JUAL BELI YANG HARAM
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. 4-AnNisaa':29)
Dalam ayat di atas Allah mengharamkan memakan harta sesama dengan bathil dan memerintahkan perniagaan atas dasar suka sama suka. Jadi tidak ada paksaan dari salah satu pihak sehingga pihak lain merasa terpaksa dalam proses jual beli32.
Islam juga mengharamkan usaha jual beli yang mengandung ketidakjujuran, penipuan, pengambilan untung yang sangat berlebihan atau penyebarluasan barang yang substansnya haram.
Sabda Rasulullah: Sesungguhnya Allah dan Rasulnya mengharamkan penjualan khamr, daging babi dan berhala (HR Bukhari-Muslim). Dalam hadits lain disebutkan: telah berkata Wathila bin Al-Asqa: "Kami adalah pedagang". Rasulullah sering datang kepada kami dan bersabda: "Hai kamu para pedagang, jaga diri kalian dari sifat bohong" (HR At Tabarani).
Agama Islam juga mewajibkan kaum muslim untuk tidak menipu saat menimbang, sebab penipu tidaklah termasuk golongan ummat Islam. Di samping itu penipuan akan dapat memicu pertengkaran yang dapat menjurus ke hal-hal yang tak diinginkan.
Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang yang merugikan; dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan; (QS. 26-AsySyu'ara:181-183)
Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa pengurangan timbangan akan dapat menimbulkan kerusakan-kerusakan termasuk kerusakan moral.
HARAMNYA RIBA
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) jiwa. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berpendapat, sesungguhnya riba itu sama dengan jual beli, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS: 2:275)
Islam menutup jalan pengembangan kapital melalui pinjaman yang berbunga, baik itu dengan bunga cicilan yang rendah apalagi yang tinggi. Allah telah mengutuk kaum Yahudi yang menghalalkan riba, padahal Allah telah mengharamkannya kepada mereka. Di dalam QS Al-Baqarah 278-279 dijelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangi kaum yang menghalalkan riba33. Hal tersebut dimaksudkan agar kaum muslim ikut membasmi dan menjauhi kegiatan yang mengacu ke arah riba.
Pelarangan riba dalam Islam adalah akibat dari kekhawatiran kerusakan moral, sosial dan ekonomi dalam kehidupan manusia.
Hikmah pelarangan riba:
Riba berarti pengambilan milik orang lain yang bukan haknya, sehingga si peminjam tidak mendapat apa-apa dan malah merugi (meminjam 10 Schilling dan mengembalikan 12 Schilling).
Ketergantungan pada riba akan menghalangi manusia untuk bekerja lebih giat, karena tanpa bekerjapun uang dapat dihasilkan.
Menghalalkan riba berarti tidak mengarahkan manusia untuk berbuat baik kepada sesamanya, seperti yang dianjurkan dalam ajaran Islam.
Biasanya orang yang memberi pinjaman adalah orang kaya dan yang meminjam adalah orang miskin. Dengan dihalalkannya riba, si kaya dapat memeras si miskin, dan itu jelas bertentangan dengan kemurahan hati dan belas kasihan. Hasilnya akan menimbulkan pengelompokan sosial ekonomi di masyarakat yang menghasilkan jurang pemisah.
TANTANGAN UMMAT ISLAM
Dalam dunia modern, sistem perbankan yang menggunakan riba telah memacu inflasi serta menyebabkan beban utang negara-negara miskin makin menumpuk. Sebenarnya pengalaman menunjukkan, bahwa pembangunan suatu proyek (yang dalam skala besar adalah negara), akan paling menguntungkan bila biaya kapitalnya nol34.
Sistem perbankan yang diijinkan di dalam Islam adalah sistem bagi hasil, di mana keuntungan atau kerugian dibagi bersama antara pemilik modal dan pengusaha. Dan hal ini akan mendorong semangat kooperasi antara keduanya serta mensyaratkan transparensi (keterbukaan) jalannya usaha.
Sebagai ummat Islam yang hidup di dalam sistem ekonomi global yang menggunakan riba seperti saat ini, yang bisa kita lakukan adalah:
Bila kita memiliki uang lebih yang tidak bisa kita putar sendiri, uang itu sebaiknya kita tanamkan pada usaha yang bersifat bagi hasil (misalnya dengan membeli saham pada perusahaan yang tidak menjalankan riba atau bentuk usaha haram lainnya).
Bila kita hanya ingin memanfaatkan jasa Bank untuk menyimpan uang sementara, maka kita hanya halal untuk mengambil kembali sejumlah uang yang kita simpan (dengan pokok perhitungan nilai emas - yang tidak terpengaruh oleh inflasi). Adapun bunga yang diberikan oleh Bank (dan sebenarnya tidak kita inginkan) bisa kita ambil untuk kita salurkan sepenuhnya pada kaum yang menjadi korban sistem sosial-ekonomi, yakni 8 golongan penerima zakat menurut QS 9-at-Taubah:60 - dan haram kita konsumsi sendiri35.
Adapun bila kita sebagai korban - yakni sebagai orang yang membutuhkan modal usaha dan tidak ada sumber dana selain Bank dengan sistem riba - maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. 5:3)
Adalah tantangan kita ummat Islam untuk mengembangkan sistem dan lembaga keuangan bebas riba. Di Indonesia, usaha ini sudah dirintis oleh Bank Muamalah Indonesia (BMI) dan puluhan bank / lembaga keuangan non bank dengan sistem Syari'ah. Problem yang dihadapi oleh mereka sebenarnya bukan cara menyerap dana (karena sebenarnya begitu banyak ummat Islam yang mencari bank alternatif ini) namun adalah bagaimana memutar dana yang terhimpun itu agar tidak mandeg. Hal ini karena sistem bagi hasil menuntut manajemen terbuka yang lebih baik, yang tentu saja harus didahului dengan pembinaan sumber daya manusia yang akan menjalankannya.
Dan ini adalah tugas bersama ummat Islam, dengan para pakar ekonominya di garis depan. Pengalaman bank dengan sistem islami di banyak negeri Muslim (Malaysia, Pakistan, Iran, Mesir dsb.) menunjukkan hasil yang sangat positif, bahkan yang menanamkan modalnya di sini tidak terbatas dari ummat Islam saja.
dikembangkan dari makalah Achmad Panaongi
Al-Quran bicara Soal Ekologi
Lingkungan Lokal dan Global
Masalah lingkungan yang sering kita hadapi dapat kita bagi dalam dua jenis:
yang sifatnya lokal hanya di sekitar kita, seperti soal sampah, banjir, pencemaran sungai di sekitar kita dsb;
dan yang sifatnya global, melanda seluruh dunia, seperti menipisnya lapisan Ozon sehingga sinar UV langsung menghantam mahluk hidup dalam dosis yang berbahaya, atau meningkatnya kadar CO2 di atmosfir yang berakibat memanasnya iklim global.
Bila kita berpendapat bahwa mutu lingkungan di negeri-negeri Barat lebih baik daripada di negeri-negeri muslim (yang notabene termasuk negara-negara berkembang), maka sebenarnya secara tidak sadar perhatian kita hanya tertuju ke lingkungan dalam skala lokal. Kita terkecoh dengan jalan-jalan dan taman yang bersih dari sampah, atau sungai-sungai yang airnya jernih. Memang di negara-negara berkembang, tingkat pendidikan yang rendah menjadi kendala untuk menciptakan lingkungan yang bersih. Namun hal ini relatif mudah untuk diatasi, karena kesadaran akan kebersihan akan berjalan seiring dengan pendidikan. Sementara itu dalam skala global ternyata ada faktor lain yang lebih dominan dalam proses kerusakan lingkungan. Dan ini ternyata lebih susah untuk diatasi.
Karena ternyata, dalam skala global justru negara-negara 'maju' dan kaya biang keladinya. Bagaimana tidak, kerusakan lingkungan selalu berkaitan dengan pola konsumsi atas sumber alam. Eksploitasi sumber alam selalu meninggalkan bekas yang sering irreversibel, dan selanjutnya penggunaan sumber alam itupun selalu menghasilkan limbah, yang sering pula tidak bisa dicerna kembali oleh alam. Dan 80% sumber alam di muka bumi ini (hutan, tambang, energi dll) dikonsumsi hanya oleh 20% penduduk dunia, yakni penduduk negara-negara maju.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh pola konsumsi penduduk negara maju tersebut tidak terbatas di tingkat lokal. Kerusakan hutan atau lingkungan pertambangan selalu terjadi di negara asal, yang kebanyakan adalah negara berkembang. Sementara emisi CFC36 dan CO2 dari pembangikit energi dan kendaraan di negara-negara maju langsung berakibat global pada atmosfir, sampah padat dan cair dari merekapun tak jarang yang dibuang ke luar negerinya, yakni ke negara-negara berkembang yang mau diberi kompensasi murah.
Memang, bagi ummat Islam atau mayoritas penduduk di negeri kita, yang bisa dilakukan secara praktis barulah mengatasi kerusakan lingkungan dalam skala lokal. Namun dalam jangka panjang, kesadaran lingkungan dalam skala global pun harus ditanamkan (think globally, act localy). Karena seirama dengan laju pembangunan dan globalisasi ekonomi dunia, makin banyak kerusakan lingkungan yang tidak lagi bisa dipecahkan secara lokal.
Al-Quran bicara soal lingkungan
Yang sangat menarik di sini adalah, bahwa ternyata jauh-jauh hari, di dalam Al-Qur'an Allah sudah memperingatkan akan terjadinya kerusakan lingkungan ini, yang hakekatnya adalah melanggar keseimbangan ukuran yang ditetapkan Allah di alam semesta (keseimbangan ekosistem). Dan hal ini terjadi tidak lain karena nafsu serakah dan ketamakan manusia.
Allah menciptakan ukuran segala sesuatu
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. (QS. 15:19)
Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya; dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu. (QS. 15:21)
Tidak ada ciptaan Ilahi yang tidak seimbang
(Dialah) Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. ... (QS. 67:3)
Manusia mendapat amanat yang tak ada duanya, yakni sebagai khalifah (pemakmur) di muka bumi
Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh. (QS. 33:72)
Ingatlah ketika Rabb-mu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi" ... (QS. 2:30)
Kemampuan manusia sangat terbatas
Semestinya manusia sadar batas kemampuannya. Apa yang ada di alam semesta ini dijadikan Allah saling tergantung satu sama lain. Dan hanya dengan itulah akan ada keseimbangan. Manusia tidak sekalipun bisa memberi rezki pada mahluk lainnya, di luar jaring-jaring kehidupan yang sudah ada. Pelanggaran terhadap keseimbangan tersebut bisa berakibat fatal, misalnya dengan berubahnya rasa air hujan, seperti hujan asam, akibat polusi di atmosfir.
Dan Kami telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya. (QS. 15:20)
Maka terangkanlah kepadaku tentang air yang kamu minum. Kamukah yang menurunkannya dari awan atau Kami yang menurunkan. Kalau Kami kehendaki niscaya Kami jadikan dia tidak tawar lagi, ... (QS. 56:68-70)
Tidak boros, agar keseimbangan terjaga
Agar keseimbangan alam terjaga, agar hutan bisa tetap regenerasi, dan agar sampah tetap bisa diolah kembali oleh mikroba menjadi unsur alami, maka batas kemampuan alam itu tidak boleh dilampaui. Dan itu hanya mungkin bila manusia tidak boros dengan sumber-sumber alam.
Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan: dan janganlah kamu menghambur-hamburkankan (sumber daya alam). Sesungguhnya pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (QS. 17:26-27)
Namun manusia melampaui batas itu
Kenyataannya kebanyakan manusia dikuasai nafsunya, sehingga batas alami itu dilampauinya. Hal ini lebih-lebih terjadi pada abad 20 ini, sejak manusia dengan teknologinya merasa cukup bisa menaklukkan alam. Penggunaan teknologi ini ditujukan untuk memperbesar proses produksi, yang pada akhirnya untuk meningkatkan 'standard hidup' mereka - yang batasnya tidak jelas. Yang terjadi akhirnya adalah perlombaan pertumbuhan (ekonomi), yang dalam Al-Quran disindir sebagai bermegah-megahan, karena ini pada akhirnya memang melalaikan manusia pada apa yang kini baru disadari sebagai the limits of growth (batas-batas pertumbuhan).
Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. (QS. 96:6-7)
Bermegah-megah telah melalaikanmu, sampai kamu masuk dalam kehancuran. (QS. 102:1-2)
Namun kerusakan terlanjur di mana-mana
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. 30:41)
Namun bila manusia diingatkan ...
Banyak yang tidak mau mengakui bahwa kerusakan ini akibat perbuatan mereka. Lebih-lebih pada skala global ini, kerusakan akibat pola konsumsi yang salah memang sering tidak kelihatan di depan mata, karena terjadi di belahan dunia lain. Tak heran bila banyak negara-negara maju yang 'mau enaknya'. Mereka memaksa negara-negara berkembang agar memikirkan masalah lingkungan, misalnya dengan tidak menebang hutan tropis dsb. Padahal kalau ditelusuri, kerusakan hutan tropis itu sebenarnya secara tak langsung disebabkan oleh negara-negara maju, baik itu berupa impor hasil hutan dengan harga yang tidak layak dari mereka37, atau hujan asam limpahan polusi industri di negeri mereka.
Dan bila dikatakan pada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi". Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". (QS. 2:11)
Ini tak lepas dari kepemimpinan yang ada ...
Keadaan memprihatinkan seperti ini memang tidak lepas dari pola kepemimpinan yang ada, baik itu yang menguasai bidang politis, bisnis maupun mass media. Tanpa kesadaran dan kemauan dari kalangan elite ini, tidak mungkin akan terjadi perubahan ke arah positif.
Dan memang biasanya perjuangan ke arah itu harus disertai dengan memperingatkan kaum elite. Dan Allah sudah membuat ketetapan, bahwa bila kaum elite ini tidak mau mengikuti peringatan tersebut, maka kehancuran lingkungan hanya sekedar soal waktu.
Dan Fir'aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk (QS. 20:79)
Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Allah), tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan) Kami, kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. (QS. 17:16)
Apa yang bisa kita lakukan?
"Mulailah dari dirimu sendiri" (Al-Hadits).
Sebagai seorang muslim, dalam skala lokal kita bisa mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan kesadaran diri sendiri, misalnya:
Menggunakan barang-barang yang peduli lingkungan baik dalam proses pembuatannya maupun pasca pemakaiannya. Contoh: Spray bebas CFC, Kertas yang 'chlor-free', Kemasan makanan yang bisa didaur ulang dsb.
Memilah-milah sampah dan membuang di tempatnya, sedapat mungkin menyalurkannya dalam proses daur ulang, misalnya dengan disedekahkan ke para pemulung.
Menggunakan kendaraan yang hemat energi dan sedikit polusi, seperti sepeda atau kendaraan umum.
Aktif dalam menghijaukan lingkungan kita, seperti dengan menanam pepohonan di manapun yang memungkinkan.
Setelah diri dan keluarga, kita bisa mengajak tetangga dan teman-teman untuk juga peduli lingkungan, karena peduli lingkungan merupakan bagian dari ketaqwaan, apalagi bila kita mempunyai jabatan atau punya kemampuan untuk membangkitkan opini masyarakat.
diperluas dari makalah Sardjono Trihatmo
Kerukunan antar Ummat Beragama
Seorang Ibu mendapat kiriman makanan berkadar lemak tinggi dari tetangganya.
Ketika dihidangkannya makanan itu di meja makan, serentak anak-anaknya protes:
"Mama ini koq nggak toleransi sama papa, papa kan darah tinggi,
nggak boleh makan makanan seperti ini. Toleransi dikit dong Ma!"
Itulah toleransi dalam kehidupan keluarga.
Apakah toleransi semacam ini bisa kita kembangkan dalam keluarga yang besar,
yaitu kehidupan berbangsa.
Dapatkah antara ummat beragama saling bertoleransi?
Menjelang hari raya Natal, isu kerukunan ummat beragama sering santer lagi, dan themanya terfokus pada tuduhan extrem atas sebagian muslim yang tidak mau menghadiri perayaan Natal bersama, seakan-akan itu satu-satunya tolok ukur kerukunan antar ummat beragama.
Tulisan singkat ini ingin mencoba menjernihkan parameter-parameter yang kita butuhkan untuk menilai sejauh mana antar kelompok ummat beragama itu bisa kita nyatakan sebagai bisa hidup harmoni.
Taruhlah ada kelompok agama X dan Y, di mana Y bisa juga disebut "bukan X". Masing-masing memiliki: perintah (wajib), larangan (haram) dan hal-hal yang boleh meski tidak wajib (sunnah-mubah-makruh). Aturan wajib-haram dan boleh ini tentu tidak 100% sama antar agama. Kalau dibuat matrix relasi antara agama X dan Y, kita dapatkan tabel sbb:
|
Agama Y
|
|
|
Agama X
|
Wajib
|
Haram
|
Boleh
|
Wajib
|
//
|
i-i
|
p
|
Haram
|
i-i
|
//
|
pb
|
Boleh
|
p
|
pb
|
//
|
Maksudnya:
// = ada kesamaan (paralelitas) antar agama, kerjasama sangat harmoni. Misalnya sama-sama kewajiban semua agama untuk memberantas kemiskinan, atau haram mencuri, atau boleh berolahraga. Tidak ada masalah, selama hukum di kedua agama identis.
i-i = pernyataan kedua agama terhadap suatu hal bertolak belakang, kerjasama tidak mungkin. Jadi di sini aturan suatu agama hanya dijalankan bagi pemeluknya masing-masing, agar tidak mengganggu kerukunan hidup bersama. Misal:
- ummat Kristen wajib ibadah (misa) ke gereja.
- ummat Islam haram mengikuti misa.
Selama masing-masing ummat membiarkan ummat lain berjalan sesuai keyakinannya, maka tidak akan timbul masalah.
- ummat Kristen tidak dilarang misa ke gereja.
- ummat Islam tidak dipaksa hadir ke misa.
Untukmulah agamamu,
dan untukkulah agamaku (QS. 109:6)
p = partisipasi mungkin, bila di suatu agama suatu perbuatan itu wajib, dan di agama lain boleh. Misal:
- ummat Islam wajib merayakan Iedul Fitri (mereka tidak boleh puasa di hari tersebut).
- tidak ada pernyataan suatu lembaga resmi Kristen yang melarang ummatnya ikut merayakan Lebaran, karena hal ini dianggap tidak membahayakan aqidah Kristen.
Dengan demikian tidak ada masalah bila:
- ummat Islam mengundang ummat Kristen untuk ikut merayakan Lebaran.
- ummat Kristen tidak salah andaikata mereka menghadiri acara tsb ataupun tidak, karena hukumnya tidak wajib dan juga tidak dilarang.
pb = partisipasi bersyarat, yakni bila satu pihak bersedia melepas haknya, tanpa melanggar norma agamanya. Misal:
- ummat Islam boleh makan sapi (tidak wajib).
- ummat Hindu haram makan sapi.
Maka kedua ummat tetap bisa makan bersama, asalkan menunya bukan sapi.
Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS. 60:8)
Dengan memahami kedudukan hubungan ummat beragama ini, maka hendaknya kita (terutama ummat Islam) menanggapi suatu persoalan yang melibatkan unsur agama sesuai dengan proporsinya.
Jangan lantas karena harus menghadiri makan-makan bersama orang non Muslim kita lalu juga menghidangkan minuman keras (dengan dalih: yang hadir nggak cuma ummat Islam saja). Ini jelas keliru. Karena ummat Islam tidak cuma haram mengkonsumsi minuman keras, tapi juga haram menghidangkannya. Dan apakah ada norma agama lain yang telah kita langgar?
Maka juga tidak layak kita membolehkan SDSB, Lotto atau Tombola dalam acara bersama, dengan dalih "Kan acara ini yang ikut tidak cuma orang Islam". Apakah Non Muslim dibebani kewajiban melakukan SDSB, Lotto dan Tombola?
Tapi justru karena acara itu bersama-sama ummat Islam, maka ummat Islam tidak boleh dipaksa untuk mendekati hal-hal yang haram.
Islam dan Kebudayaan Jawa
Konsepsi Jawa
Kebudayaan dan adat istiadat Jawa telah banyak dikenal di Indonesia, dan bahkan di Yogyakarta telah didirikan suatu lembaga (dulu bernama Javanologi) yang bertugas mengkaji segala aspek yang berkaitan dengan apa yang terjadi dan dilakukan masyarakat Jawa. Namun demikian perlu diketahui pula, bahwa kebudayaan Jawa merupakan suatu peleburan dari berbagai kebudayaan dan pengaruh dari luar Jawa. Kedatangan berbagai agama, mulai dari Budha, Hindu, Islam dan akhirnya Kristen telah membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kepercayaan asli masyarakat Jawa. Dengan demikian, sebenarnya tidak ada yang merupakan kebudayaan Jawa 'murni' lagi. Yang akan disampaikan berikut ini adalah hal-hal yang dipandang cukup utama dalam kehidupan bermasyarakat dan religius masyarakat Jawa.
Prinsip Ketuhanan
Masyarakat Jawa memandang bahwa Tuhan adalah universal dan merupakan 'sangkan paraning dumadi'. Pengertiannya sangat luas hingga seringkali dalam masyarakat yang sangat tradisional, sering diartikan bahwa alam ini-lah Tuhan. Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan perlambang, sehingga setiap fenomena yang terjadi merupakan suatu petunjuk. Oleh karenanya, timbul kepercayaan bahwa benda-benda alam dapat memberi sifat Tuhan dalam pengertian berkuasa atas manusia, mampu memberi apa yang kita minta.
Hubungan Manusia dan Tuhan
Dalam hubungannya dengan Tuhan, masyarakat Jawa memiliki tujuan "Manunggaling kawula Gusti", yang dinyatakan dalam penyatuan diri sepenuhnya kepada Tuhan atau wakilnya di dunia. Tuhan sering dipersonifikasikan dengan ungkapan 'pangeran'. Oleh karena itu masyarakat Jawa sangat loyal kepada pimpinan/raja, karena menganggap mereka itu wakil Tuhan di dunia.
Dalam kebudayaan Jawa murni tidak dikenal baik reinkarnasi maupun neraka / sorga(?). Hidup itu sendiri adalah pengabdian yang 'tanpa pamrih' sehingga ketentraman batin merupakan hal utama yang harus dicapai. Dalam istilah Jawa dikenal slogan 'Urip iku kudu tansah sumeleh' (hidup itu mesti selalu berserah diri).
Dostları ilə paylaş: |