengan niat yang buruk, akan mencelakakan. Banyaknya niat tergantung pada banyaknya usaha untuk berbuat kebaikan, keluasan ilmu dan ketekunan dalam menghimpun berbagai niat yang baik. Dan banyaknya niat ini dapat menyucikan dan melipat-gandakan amal. Namun maksiat akan tetap maksiat, karena niat baik tidak akan dapat merubahnya. Berbagai amal yang mubah, dengan niat yang benar dari seorang yang shidq, dapat menjadi sebaik-baik pendekatan diri kepada Allah. Mereka yang selalu disibukkan dengan urusan keduniaan, niat-niat saleh tersebut tidak akan terlintas dalam benak mereka. Jika mereka mengaku memiliki suatu niat baik, ketahuilah, sesungguhnya itu hanyalah bisikan hati, bukan niat. Saat melaksanakan atau meninggalkan suatu amal harus disertai dengan niat yang baik, karena meninggalkan suatu amal adalah amal juga. Oleh karena itu, jangan sampai hawa nafsu yang tersembunyi menjadi penggerak suatu amal. Karena alasan inilah beberapa sufi urung melaksanakan suatu ketaatan, karena gagal menetapkan niat yang baik. Niat adalah fath dari Allah yang pada dasarnya tidak bisa diusahakan. Niat yang baik ini oleh Allah Ta’ala dianugerahkan kepada orang-orang yang berhati suci, memiliki ilmu yang luas dan selalu disibukkan dengan ajaran Allah, bukan orang-orang seperti kita. Kita ini tidak mudah untuk berniat baik walaupun dalam melaksanakan yang wajib, kecuali setelah berusaha dengan susah payah. Sayid Idrus bin 'Umar Al-Habsyi.rhm, di dalam kitab an-Nahrul Maurud min Faidhim Karam wa Jud, berkata: Seseorang yang berada dalam keadaan demikian, maka hendaknya dia beramal sekuat tenaganya kemudian berniat untuk mengamalkan apa yang belum mampu dia amalkan sewaktu memiliki kesempatan. Dengan niat seperti ini dia akan memperoleh pahala, sebab dalam sebuah hadis disebutkan: "Seseorang akan memperoleh pahala sesuai niatnya," (HR Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad) Berapa banyak manusia yang tidak mampu mengamalkan sesuatu tetapi memperoleh pahala besar karena niatnya. Dan berapa banyak manusia yang kehilangan pahala besar karena kebodohan dan kelalaiannya, sehingga ia tidak memiliki niatan untuk mengamalkannya. Sesungguhnya ilmu adalah somber segala kebaikan dan kebodohan adalah pangkal segala kejahatan di dunia dan akhirat. Allah Ta'ala mewahyukan: 9. (apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. (Az-Zumar, 39:9) Seseorang kadang melakukan sebuah amal tetapi mendapat pahala yang sangat banyak karena niatnya benar dan banyak. Dalam kesempatan lain beliau.rhm berkata: Barang siapa tidak pandai berniat, maka hendaknya dia meneladani Rasulullah, para Sahabat, para ulama besar dan berniat seperti niatan mereka. Ketika memulai sebuah amal, setelah berniat sesuai kemampuannya, maka hendaknya dia berkata, misalnya: "Aku melakukan amalan ini sesuai dengan niat Sayidina Al-Faqihil Muqaddam" Al-Faqihil Muqaddam Muhammad bin 'Ali ra lahir di Tarim, Hadhramaut, 574 H. Beliau meninggal dan dikuburkan di Pemakaman Zanbal, Tarim pada 653H. Beliau seorang Imam besar Thariqah Alawiyah. Atau orang lain yang ia kenal memiliki keluasan ilmu dan mengetahui seluk beluk niat yang baik. Kehadiran hati Jika hati berada di pasar, pertokoan dan pekerjaan, bagaimana seseorang dapat memetik hikmah dari ziarahnya? Oleh karena itu, kehadiran hati merupakan kebutuhan mutlak di dalam berziarah, tanpanya, seorang peziarah tak ubahnya seperti hewan-hewan yang berrnain di area pemakaman; mereka tidak menyadari dan mengerti di mana mereka berada dan untuk apa. Melalui kehadiran hati ini kita dapat memetik pelajaran yang besar dari kematian. Ibnu Majah ra menyebutkan bahwa Sayidina 'Utsman bin Affan menangis hingga jenggotnya basah jika berdiri di depan sebuah makam. Saat ditanya, "Mengapa ketika mengingat Surga atau pun Neraka engkau tidak menangis, tetapi ketika berada di depan sebuah makam engkau justru menangis? Beliau ra menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah saw pernah menyatakan dalam sebuah sabdanya: 'Sesungguhnya kubur adalah persinggahan pertama dari semua tempat di Akhirat. Barang siapa selamat dari (siksa) nya, maka apa yang akan dia alami setelah itu lebih mudah. Dan jika dia tidak selamat dari (siksa) nya, maka apa yang akan terjadi kepadanya setelah itu lebih buruk lagi.' (HR Tirmidzi) Di samping itu Rasulullah saw juga pernah bersabda: 'Tidaklah aku menyaksikan sebuah pemandangan, kecuali kulihat kubur lebih menyeramkan darinya.' (HR Tirmidzi) Kalam Al-Imam Al-Quthb Abdullah bin Husin Bin Thohir Ba'alawy.rhm mengenai Penghormatan kepada Sholihin, yang perlu kita hadirkan dalam lubuk sanubari kita, sehingga berziarah shalihin dapat meraih manfaat yang besar bagi kita semua, yakni perlu dipahami ; Bawalah dirimu senantiasa berkumpul dengan orang-orang yang sholeh dan biasakanlah berperilaku sebagaimana perilaku mereka. Ambillah manfaat dari perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan mereka. Biasakanlah berziarah kepada mereka baik yang masih hidup ataupun sudah meninggal disertai dengan sebaik-baiknya penghormatan dan husnuzh-zhon (berbaik sangka) yang tulus. Dengan cara itulah orang yang mengunjungi mereka akan mendapat manfaat dan karunia melalui mereka. Sesungguhnya begitu sedikitnya kemanfaatan yang didapatkan oleh orang-orang sekarang dari keberadaan para sholihin karena sedikitnya rasa penghormatan dan husnuzh-zhon mereka kepada para sholihin sehingga mereka tidak mendapatkan keberkatan dari para sholihin. Mereka juga tidak pernah menyaksikan karomah-karomah para sholihin sehingga mereka mengatakan bahwa tidak ada Auliya' pada jaman ini. Padahal alhamdulillah mereka para wali Alloh saat ini begitu banyak, baik yang kelihatan maupun yang tersembunyi. Tidaklah mengetahui keberadaan mereka kecuali orang-orang yang hatinya diberi cahaya oleh Alloh dengan cahaya - cahaya penghormatan dan husnuzh-zhon kepada para sholihin. Oleh karena itu tepatlah yang dikatakan dalam suatu penuturan "Al-madad fil masyhad". [Diambil dari Majmu' kalam Al-Habib Abdulloh bin Husin Bin Thohir Ba'alawy, hal. 71-72] Maksud dari "Al-madad fil masyhad" adalah besarnya karunia dan pemberian Alloh SWT kepada seseorang yang didapatkan dari para sholihin adalah tergantung dari seberapa besar orang tersebut memandang dan memposisikan mereka di dalam dirinya. Jika dia melihat para sholihin tadi dengan su’uzh-zhon (berburuk sangka), maka karunia dan pemberian yang ia dapatkan tentunya sedikit atau bahkan tidak sama sekali. Jika ia melihat mereka dengan pandangan husnuzh-zhon, maka ia akan mendapatkan karunia dan pemberian dari Alloh sebesar rasa husnuzh-zhon-nya kepada mereka. Bersuci (ber-wudhu) Seorang peziarah hendaknya memasuki area pemakaman dalam keadaan suci dari hadats kecil, hadats besar dan najis. Mengapa demikian? Pertama, salah satu tujuan ziarah adalah untuk mendapatkan kelembutan hati, sedangkan kesucian dzahir (jasmani) merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan kesucian bathin (ruhani). Kedua, ketika berziarah kita dianjurkan untuk berdoa, dan doa yang dipanjatkan dalam keadaan suci akan lebih terkabul. Mengucapkan salam kepada penghuni kubur Ketika melewati sebuah pemakaman, kita disunahkan untuk mengucapkan salam kepada penghuni kubur tersebut. 'Abdullah bin 'Abbas ra menceritakan bahwa ketika Rasulullah saw melewati sebuah pemakaman di kota Madinah, beliau menghadapkan wajahnya ke arah penghuni kubur itu seraya mengucapkan: Salam sejahtera bagi kalian, wahai penghuni kubur, semoga Allah mengampuni kami dan kalian. Kalian adalah pendahulu kami dan kami akan menyusul. (HR Tirmidzi) Begitu pula ketika hendak memasuki pekuburan. Ketika melangkahkan kaki memasuki sebuah pemakaman, kita disunahkan untuk mengucapkan salam secara umum kepada penghuni kubur, sebagaimana ketika kita akan memasuki rumah. Dalam kitab hadist sunan Nasa’i disebutkan bahwa Rasulullah saw jika memasuki area pemakaman beliau mengucapkan: "Salam sejahtera untuk kalian wahai kaum Mukminin dan. Muslimin yang menghuni tempat ini. insyd Allah kami akan menyusul kalian. Kalian telah mendahului kami dan kami akan menyusul kalian. Aku memohon kepada Allah untuk memberikan keselamatan kepada kami dan kalian semua." (HR Nasa’i') Tidak menginjak, melangkahi ataupun duduk di atas sebuah makam Sebenarnya, melalui akal sehat saja kita dapat menilai jika menginjak, melangkahi ataupun di duduk di atas sebuah makam merupakan perbuatan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang yang berakal dan berbudi, terutama terhadap makamnya seorang yang di-kasihi oleh Allah SWT. Coba bayangkan, jika yang berada di bawah pusara tersebut adalah kerabat atau kekasih kita, apakah kita rela jika ada orang yang duduk di atasnya? Dan apakah hati kita tidak terluka ketika melihat seseorang yang melangkahinya begitu saja? Seorang yang beradab dan berbudi tentu akan memperhatikan hal ini, sebab, kehormatan seseorang itu berlaku di kala hidup maupun setelah ia meninggal dunia. Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya jika aku menginjak bara api, atau pedang yang tajam atau menjahit alas kaki dengan kulit kakiku, lebih kusukai daripada menginjak (melangkahi) sebuah makam." (HR Ibnu Majah) "Sesungguhnya jika salah seorang di antara kalian duduk di atas bara api hingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas sebuah makam." (HR Muslim, Abu Dawudl, Nasa’i dan Ibnu Majah) Berada di Depan Makam Bagaimana cara kita duduk di makam yang kita tuju? Menghadap kiblat, membelakangi kiblat, berada di dekat kaki makam atau di samping kepala makam? Itulah pertanyaan­-pertanyaan yang sering muncul ketika kita berbicara tentang tata cara berziarah. Sebenarnya, para ulama telah menjelaskan permasalahan ini dengan gamblang. Imam Qurthubi.rhm misalnya, di dalam tafsirnya Al­ Jami’ Li Ahkamil Quran, juz.20, Darul Ihyait Turatsil 'Arabi, hal 171. beliau berkata: Seorang peziarah hendaknya mendatangi makam yang dia kenal (yang dituju), dari arah wajahnya (membelakangi kiblat) dan segera mengucapkan salam kepadanya. Sebab, menziarahi makam seseorang adalah seperti bercakap-cakap dengannya semasa hidup. Jika masih hidup, kita akan berbicara dengan menghadapkan wajah ke arahnya, maka setelah wafat, hendaknya kita melakukan hal yang sama dalam menziarahinya." Salam yang kita ucapkan ketika memasuki kompleks pemakaman merupakan salam umum. Oleh karena itu, ketika berada di depan makam, kita disunahkan untuk mengucapkan salam sekali lagi bagi yang kita ziarahi. Ibnu 'Abbas ra menyebutkan bahwa Rasillullah saw bersabda: "Tidaklah seseorang melewati makam saudaranya sesama Muslim yang ia kenal (semasa hidup) di dunia, kemudian ia ucapkan salam kepadanya, melainkan Allah kembalikan ruh saudaranya itu (ke jasadnya) hingga ia dapat menjawab salamnya." (HR Ibnu 'Abdul Bar) Hadis ini merupakan Hadis Sahih yang tercantum dalam Tafsir Ibn Katsir, juz.3, Darul Ihyail Kutubil 'Arabiyyah, hal.438. Di samping itu, kita disunahkan untuk duduk berdekatan dengan makam yang kita ziarahi agar ia merasa senang. Ummul Mukminin 'Aisyah rha mengatakan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Tidaklah seseorang berziarah ke makam saudaranya dan duduk di dekat makamnya, melainkan saudaranya tersebut merasa senang dengan (kehadiran) nya." (HR Ibnu Abid Dunya) Berdoa dan Membaca Al-Quran di depan makam Setelah berada di pekuburan, apa yang harus kita lakukan, duduk diam dan merenung atau ada hal lain yang perlu kita kerjakan? Memang benar, merenungkan keadaan saudara­-saudara kita yang berada di balik kubur merupakan suatu hal yang sangat mulia. Dengan cara demikian, kita akan semakin ingat kepada kematian. Hati yang beku pun akan mencair, air mata yang kering pun akan menitik. Akan tetapi, tujuan ziarah bukan sekedar untuk mengingat kematian. Dalam berbagai Hadis sebelumnya telah disebutkan bahwa Rasalullah saw mendoakan keselamatan bagi penghuni kubur dan memintakan ampun untuk mereka. Bahkan ketika Ummul Mukminin mengikuti Rasillullah saw berziarah ke dan menanyakan mengapa beliau keluar menuju Baqi’ di akhir malam, Rasulullah saw menjawab: "Jibril memerintahkanku untuk mendatangi pemakaman Baqi’ dan memohonkan ampun bagi mereka." (HR Nasa’i) Dalam Hadis di atas secara tegas Rasalullah saw menyatakan bahwa tujuan ziarah beliau ke Baqi’ adalah untuk berdoa memohonkan ampun bagi mereka. Selain berdoa untuk mereka, dalam salam yang disampaikan Rasulullah saw ketika memasuki pemakaman tertulis jelas bahwa beliau juga berdoa untuk dirinya, coba perhatikan kalimat didalam hadist ini: "Aku memohon kepada Allah untuk memberikan keselamatan kepada kami dan kalian semua." (HR Nasa’i) "Semoga Allah mengampuni kami dan kalian." (HR Tirmidzi) Dua Hadis di atas menunjukkan bahwa pemakaman kaum Shalihin merupakan salah satu tempat terkabulnya doa. Oleh karena itu, ketika berziarah kita dianjurkan untuk berdoa sebanyak mungkin. Jika Rasalullah saw yang telah mendapatkan ampunan dan keselamatan masih memohon kedua hal tersebut saat berziarah kubur, lalu bagaimana halnya dengan kita semua. Doa itu bermacam-macam bentuknya, salah satunya adalah dengan bertawassul. Mengenai doa dengan bertawassul kepada yang telah meninggal dunia, yakni beliau-beliau para Wali Allah, hamba-hamba Allah yang sholeh. Dalam Al-Mu’jamul Kabir, Maktabattil wal Hikam, juz.17, cet.II, Mushil, 1983, ha1.117. al-Imam Thabrani.rhm (Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub Ath-Thabrani) meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: "Jika salah seorang di antara kalian kehilangan sesuatu, atau menginginkan pertolongan, sedangkan ia berada di suatu tempat yang tidak ada teman di sana, maka hendaknya dia mengucapkan, ‘Wahai hamba-hamba Allah tolonglah aku, wahai hamba-­hamba tolonglah aku.’ Sesungguhnya Allah memiliki beberapa hamba yang tidak kita lihat." (HR Thabrani) Dalam Hadis-hadist yang telah di sebutkan di atas secara jelas dinyatakan bahwa kita boleh meminta tolong kepada Rasillullah saw maupun hamba-­hamba Allah lainnya. Karena itu jika seseorang datang kepada orang yang saleh dan meminta untuk didoakan, itu bukan suatu hal yang aneh. Kita mungkin melihat dan mendengar seseorang yang menziarahi sebuah makam waliyullah, seorang yang saleh, kemudian, berkata, "Wahai Syeikh Fulan, doakan agar kami dapat menjadi Muslim yang baik, dapat mendidik anak-anak kami dengan benar..." Dan hal-hal yang serupa. Pertanyaannya, bolehkah hal tersebut dilakukan? Apakah ini termasuk Istighatsah (tawasul/wasilah)? Saudaraku, kalimat yang kami contohkan di atas merupakan salah satu bentuk Istighatsah dengan yang telah meninggal dunia. Istighatsah semacam ini diizinkan oleh syariat, bahkan dalam konteks wasilah/tawasul merupakan perintah dan diajarkan oleh Allah SWT (QS al-Maidah ;35). Sebab, pada intinya tidak ada perbedaan antara Istighatsah dengan yang hidup atau dengan mereka yang telah meninggal dunia. Kami akan menjelaskannya secara singkat. Pertama, pada hakikatnya, para Nabi dan kaum sholihin yang diridhai Allah adalah hidup di kuburnya. Allah SWT mewahyukan: "Dan janganlah kamu kira orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka bahkan hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki." (Ali 'Imran, 3:169) Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa para Syuhada-para Waliyullah yang berjuang di jalan Allah itu hidup di alamnya sana. Jika para syuhada hidup dan mendapatkan kenikmatan di sisi Allah, maka para Nabi dan Rasul serta Para sahabat dan kaum sholihin yang berkedudukan lebih mulia dari mereka juga hidup seperti mereka. Jika kita oleh syariat diizinkan untuk meminta tolong kepada teman kita, kepada guru kita, kepada kaum sholihin, kepada para Malaikat, maka meminta tolong kepada mereka yang telah meninggal dunia hukumnya juga sama. Sebab, setelah meninggal dunia, mereka tetap saudara kita. Kedua, sebagian orang meyakini bahwa yang mati tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak dapat memberikan manfaat kepada yang hidup. Oleh karena itu mereka berpendapat Istighôtsah dengan yang mati tidak dapat dilakukan. Coba kita bahas, benarkah yang mati tidak dapat memberikan manfaat kepada yang masih hidup? Saudaraku yang kucintai, ingatkah anda wahyu Allah yang berbunyi: 105. dan Katakanlah: "Bekerjalah/beramalah kalian, Maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (At-Taubah, 9:105) Ketika menafsirkan ayat ini, Ibnu Katsir ra (Ismail bin 'Umar bin Katsir Ad-Dimsyqi, Tafsir Ibnu KatsIr, juz 2, Darul Fikr, Beirut, 1401 H, hal.388. menyatakan: "Telah diriwayatkan bahwa semua amal orang yang masih hidup dipertontonkan kepada keluarga dan kerabat mereka yang telah meninggal dunia di alam Barzakh, sebagaimana dinyatakan oleh al-Imam Abu Dawud Ath-thayalisi." Diriwayatkan oleh Jabir bin 'Abdullah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya semua amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan keluarga kalian di kubur mereka. Jika (melihat) amal yang baik, mereka merasa bahagia dengannya. Dan jika (melihat) amal yang buruk, mereka berdoa, 'Ya Allah, berilah mereka ilham (ide) untuk melakukan amal taat kepada-Mu." (HR Abu Dawud) "Sesungguhnya amal-amal kalian akan dipertontonkan kepada kerabat dan sanak saudara kalian yang telah meninggal dunia. Jika amal kalian baik, maka mereka berbahagia. Dan jika amal kalian buruk, maka mereka berdoa, Ta Allah, 'an an matikan mereka sebelum Engkau beri mereka hidayah sebagaimana Engkau memberi kami hidayah." (HR Ahmad) Lihat Dalam Hadis di atas jelas dinyatakan bahwa yang mati masih dapat mendoakan yang hidup. Ini merupakan salah satu bukti bahwa mereka masih dapat bermanfaat bagi yang hidup. Kemudian perhatikan di dalam peristiwa Isra’ dan Mi'raj, di dalam kitab hadist shahih Bukhari-Muslim disebutkan bahwa Nabi Musa AS memberikan saran kepada Nabi Muhammad saw untuk meminta keringanan perintah shalat kepada Allah. Allah pun kemudian mengabulkan permintaan Rasitlullah saw, sehingga kewajiban shalat 50 waktu dirubah menjadi 5 waktu yang pahalanya sama dengan 50 waktu. Lihatlah, Nabi Musa AS masih bisa memberikan manfaat meskipun beliau telah meninggal dunia. Ingatkah Anda pada kisah Nabi Musa dan Khidhir AS yang berusaha untuk mendirikan rumah anak yatim yang akan roboh demi menyelamatkan harta warisan mereka yang tersimpan di dalamnya? Semua itu mereka lakukan karena ayah (kakek ketujuh) kedua anak yatim tersebut seorang yang saleh. Perhatikanlah, meskipun telah meninggal dunia, mereka masih dapat memberikan manfaat kepada yang hidup hingga Allah mengutus Nabi Musa dan Khidhir AS untuk menjaga harta warisan tersebut. Ibnu Abi Syaibah menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Sayidina 'Umar ibn Khaththab.ra pernah terjadi paceklik. Saat itu Bilal bin Harits Al-Muzanni berziarah ke makam Rasialullah saw dan berkata, "Dubai Rasillullah saw, mintakanlah hujan kepada Allah untuk umatmu, karena sesungguhnya mereka telah binasa." Tak lama kemudian ia bermimpi bertemu dengan Nabi saw yang berkata kepadanya, "Temuilah 'Umar, sampaikan salamku kepadanya dan beritahukan bahwa mereka akan memperoleh hujan ...”. al-Imam Muhadist Ibnu Hajar Al-Asqalani.rhm menyatakan bahwa sanad Hadis ini sahih. Para ulama yang meriwayatkan Hadis ini juga tidak ada yang mencela isinya. al-Muhaddist As-Sayid Muhammad bin Alwy al-Maliki al-Hasani.rhm, guru kita yang mulia, menjelaskan di dalam kitab beliau yang terkenal dan diakui secara menyeluruh oleh para Ulama Besar dan Mufti se-dunia, Mafahim Yajibu An Tushah-hah, cet.X, Darul Auqaf Was Syu’un Al-Islamiyyah, Dubai, 1995, hal.151. Menjelaskan dalam atsar di atas disebutkan dengan jelas bahwa sahabat Biral bin Harits Al-Muzanni ber-Istighstsah dengan Baginda Nabi Rasulullah saw, jauh hari setelah beliau saw wafat dan tidak ada seorang sahabat pun yang menentangnya. Bahkan Amirul Mukminin Sayidina Umar ibn Khaththab.ra yang terkenal julukan al-Faruq, karena ketegasan dan keteguhannya dalam hukum agama. Imam Darimi.rhm menceritakan bahwa pada suatu ketika warga Madinah mengalami musim kemarau yang sangat panjang. Mereka mendatangi Ummul Mukminin 'Aisyah.rha mengadukan keadaan mereka. Beliau.rha berkata, "Pandanglah makam Nabi Muhammad saw dan buatlah lubang (seperti jendela) di atap makam beliau, sehingga antara makam beliau dan langit tidak ada atap yang menghalanginya." Masyarakat Madinah melaksanakan saran Ummul Mukminin 'Aisyah.rha dan tidak lama setelah itu turunlah hujan yang menyuburkan rerumputan dan menggemukkan onta. Atsar ini juga menyebutkan bahwa para sahabat ber­-Istighatsah dengan Rasulullah saw setelah wafat beliau. Saudaraku, masih banyak lagi dalil yang membuktikan bahwa Istighatsah-tawasul dengan yang telah meninggal dunia merupakan bagian dari ajaran Islam dan pelakunya adalah seorang Mukmin yang taat. Mengingat risalah ini bertujuan untuk memberikan penjelasan sederhana, maka kami tidak akan berpanjang lebar membahasnya. Kendati demikian, Semoga Allah menjadikan para pencari kebenaran akan mendapatkan cukup masukan yang bermanfaat. Dan apabila kita berziarah ke makam wali atau ulama atau ke makam ahli kubur kita, sementara kita ingin berwasilah kepadanya, agar supaya tidak terjadi melakukan syirik yaitu meminta kepada ahli kubur atau wali, maka perlu sekali kita mengetahui tata caranya. Adapun caranya sebagai berikut: Saat kita sampai pada kuburan wali/ulama maka ucapkan salam sebagaimana salam saat masuk/keluar kuburan (lihat: ziarah kubur). Lalu menghadap ke Timur dengan posisi duduk, bacalah Tahlil atau membaca Yaasin atau membaca surat Al Ikhlash atau bacaan lainnya (dari al-Qur'an) untuk dihadiahkan pahalanya kepada wali/ulama tersebut. (ihda) Kemudian berdoa dan diakhiri dengan bertawassul/wasilah ke­padanya agar beliau (wali/ulama) tersebut berkenan mendoakan kita kepada Allah atas apa yang menjadi hajat kita, misalnya: hutangnya cepat terlunasi, dll. Adapun berwasilahnya bisa dengan mengucapkan salah satu bentuk doa sebagai berikut: "ALLAAHUMMA INNI AS ALUKA WA ATAWAJJAHU ILAIKAL BI 'ABDIKAL MURTADHAA 'INDAKA, YAA WALIYALLAAH, INNII ATAWASSALU BIKA ILAAA RABBIKA FII HAAJATIL... (sebutkan hajat yang dikehendaki, diucapkan dalam hati)....FASYFA' LII 'INDAL MAULAL ADZHIM Ya Allah, sungguh kami menghadap kepada-Mu dengan hamba-Mu yag mulia disisi-Mu, Wahai Kekasih Allah, kami bertawasul dengan perantaraanmu kepada Allah atas hajat kebutuhan kami terpenuhi…. kami memohon Syafaat(pertolongan) untuk kami kepada Allah Yang Maha Agung. 4. Selesai membaca doa tawassul itu, diakhiri dengan membaca surat Al Fatihah satu kali. Dengan cara wasilah seperti ini Insya Allah, Mudah-mudahan apa yang kita niatkan dan amalkan diterima, di-ijabah dan diridhoi oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Allahumma amiin. Arti bebasnya: “Hukum ziarah kubur itu sunnah,sebab mempunyai manfaat;mengambil i’tibar, sebagai nasihat untuk diri sendiri ketika menyaksikan ahli kubur (makamnya). Hari untuk berziarah disunnahkan pada hari kamis, jum’at atau sabtu. Saat ziarah membaca surah ikhlash 11 kali, dilanjutkan surah Fatihah,surah yasiin dan surah almulk atau juga dikenal dengan tabarok.” Kitab Adabuzziarah terdiri dari 1 kuras (20 halaman) Sebuah Kisah Setelah Rasulullah SAW wafat pada tahun ke-11 H, Bilal merasakan hari-harinya dipenuhi dengan kerinduan dan kenangan hidup yang mendalam bersama Nabi. Tak tahan itu terus mengganggu hari-harinya, ia pun berhijrah ke Syam (Suriah, sekarang). Namun, kenangan dan kerinduannya akan Rasul selalu ada dalam benaknya. Suatu malam, ia bermimpi. Orang yang dikasihinya hadir dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Rasul bertanya kepadanya. “Kebekuan apakah ini hai Bilal? Bukankah sudah waktunya engkau mengunjungiku?” Maksudnya sudah lama engkau tidak mengunjungiku wahai Bilal. Spontan Bilal terjaga dari tidurnya. Ketakutan dan kesedihan tidak dapat ia sembunyikan dari air mukanya. Secepat kilat ia meraih tunggangannya. Meluncur menuju Madinah Al-Munawarah. Sesampai di kuburan Rasulullah, tanpa terasa air matanya tumpah. Ia bolak-balikkan wajahnya di atas pusara kekasihnya (Nabi SAW). Al-Hasan dan Al-Husain, cucu Rasulullah, mengetahui hal itu. Mereka mendatangi Bilal. Segera Bilal memeluk dan mencium rindu keduanya. Sejurus kemudian, mereka berkata, “Duhai Bilal, kami ingin sekali mendengarkan lantunan azanmu laiknya engkau azan untuk kakek kami di Masjid ini dulu.” Bilal kemudian mengumandangkan azan, sesuai dengan keinginan kedua cucu Rasul itu. Maka ketika ia mengumandangkan, “Allahu Akbar”, Kota Madinah gempar. Saat melanjutkan, “Asyhadu alla Ilaha Illallah” kegemparan itu makin menjadi-jadi. Kala meneruskan, “Asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, para warga Madinah keluar dari rumahnya seraya bertanya-tanya. “Bukankah Rasulullah telah diutus?” Maksudnya mereka heran dan kaget seolah-olah Rasulullah hidup lagi. Tidak ada hari sepeninggal Rasulullah di Madinah terlihat banyak orang yang menangis baik perempuan maupun laki-laki kecuali hari itu. Kisah sahabat Bilal ini diriwayatkan—di antaranya—oleh Imam as-Samanhudi dalam Wafa’ul Wafa’ (4/1405) dan Ibnu ‘Asakir dalam Tarikh Dimasyq/Sejarah Damaskus (7/137). Kisah ini setidaknya memberi lima pelajaran. Pertama, mimpi bertemu Rasulullah adalah hak. “Dan siapa saja yang melihat Rasulullah dalam tidurnya maka dia benar-benar telah melihatnya SAW, karena setan tidak bisa menyerupainya.” (HR Bukhari-Muslim). Ahli hadis abad ke-21 dari Lebanon, Abdullah Al-Harari (w. 2008) menafsiri bahwa seseorang yang pernah bermimpi bertemu Rasulullah maka insya Allah ia akan meninggal husnul khatimah. Kedua, ziarah ke pusara Rasulullah merupakan amalan yang baik. Ketiga, menangis dan mencium pusara Rasulullah sebagai ekspresi cinta dan kerinduan adalah hal yang wajar. Rasulullah bersabda, “Seseorang akan dikumpulkan kelak dengan orang yang ia cintai.” (HR Al-Bukhari). Keempat, azan hendaknya dikumandangkan dengan suara yang nyaring. Sebagaimana Bilal yang bersuara lantang dan ketika azan naik ke atap Masjid an-Nabawi. Kelima, ziarah kubur dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan mengingatkan kalian akan akhirat …” (HR Al-Hakim). Semoga kita termasuk orang-orang yang rindu kepada Rasulullah, sebagaimana Bilal rindu kepadanya. Testimoni Umar bin Al-Khattab, “Abu Bakar adalah sayyiduna (pemimpin kita) dan yang telah memerdekakan sayyidana, (Bilal).” Wallahu A’lam.

Source: http://ahlulbaitrasulullah.blogspot.com/2013/06/ziarah-kubur-ziarah-kubur-ziarah-kubur.html


Mohon dishare yah

Kategori Fiqih : Jenazah & Maut



Yüklə 1,07 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   23   24   25   26   27   28   29   30   31




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin