Manifesto al-qur’an memasung radikalisme oleh: Mas’udi, S. Fil. I., M. A. Kepala Laborat Ilmu Aqidah Jurusan Ushuluddin stain kudus



Yüklə 22,31 Kb.
tarix27.10.2017
ölçüsü22,31 Kb.
#17240

MANIFESTO AL-QUR’AN MEMASUNG RADIKALISME
Oleh: Mas’udi, S.Fil.I., M.A.

Kepala Laborat Ilmu Aqidah

Jurusan Ushuluddin STAIN Kuduse:\pictures\acara samin\abi mejeng3.jpg

  1. Kebenaran al-Qur’an dalam Kehidupan Umat

Bersandar kepada wahyu Allah swt., yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., di Gua Hira’ (QS. Al-‘Alaq, [96]:1-5), ayat tersebut memperjelas kedudukan al-Qur’an dalam kehidupan manusia. Melihat ayat perayat yang diwahyukan Allah swt., pada surat tersebut termaktub di dalamnya beberpa posisi yang ingin dijelaskan-Nya kepada segenap makhluk. Pada ayat pertama, Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang mencipta. Secara eksplisit ayat di atas ingin memperjelas aspek Teologi Ketuhanan dalam kehidupan manusia dan segenap makhluk di alam raya. Nilai ketuhanan pada ayat pertama ini menjadi dasar pembuka bahwa secara hakiki manusia adalah makhluk yang diciptakan-Nya. Kuasa-Nya di atas kuasa manusia. Pada ayat kedua dijelaskan, Dia telah Menciptakan manusia dari segumpal darah. Ayat ini menunjuk kepada dimensi Antropologi manusia dalam mengemban amanat kehidupannya. Manusia menduduki posisinya sebagai makhluk budaya dan dari keberadaannya mereka tercipta bersuku-suku dan beraneka warna. Pada ayat ketiga, Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Paling Pemurah. Ayat ini menunjuk kepada dimensi Sosiologi kehidupan yang menunjuk kepada dasariah penciptaan manusia sederajat di antara manusia lainnya. Masing-masing individu berjalan di antara titik-titik kesederajatan dalam lingkup kehidupan sosial. Untuk selanjutnya, pada ayat keempat, Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Ayat ini menggugah pembacanya untuk melihat aspek-aspek tersirat dari ciptaan-Nya di alam raya ini. Ayat ini menyentuh setiap insan terhadap dimensi Kosmologi. Alam raya menjadi bukti utama manusia melihat keutuhan dari ciptaan Allah. Sementara itu, pada ayat kelima, Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. Ayat ini mempertegas dimensi Eskatosentris yang akan diterima oleh setiap pribadi sebagai akibat dari perjalanan hidup di alam kosmos. Eskatologi atau disebut juga ilmu tentang alam ukhrawi adalah penjelasan tentang keniscayaan manusia menjemput alam kehidupannya setelah alam duniawi.

Deskripsi argumentatif tentang wahyu Allah swt., pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., di Gua Hira’ sebagaimana terangkum di atas secara niscaya menjelaskan kepada segenap insan muslim bahwa keberadaan al-Qur’an adalah penjelas terhadap pola-pola kehidupan mereka. Al-Qur’an sepenuhnya meneguhkan kepada masing-masing pribadi bahwa rangkuman dari semua dinamika kehidupan mereka sudah tertulis di dalam eksistensinya. Melanjutkan dari penjelasan ini, Munzir Hitami (2012:16) mengemukakan bahwa secara terminologis al-Qur’an pada umumnya didefinisikan sebagai kata-kata Allah yang azaliy, yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Jibril, yang tertulis pada mushaf, yang ditransmisikan secara mutawatir, menjadi petunjuk bagi manusia, dan yang membacanya sebagai ibadah.

Beberapa penjelasan di atas secara niscaya menggambarkan kepada segenap muslim bahwa posisi al-Qur’an seutuhnya akan menjadi petunjuk kehidupan. Dari al-Qur’an yang mereka ketahui segala aspek dalam kehidupan dirumus dan diarahkan kepada kedudukannya yang benar serta proporsional. Kepada segenap pembacanya, al-Qur’an akan memberikan syafaat di Hari Akhirat. Hal ini sebagaimana telah diriwayatkan dalam hadits Bacalah oleh kalian al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan memberikan syafaat kepada pembacanya. Hakikat ini secara niscaya memberikan penjelasan kepada segenap kaum muslimin bahwa al-Qur’an memberikan wawasan pentingnya kepasrahan diri seorang muslim kepada Penciptanya. Wawasan seperti ini dijelaskan oleh Munzir Hitami (2012:16) bahwa al-Qur’an memiliki ciri-ciri hakikatnya yang memiliki kekuatan i’jaz (melemahkan), turun kepada Nabi Muhammad, termaktub dalam mushaf, periwayatan mutawatir, menjadi petunjuk bagi manusia, dan membacanya sebagai ibadah.


  1. Al-Qur’an dan Prinsip Jalan Tengah

Dalam realitasnya, al-Qur’an merupakan wahyu Allah swt., kepada Nabi Muhammad saw., yang diturunkan-Nya melalui ruh al-amin Malaikat Jibril as. Posisi al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai pedoman bagi segenap kaum muslimin mengukuhkan keberadaannya yang ingin menjadikan segenap insan memahami kesetaraan-kesetaraan yang harus dilakukannya dalam kehidupan. Segenap insan muslim diutus oleh Allah swt., ke alam raya untuk menjadi penengah di antara dinamika kehidupan manusia yang serba kompleks. Hal ini sebagaimana difirmankan-Nya dalam QS. Al-Baqarah, [2]:143, Dan ddemikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Ayat al-Qur’an tersebut secacra transparan menjelaskan keberadaan kaum muslimin sebagai penengah dari dinamika kehidupan masyarakat yang ada di seantero kehidupan dunia. Al-Qur’an tidak memberikan diferensiasi signifikan terhadap formulasi kehidupan masyarakat yang terbagi dari letak wilayah barat, timur, selatan, dan utara. Dalam menyikapi hal ini pula al-Qur’an menegasikan kesukuan dari kehidupan umat manusia dengan memperjelas hakikat saling mengenal di antara satu pribadi dengan pribadi lain. Fakta ini difirmankan-Nya dalam QS. Al-Hujuraat, [49]:13, Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Beberapa perspektif yang dijelaskan dalam firman Allah swt., sebagaimana terangkum pada beberapa ayat al-Qur’an di atas menjelaskan posisi Islam yang tiada mendukung ekstrimisme dalam keberagamaan dan keagamaan umat. Fakta-fakta di atas secara hakiki diwujudkan oleh golongan NU dan Muhammadiyah. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Hasyim Muzadi (Hery Sucipto, ed., 2007:347) proses islamisasi yang terjadi di Indonesia sepenuhnya didukung dengan realitas tawassuth (keseimbangan) dan i’tidal (tengah-tengah), bukan tathorruf (kekerasan) dan irhab (teror). Penjelasan ini secara niscaya didukung oleh proses islamisasi di Indonesia. Islamisasi yang terjadi di Indonesia dilakukan berdasar akulturasi bukan kekerasan, bukan tathorruf, apalagi irhab.



  1. Islam Memasung Radikalisme

Mewujudkan masyarakat muslim sebagai khairu ummah adalah cita-cita hakiki yang difirmankan-Nya dalam al-Qur’an. Hal ini bisa dianalisa kontekstualisasinya berdasar kepada QS. Ali-Imron, [3]:110, Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar dan beriman kepada Allah. Melalui ayat ini al-Qur’an menjelaskan kepada segenap insan muslim bahwa eksistensi dari kehidupan mereka adalah realitas kehidupan terbaik yang diwujudkan di alam raya guna mengatur keberadaannya.

Di dalam membangun dasar keberagamaan umat yang penuh toleransi seraya mengukuhkan gerakan pemasungan radikalisme, mengambil contoh kasus pertumbuhan Islam di Indonesia dari awal kedatangannya ajaran ini telah mengajarkan semangat inklusifitas. Berpijak kepada pernyataan Alwi Shihab dalam Hery Sucipto, ed., (2007:354) kehadiran Islam di Asis Tenggara menganut Madzhab Syafi’i yang penuh dengan toleransi. Realitas ini secara umum menghasilkan formulasi keagamaan dan keberagamaan umat yang bersandar kepada kesadaran akan arti kebersamaan dalam perbedaan agree in disagreement.

Islam melalui al-Qur’an secara de jure melalui normativitas tekstualnya mengarahkan kepada segenap pribadi muslim agar menjadi insan yang seimbang ddalam kehidupannya. Tiada kebenaran dalam Islam untuk mengukuhkan kesuburan dari pola-pola radikalisme. Sebagaimana penjelasan lebih lanjut dari Alwi Shihab dalam Hery Sucipto, ed., (2007:367) Islam melalui QS. Al-Ahzaab, [33]:70, Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, memerintahkan segenap muslim untuk menyampaikan perkataan yang sadid. Sadid, dalam makna ini bukan berarti hanya benar saja. Akan tetapi, kenyataannya harus menjamin untuk tidak menimbulkan kesulitan. Fakta normatif ini kemudian dipersandingkannya dengan hikayat Umar bin Khattab yang mencegah Abu Hurairah untuk menyampaikan suatu hadis Nabi saw., karena khawatir menimbulkan kesalahfahaman. Hakikat ini menunjuk sepenuhnya kepada usaha besar Islam melalui al-Qur’an dan al-Hadits agar mendudukkan masyarakat muslim dalam kehidupan yang serba menengah ummatan wasathan.


  1. Muara Radikalisme

Berbagai perspektif secara niscaya dapat diketengahkan menyikapi argumentasi dari sumber utama radikalisme. Mulai dari pemahaman suatu ajaran yang sangat dangkal surface analysis sampai kepada ekstrimisme yang bersumber kepada parsialitas memandang kebenaran dalam suatu ajaran. Realitas ini seringkali muncul tatkala Barat menyoroti Islam. Menyikapi kondisi ini Azyumardi Azra dalam Hery Sucipto, ed., (2007:372-378) menjelaskan ada empat model orang-orang Barat dalam melihat Islam, khususnya dalam kaitan dengan radikalisme. Kelompok pertama, masyarakat floating mass, yaitu massa mengambang yang sikapnya berubah-ubah, sesuai dengan apa yang terjadi. Perspektif mereka kadang-kadang sangat eksotik tentang Islam. Islam dalam bayangan mereka identik dengan syeikh-syeikh yang mengendarai onta memakai sorban dan pedang. Kelompok kedua, yang cukup besar adalah kelompok sarjana (Schoolar), atau akademik. Mereka adalah pengkaji dan peneliti agaam Islam dan masyarakat muslim. Kalangan ini terbagi kepada dua kelompok, pertama kelompok yang disebut dengan Old Orientalist, kedua kelomok yang menganggap dirinya Islamisis. Kelompok ketiga dari model ini adalah pemerintah (government). Mereka didukung oleh aparat pemerintah, intelijen, dan Pentagon (Departemen Pertahanan). Berbeda dengan kelompok kedua, kelompok ketiga ini bergerak berdasarkan prasangka-prasangka, intelijen. Sedangkan kelompok keempat adalah media massa dan pers. Kelompok ini umumnya juga memberikan gambaran yang tidak akurat terhadap Islam dengan sangat bermusuhan.

Beberapa perspektif yang muncul sebagai ekses dari pihak luar melihat Islam adalah nilai-nilai pembentuk atas kemunculan radikalisme dalam Islam. Secara umum, Islam sendiri melalui al-Qur’an menegaskan pentingnya melihat kemenyeluruhan comprehensivity dari suatu realitas. Pada perspektif inilah, Islam mengajak segenap masyarakat muslim untuk beragama secara kaaffah menyeluruh. Sebagai akibatnya, radikalisme yang tercipta dalam kehidupan terjadi karena parsialitas yang dimunculkan oleh para pengkaji terhadap suatu peristiwa.

Yüklə 22,31 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin