Khot Arab.
Artinya : “Sebaik-baik ummatku adalah generasiku, kemudian orang-orang yang berikutnya kemudian orang-orang yang berikutnya ” (Muttafaqun Alaihi).
Al-Qorn bisa bermakna “Abad” dan bisa juga bermakna satu generasi dari manusia yang hidup pada satu zaman yang berdekatan, yang mempunyai prinsip dan tujuan yang sama, dan yang dimaksud dalam hadits ini adalah makna kedua, maka maksud “Qornin” atau Qorn Nabi saw adalah generasi sahabat, kemudian orang-orang yang berikutnya adalah generasi Tabi’in, kemudian orang-orang yang berikutnya adalah generasi para pengikut Tabi’in.
Untuk lebih jelasnya saya berikan disini ta’rif atau definisinya secara singkat dari masing-masing generasi yaitu sebagai berikut :
-
Ash-Shohabah (Ash-shohabi)m yaitu orang-orang yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad saw, pernah bertemu dengan beliau dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim.
-
At-Tai’un/ at-Tabi’in (At-Tabi’i) : yaitu orang yang pernah bertemu dengan shahabat dalam keadaan muslim dan meninggal dalam keadaan muslim.
-
Tabi’ut-Tabi’in atau Atba’ut Tabi’in (pengikut tabi’in) : yaitu orang yang pernah bertemu dengan tabi’in dalam keadaan muslim, dan meninggal dalam keadaan muslim.
Berkata Ibnu Hajar Al Asqolani rhm (852 H) : “Dan mereka bersepakat (ahlul ilmi) bahwasanya akhir dari pengikut Tabi’in yang bisa diterima ucapannya adalah orang yang hidup sampai batasan 220 H, sesudah masa itu muncullah berbagai macam bid’ah golongan mu’tazilah, menyebar omongannya disana-sini, para pengusung filsafat mengangkat kepala-kepalanya, sementara ahlul ilmi tngah menghadapi ujian dan cobaan dipaksa mengatakan bahwa Alquran adalah makhluk, dan situasi benar-benar berubah dan terus-menerus dalam keadaan yang kurang dan memprihatinkan sampai sekarang” (lihat Fathul Bari 7/6) .
Berdasarkan keterangan terseut maka tiga qurun (abad) yang disaksikan keutamaannya dan kebaikannya oleh Rasulullah saw itu berarti berakhir pada 220 H, maka generasi yang terbaik adalah generasi yang hidup pada masa Rasulullah saw sampai tahun 220 H.
Imam-imam yang empat , yaitu Abu Hanifah (Wafat 150 H), Malik bin Anas (Wafat 179 H), Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (Wafat 204 H) dan Ahmad bin Hambal (Wafat 241 H) rohimahumullahu ajma’in.
Beliau berempat termasuk dalam generasi terbaik itu, karena mereka hidup pada masa sebelum tahun 220 H dan bergaul dengan generasi tersebut bahkan termasuk imam-imamnya, dan keempat imam ini semuanya termasuk Tabi’ut-Tabi’in (pengikut tabi’in) kecuali Imam Abu Hanifah rhm diperselisihkan, ada yang berpendapat beliau termasuk Tabi’in karena dikatakan pernah bertemu dengan Ash-Shahabi Anas r.a dan meriwayatkan hadits dari beliau –wallahu a’lam- lihat muqaddimah Al Fiqhul Islamy Wa Adillatuhu tulisan Az-Zuhaili.
Berkata Ibnu Hazm r.a, “Bermadzhab tidak dikenali dan tidak diamalkan pada tiga abad yang terbai, hanyasanya ia terjadi sesudah itu, kalaulah bermadzhab itu baik niscaya diamalkan oleh generasi pada abad yang disaksikan kebaikannya oleh Rasulullah saw, maka tidak diragukan lagi bahwa ia adalah termasuk bid’ah yang baru”1.
Berkata Ibnul Qoyyim rhm (751 H) : “Sesungguhnya kami mengetahui secara dharurah bahwasanya pada masa shahabat tidak ada seorangpun yang menjadikan salah seorang diantara mereka yang ditaqlidi dalam semua pendapatnya dan tidak ada sesuatupun yang digugurkan atau ditinggalkan dari padanya, dan meninggalkan pendapat-pendapat yang lainnya dan tidak mengambil sesuatupun darinya. Dan kami mengetahui secara dharurah bahwa hal yang seperti ini tidak terjadi pada masa Tabi’in dan tidak pula pada masa Tabi’it-Tabi’in –dan seterusnya sampai kata-katanya- hanyasanya bid;ah ini adalah terjadi pada abad keempat yang tercela melalui lisan Rasulullah saw.”2
Berkata Asy-Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithi rhm (penulis tafsir “Adhwa’ul Bayaan”), “Adapun bentuk taqlid yang dilakukan oleh orang-orang akhir yang menyelisihi para sahabat dan selain mereka yang hidup pada abad yang disaksikan kebaikannya adalah taqlid kepada satu orang tertentu tanpa yang lainnya dari seluruh ulama’ maka sesungguhnya taqlid semacam ini tidak tersebut dalma nash Al-Kitab dan Assunnah, dan tidak ada seorangpun dari sahabat Rasulullah saw yang berpendapat seperti ini dan tidak juga seorangpun dari mereka yang hidup pada abad yang disaksikan kebaikannya.”
Dan pendapat ini menyelisihi ucapan-ucapan imam-imam yang empat, tidak ada seorangpun dari mereka yang berpendapat dengan jumud diatas pendapat satu orang tertentu tanpa yang lain dari seluruh ulama’ kaum muslimin.
Maka taqlid kepada alim tertentu adalah termasuk bid’ah pada abad ke empat, siapa yang tidak setuju dengan pernyataan ini, silahkan tunjukkan kepada kami contoh satu orang saja yang hidup pada masa tiga abad pertama yang memegangi madzhab satu orang tertentu, sekali-kali tidak akan dapat memberikan contoh selama-lamanya, karena memang tidak terjadi sama sekali3.
-
Ikhtilaf (perselisihan) ulama dalam menghukumi bermadzhab.
Yang dimaksud bermadzhab atau dalam bahasa Arab disebut dengan “At-Tamadzdzahub” ialah : Iltizam (komitmen)nya seseorang terhadap ucapan-ucapanatau pendapat-pendapat madzhab tertentu dia tidak pernah terkeluar dari pendapat-pendapat madzhab itu dalam meminta fatwa dan amalannya.4
Para ulama’ berselisih dalam menghukumi bermadzhab, jika disimpulkan bisa dibagikan menjadi tiga kelompok atau tiga pendapat yaitu sebagai berikut :
-
Kelompok atau pendapat yang melarang.
-
Kelompok atau pendapat yang mewajibkan.
-
Kelompok atau pendapat yang membolehkandan tidak mewajibkan.
Adapun hujjah dan alasan masing-masing sebagai berikut :
-
Kelompok yang melarang bermadzhab : Hujjah dan alasannya karena bermadzhab adalah bid’ah yang terbentuk sesudah tiga abad pertama yang terbaik dan tidak diamalkan oleh salafi dan Tidak ada dalil syar’i yang mewajibkan hal itu, dan bahwasanya kebenaran itu tidak terbatas pada ucapan atau pendapat stu orang, jika tidak tentu dia ma’shum (terpelihara dari kesalahan) sedangkan tidak ada yang ma’shum pada umat ini setelah Nabi Muhammad saw, bahkan setiap orang sesudah beliau, ucapannya atau pendapatnya ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan, dan sesungguhnya Allah ta’ala memperhambakan kita atau menyuruh kita beribadah kepada-Nya dengan mengikuti yang haq, bukan dengan ucapan atau pendapat si Anu dari ulama’. Maka dimanapun ada kebenaran kita ikuti kebenaran itu, baik di katakan si fulan atau si fulan, dan seterusnya. Al Allamah Ibnul Qoyyim termasuk ulama’ yang melarang bermadzhab, kata beliau; orang awam meminta fatwa kepada ulama yang mana saja yang mereka kehendaki tanpa terikat dengan madzhab tertentu, ucapan beliau selengkapnya sebagai berikut:
Berkata Ibnul Qoyyim rhm ketika ditanya tentang apakah orang awam diwajibkan bermadzhab dengan sebagian madzhab-madzhab yang terkenal ataukah tidak? “Dalam hal ini ada dua madzhab (pendapat) slah satunya adalah : Tidak mewajibkannya, dan ini yang benar secara qoth’I, sebab tidak ada ssuatu yang wajib kecuali yang Allah dan Rasul-Nya mewajibkannya, sedangkan Allah ta’ala dan Rasulullah saw tidak mewajibkan atas seorangpun dari manusia untuk bermadzhab dengan madzhab seorang laki-laki dari ummat ini, lalu taqlid kepadanya dalam agamanya tanpa yang lainnya, sungguh generasi yang terbaik telah terlepas dari pernisbahan ini, bahkan madzhab tidak sah bagi orang awam, meskipun mereka bermadzhab dengannya, maka orang awam tidak ada madzhab baginya. Karena sesungguhnya madzhab itu hanya dimliki oleh orang yang mampu berfikir, mempunyai pandangan dan mampu berhujjah atau berdalil sertamemahami benar madzhab-madzhab itu, atau orang yang membaca kitab dalam masalah furu’ (cabang-cabang) dalam madzhab tertentu dan mengetahui fatwa-fatwa imamnya dan pendapat-pendapatnya (ucapan-ucapannya). Adapun orang yang tidak mempunyai sama sekali keahlian dalam masalah ini, lalu mengatakan, “Saya adalah Syafi’i (pengikut atau bermadzhab Asy-Syafi’i).” Atau “Saya adalah Hambali (pengikut atau bermadzhab Ahmad bin Hambal).” Atau yang selain itu, ucapan seperti ini hanya sekedar ucapan belaka dan tidak menjadikanorang yang mengucapkan benar-benar bermadzhab sebagaimana yang dia ucapkan, seperti halnya dengan orang yang mengatakan, “Saya ahli atau pakar fiqih.” Atau “Saya ahli ilmu Nahwu.” Atau “Saya pakar menulis.” Orang tersebut tidak akan menjadi sedemikian jika hanya dengan sekedar mengaku dan mengucapkan saja.”
Maka pengakuan seseorang bahwa dia adalah Syafi’I atau Maliki atau Hanafi berarti dia telah mengikuti Imam tersebut dan menempuh jalan (metode)nya. Maka pengakuan ini dianggap sah apabila orang tersebut benar-benar telah menempuh jalan imam itu dalam ilmu, ma’rifah dan istidlal (berdalil). Adapun jika pengakuannya itu disertai kebodohannya dan sangat jauhnya dari sirah atau perjalanan imam jauh dari ilmunya dan jalannya, maka bagaimana bisa benar penisbahan dirinya terhadap imam tersebut selain hanya sekadar mengaku saja dan omong kosong yang tidak berarti.
Orang awam tidak terbayang sahnya madzhab baginya, seandainya terbayangkan hal itu tidak diwajibkan kepadanya dan tidak pula kepada yang lainnya. Dan tidak diwajibkan kepada seorangpun untuk bermadzhab dengan madzhab satu orang lelaki dari umat ini, yang mana ucapan-ucapannya diambil seluruhnya dan meninggalkan ucapan-ucapan yang lainnya.
Ini merupakan bid’ah yang buruk yang terjadi pada ummat ini, tidak ada seorangpun dari Imam-Imam Islam yang mengatakan seperti ini, sedangkan kedudukan mereka lebih tinggi dan lebih agung nilainya dan lebih mengetahui dengan Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mewajibkan manusia untuk bermadzhab dan jauh darinya ucapan orang yang mengatakan: wajib bermadzhab dengan madzhab salah seorang alim dari ulama’ dan jauh darinya ucapan orang yang mengatakan, “Wajib bermadzhab dengan salah satu madzhab yang empat.”
Aduhai sungguh mengherangkan! Madzhab-madzhab sahabat Tabi’in dan Tabi’ut-tabi’in serta seluruh ulama Islam mati dan batal keseluruhannya yan gtinggal dantersisa hanya madzhab-madzhab empat jiwa saja dari seluruh para imam dan fuqoha’ maka adakah satu orang saja dari imam-imam itu yang megantakan seperti ini, atau menyeru kepadanya, atau satu lafadz saja dari perkataan mereka yang menunjukkan demikian?
Dan yang diwajibkan Allah ta’ala dan Rasul-Nya atas sahabat Tabi’in dan Tabi’ut-Tabi’in , ia juga diwajibkan atas orang-orang sesudah mereka, sampai hari kiamat, kewajiban tidak berbeda dan tidak berubah meskipun berbeda kualitasnya atau ukurannya karena berbeda kemampuan dan kelemahannya, zamannya, tempatnya dan keadaannya, maka yang dmeikian itu jugamengikuti kepada apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya.
Dan barangsiapa yang membenarkan madzhab bagi orang awam dia berkata, “Dia telah meyakini bahwasanya madzhab yang dia menisbahkan diri kepadanya berarti yang haq atau kebenaran.” Maka wajib atasnya memenuhi keyakinannya, ucapan mereka ini andaikan benar tentu wajib darinya utuk tidak meminta fatwa bahkan haram meminta fatwa kepada orang yang selain dari madzhab yang diyakininya.
Adapun contohnya seperti, mengikuti yang rukhshah- rukhshah dari madzhab-madzhab yang ada, yaitu seperti ucapan Imam Ahmad bin Hambal rhm, “Seandainya ada seseorang yang mengamalkan pendapat penduduk Kufah dalam (masalah hukum) mendengarkan, dan penduduk Mekkah dalam masalah hukum muth’ah, dia adalah fasiq.” (Irsyadul Fuhul, hal 253).
Dari sinilah sebagian ulama’ mewajibkan atas orang awam untuk melazimi madzhab tertentu, sebagaimana dikatakan oleh An-Nawawi rhm, dan dengannya Abul. Hasan Al-Kayya memutuskan dan hal ini berlaku pada setiap orang yang tidak mencapai martabat ijtihad dari para fuqoha’ dan orang-orang yang memiliki semua bentuk ilmu, dengan alasan, seandainya dibolehkan mengikuti madzhab yang mana saja dikehendakinya, niscaya akan membawa kepada pengambilan yang ringan-ringan dari madzhab-madzhab yang ada sesuai dengan hawa nafsunya, dan memilih-milih antara yang demikian ini akan mengakibatkan rusaknya dan merosotnya kualitas dalam menunaikan tanggung jawab dan kewajiban, berlainan dengan periode pertama, sebab pada masa itu, madzhab-madzhab belum terbentuk dengan sempurna danmemadai dengan hukum-hukum dan peristiwa-peristiwa yang terjadi yang terkoreksi dan dikenal, oleh karena itu diwajibkan berijtihad dalam memilih madzhab yang diikutinya atas ketentuan5
Dari keterangan tersebut dapat diketaui bahwasanya ulama yang mewajibkan bermadzhab tidak mempunyai dalil atau alasan selain saddudz dzari’atittarakhkhush (menutup wasilah yang mengantarkan kepada sikap memilih yang rukhsah). Imam Nawawi cenderung kepada pendapat ini dan mentarjihkan bagi orang awam bermadzhab dengan madzhab Asy-Syafi’I rhm.
Pihak yang melaran gbermadzhab telah berhati-hati terhadap hal yang dikhawatirkan tersebut dan mengatakan bahwa tidak bermadzhab tidak berarti memperkenankan bagi orang awam untuk mengikuti perkara-perkara yang rukshah dalam madzhab-madzhab yang ada, sebagaimana pada akhir ucapan Ibnul Qoyyim yang tersebut diatas, sebab tidak bolehnya mengikuti yang rukhshah saja itu merupakan ijma’ yang tidak diperselisihkan lagi.
Berkata Ibnul Abdil Barr, “Berkata Sulaiman At-Tamimi, “Jika kamu mengambil rukhshah setiap orang alim, telah terkumpul pada dirimu kejahatan semuanya.” 6
-
Kelompok yang Membolehkan dan Tidak Mewajibkan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rhm, termasuk dalam kelompok ini, beliau ditanya, “Apa pendapat para pemuka ulama’ dan imam-imam agama –radhiyallohu anhum ajmain- mengenai seorang lelaki yang ditanya, apa madzhabmu? Lalu dia menjawab, “Muhammadi (pengikut Muhammad), saya mengikuti Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya Muhammad saw.” Maka dikatakan kepadanya, “Seyogyanya bagi setiap mukmin mengikuti madzhab dan barangsiapa yang tidak bermadzhab, maka dia adalah syaitan.” Lalu dia berkata, “Apa madzhab Abu Bakar Ash-Shiddiq dan khalifah-khalifah sesudahnya rhm?” Maka dikatakan kepadanya, “Tidak patut bagimu kecuali mengikuti madzhab-madzhab ini.” Maka manakah yang betul diantaranya keduanya? Berilah fatwa kepada kami semoga Allah Ta’ala memberikan pahala kepadamu….”
Maka beliau rhm menjawab sebagai berikut :
“Alhamdulillah (segala puji bagi Allah), hanya sanya diwajibkan atas manusia adlah taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka ulul amri yang Allah memerintahkan agar taat kepada mereka dalam firman-Nya, Khot Arab “Kemudian jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisa: 59)
Apabila seorang muslim menghadapi satu persoalan, maka dia wajib bertanya dan meminta fatwa kepada seseorang yang diyakini memberi fatwa kepadanya dengan syariat Allah dan sunnah Rasul-Nya dari madzhab yang manapun juga, dan tidak wajib atas seseorang dari kaum muslimin taqlid kepada satu orang saja dari ulama dalam setiap apa yang diucapkannya, dan tidak wajib atas seseorang dari kaum muslimin melazimi madzhab orang tetetnu selain Rasulullah saw dalam segala apa yang diwajibkannya dan diberitahukan dengannya, bahkan setiap orang ucapannya ada yang diambil dan ada yang ditinggalkan kecuali Rasulullah saw.
Ikutnya seseorang kepada madzhab orang tertentu dikarenakan dia tidak mampu mengetahui syariat dari jalan yang lain, hal ini diperkenankan baginya, bukannya wajib atas setiap orang jika dia mungkin mengetahui syariat dengan jalan selain itu, bahkan setiap orang wajib bertaqwa kepada Allah sesuai dengan kemampuannya, dan menuntut ilmu yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya dengannya, lalu mengerjakan yang diperintahkan danmeninggalkan yang dilarang –wallahua’lam-7”
Syaikul Islam berkata lagi, “Dan apabila seseorang menjadi pengikuti Abu Hanifah atau Malik atau Asy-Syafi’i atau Ahmad dan dia melihat dalam sebagian masalah , bahwa madzhab yang lain lebih kuat lalu dia mengikutinya berarti dia telah berbuat baik dalam hal itu, dan tidak tercela dalam agamanya dan tidak pula pada keadilannya, masalah ini tidak dipertentangkan, bahkan sikap inilah yang paling benar dan paling disukai Allah dan Rasul-Nya saw, daripada ta’ashub kepada satu orang tertentu saja selain Nabi saw, seperti ta’ashub kepada Malik atau Asy-Syafi’i atau Ahmad atau Abu Hanifah, dan ia berpendapat bahwsanya ucapan orang tertentu itu adalah yang benar yang mesti diikutinya, bukan ucapan imam yang menyelesihinya.”
Maka barangsiapa yang berbuat seperti ini dia adalah orang yang jahil lagi sesat, bahkan bisa jadi dia kafir, sesungguhnya bila dia meyakini bahwa wajib atas manusia mengikuti satu orang saja dari para imam-imam itu tanpa imam yang lain, maka wajib orang tersebut diminta bertaubat, jika enggan bertaubat maka dibunuh, bahkan yang paling patut dikatakan; bahwasanya diperkenankan atau sepatunya atau wajib atas orang awam bertaqlid kepada salah satu orang tidak dia sendiri, tanpa menentukan orang tertentu misalnya Zaid dan tidak juga Amru.
Adapun ucapan orang, Bahwasanya wajib atas orang awam bertaqlid kepada si Fulan dan si Fulan, maka kata-kata seperti ini tidak diucapkan oleh seorang muslim.
Dan barangsiapa berwala’ (loyalitas) kepada para imam-imam pencintai mereka, bertaqlid kepada setiap masing-masing dari mereka, dalam perkara yang jelas baginya sesuai dengan sunnah maka dia telah berbuat baik dalam hal itu.8”
Ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah bahwasanya, barangsiapa mengikuti apa yang mewajibkan mengikuti seorang alim dia sendiri saja, orang tersebut disuruh bertaubat, jika enggan dia dibunuh, yakni karena dia telah kufur disebabkan ucapan tersebut, karena sesungguihnya hakekat ucapannya berarti dia telah menjadikan orang alim itu sebagai Rabb (tuhan) atau nabi yang ma’shum, sebagaimana yang diterangkan beliau dalam ucapannya yang lain sebagai berikut, “Kalau seandainya dibuka bab ini niscaya wajib berpaling dari perintah Allah dan Rasul-NYa dan yang tinggal adalah masing-masing Imam yang di mata pengikutnya berkedudukan seperti Nabi saw pada umatnya, ini merupakan penggantian atau merubah agama menyerupai perbuatan orang-orang Nasrani yang dicela oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya firman-Nya;
Khot Arab.
Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rab-rabb (tuhan-tuhan selain Allah dan juga mereka mempertuhankan Al-Masih putra Maryam, padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (Yang Berhak Disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At-Taubah : 31) -Wallahu Subhanahu wa Ta’ala A’lamu-”9
Berkata Al-Allamah Sholeh bin Muhammad Al Falani rhm, (1218H), “Berkata Syaikh Masyaikhina (guru dari guru-guru kita) Muhammad Hayah As-Sanadi, “Wajib atas setiap muslim berijtihad (bersungguh-sungguh) dalam mengetahui makna-makna Alquran, mempelajari hadits-hadits dan memahami makna-maknanya serta mengeluarkan hukum-hukum darinya, maka jika tidak mampu, wajib atasnya bertaqlid kepada para ulama’ tanpa beriltizam kepada salah satu madzhab karena sesungguhnya ia menyerupai menjadikannya sebagai nabi”
Berkata Ibnu Taimiyah rhm dalam menjelaskan ucapan jumhur dalam maslah ini, “Dan Ashl (pangkal) dalam masalah ini bahwasanya orang awam apakah wajib atasnya beriltizam kepada madzhab tertentu untuk mengambil azimahnya dan rukhsahnya? Dalam masalah ini menurut sahabat-sahabat Ahmad ada dua pendapat dan ada dua pendapat juga menurut sahabat-sahabat Asy-Syafi’I dan jumhur dari mereka dan mereka tidak mewajibkan hal itu. Dan orang-orang yang mewajibkan berkata, “Apabila seseorang telah beriltizam (memegangi) satu madzhab maka dia tidak boleh keluar darinya selama dia masih melaziminya atau selama tidak jelas baginya bahwasanya madzhab yang lainnya itu lebih utama untuk dilaziminya”10
Demikianlah ucapan-ucapan dan pendapat-pendapat para ulama’ tentang hukum bermadzhab ada yang melarang, ada yang mewajibkan, dan ada yang membolehkan. Asy-Syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz memilih pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam masalah ini yaitu bahwasanya bermadzhab diperkenankan atau dibolehkan karena hajat (memerlukan) tanpa mewajibkan , dan bahwsanya tidak halal mengikatkan diri dengan madzhab dalam suatu masalah yang diketahui bahwa yang haq yang didasari dengan dalil menyelisihi pendapat tersebut. (Lihat Al-Jami’ fi Tholabil Ilmi Syarif 5/35).
-
Sekilas Tentang Wahabi atau Wahabiyah.
Mengenai Wahabi dan sejarahnya, saya tidak mampu menerangkan secara detail karena tidak memiliki buku rujukan, bagi para ikhwah atau ikhwan yang ingin mengetahui selengkapnya saya persilahkan membaca tulisan-tulisan para penulis yang jujur dalam masalah ini –Insya Allah- anda bisa mendapatkannya di toko-toko buku. Adapun dalam risalah ini saya hanya menyebut poin-poin tertentu yang saya anggap penting dan berhubungan erat dengan pembahasan ini, yaitu sebagai berikut:
-
Istilah “Wahabi” berasal dari salah satu nama dari nama-nama Allah yang baik (Al-Asmaa’ul Husna) yakni, “Al-Wahhab” yang berarti yang Maha Memberi, nama dan lafadz yang agung ini lalu diletakkan di depan kata “Abdun” maka terangkailah dalam satu kalimat “Abdul Wahhab” artinya, Hamba Dzat Yang Maha Memberi, maknanya sama dengan Abdullah, Hamba Allah. Ingat jangan salah mengartikannya, misalnya Abdur Rahman, bukan berarti hamba yang pengasih, tetapi yang benar adalah hamba Yang Maha Pengasih, atau Hamba Allah, jadi yang memiliki sifat Maha Pengasih adalah Allah, bukan orang yang bernama Abdur Rahman.
Abdul Wahhab adalah nama orang tua (bapak) Al-Imam Al Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab rhm yang wafat pada tahun 1206 Hijriyah.
Dari kata Al-Wahhab dihilangkan (Alif-Lamnya) menjadi “Wahhaab” lalu ditambah (“Ya’”) nisbah, maka menjadi “Wahhaabiyyun” contoh-contoh yang lain yang serupa dengan istilah ini, misalnya “Hanafiyyun” atau “Hanafiyyah”, “Malikiyyun” atau “Malikiyyah”, Syafi’iyyun atau Syafi’iyyah, atau contoh lain seperti Muhammadiyyun atau Muhammadiyah.
Kemudian menurut qoidah dan kebiasaan orang arab mereka tidak mengucapkan harakat akhir dari sebuah kata yang terletak pada waqof (pemberhentian kalimat), maka menjadi “Wahhabiyyun” dan seterusnya menjadi “Wahabi” dengan menghilangkansyaddah atau tasydid dan mad pada huruf Ha, mungkin untuk menghindari sebutan yang agak berat atau karena mengikuti bahasa Indonesia –Wallahu a’lam-
-
Istilah Wahabi bisa berarti pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, dan bisa berarti madzhab atau aliran atau pemahaman atau ajaran Muhammad bin Abdul Wahhab.
-
Istilah “Wahhabi” bukan dicetuskan oleh Imam Muhammad bin Abdul Wahhab sendiri, tidak juga oleh murid-muridnya dan para pengikut-pengikutnya yang setia kepadanya, kalau kit abaca tulisan-tulisan beliau dan pengikut-pengikut setianya tidak ada yang menyebut jamaahnya dengan sebutan wahabi atau wahabiyah, kalaupun menyebutkannya karena terpaksa menggunakannya sebab istilah tersebut sudah maklum, tidak berbeda dengan istilah yang biasa mereka pakai tidak berbeda dengan istilah yang dipergunakan olehgolongan yang mengaku Ahlussunnah wal Jamaah yang lain, misalnya, “Ahlussunnah wal Jamaah” atau Ahlussunnah, atau Ahlul Hadits, atau Al Firqoh An-Najiyyah atau Ath-Thoifah Al Manshurah, dan sebagainya, atau mereka biasa menyebut dengan Ad-Da’wah An-Najdiyah, atau Ulamaa’ud-Da’wah An-Najdiyah, karena tempat lahir mereka atau markas dakwah mereka adalah di Najd, maka kemungkinan besar –wallahu a’lam- sebutan “Wahhabi” adalah bermuara dari luar kelompok tersebut dari pihak-pihak yang tidak suka dengan dakwah dan jihad mereka.
-
“Wahhabi” bukan merupakan madzhab seperti madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali dan Dzhahiri, artinya mereka yang digolongkan dengansebutan wahabi tersebut tidak menambah madzhab yang sudah ada menjadi madzhab yang kelima atau yang keenam, mereka hanyalah thoifah atau segolongan dari kalangan kaum muslimin yang bangkit menegakkan kebenaran, mendakwahkan Islam yang benar, berusaha mengembalikan kaum muslimin kepada Alquran dan Assunnah, dengan dakwah dan jihad, dengan ilmu dan kekuatan, dengan kitab dan besi.
Maka banyak dari kalangan ahlul ilmi pada masa sesudah Imam Muhammad bin Abdul Wahhab yang menyebut bahwasanya beliau adalah seorang mujaddid (pembaharu atau reformis), yang telah memperbaharui dan memperbaiki urusan dien yang telah dirusak oleh manusia. di dalam sebuah hadits dikatakan sebagai berikut:
Dostları ilə paylaş: |