MENGENAL TAFSIR AL-NUR
Karya Hasbi al-Shiddiqy
Oleh: Umar Manshur
Abstrak :
Dalam sejarah tafsir Indonesia, Hasbi al-Shiddiqi adalah tokoh yang dengan metode dan coraknya sendiri, ia berupaya untuk melengkapi kebutuhan umat dalam konteks zamannya. Metode yang digunakan al-Shiddieqy dalam tafsirnya adalah metode tahlili (analitis) dan muqarin (komparatif). Sedangkan corak Tafsir al-Nur adalah Tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy.
Tafsir al-Nur karya Hasbi al-Shiddieqy ini oleh Federspiel di kelompokkan pada tafsir generasi kedua, sementara Tafsir al-Bayan yang juga karya Hasbi al-Shiddieqy dikelompokkan pada tafsir generasi ketiga. Generasi pertama ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah, dan generasi kedua ini dianggap sebagai penyempurnaan atas upaya pada generasi pertama, sementara generasi ketiga merupakan upaya untuk meningkatkan tafsir-tafsir generasi sebelumnya dan bertujuan untuk memahami kandungan al-Qur’an secara komprehensif dan dalam beberapa hal tafsir generasi ketiga ini merupakan kombinasi dari tefsir-tafsir sebelumnya dan perampingan dari hal-hal yang bersifat primer
1. Pedahuluan
Dinamika penafsiran al-Quran takkan pernah henti sejak kitab suci tersebut diwahyukan kepada Muhammad SAW.1 Beragam corak tafsir telah ditawarkan oleh para penggelut tafsir baik klasik maupun modern. Bahkan selama akal masih eksis dalam diri manusia, aktifitas eksegetik tersebut takkan pernah sampai pada taraf final. Ketidakpuasan terhadap pendekatan, prinsip dan hasil penafsiran seseorang adalah bukti terhadap hal itu. Pergulatan seputar teks ini mengindentikkan dunia Islam sebagai dunia skriptualis sehingga pada titik ini, pernyataan Nasr Hamid Abu Zaid yang mengatakan bahwa salah satu dari tiga peradaban adalah peradaban teks, yakni peradaban yang dikuasai Islam, mendapatkan legitimasi.
Dalam tradisi Islam, tafsir adalah khazanah yang kaya raya. Dapat dibayangkan, dari dulu hingga saat ini ada ratusan bahkan ribuan buku-buku tafsir hadir dari berbagai mazhab, aliran dan sekte. Kebutuhan terhadap tafsir menjadi urgen bahkan sama halnya dengan kebutuhan terhadap kitab suci. Bahkan setiap komunitas memiliki tafsir tersendiri dalam rangka memahami doktrin-doktrin keagamaan.2
Dalam sejarah tafsir Indonesia, Hasbi al-Shiddiqi adalah tokoh yang tidak ketinggalan menelurkan karyanya dalam bidang tafsir al-Quran. Dengan metode dan coraknya sendiri, ia berupaya untuk melengkapi kebutuhan umat dalam konteks zamannya atau bahkan -kalau masih mampu untuk kita katakan- untuk zaman sesudahnya dalam usaha memahami pesan-pesan yang ada di balik teks suci.
Tafsir al-Nur karya Hasbi al-Shiddieqy ini oleh Federspiel di kelompokkan pada tafsir generasi kedua, sementara Tafsir al-Bayan yang juga karya Hasbi al-Shiddieqy dikelompokkan pada tafsir generasi ketiga. Generasi pertama ditandai dengan adanya penerjemahan dan penafsiran yang masih terpisah-pisah, dan generasi kedua ini dianggap sebagai penyempurnaan atas upaya pada generasi pertama, sementara generasi ketiga merupakan upaya untuk meningkatkan tafsir-tafsir generasi sebelumnya dan bertujuan untuk memahami kandungan al-Qur’an secara komprehensif dan dalam beberapa hal tafsir generasi ketiga ini merupakan kombinasi dari tefsir-tafsir sebelumnya dan perampingan dari hal-hal yang bersifat primer.3
2. Mengenal Sosok Hasbi al-Shiddieqy
T.M. Hasbi adalah putera sulung dari seorang ulama terkemuka di daerah Aceh, bernama Teuku H. Husen ibn Mas’ud. Ibunya bernama Teuku Amrah binti Teuku Abd- al-Aziz seorang ulama dan qadhi Sri Maharaja Mangkubumi di Lhok Seumawe, yang kemudian jabatan qadhi tersebut digantikan oleh putera menatunya Teuku Husen ibn Mas’ud ayah T.M. Hasbi.4
T.M. Hasbi dilahirkan di Lhok Seumawe Acah Utara, pada bulan Jumadi al-Akhir 1321, yang bertepatan dengan tanggal 10 Maret 1904, setahun setelah perang Aceh (1873 – 1903) berakhir. Ia mempunyai hubungan silsilah dengan keturunan Abu Bakar al-Shiddiq, sahabat Nabi dan Khalifah pertama. Oleh karena itulah dibubuhkanlah nama al-Shiddieqy di belakang namanya, yang diberikan oleh gurunya seorang alim besar berkebangsaan Arab yang bermukim di Lhok Seumawe bernama Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali, sehingga nama lengkapnya menjadi Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy.5 Ia meninggal dunia pada tanggal 9 Desember 1975 di Rumah Sakit Islam Jakarta, dan dimakamkan di makam kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu 10 Desember 1975.6
Dengan begitu dapat dikatakan bahwa Hasbi yang dilahirkan di lingkungan pejabat negeri - ulama, pendidik dan pejuang - jika ditelusuri sampai ke leluhumya, dalam dirinya mengalir campuran darah Aceh-Arab dan mungkin juga Malabar. Kendati ia dilahirkan ketika ayahnya dalam posisi Qadhi Chik, masa kecilnya tertempa penderitaan seperti juga derita yang dialami oleh masyarakatnya. Selain faktor pendidikan, bawaan dari leluhur dan orang tuanyalah yang ikut mennbentuk diri Hasbi menjadi seorang yang keras hati, berdisiplin, pekerja keras, berkecendenmgan membebaskan diri dari kungkungan tradisi dan kejumudan serta mandiri tidak terikat pada sesuatu pendapat lingkungannya.7
T.M. Hasbi belajar bahasa Arab kepada seorang ulama di Lhok Seumawe yang bernama Teungku H. Abdullah yang terkenal dengan sebutan Teungku di Peyeung. Setelah ia menyelesaikan pendidikan tingkat dasar, oleh ayahnya ia dikirim kedayah-dayah (pesantren) selama 12 tahun. Di pesantren-pesantren itulah ia menambah pengetahuan bahasa arab disamping juga mempelajari berbagai macam cabang ilmu agama.
Ia mulai berkenalan dengan Syekh Muhammad ibn Salim al-Kalali setelah ia berumur 25 tahun. Syekh Muhammad Salim adalah seorang ulama besar yang bermukim di Lhok Seumawe, yang pernah memimpin majalah al-Imam pembawa suara pembaharuan di Semenanjung Melayu. Yang dimaksud dengan pembaharuan tersebut adalah pembaharuan yang dilancarkan oleh Muhammad Abduh bersama Rasyid ridha melalui majalah al-Manar.8
Setelah dua tahun berguru kepada al-Kalali, atas saran dan petunjuknya, ia memperdalam bahasa Arab dan pengetahuan agama ke kota Surabaya, yaitu memasuki Madrasah Mua’allimin al-Ishlah wa al-Irsyad yang di pimpin oleh al-Ustadz Umar Hubes salah seorang murid dari Syekh Ahmad Surkati9. Di Madrasah tersebut ia langsung duduk di kelas tertinggi dan setahun kemudian ia dapat menyelesaikan studinya dengan hasil baik.10
Selesai belajar di al-Irsyad, ia mengembangkan dan memperkaya dirinya dengan ilmu melalui belajar sendiri, olodidak. Buku adalah guru terbaik. Berkat minat bacanya yang besar semangat belajar dan menulisnya yang tinggi Hasbi menghasilkan lebih dari seratus judul buku dan ratusan pula artikel.11
Kegiatan T.M. Hasbi dalam karya tulis dan publikasi melalui media masa telah di mulai sejak tahun 1939, yaitu sejak ia dipercaya mengasuh rubric dalam majalah “Pedoman” yang terbit di Medan dibawah pimpinan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Rubrik-rubrik itu meliputi rubrik ilmu Musthalahah Hadits, Tafsir dan Tasyri’.12
Kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa T.M. Hasbi adalah seorang penulis yang produktif, yaitu sejak ia pindah ke Yogyakarta pada tahun 1951 sampai wafatnya telah diterbitkan lebih kurang 114 buah buku dalam berbagai bidang ilmu agama islam.13 Dari sekian banyak karya-karya T.M. Hasbi ini dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam, yaitu: Bidang Tauhid dan Tasawuf, Bidang Tafsir dan Ilmu Tafsir, Bidang Hadits dan Ilmu Hadits, dan Bidang Fiqh atau Hukum Islam. Diantara karya-karya T.M Hasbi tersebut yang akan kita bahas adalah dalam bidang tafsir, yaitu Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur.
3. Mengenal Tafsir al-Nur
Tafsir al-Qur'an al-Majid An-Nur ini dikerjakan oleh Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy sejak tahun 1952 sampai dengan 1961 di sela-sela kesibukannya mengajar, memimpin Fakultas, menjadi anggota Konstituante dan kegiatan-kegiatan lainnya. Hidupnya yang sarat dengan beban itu tidak memberi peluang baginya untuk secara konsisten mengikuti tahap-tahap kerja yang lazim dilakukan oleh penulis-penulis profesional. Dengan bekal pengetahuan, semangat dan dambaannya untuk menghadirkan sebuah kitab Tafsir dalam bahasa Indonesia yang tidak hanya sekedar terjemahan, ia mendiktekan naskah kitab tafsirnya ini kepada seorang pengetik dan langsung menjadi naskah siap cetak.14
Teungku Muhammad Hasbi al-Shiddieqy adalah seorang yang terlalu akrab dengan sumber bacaan berbahasa Arab. Karena itu, struktur dan istilah bahasa Arab terbawa serta dalam karya tulisnya yang bisa berakibat menjadi sulit dipahami oleh pembaca yang tidak menguasai bahasa Arab. Padahal kepada merekalah kitab ini ditujukan. Selain itu, bahasa Indonesia tahun 1990-an telah pula mengalami pengembangan dan bahasa yang dipakai pada tahun 1950-an ketika kitab ini dikerjakan. Karena alasan inilah pada terbitan 1995 telah dilakukan penyuntingan oleh salah seorang pengetik dan pengoreksi cetak cobanya yaitu Nourouzzaman Shiddiqi dan Z. Fuad Hasbi. Penyuntingan ini di fokuskan pada:
-
Perbaikan redaksional ke arah gaya bahasa masa kni tanpa mengubah maksud;
-
Menghilangkan pengulangan informasi, penekanan atau maksud ayat;
-
Membuang sisipan informasi yang tidak relevan;
-
Memadukan uaraian; dan
-
Membetulkan penomoran catatan kaki.15
Disamping sebagai pengetik dan pengoreksi cetak cobanya, penyunting bisa dikatakan sebagai seorang yang mengerti pemikiran penulis, karena ketika sedang mengetik seringkali penyunting bertanya tentang hal-hal yang belum jelas baginya. Setiap kali dilontarkan pertanyaan, penulis menghentikan diktenya dan memberikan penjelasan. Tidak jarang pula terjadi diskusi kecil antara penulis dan pengetik. Dari keterlibatan penyunting dalam proses pengerjaan kitab tafsir ini telah memberi peluang baginya untuk belajar tafsir dan memahami jalan pikiran serta pendirian penulis.
Cara al-Shiddieqy dalam menyusun tafsir al-Nur adalah dengan menyebut satu, atau sekumpulan ayat yang mengandung maksud yang sama menurut tertib mushaf dan diberi terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan memperhatikan makna lafal menurut konteks ayat. Setelah itu manafsirkannya secara ringkas serta menyebutkan ayat atau ayat-ayat yang terdapat pada surat lain yang digunakan sebagai penafsir ayat atau ayat-ayat yang sedang ditafsirkan; atau ayat-ayat yang semasalah agar mudah dikumpulkan ayat-ayat yang semaudhu’. Lalu di akhir setiap penafsirannya ia berikan kesimpulan. Dan terkadang dalam beberapa ayat sebelum ia memberi kesimpulan terhadap tafsirnya ia menyebutkan asbab nuzulnya yang berdasar pada riwayat yang shahih. Setelah ia memberi kesimpulan ia pindah pada ayat berikutnya untuk di terjemahkan dan di tafsirkan.
Motivasi al-Shiddieqy menulis tafsir al-Nur ini memang untuk dikonsumsi bangsa Indonesia, khususnya bagi mereka yang tidak paham bahasa arab. Hal ini terlihat dari pernyataannya:
Bagi mereka jang dalam pengetahuannja tentang bahasa Arab dan qaedah-qaedahnja mudah memilih salah satu tafsir jang mu'tabar, besar atau sederhana jang ditulis para ulama jang kebilangan di dalam bahasa Arab itu. Mereka dengan mudah memilih salah satu tafsir jang ditulis para sardjana secara ilmijah selaras dengan perkembangan zaman baru ini. Akan tetapi para peminat tafsir jang tidak mengetahui dengan dalam tentang bahasa Arab, tentulah djalan memahamkan tafsir-tafsir dalam bahasa Arab itu tertutup baginja.... Indonesia menghadjati perkembangan tafsir dalam bahasa persatuan Indonesia.16
Tafsir al-Nur dalam beberapa hal merujuk pada beberapa kitab tafsir diantaranya; Tafsir al-Manar karya Rasyid Ridha, Tafsir Anwar al-Tanziil wa Asrar al-Ta’il karya al-Baidlawi, Tafsir Ruh al-Ma’ani karya al-Alusi, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, Tafsir al-Ta’wilat karya Abu Mansur al-Maturidi, dan Tafsir Mahasin al-Ta’wil karya al-Qasimi.
Ada anggapan yang mengatakan bahwa tafsir al-Nur adalah terjemahan dari tafsir al-Maraghi, tapi hal ini terbantahkan oleh penelitian ‘Abdul Djalal HA. yang melakukan studi banding antara Tafsir al-Maraghi dan Tafsir an-Nur. Ia berkesimpulan bahwa, walaupun metode penafsiran kedua kitab tafsir itu ada kesamaannya, namun sumber pengambilan dan sistematikanya berbeda. Demikian juga dalam cara menarik kesimpulan.17
4. Manhaj (Pendekatan) Tafsir al-Nur
Nashruddin Baidan dalam bukunya, Metodologi Penafsiran al-Quran, membagi pendekatan Tafsir pada dua bagian yaitu Tafsir bi al-Ma’tsur (Riwayat) dan Tafsir bi al-Ra’y (Pemikiran).18
Tafsir bi al-Ma’tsur adalah Tafsir yang berlandaskan pada riwayat-riwayat shahih, yang berupa penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an dengan al-Sunnah, al-Qur’an dengan keterangan Sahabat atau keterangan pembesar Tabi’in.19 Sementara Tafsir bi al-Ra’y adalah tafsir yang menggunakan ijtihad, dilakukan setelah mufassir mengetahui secara pasti mengenai bahasa Arab, nasikh mansukh, asbab nuzul dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan mufassir.20
Dengan melihat pada pengertian di atas, juga dengan memperhatikan pola dan model penafsiran dalam Tafsir al-Nur, dapat dikatakan bahwa manhaj (pendekatan) yang dipakai oleh al-Shiddieqy adalah Tafsir bi al-Ra’y. Hal ini dapat terlihat ketika al-Shiddieqy menafsirkan surat al-Baqarah ayat 44:
A ta’muruuna naasa bil birr wa tansauna anfusakum = apakah kamu suruh manusia berbuat kebajikan dan kamu lupa dirimu sendiri
Hai ahlul kitab! Keadaanmu sungguh mengherankan. Kamu suruh orang lain berbuat bakti, tetapi kamu sendiri tidak mau mengerjakannya. Kelakuanmu seperti lilin yang menerangi orang lain, tetapi membakar dirinya sendiri.21
Penafsiran al-Shiddieqy ini akan sangat berbeda ketika kita bandingkan dengan penafsiran yang dilakukan oleh al-Thabari yang memakai manhaj tafsir bi al-ma’tsur:
حدثنا به ابن حميد، قال: حدثنا سلمة، عن ابن إسحاق، عن محمد بن أبي محمد، عن عكرمة، أو عن سعيد بن جبير، عن ابن عباس:( أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ ) أي تنهون الناس عن الكفر بما عندكم من النبوة والعهدة من التوراة، وتتركون أنفسكم: أي وأنتم تكفرون بما فيها من عهدي إليكم في تصديق رسولي، وتنقضون ميثاقي، وتجحدون ما تعلمون من كتابي.
وحدثنا أبو كريب، قال: حدثنا عثمان بن سعيد، قال: حدثنا بشر بن عمارة، عن أبي روق، عن الضحاك، عن ابن عباس في قوله:(أتأمرون الناس بالبر) يقول: أتأمرون الناس بالدخول في دين محمد صلى الله عليه وسلم، وغير ذلك مما أمرتم به من إقام الصلاة، وتنسون أنفسكم.22
Penafsiran al-Shiddieqy di atas mungkin akan mirip dengan penafsiran al-Razi yang menggunakan tafsir bi al-ra’y:
اعلم أن الهمزة في أتأمرون الناس بالبر للتقرير مع التقريع والتعجب من حالهم ، وأما البر فهو اسم جامع لأعمال الخير ، ومنه بر الوالدين وهو طاعتهما ، ومنه عمل مبرور ، أي قد رضيه الله تعالى وقد يكون بمعنى الصدق كما يقال بر في يمينه أي صدق ولم يحنث ، ويقال : صدقت وبررت.23
Berdasarkan perbandingan ini pula lah penulis menyimpulkan bahwa manhaj yang di pakai al-Shiddieqy adalah Tafsir bi al-Ra’yi.
Walaupun al-Shiddieqy dalam menafsiri sering memberi petunjuk pada ayat-ayat lain, namun hal itu tidak dijadikan landasan dalam menafiri, dan hal itu hanya sebatas kata: baca surat ...., baca lebih jauh surat .... ayat ...., kaitkan dengan surat .... ayat ...., perhatikan surat ...., atau perhatikan lebih jauh surat ... ayat .... Dan semua kata-kata tersebut hanya terdapat dalam catatan kaki.
Begitu juga ketika al-Shiddieqy menyebutkan riwayat dalam Tafsir al-Nur ini hanya terdapat dalam beberapa ayat tertentu saja dan tidak sampai mendominasi tafsirnya serta penyebutan riwayat ini pun setelah al-Shiddieqy melakukan penafsirannya, seperti ketika menafsiri surat al-Baqarah ayat 37:
Fa talaqqaa aadamu mir rabbihi kalimaatin = maka adam menerima beberapa kosa kata dari Tuhannya
Adam menerima beberapa kosa kata dari Allah melalui wahyu yang diamalkannya. Jelasnya, Allah mengilhamkan kepada Adam kosa-kosa kata itu, lalu dengan kosa kata itu Adam bertobat kepada Allah. Yang dimaksud dengan kosa-kosa kata dalam ayat ini, ialah macam-macam perintah dan larangan menurut riwayat dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan kosa-kosa kata disini ialah:
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Wahai Tuhan kami, kami telah menzalimi diri-diri kami, dan jika tidak Engkau ampuni kami dan tidak Engkau rahmati kami, tentulah kami ini menjadi orang-orang yang merugi.”
Menurut riwayat dari Ibnu Mas’ud, ialah:
سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ اِلاَّ اَنْتَ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْلِي فَاِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ اِلاَّ اَنْتَ
“Saya akui kesucian Engkau, wahai Tuhanku, serta dengan memuji Engkau, mensucikan Engkau, memaha tinggikan kemuliaan Engkau, dan tiada Tuhan selain Engkau. Saya telah menzalimi diri saya, maka ampunilah saya, karena tak ada yang mengampuni dosa selain Engkau.”24
Atau dalam penyebutan riwayat, al-Shiddieqy hanya memperkuat atau melengkapi penafsirannya sendiri. Hal ini dapat dilihat ketika manafsiri surat al-Baqarah ayat 70:
Wa innaa in syaa-Allaahu la muhtaduun = Dan sesungguhnya Kami insya Allah, tentulah mendapatkan petunjuk.
Walau sudah diterangkan bahwa sapi yang dimaksud adalah sapi yang berumur sedang dan berwarna kuning menarik, masih samar, mereka mengaku masih samar, belum dapat mengetahui dengan jelas sapi betina mana yang harus disembelih. Atau belum jelas bagi mereka masalah yang sulit itu yaitu untuk mengetahui siapa sebenarnya yang membunuh, atau masih samar bagi mereka untuk apa mengetahui hikmah yang terkandung dalam perintah penyembelihan sapi ini. Jika sudah diterangkan sejelas-jelasnya, insya Allah, jika Allah menghendaki, mereka berharap akan mendapat petunjuk.
Diriwayatkan bahwa Nabi saw. bersabda: “Sekiranya mereka tidak menyebut insya Allah, niscaya sampai akhir zaman pun sapi yang dimaksudkan itu tidak akan pernah jelas pada mereka.25
Disamping model penyebutan riwayat diatas, masih ada model penyebutan riwayat lain yaitu ketika al-Shiddieqy menerangkan Asbab al-Nuzul. Namun penyebutan riwayat dalam menerangkan Asbab al-Nuzul ini tidak serta merta membuat sebuah tafsir dikategorikan sebagai tafsir bi al-ma’tsur, karena seorang mufassir yang yang menafsiri al-Qur’an dengan bi al-ra’yi pun disyaratkan menguasai Asbab al-Nuzul yang tentu saja sumbernya adalah riwayat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manhaj (pendekatan) yang dipakai oleh al-Shiddieqy dalam Tafsir al-Nur adalah manhaj (pendekatan) Tafsir Bi Al-Ra’yi.
5. Thariqah (Metode) Tafsir al-Nur
Dalam bukunya, Metodologi Penafsiran al-Quran, Nashruddin Baidan membagi komponen Internal Tafsir ke dalam tiga komponen; Bentuk Tafsir, Metode Tafsir Dan Corak Tafsir. Yang masuk dalam kategori Metode adalah Ijmali (Global), Tahlili (Analitis), Muqarin (Komparatif) dan Maudhu’i (Tematik).26
Tafsir dengan metode Tahlili (analitis) adalah tafsir yang berusaha menguraikan al-Qur’an secara detail kata demi kata, ayat demi ayat dan surat demi surat sampai akhir (kulli) yakni dari awal surat al-Fatihah hingga akhir surat al-Nas.27
Dengan merujuk kepada pengertian seputar metode tafsir ini, juga menyoroti secara seksama pola penerjemahan al-Nur yang dilakukan al-Shiddieqy, pun pada model penafsirannya, maka dapat dikatakan bahwa metode yang digunakannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dicontohkan ketika al-Shiddieqy menafsirkan surat al-Fatihah ayat 4:
Maaliki yaumid diin = yang memiliki hari pembalasan
Tuhan yang memiliki atau memerintah hari perhitungan (hisab) amal perbuatan manusia dan memberikan imbalan kepada mereka menurut kadar amalan mereka masing-masing.
Maaliki, yaitu dipanjangkan mim (m)nya, maaliki berarti : yang memiliki. Jika mim-nya. tidak dipanjangkan, maliki, berarti: yang memerintah. Sandaran kedua bacaan ini dapat diperoleh dalam al-Qur'an sendiri. Memerintah dan memiliki mengandung makna yang berbeda. Pendapat yang menyamakan pengertian antara memerintah dan memiliki adalah keliru. Penyamaan makna antara keduanya mungkin dikarenakan tidak melihat pada filsafat bahasa. Sebagian ulama berpendapat sebaiknya maliki dibaca dengan memendekkan mim agar bermakna yang memerintah. Sebab, arti yang memerintah mengandung makna yang lebih dalam (balig) dan lebih agung. Makna ini memberi kesan bahwa Allah sendirilah yang mengendalikan makhluk-Nya yang berakal dengan cara memerintah, melarang dan memberikan imbalan serta ganjaran. Kendatipun begitu ada pula sebahagian ulama yang berpendapat sebaiknya maliki dibaca dengan memanjangkan mim agar berarti yang memiliki. Sebab, bagi mereka arti yang memiliki mengandung makna yang lebih dalam dan agung.
Ad-iin, artinya ialah perkiraan atau perhitungan; memberi seimbang yang diterima; dan pembalasan. Makna yang terakhir yang sesuai untuk rangkaian ayat ini.
Tuhan berfirman yang memerintah hari pembalasan (penyelesaian segala perkara), bukan yang memerintah pembalasan, untuk menumbuhkan keyakinan pada diri setiap Muslim akan ada suatu hari yang pada hari itu setiap orang yang mematuhi agama menerima imbalan atas kepatuhannya.
Manusia sesungguhnya telah beroleh balasan-balasan atas amalan-amalannya di dunia, seperti kemiskinan dan kemelaratan sebagai balasan terhadap kelengahan dalam menunaikan hak dan kewajiban. Balasan yang diperoleh di dunia ini tampak jelas pada sebahagian manusia, namun tidak pada sebahagian yang lain. Sering terjadi, orang yang berbuat maksiat, mengumbar syahwat dan menghabiskan umurnya dalam meneguk kelezatan tanpa batas, tidak terlepas dari tertimpa bencana. Harta kekayaannya ludes, anngota keluarganya ditimpa penyakit dan sebagainya. Bencana-bencana ini sering tidak dilihat sebagai pembalasan terhadap maksiat yang telah mereka kerjakan.
Sebaliknya, manusia yang berbuat baik, seperti tidak memperoleh balasan apa-apa. Namun pada hakikatnya mereka tetap memperoleh balasan berupa kebahagiaan batiniyah, ketenteraman hidup, kejernihan pikiran, rasa senang, sejahtera fisik dan berakhlak mulia. Sementara itu harus diyakini, bahwa balasan-balasan di dunia itu bukan semua balasan yang seharusnya diterima. Balasan yang sempurna akan diperoleh pada hari pembalasan kelak. Pada hari itulah, setiap orang akan menerima balasan yang setimpal.
Pembalasan yang diperoleh sesuatu umat di dunia.nyata sejelas-jelasnya. Ummat-ummat yang berpaling dari jalan yang lurus, tidak memperhatikan sunnah Allah, ditimpa bala-bencana yang memang berhak mereka menerimanya, yaitu kepapaan, kelemahan, kerendahan, walaupun dahulunya mereka itu kuat, disegani dan dihormati.
Tuhan menyebut Maaliki yaumid diin sesudah ar-Rahmaanir rahiim, untuk menunjukkan bahwa manusia, tidak saja harus mengharap, tetapi juga harus takut. Dan untuk menyatakan bahwa Tuhan, tidak saja mendidik hamba-Nya dengan memberi, melimpahkan rahmat, tetapi juga mendidik hamba-Nya dengan menghukum, sebagai balasan terhadap perbuatan mereka.28
Akan sangat berbeda ketika kita bandingkan dengan Tafsir Jalalain yang menggunakan metode Ijmali di dalam menafsiri ayat yang sama:
{ مالك يَوْمِ الدين } أي الجزاء وهو يوم القيامة وخص بالذكر لأنه لا ملك ظاهرا فيه لأحد إلا لله تعالى بدليل { لمن الملك اليوم لله الواحدالقهارِ } [ 40 : 16 ] ومن قرأ مالك فمعناه مالك الأمر كله في يوم القيامة : أي هو موصوف بذلك دائما ك { غافر الذنب } [ 40 : 3 ] فصح وقوعه صفة لمعرفة.29
Dari perbedaan ini pula lah kita dapat menyimpulkan bahwa metode yang digunakan al-Shiddieqy dalam Tafsir al-Nur adalah Metode tahlili (analitis).
Disamping menggunakan metode tahlili (analitis), al-Shiddieqy juga menggunakan metode muqarin (komparatif) yaitu metode perbandingan, dimana dalam hal ini mufassir mengambil sejumlah ayat al-Qur’an, kemudian mengemukakan penafsiran para ulama’ terhadap ayat-ayat itu, baik mereka termasuk ulama’ salaf maupun cendikiawan kontemporer yang tentunya mempunyai kecendrungan berbeda-beda. Akan tetapi penggunaan metode muqarin (kompaatif) dalam Tafsir al-Nur ini tidaklah banyak, hanya terjadi pada beberapa hal saja dan tidak sampai mendominasi isi Tafsir al-Nur ini. Dalam hal ini dapat dicontohkan ketika al-Shidieqy menafsirkan kata al-Rahmaan dan al-Rahiim dalam surat al-Fatihah:
Muhammad Abduh menyatakan bahwa menurut tata bahasa orang Arab kata ar-Rahmaan hanya mengandung makna bahwa Tuhan melimpahkan rahmat, karena perbuatan yang terjadi kemudian, sering seperti haus, walau betapa pun hebatnva. Tetapi apabila orang Arab mendengar kata ar-Rahim, barulah mereka merasakan bahwa Allah terus menerus melimpahkan rahmat-Nya dan sifat rahmat itu bukanlah suatu sifat yang terjadi kemudian, tetapi suatu sifat yang wajib dan tetap adanya.
Ibnul Qayyim berpendapat bahwa ar-Rahman menunjukkan sifat yang tetap pada Zat Allah, sedang ar-Rahiim menunjukkan limpahan Rahmat-Nya kepada makhluk. Jelasnva, ar-Rahmaan adalah sifal Zat. sedangkan ar-Rahiim adalah sifat perbuatan. Muhammad Rasyid Ridla menilai pendapat Muhammad Abduh lebih kuat daripada ibnul Qayim.30
Atau ketika menafsirkan tentang surga dalam surat al-Baqarah ayat 35:
Wa qulna yaa adamus kun anta wa zaujukal jannata = Dan ketika Kami berfirman: "Hai Adam, berdiamlah engkau dan isterimu dalam surga
terangkanlah hai Muhammad kepada kaummu tentang perintah Kami kepada Adam supaya dia dan isterinya berhuni di surga.
Para ulama berselisih paham tentang apa yang dimaksudkan dengan jannah = surga dalam ayat ini. Ada yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan surrga di sini, ialah tempat pembalasan pahala yang dijanjikan bagi para mukminin di hari kiamat. Pendapat ini didasarkan kepada terdahulunya sebutan surga dalam surat ini. Ada pula hadis yang menunjukkan kepada hal yang demikian itu. Kalau begitu, maka surga yang dimaksudkan berada di alam atas. Ada juga yang berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan surga dalam ayat ini, ialah tempat yang dijadikan Allah untuk tempat tinggal Adam. Surga itu berupa sebuah kebun di bumi yang terletak di antara Persia dan Kirmah. Atau terletak di Palestina. Dengan demikian, surga tempat Adam itu bukanlah surga yang diperuntukkan bagi para mukmin di akhirat.
Dalam tafsir at-Ta'wilat, Abu Mansur al-Maturidi mengatakan, ia berkeyakinan bahwa surga itu sebuah kebun, karena Adam dan isterinya diberi kenikmatan di dalamnya. Kita tidak perlu menentukan dan memeriksa dimana tempatnya. Pendapatnya itu sesuai dengan pendapat Abu Hanifah. Demikianlah pendapat para Salaf. Bagi Ahli Sunnah dan lain-lainnya, tak ada dalil yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan tempatnya di mana, apakah di Palestina atau pun di tempat-tempat lainnya.
Dalam Tafsir Ruhul-Ma'ani, al-Alusi menyatakan, bahwa Allah menjadikan Adam di bumi ini supaya dia dan juga anak keturunannya menjadi khalifah di dalamnya. Dengan demikian, maka pengaturan mereka dan penempatan mereka di bumi memang disengaja dengan maksud tertentu. Oleh karenanya, keberadaan Adam di dalam dunia ini tidak boleh kita pandang sebagai suatu penyiksaan baginya. AlIah juga tidak menyebutkan bahwa setelah Adam diciptakan, lalu ia dinaikkan ke langit. Sekiranya ia sesudah ia diciptakan lalu dinaikkan ke langit karena hal itu suatu peristiwa besar , tentunya akan ditegaskan. Surga yang dijanjikan adalah untuk para muttakin, bagaimana mungkin setan yang kafir itu bisa, memasukinya untuk menjerumuskan Adam. Surga yang dijanjikan itu tempat nikmat dan tempat istirahat, bukan tempat memikul beban, sedangkan di surga tempat Adam itu, dia dan istrinya dibebani larangan tidak boleh memakan buah suatu pohon.Padahal dalam surga yang dijanjikan itu seseorang tidak terlarang untuk bersenang-senang dengan apa saja yang disukainya. Di surga itu tidak terjadi lagi kedurhakaan dan keingkaran, karena ia negeri suci bukan negeri kotor. Ringkasnya, sifat-sifat surga yang dijanjikan kelak itu di antaranya, pemberian yang tidak putus-putus dan tidak terhingga, tidak dapat disamakan dengan surga Adam.31
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al-Shiddieqy dalam Tafsir al-Nur ini disamping memakai metode Tahlili (analitis) juga memakai metode Muqarin (komparatif) walaupun penggunaan metode Muqarin ini tidak banyak..
6. Mazhab (Aliran) Tafsir al-Nur
Dalam masalah mazhab penulis akan mengangkat masalah keadilan Tuhan menurut Hasbi al-Shiddieqy, dan sebelum membahas pemikiran al-Shiddieqy tentang keadilan Tuhan ada baiknya untuk meninjau ulang beberapa aliran yang berbicara maslah ini.
Keadilan menurut Mu’tazilah diartikan dengan memberikan kepada sesorang akan haknya. Keadilan juga diartikan dengan berbuat sesuatu menurut semestinya, sesuai dengan kepentingan manusia dan memberi upah dan hukuman kepada manusia sepadan dengan perbuatannya.32
Sementara menurut Asy’ariyah keadilan diartikan Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya.33 Berbeda dengan faham Mu’tazilah, Tuhan menurut Asy’ariyah tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap makhluk-Nya, segala kesenangan dari Dia adalah merupakan keutamaan dari Dia dan segala hukuman dan siksa dari Dia adalah keadilan.34
Sedangkan golongan Maturidiyah Samarkand tidak memandang Tuhan mempunyai kewajiban apapun kepada manusia, namun mereka berpendapat, janji Tuhan pasti ditepati. Menurut pandangan mereka kekuasaan dan kehendak Tuhan memang mutlak, tetapi tidaklah semutlak dalam faham Asy’ariyah, tapi ada beberapa hal yang membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, meskipun tidak sebanyak dalam faham Mu’tazilah.35
Untuk mengetahui faham keadilan Tuhan pada seseorang, dapat dilihat dari bagaimana orang itu memberikan penafsiran terhadap ayat yang berkenaan dengan kesesatan dan petunjuk. Siapakah yang menyesatkan atau yang memberi petunjuk? Apakah Allah yang menyesatkan seseorang atau memberinya petunjuk, ataukah orang itu sendiri yang menyesatkan dirinya atau menunjukkan dirinya? Masalah ini bisa merujuk kepada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 26 sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَسْتَحْيِي أَنْ يَضْرِبَ مَثَلًا مَا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا فَأَمَّا الَّذِينَ آَمَنُوا فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّهِمْ وَأَمَّا الَّذِينَ كَفَرُوا فَيَقُولُونَ مَاذَا أَرَادَ اللَّهُ بِهَذَا مَثَلًا يُضِلُّ بِهِ كَثِيرًا وَيَهْدِي بِهِ كَثِيرًا
Golongan ahli sunnah berpendapat bahwa yang menyesatkan itu adalah Allah, sedang gologan mu’tazilah berpendapat yang menyesatkan itu adalah orang-orang kafir itu sendiri36. Adapaun pemahaman al-Shiddieqy terhadap ayat ini sebagaimana ditulis dalam kitab tafsir al-Nur adalah sebagai berikut:
Yuddhillu bihii karsiraw wa yahdii bihi katsiira = dengan perumpamaan ini Allah menyesatkan banyak orang dan memberi petunjuk bagi banyak orang pula.
Orang-orang jahil, jika mendengar ayat-ayat Allah, bersikap angkuh, keras kepala, dan bereaksi menentangnya. Inilah yang menyebabkan mereka menjadi sesat. Sebaliknya orang-orang yang mengambil petunjuk dari ayat-ayat Allah itu menjadi insaf dan apabila mendengarnya mereka suka memperhatikan dan memikirkannya dengan pikiran yang jernih.37
Penafsiran diatas menggambarkan bagaimana pendapat Al-Shiddieqy, bahwa Allah memberi petunjuk atau menyesatkannya itu adalah karena perbuatan manusia itu sendiri, apakah mereka insaf ataukah bahkan sombong dan keras kepala setelah mendengar perumpamaan tersebut. Atas pilihan perbuatan mereka itulah Tuhan menyesatkan mereka atau memberi mereka petunjuk. Golongan Asy’ariyah berpendirian atas dasar teks nash sendiri Tuhan menunjukkan atau menyesatkan manusia (karena kekuasaan mutlak-Nya, pen). Sedang menurut Mu’tazilah yang menyesatkan adalah manusia itu sendiri38. Kalau melihat pendapat-pendapat diatas, dapat dikatakan bahwa pendapat Al-Shiddieqy mengambil posisi antara faham Mu’tazilah dan Asy’ariyah.
Selanjutnya dibawah ini akan kita lihat bagaimana Al-Shiddieqy menafsirkan firman Allah surat al-Ra’d ayat 33:
وَمَنْ يُضْلِلْ فَمَا لَهُ مِنْ هَادٍ
Yakni: barang siapa dihinakan Allah karena I’tiqadnya dan rusak amalnya karena mengerjakan maksiat dan dosa, maka tak adalah bagi orang itu orang yang dapat memberi petunjuk.39
Menurut kutipan tersebut, orang dihinakan oleh Allah itu karena I’tiqad dan amalnya yang rusak, lantaran mereka melakukan maksiat dan dosa, bukan karena kekuasaan mutlak Tuhan.
Penafsiran diatas tampaknya sejalan dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 165:
أَوَلَمَّا أَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُمْ مِثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّى هَذَا قُلْ هُوَ مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِكُمْ
Al-Shiddieqy memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut sebagai berikut:
Maksudnya: segala yang terjadi itu adalah disebabkan kemaksiatanmu. Kamu menentang Rasul dalam beberapa urusan ….
Siksa yang menimpa dirimu adalah bekasan dari amalmu sendiri.40
Dari penafsiran-penafsiran Al-Shiddieqy tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pendapat-pendapatnya dalam masalah keadilan Tuhan ini dekat kepada faham Mu’tazilah, dan lebih dekat lagi kepada faham Maturidiyah Samarkand.
Selanjutnya dibawah ini kutipan pendapat Al-Shiddieqy dalam menjelaskan pengertian adil, sebagai berikut:
Menegakkan keadilan atau berlaku adil itu ialah menyampaikan kebenaran kepada yang mempunyainya dengan melalui jalan yang paling dekat dan memberikan segala hak kepada yang mempunyainya; masing-masing menurut kadar haknya.41
Kalau dilihat dari pengertian keadilan yang dikemukan al-Shiddieqy, tampak ada persamaan dengan pengertian yang dikemukan oleh golongan Mu’tazilah, yaitu memberikan hak kepada yang mempunyai sesuai dengan kadar haknya. Al-Shiddieqy tidak memberikan pengertian sebagaimana golongan Asy’ariyah, yaitu menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya sesuai dengan kehendak pemilik atau penguasanya. Kutipan tersebut diatas makin menguatkan bahwa pendapat Al-Shiddieqy dalam masalah keadilan Tuhan lebih dekat kepada faham Mu’tazilah dari pada kepada faham Asy’ariyah, dan lebih dekat lagi kepada faham Maturidiyah Samarkand.
7. Lawn (Corak) Tafsir al-Nur
Ketika kita berbicara tentang lawn (corak) tafsir maka akan kita dapati beberapa corak tafsir, diantaranya: Tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy (sosial kemasyarakatan), Tafsir Isyari (tasawuf), Tafsir Falsafi (filsafat), Tafsir Ilmi ilmiah), Tafsir Fiqhi (fiqih/hukum islam) dan lain-lain.42
Muhammad Husain al-Dzahabi mengatakan bahwa tafsir al-adaby wa al-ijtima'iy adalah tafsir yang menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa al-Qur’an, dan ketelitian redaksinya dengan menerangkan makna dan tujuannya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat Alquran dengan sunnatullah dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problematika umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.43
Dengan memperhatikan pengertian ini, serta mengamati dengan seksama corak penafsiran yang dilakukan al-Shiddieqy, maka dapat dikatakan bahwa corak Tafsir al-Nur ini adalah Tafsir al-Adabi wa al-Ijtima’iy. Hal ini tergambar secara jelas ketika menafsiri surat al-Baqarah ayat 5:
أُولَئِكَ عَلَى هُدًى مِنْ رَبِّهِمْ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Ulaa-ika = itulah mereka.
Mereka yang dalam ayat ini disebut dua kali, keduanya dimaksudkan untuk para mukmin, baik yang berasal dari ahlul kitab, maupun dari selainnya. Diulangi kata ganti diri mereka, sampai dua kali, untuk menunjukkan bahwa memiliki sifat-sifat tersebut menyebabkan mereka memperoleh dua keutamaan, yaitu: petunjuk Ilahi dan kemenangan. Sebenarnya, satu saja dari keutamaan ini sudah cukup, apalagi jika termiliki kedua-duanya.
Tuhan berfirman: Mereka tetap dalam petunjuk, memberi pengertian bahwa mereka memperoleh dan memiiiki petunjuk yang sempuma. Inilah yang dipahami dari frase 'alaa hudan = dalam petunjuk, yang kami interpretasikan tetap dalam petunjuk dan dapat mempergunakannya dengan sebaik-baiknya.44
Atau ketika al-Shiddieqy manafsiri surat al-Baqarah ayat 72:
Wa idz qataltum nafsan = Dan ketika kamu membunuh orang.
Ayat ini tidak didahulukan karena yang dimaksudkan ialah penyembelihan sapi untuk membuka rahasia pembunuhan. Dan pembunuhan di sini dialamatkan kepada orang-orang Yahudi yang semasa dengan Nabi, karena mereka itu adalah anak-cucu Bani Israil yang telah lalu. Sebagaimana disandarkan pembunuhan kepada ummat, padahal yang membunuh hanya seorang dari ummat itu. Hal itu untuk memberi pengertian, bahwa kumpulan dalam ummat itu dipandang sebagai sebatang tubuh. Maka dari itu kesalahan ditimpakan kepada ummat walaupun yang melakukannya adalah salah seorang anggotanya.45
Dari dua contoh penafsiran ini tampaklah corak adaby dalam penafsiran al-Shiddieqy, sementara contoh penafsiran yang mencerminkan corak ijtima’iy dalam Tafsir al-Nur ini adalah pada akhir penafsiran surat al-Baqarah ayat 35-37:
Perjalanan hidup manusia secara perorangan, adalah ibarat perjalanan hidup manusia sebagai anggota masyarakat. Manusia di permulaan hidup kemasyarakatannya, sejahtera fitrahnya, hidup sederhana dan bersifat tolong menolong. Inilah masa keemasan. Akan tetapi manusia itu tidak merasa cukup dengan kenikmatan yang besar ini, lalu ia ingin mencari yang lebih besar lagi yang sebenarnya mereka tidak berhak memperolehnya karena menuruti hawa nafsu dan tergiur oleh khayalan mempesona. Maka timbullah persengketaan, karena saling berebutan. Inilah fase kedua yang dikenal dalam sejarah bangsa-bangsa. Kemudian datanglah fase ketiga, yaitu fase mempergunakan akal, mengkaji dan menghayati, sesuatu dan mempertimbangkan kebaikan dan kejahatan dengan pertimbangan akal nalar dan pikiran inilah fase tobat dan memperoleh petunjuk.
Ada lagi fase yang lebih tinggi dari fase-fase ini, yaitu fase memperoleh kesempurnaan yang tertinggi, yakni menerima agama yang diwahyukan Tuhan dan dengan agama itulah manusia mencapai kesernpurnaan.46
Atau pada surat al-Baqarah ayat 11:
Qaaluu innamaa nahnu mushlihuun = Mereka menjawab: Kami orang-orang yang hanya berbuat kebaikan (ishlah).
Demikianlah keadaan para perusak (mufsidiin) di setiap masa. Mereka mengaku berbuat kebajikan, padahal yang mereka perbuat adalah kerusakan semata-mata. Mereka berupaya menutupi kerusakan dengan berbagai macam semboyan. Mereka membalut racun dengan gula yang manis. Mereka terus menerus merusakkan persatuan ummat yang dikehendaki Islam. Mereka itulah perusak yang sangat jahat.47
Dengan memperhatikan beberapa contoh penafsiran di atas, maka corak Tafsir al-Nur ini dapat dikatakan sebagai tafsir al-adaby wa al-ijtima'iy. Hal ini juga di dukung oleh kenyataan bahwa dalam Tafsir al-Nur ini, al-Shiddieqy sering mengutip pendapat Muhammad Abduh, yang mana Abduh ini dianggap tokoh utama dalam tafsir aliran al-adaby wa al-ijtima'iy.
Jika dikatakan apakah tidak ada kemungkinan tafsir al-Nur ini juga mempunyai corak Fiqhi, mengingat Hasbi adalah seorang yang dikatakan sebagai pembaharu fiqh di Indinesia, disamping dari 114 bukunya yang diterbitkan sebagian besar adalah tentang fiqh. Maka setelah mengadakan penelitian pada tafsir ini, penulis berkesimpulan bahwa tafsir al-Nur tidak bisa dikatakan sebagai tafsir yang bercorak Fiqh. Karena ketika menafsirkan ayat yang seharusnya ditafsiri secara panjang lebar tentang masalah fiqh dan perbedaan pendapat ulama’ fiqh terhadap ayat tersebut, ternyata Hasbi justru tidak membahasnya dengan detail. Seperti ketika manafsiri surat al-Baqarah ayat 228:
Wal muthallaqaatu yatarabbashna bi anfusihinna tsalatsata quru-in = Dan segala wanita yang ditalak, menanti tiga quru.
Dan hendaklah wanita-wanita merdeka yang berhaid yang sudah disetubuhi, bukan yang telah putus haid dan bukan dari wanita yang masih kecil yang belum berhaid apabila ditalak oleh suami sebelum kawin lagi menanti tiga kali haid agar nyata bahwa mereka itu tidak hamil.
Wanita yang tidak disetubuhi, tidak ber-iddah. Wanita yang tidak berhaid, iddahnya tiga bulan. Wanita hamil, iddahnya hingga melahirkan bayinya.
Dari penafsiran diatas terlihat bahwa Hasbi tidak panjang lebar membahas perbedaan pendapat ulama tentang makna quru pada ayat tersebut, justru beliau hanya berhenti pada penafsiran bahwa bahwa arti dari quru itu adalah haid. Dari kenyataan inilah bisa disipulkan bahwa tafsir al-Nur ini tidak bercorak fiqh.
8. Penutup
Tafsir al-Nur karya Hasbi al-Shiddieqy ini merupakan karya besar yang bisa disebut karya tafsir dilihat dari segi penjelasan-penjelasannya untuk memudahkan para pembaca memahami makna yang terkandung dalam firman Allah. Meski demikian, tafsir yang dimaksudkan bukan sebesar dan setekun kitab-kitab tafsir yang pernah ada karena pemaknaannya tersaji secara sederhana. Namun bagaimana pun tafsir ini telah memberikan sumbangsih yang besar bagi perkembangan diskursus tafsir di Indonesia.
Karya ini juga dapat dikatakan mampu memberikan khazanah intelektual Muslim yang masih harus dipahami dan dikembangkan sesuai dengan situasi ruang dan waktu yang berubah setiap saat. Oleh karena itu, secara keilmuan, karya Hasbi ini tetap merupakan produk zaman dan masih harus melihat kesempurnaan-kesempurnaan lain pada zaman berikutnya. Ukuran-ukuran kemajuan akan segera tercapai manakala sebuah karya dianggap sebagai sebuah proses sejarah yang senantiasa mengalami transisi pada kurun temuan ahli berikutnya.
Wa Allah ‘Alam bi al-Shawab
DARFTAR PUSTAKA
al-Dzahabi, Muhammad Husain, Al-Tafsir wa aI-Mufassirun, Mesir, Dar al-Kitab al-Arabi. 1976.
al-Farmawi, Abdul Hayy, al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’I, Mesir, 1977.
Al-Juwaini, Luma’ al-Adillah fi Qawa’id Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Mesir, Dar al-Mishriyah, 1965.
al-Khulli, Amin, Manâhij Tajdîd fi al-Nahw wa al-Balâghah wa al-Tafsîr wa al-Adab Kairo : Dâr al-Ma’rifah, 1961.
al-Najar, Afaf Ali, al-Wajiz fi Manahij al-Muafassirin, Kairo, Maktabah al-Azhar, 1993.
al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahits Fi Ulum al-Quran, Riyadh, Mansyurat al-‘Ashr al-Hadits, tt.
al-Razi, Fakhr al-Din, Mafatih al-Ghaib, http://www.altafsir.com.
al-Shiddieqy, Hasbi, al-Islam II, Jakarta, Bulan Bintang, 1969.
-----------------------, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur I, Semarang, Pustaka Rizqi Putra, 1995.
-----------------------, Tafsir al-Qur’an al-Majid al-Nur IV, Semarang, Pustaka Rizqi Putra, 1995.
al-Suyuthi, Jalal al-Diin, dan al-Mahalli, Jalal al-Diin, Tafsiir al-Jalalain, Damaskus, al-Dar al-Syamiyah li al-Ma’arif, 1995.
al-Thabari, Abu Ja’far, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an, Riyadh, Muassasah al-Risalah, 2000.
Baidan, Nashruddin, Metodologi Penafsiran al-Quran, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Federspiel, Howard M., Kajian al-Qur’an Di Indonesia Dari Mahmud Yunus Hingga Quraish Shihab, Mizan, Bandung, 1996.
Haryono, M. Yudhie R., Bahasa Poloitik al-Qur’an: mencurigai makna tersembunyi di balik teks, Bekasi, Gugus Pres, 2002.
Junaidi, Zamakhsari, T.M. Hasbi: Mujtahid Muqarin yang Produktif, Majalah Pesantren, No. 2/ vol. 11/ 1985.
Musa, Muhammad Yusuf, al-Qur’an wa al-Falsafah, Mesir Dar al-Ma’arif, 1958.
Nasution, Harun, Teologi Islam, Jakarta, Universitas Indonesia, 1972.
Shiddiqi, Nourouzzaman, Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya, Jogjakarta, Pustaka Pelajar, 1997.
Syadali, Ahmad, T.M. Hasbi al-Shiddieqy dan Konsepsi Pengembangan Hukum Islam, Proyek Penelitian Keagamaan Departeman Agama RI, Jakarta.
Verdiansyah, Very, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama Untuk Praksis Pembebasan. Jakarta : P3M, 2004.
Dostları ilə paylaş: |