HUKUM, JALAN DAN HAKIKAT
Roh hukum ada pada kehidupan.
Akalnya pada tujuannya.
Kasih dan ampunan hatinya.
Tubuhnya? Ganjaran dan hukuman.
.
Tangannya terus memegang timbangan.
Hukum bermain pasir di pantai,
Jalan berkejar-kejaran dengan ombak,
Hakikat asyik menyelam di lautan.
Ketiganya satu wujud kehidupan,
selangkah demi langkah tumbuh ke depan.
Alangkah sayangnya seringkali ketiganya berbeda paham lalu berpisahan.
Bila kau tetap mampu cecap rasa keadilan
dari buah kelaliman,
kau rayakan tarian sukacita
dari senandung kesedihan,
dan kau eja kalimat-kalimat kebijaksanaan
dari huruf-huruf kebodohan,
maka sempurnalah hakikat dirimu.
Jika kau mengetahui hakikat segala,
berarti kau menguasai semua.
Roh dari badan,
huruf dari kalimat,
kata dari segala yang wujud.
Tak pernah mampu kau kuasai diri,
selain kepada Tuhanlah,
engkau meminta pertolongan.
KSATRIA
Berlomba menang,
menunjukkanmu siapa terbaik.
Membaginya itu kemenangan,
menjadikanmu sahabat terbaik.
Dengan anak kecil,
menang tak terhormat,
kalah malupun pasti tersemat
Dengan wanita,
menangnya dengan kalah,
menangkan pasti kalah.
Dengan semua,
pada yang tak tahu, memberi tahu.
pada yang pandai, ia iringi.
pada yang bijak, ia paham meski bicara ia tak.
Ksatria tidak menantang pendekar,
jika kuda-kudanya sendiri goyah.
Kurcaci tidak ceroboh,
membangunkan raksasa bermata satu.
Jika kau sungguh bajik,
tak akan kaulakukan perbuatan.
Yang nanti mendatangimu,
tanpa bisa kau hadapi sendiri.
Setelah seratus gunung terdaki,
lima samudra terselami,
seribu pendekar dikalahkan.
Seorang ksatria menemukan satu
yang terbesar dan terkuat,
" Dirinya Sendiri"
Pendekar harus bertemu,
untuk saling uji kekuatan.
Setelah tahu satu sama lain isi kanuragan,
mereka yang sejati saling belajar
dan memberi penghormatan.
Kepada pengkhianat, pencemburu
dan pendengki
ingin kukatakan satu hal saja,
“Jadilah ksatria walau hanya sehari”.
Hukum Keksatriaan berbunyi,
“Pengecut bisanya khianati,
si culas suka mencari muka,
pendengki senjatanya mengadu.
tapi ksatria sejati upayakan hidupnya sendiri”.
Bila dadamu gunung berapi,
mata pandangmu elang,
akal pikiranmu pedang,
perasaanmu sutra sulaman,
siapakah kamu selain ksatria seorang.
PERANG DAN DAMAI
Pedang di medan laga bisa bersimbah darah
atau tanda damai menyerah,
karena dijatuhkan di tanah.
Namun jika cinta telah tumbuh dari bawah,
bahkan pedang yang diangkat ,
jadi tanda pesta pernikahan prajurit jadi sah.
Perang kuatkan pribadi dalam persaingan,
damai memperkayanya dengan keterbukaan.
Pertama, ego bangkit sadar diri,
kedua, dua ego melebur jadi satu.
Bersaing, membanding, menjadi lawan.
Sejajar, setara, bermanfaat, menjadi teman, sahabat, kawan dan kesayangan.
Jangan pernah memulai perang,
jika tak tahu cara menang.
Sebab sekali dimulai perang,
tak siap, kaupun balik diserang.
LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Laki-laki,
" Demi cinta, untukmu semua kan kurelakan"
Perempuan,
" Kulipatgandakan apa yang kauberi
sebagai pengembalian"
Disana keadilan dicapai,
Disana pula keadilan dilampaui.
Karena laki-laki egois sibuk menaklukkan dunia,
kala cinta menyapa, diberikan semua dunia.
Sedang perempuan hatinya penyayang,
saat cinta meniup, dituntutnya dunia,
sebab cinta meminta pembuktian cinta.
Cinta bagi pria?
Akui kekuatannya, hargai pekerjaannya, syukuri capaiannya,
ia kan luluh berikan semuanya.
Cinta bagi wanita?
Perhatikan penampilannya, cermati perubahannya, pujilah keindahannya,
segalanya akan direlakan.
Lalu apakah laki-laki itu? Dengarkan kata-katanya, itulah semua pikiran keinginan, maksud dan kehendaknya.
Sedang bagaimanakah perempuan? Gali maunya, meski ia tak katakan padamu.
Karena mereka suka diperlakukan begitu.
Jika kau bingung tak tahu, tanyalah saja,
“Sayang, apakah maumu?
Bagaimana inginmu?
Pikiran berlutut di hadapan keindahan.
Keindahanpun mabuk dipuji Pikiran.
Pikiran, “Karena dengan mata, aku cinta”
Keindahan, “Oleh rayu indah kata, aku cinta”
Begitulah kehendak berjalan,
agar lelaki perempuan
satu dalam pernikahan.
Laki-laki selalu bersaing, jika ia disaingi, perempuan suka cemburu. bila sesama dituju.
Si bijak berkata,
"Bila kau emas, gosoklah sendiri, kilaulah dirimu, meski tanpa ditawar-tawarkan”.
TERANG DAN GELAP
Perempuan yang dikerudungi,
menyimpan misteri, tetap misteri,
agar semua arti dan inti sejati tetap lestari.
Demikianlah benar, baik dan indah diwarisi,
pun dengan Tuhan, alam dan insan.
Jika semua misteri tiada lagi,
hanya tersisa mekanisme, materi
dan kehilangan diri.
DUNIA
Dunia boleh kau harapkan,
atas hasil kerjamu di atasnya.
Namun ingatlah,
bahwa asalmu melebihi dunia ini.
Ladang akan diwariskan, Sawah dialihgunakan, Kebun-kebun tinggal kenangan, Ombak lautan pergi dan pulang,
Petani, peladang, nelayan selalu terpanggil demi tugas kehidupan.
Melihat laku raja bak hamba,
saatnya sahaya meniti jalan tahta.
Tuhan diingkari di ketinggian,
justru dewa-dewa dunia dipuja.
Para pahlawan lama mati,
ini ksatria ambil nyali berani.
Memugar janji surga lama,
jadi negeri keadilan di dunia.
WAKTU
Bak kekasih,
waktu mengikuti pada yang didekatinya.
Fananya kekasih, fanalah ia.
Kekalnya kekasih, kekallah dia.
Dunia, dosa dan sia-sia kan fanakannya,
iman, cinta, dan Tuhan, kekalkannya.
Bagai segelas madu di tangan pecinta,
seucap wirid di mulut pertapa,
selendang di tangan penari,
seruling di mulut gembala.
“Kemarin di belakang kaki adalah pelajaran,
esok lemparkan jauh-jauh lembing rencana,
hari ini, keabadian sekejap, sebaik-baiknya,”
Telunjuk kekekalan menulis di pasir waktu.
AKAL DAN HATI
Saat akal budi mencari pegangan terburu,
guna menjawab tanya, tidak tahu dan ragu.
Hati ada di dalam rumah, tak ragu,
menjamu iman yang datang bertamu.
Akal, “Aku berjalan dengan langkah kaki logika dan anak tangga fakta”.
Hati, “Kupotong logika dan gunting fakta, menembus hakiki, loncat pakai intuisi.”
Akal,“buang busana dan badan demi inti”
Hati, “warna, bentuk, dan tarian adalah kias”
Akal,“ Aku adalah aku, bukan kamu”
Hati,“ Tiada Aku-Kamu, semua satu”.
Akal, “ Bola langit, matahari, di tanganku”
Hati, “Bintang, laut dan bumi, di dalamku”
Akal, “Takut tiada, kukecilkan yang ada”
Hati, “Was-was selalu, senantiasa ragu”.
Akal,“Semua alat, segala abdi bagi tujuan”.
Hati, “Demi cinta, Akupun rela untukmu”.
Akal ”Harga, ukuran dan nilai panduanku”
Hati,”Hasrat, juang, pengorbanan jalanku”.
Mabuk linglung oleh ilusi sungai wujud
Yang tak putus-putus.
Akal lalu memutus :
“Dunia ini kekal tiada berputus.”
Riang melompat dengan tari intuisi
hati lalu membatin di sanubari :
“Bak api, yang putus sambung,
tiada henti, dunia tak abadi.”
Dengan ketenangan hikmat,
iman menawarkan hakikat :
“Garis itu kumpulan titik yang tak putus,
namun masing-masing titik pun
bisa berdiri sendiri memutus.”
JIWA
Elang berumah di tinggi bukit,
beburung bersarang di pohon,
macan tutul tidur di dahan,
singa di atas tanah lapang,
tikus, ular dan lipan di liang-liang kedalaman.
Dimana jiwamu betah, di sana ia berumah.
Tak perlu cemas, wahai jiwa perkasa...
Kesusahan itu kelereng main-mainmu,
derita adalah tarian kaki tanganmu,
duka tak lain gelak tawa riangmu,
dan apa yang sebut lara,
adalah caramu bersendau gurau.
Bila kau telah menjelma sukma,
lewat perahu kata,
dituntunlah jiwa-jiwa ke seberang.
Anggur kalbu yang kau
minum habis kemarin,
kan mampu menyalakan
lampu-lampu hati manusia
yang lama padam mati oleh asap keakuan.
USAHA
Satu sulaman pada sutra terbaik,
kadang diiringi putus karena benang tertarik,
atau diselingi jarum yang hilang
meski telah dicari.
Namun penjahit tetaplah penjahit,
sulaman terus menyulam,
dengan begitu, makin banyaklah pesanan.
Ombak meminggirkan apa saja ke pantai,
berbeda dengan penduduk harapkan datang.
Buatlah perahu, kembangkan layar,
jadilah nelayan,
dan sandarkan bintang utara
sebagai kompas, dalam jalamu,
kan kau dapatkan apa yang kau angan.
Tulis saja di pantai,
meski ombak menghapus,
sebab bumi mengingat.
Susuri terus gurun,
walau badai mengaburkan,
demi kafilah di belakang.
Lempar saja batu asamu,
meski jatuh ke danau,
bukankah riak air meneruskan?
Belum kering keringat usaha
insan terburu menghadap ilahi dengan doa
bertanya, " Apakah suratan takdirku?"
Jika kau sabar lagi tahan,
Tuhan memberinya kaca tembus "Aku-Kau"
Tapi bila kau keluh oleh peluh
diberiNya cermin pantul “Aku adalah Aku”.
UJIAN
Beradunya jurus
menunjukan siapa yang paling tangkas.
Bertemunya pendapat memperlihatkan
siapa paling benar.
Saling menimbangnya ukuran
terlihat siapa yang adil.
Perhatikan balasan atas serangan,
dialah yang besar sebagai pemimpin.
Darimanakah cinta membuktikan ?
Tunggu saja siapa paling bertahan.
Sentuhan pertama kesusahan itu mengaduh sakit, lalu tak terasa menangis kau dibuatnya.
Sepi merenungi memurnikan arti, lalu sebutir arti itu meledak bercahaya
melahap semua gelap tanpa cahaya,
Diam-diam engkau, setelah lewat awan,
tertawa terpingkal-pingkal sesudahnya.
DOA
Bahkan kala kepalamu tertuju khidmat
berat oleh doa, permintaan, dan taubat.
Bak kepala mawar merah,
engkau tetaplah yang termanis
di antara semua yang lupa berdoa.
Pada permadani doa berlututlah,
Akal budi yang bingung mencari jalan
mengosongkan diri agar penuh kembali,
hati yang menyerah pasrah kepada Kasih
memasang layar kehendak lebih besar lagi,
jiwa mengingat watak perangainya
yang kekal, surgawi, limpah, tak menyerah
seperti asalnya, membangun surga di dunia,
dan karavan badan letih oleh perjalanan
mencari kuda baru, merawat yang lama.
TUHAN
"Kemanakah jalan menuju Tuhan?"
seseorang bertanya.
"Kebanggan, pujian, keangkuhan, kemegahan, kejayaan yang ingin kaugapai,
adalah sandanganNya."
"Namun pada kemurahan, cinta,
keadilan dan kebenaran.
Itulah hakikatNya sebenarnya,
jika kau penyelam yang dalam,"
Guru menjawab.
"Jika Tuhan sungguh baik,
mengapa Ia adakan surga-neraka?"
tanya mereka yang ingkar.
"Sebagaimana orang tua terhadap anaknya
yang sayangnya ada pada marah,
dan pelajaran ada pada pemberian,
neraka itu mulanya sakit hukuman,
lalu terasa penyucian keseluruhan,
terakhir adalah penjelmaan.
surgaNya bertabur kenikmatan,
melimpahnya indah pandangan,
dan sejuk hawa perkataan,
janganlah melalaikan Pemilik Taman,
yang suci wajahNya melampaui keseluruhan.
surganya lebih dekat dari nerakaNya"
Kujawab.
"Dimanakah istanamu Tuhan?" tanya hamba
"Susuri anak tangganya
Pada badan, akal, hati dan rohmu",
dijawab suara.
“Badan adalah jejak karya ciptaNya,
di pikiran, ada tujuan dan maksudNya.
Hati? Disana tempat kehadiranNya
ada pada segala, bersama dalam masa
tapi tidak pada semua, tidak bersama masa,
Pada jiwa itulah cahya kekekalan,
meskipun kau cuma setiup nafas musim semi,
sehembusan angin sore saja.”
"Maka akan sampai di pintu,
lalu bukalah, disana kau dapat temuiNya".
Bagaimana melihatNya?
Kautanya Tuhan, kujawab ciptaanNya saja
Jika matamu kelelawar yang tak mampu memandang kilau matahari, maka nikmati kehidupan yang dikasihi pada taman berseri, ladang riang bernyanyi, sawah subur alami.
Pabila gairahmu kolibri siang hari, dan tak bisa mengenang indah rembulan, maka dengarkan bisikan mimpi berbintang makhluk malam, kidung rindu kekasih menanti membaca surat mengucil diri, dan astronom yang memetakan langit coba memahami.
Dimanakah Ia?
Dalam duka, Ialah pelipur lara, saat gembira, Dialah pelita membagi suka, damai sesudah angkara, ampunan di dalam hukuman.
Kapankah manusia?
Merekalah kehendak akhirNya,
kepadanya disematkan cinta kasihNya.
Doa, zikir dan wirid naik rindu mencari Sang Raja.
Dia turun sebagai Kekasih mencari keluh, tangis, patah, dan lemah.
Hendak kau panggil kapan Dia?
Daun pintuNya hanya membuka bagi mereka yang sabar menanti di gapura pengampunan, altar pengorbanan, dan tiang penantian kekasih.
KEBEBASAN
"Kebebasan itu yang utama,"
kumandang pengelana.
"Wahai manusia, takdirmu adalah terpaksa," seru yang tabah.
Dijawab,
"Jika kau tak mampu terbang bebas
bak merpati, larilah seperti kuda, jalanlah serupa unta, melatalah layaknya kura-kura”.
Namun roh akal hatimu sanggup lakukan semua.
Pertapa di hutan berkata,
“Kebebasan diam, jalan, lari
dan terbang menurut adamu”.
“Burung dengan sayapnya,
kijang dengan lincahnya,
ikan dengan renangnya,
katak dengan lompatnya,
sedang batu masih saja berdoa meminta”.
Nelayan di perahunya menambahkan,
“Bahkan di lautan bebaspun, ada hiu pemangsa. Oleh manusia, ganti dimangsa.
Hanya terkuatlah yang menang, tanyalah pada anak-anak penyu, tinggallah yang kalah.
Jangan usik ubur-ubur yang eksotis, disengatnya dirimu, dianggap mengganggu.
Dan paus yang terbesar, raja samudera, bisa terdampar di pantai.
Namun di atas semua, cinta lautan mengasihi semua penghuninya, dilindungi yang lemah, dibalasnya si jahat, diampuni semua,
kala datang waktunya, diambil oleh masa”.
IMAN
JIka kau percaya pada saksi mikroskop,
mengapa iman yang bicara jadi tak cukup?
Bintang yang kedip di mata teleskop,
tak lain kenyataan yang hanya setangkup.
Lihat debu yang menggelar Dentuman Besar
ia juga, yang kecil, gaib, menutup dengan Ambrukan Besar.
Percaya kau pada dinding, batu
dan gunung yang padat?
Besarkan mata dengan alat,
segala benda kosong dalam hakikat,
hanya atom menari berjumpalit melompat .
Semua api revolusi,
berawal mimpi, sebagian puisi.
Kerumitan bukti-bukti, pangkalnya itu intuisi.
Malam penuh ilham,
embunnya dari sejuk pagi.
Biologi, teologi, ontologi, juga sosiologi, carilah pada lubuk pikiran yang mengimani.
Bahkan yang kau sebut Diri
lihatlah pada pantai,
lautannya pada Yang Illahi.
Apabila kau tersesat di gurun ketidakpastian, carilah sumur iman
Memakan anggur kalbu obat melawan pahit benci.
Bila hujan kehidupan tak datang, galilah air tanah jiwa.
Lalu siapakah pemegang tali kekang untuk menghela liarnya nafsu?
Dialah akal pikiranmu, sang kusir.
Dosa mengingatkan,
“Akulah jelaga, api, kayu dan tanah yang ada pada tungku terbawahmu, wahai manusia.
Pahala tak mau kalah,
“ Dan apa yang kau rindukan sebagai kemuliaan ada pada ketinggian tiang akal kebenaran, masaknya buah kebaikan dan dalamnya sumur kasih yang di dalamnya ada air jernih memuaskan dahaga rohmu”.
Di antara langit dan bumi, keduanya kadang bicara, berdebat, merayu dan memerintah.
Iman hanya bisa berupaya.
TAKDIR
Janganlah sedih jika nasibmu meluncur jatuh bak perosotan.
Tak usah risau kalau hidupmu naik turun seperti jungkat jungkit.
Untuk yang berupaya keras, tapi tak kemana, persis kuda-kudaan,
atau membingungkan berputar-putar tak karuan layaknya carrousel.
Ingatlah saja, kau sedang di arena bermain Taman Kehidupan Tuhan.
Bolehlah takdir, Sang hakim
memutuskan hukuman padamu,
tapi bila dalam penjaranya, damai dan hikmah ditemu,
apalagi di luar itu yang lebih perlu?
Terkadang ada taman surga di dalam penjara, seperti hati yang puas dengan kolam air mancurnya.
Dan di dalam istana Raja, yang tiada jiwa hidup di dalamnya, hanyalah bangunan dari bongkahan pasir yang mudah goyah, mudah runtuh.
Dimuliakan oleh ombak, dibubarkan pula olehnya.
Bila kau ksatria tak dapat menaklukkan buruan takdir,
maka menyerah sajalah.
Karena kepasrahan menyerah, kan mengundang sukarela
bidadari takdir lagi ramah mendatangi melayani ke rumah.
Tersesat pengembara di simpang takdir. Bak musang sesat masuk jebakan atau kecewa masamnya apel di tangan.
Demikian halnya, akal laki-laki, yang buyar menunggu luluhnya hati. Patahnya kalbu perempuan menanti datangnya kekasih kesayangan.
usaha dan penyerahan diri menyatu menjadi inti pribadi.
AGAMA
Sungguh ada banyak cara
disebut orang sebagai agama.
Engkau yang menghukum
ialah si Hakim,
mereka yang suka memberi
sebutlah si murah hati,
ia yang gemar beribadah
sebutlah ahli ibadah,
ia yang mensucikan diri
boleh kau namai sufi,
jika bukti yang kau cari
kaulah sang Saintis,
namun pabila kau suka merenung pastilah kau si Filsuf,
untuk yang tegar melibas jahat niatkahlah untuk Jihad.
DUKA
Betapa seringkali dukacita memperkaya jiwa dengan harta,
yang emas, perak dan berliannya,
hanya dikeluarkan saat emas, perak dan berlian dunia terenggut.
Anehnya, serupa si kaya yang berfoya dengan anggur, piala, dan kemegahan busana, begitupun dihabiskan harta jiwa kala sukaria dengan perayaan tawa dan pesta canda.
Bukankah duka……
bagaikan ibu mengandung anaknya
awalnya sakit menyentuh, tengahnya derita tak terkira, namun bahagia mengalahkan semua pada akhirnya.
Semua piring tertawa adalah piring yang bergesekan dibagi menjelang waktu makan.
Gelas yang berdenting itulah yang tersenyum.
Sendok garpu beradu sedang berlagu. Bukankah emas indah berkilau dicambuk sinar mentari?
Maka terimalah luka, cintailah ia,
karena dibalik tutupnya ada hidangan penutup manis tersedia.
¤
KESEIMBANGAN
Bagaikan perempuan, itu alam,
muliakan dengan kebaikan,
jangan lupakan neraca keseimbangan,
mengambil dan melestarikan,
insan-alam-Tuhan menjadi tentram
-
TIMUR, BARAT DAN HAKIKAT
Barat pandai menjelaskan pikirannya dengan kata menggunakan pena akalnya.
Timur peka mencurahkan perasaannya dengan manis anggur kalbunya.
Mereka yang arif menyesuaikan pendengarnya :
hikmat ringkas membekas untuk yang arif,
penjelasan, kiasan, kisah bagi yang pandai,
dan berdebat yang baik untuk yang awam.
Puisi syair bacakan pada penyair.
Nyanyian bunyikan untuk telinga seniman. Kisah-kisah itu bagian pendongeng cerita.
Swa-bukti tanyalah pada filsuf perenung inti.
Daya-siasat ajarkan pada pemimpin rakyat. Debat senjata pendebat pada hakikat. Bujuk rayu untuk mengambil hati kekasihmu.
Peragakan teladan guna contohkan kesusilaan Negosiasi menangkan diplomasi dan jual beli Bakar gelora jiwa bagi yang maju di medan laga.
Orang Barat berkata, "Kejarlah ingin, karena segalanya mungkin"
Saudara Timur menasehati, "Jika ia kekasihmu, pasti mencarimu"
Sang Arif yang pernah melihat tempat terbitnya surya dan purnama,
menengahi,
" Pelari ingin berlari, penyabar pasti disambar"
Ksatria Barat : "Serang penuh lawan, pasti menang"
Pendekar Timur : "Balik serangan, lawan terjengkang"
Dalam hening, lubuk hatiku berbunyi :
"Bahkan jika kau diam, kebenaran nampak menang,
melangkah kaki, kebajikan memberi, kebajikan membuktikan,
mengalah pada lawan, cinta malah mengalahkan".
CINTA
Cinta memang tidak pernah lurus jalannya,
karena membakar minyak di dada,
alpa oleh manisnya madu di bibir,
atau berjalan gontai karena mabuk anggur.
Ia kafilah tersesat sampai menemui petunjuk, migrasi burung-burung merindu matahari, pengembaraan beruang menembus dingin, kerajaan paus yang dimilikinya sendiri.
Di antara gunung gunung yang berpalingan.
bukit dengan bukit saling memunggungi.
Meski terpisah, sendiri dan keras hidupnya di jalannya sungai, keduanya sua bertemu.
Pada air terjun, mereka sampaikan semua darah, gairah, hingga segala tercurah.
Telaga yang hening sunyi, sesungguhnya terkandung ilham hati keduanya yang damai, hendak dikemukakannya lirih esok hari.
Itulah cinta kasih tersimpan tersampaikan.
Di dalam hati, berseru suara dalam kegelapan goa :
"Tidak perlu seribu, hanya satu, yang mengerti dirimu,
itulah segalamu,
karena Engkau adalah Aku"
Jangan terkecoh tipuan cinta.
Bukan cawannya yang antik, berukir dan cantik,
namun isi anggurnya yang kuat meski pahit memabukkan.
Meski kelopaknya mempesona yakinkan bahwa harum wangi baunya. Warnanya yang merah menggiurkan belum gembira hingga gigit manis dagingnya.
Bagaimana kau mencintai kekasihmu?
Kujawab
"Puisi setiap pagi, kecupan tiap kesempatan
dan rindu setiap waktu."
“Bak pembacaan puisi burung memuji pagi, selimut kasih sayang mentari sepanjang hari, dan kepergiannya menyendiri mencari diri menebalkan rindu demi esok kembalinya”.
Tahukah kamu bagaimana benteng runtuh?
panahnya lirikanmu, pelurunya senyummu,
dan meriamnya lesung pipitmu
rambutmu yang pecah diurai angin
jadi kumandang tanda serbuan,
kavalerinya saat mulai terbuka
kata ya dari mulutmu,
begitu tanganmu meraih tanganku membangun janji,
adalah waktu kekekalan dimana musuh kalah begitu dikibarkannya bendera panji.
Yang bijaksana dari cinta menasehati,
“Cinta mainan bagi si bodoh,
kesemena-menaan untuk yang tercela,
madu manis melalaikan si pemuda,
kekuatan sejati bagi si tulus,
kebijaksanaan untuk yang masak matang,
kedermawanan bagi si bajik.
Tentang apakah sejatinya cinta bicara ?
Tak mau menyakiti, karena kaupun tersakiti.
Karena kau-aku satu sejati.
Namun kusakiti kau terjadi,
hanya saat Aku begitu kecil
kurang memahamimu, terlalu cintai Diri.
Dan saat kegembiraan terbit, saat kau memakan sarapanku pagi ini, sedang perutku sendiri masih belum isi, adalah waktunya cinta naik ke tahta kasih.
Jangan bicara lantang tentang cinta
jika kau tak cukup berani berkorban demi cinta.
Demikian halnya dengan kebenaran, kebajikan dan iman.
Karena tidak semua laki-laki cukup laki-laki menjadi laki-laki,
seperti halnya tidak semua perempuan tidak cukup perempuan menjadi perempuan.
Lama Kebenaran mengetahui nada-nada lagu,
Oleh Kebajikan dipetiknya dawai gitar,
Cinta?
Dia menyanyikan semua dengan mulutnya, memukul kendang lewat tangannya,
membunyikan gemerincing gelang kaki,
meliuk-liukkan selendang dalam tari,
setelah semua berlaku satu demi satu,
menangis bahagia ia bersatu dalam inti.
Cinta datang melabrakku tadi malam.
Bertanya, "Jangan katakan cinta jika kau tak punya bukti!"
"Bukankah hidupmu, gelar, keringatmu adalah napas, nama dan darahku?"
jawabku.
Astronom memulai, "pisah itu big bang, satu itu big crunch".
Ahli nuklir bilang, " pisah itu fisi panas, satu itu fusi dingin".
Budayawan bermadah, " pisah itu purifikasi, satu itu asimilasi"
Politisi berkata, "pisah itu faksi, satu itu konsensus".
Filsuf mengajari, "pisah itu antitesis, satu itu sintesis".
Ahli perdamaian sahut, " pisah itu konflik, satu itu rekonsiliasi".
Namun yang bijak diantara semua berbisik,
"semua, seperti halnya insan,
pisah itu benci, dan satu itu cinta”.
Pada papan pikiran pecinta, tertulis nama kekasihnya.
Ku dengar bibir pecinta, menyebut selalu namanya.
Ku periksa nadi tangannya, ada gerak rindu kepadanya,
dan saat kuraba dadanya, jantungpun berdetak bunyi
"Dia..Dia..Dia".
Anak panah cepat membunuh mangsa disebabkan belas kasihan,
melesat tepat pada perlombaaan,
datang deras bagai hujan pada pertempuran.
Namun saat cinta melepas dari busur, ia mondar-mandir tak karuan,
karena hati yang penuh keraguan.
Di kalbunya, cinta mempunyai segala,
puji, derma, nasehat, dorongan dan jiwa semangat.
Ia beri semua apa yang diminta.
Meski ia tak memiliki apa,
ialah magnet penarik semua
karenanya ia mudah relakan segala.
Dan ia yang telapak tangannya
menggengam kepala dunia,
takkan sanggup menyerahkan meski satu, jika hampa cinta di kalbu.
Cinta yang dicari, kadang malah lari.
Saat engkau membelakangi, ia justru mengikuti.
Tapi ketahuilah satu hal yang hakiki,
bahwa hati selalu mencari sepasang hati.
Entah duduk, jalan ataupun lari.
Asal buang semua iri, dengki, harga diri dan penyangkalan diri.
Cinta tak punya anatomi, tak pernah ia belajar biologi.
Cintapun tak punya sistematika, pernahkah ia belajar logika?
Dadanya menyimpan intuisi, yang beriman, tanpa teologi.
Ia tahu mutu barang, tak sembarang, padahal pedagang, juga bukan.
Bidikan panahnya tak salah, seperti raja, yang punya pasukan pemanah.
Buih :
“Akulah pecinta sejati, selalu mendidih”
Ombak :
“Akulah sang pecinta, berkali hampiri pantai”
Gelombang :
“ Janganlah mengaku,
bukankah aku sumber ombak dan buih”
Perahu :
“Pagi berangkat, petang pulang, demi sejala ikan”
Samudra :
“Aku diam karena rindu memendam,
namun batinku kaya warna dan kehidupan”
Dostları ilə paylaş: |