Adapun kerinduan: Ia akan muncul setelah kefahaman dan kesadaran bahwa rumah itu adalah Baitullah, sehingga orang yang berangkat menuju kepadanya sama dengan orang yang berangkat menuju Allah dan berziarah kepada-Nya.
Adapun 'azam: Maka hendaknya diketahui bahwa dengan 'azamnya ia bertekad meninggalkan keluarga dan negeri, menjauhi berbagai syahwat dan kelezatan dengan bertujuan menziarahi rumah Allah. Hendaknya ia mengagungkan dalam dirinya keagungan "rumah" dan keagungan Pemilik rumah. Hendaknya diketahui bahwa ia telah bertekad melakukan sesuatu yang sangat penting, dan siapa yang mencari sesuatu yang sangat agung maka sesungguhnya ia mempertaruhkan hal yang sangat agung. Hendaklah ia menjadikan tekadnya itu semata-mata ikhlas karena mencari ridha Allah, jauh dari berbagai kotoran riya' dan pamrih. Hendaknya ia menyadari bahwa tujuan dan amal perbuatannya tidak akan diterima kecuali jika dilakukan secara ikhlas.
Adapun memutuskan berbagai keterkaitan: Maksudnya ialah menyelesaikan berbagai "perkara" atau "sangkutan" yang berkaitan dengan manusia dan bertaubat secara ikhlas kepada Allah dari semua kemaksiatan. Karena setiap "perkara" merupakan sangkutan. Setiap sangkutan, seperti orang yang berhutang, akan hadir dan berkaitan dengan talbiyah-talbiyahnya. Kepadanya akan diserukan: Kemanakah kamu pergi, apakah kamu bermaksud ke rumah Raja Diraja sedangkan engkau menyia-nyiakan perintah-Nya di rumahmu ini dan mengabaikannya? Tidakkah engkau malu, engkau datang kepada-Nya sebagai seorang hamba yang bermaksiat sehingga Dia tidak akan menerimamu? Jika engkau ingin ziarahmu diterima maka laksanakanlah perinrah-perintah-Nya, selesaikanlah segala perkaramu, bertaubatlah kepada-Nya dari semua kemaksiatan, dan putuskanlah keterkaitan hatimu dari berpaling sepada apa yang ada di belakangmu, agar engkau bisa menghadap kepada-
---------------------------
25) Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan Daruquthni di dalam al- 'Bal dari hadits Anas.
Nya dengan wajah hatimu, sebagaimana engkau menghadap ke rumah-Nya dengan wajah zhahirmu. Jika engkau tidak melakukan hal itu maka perjalananmu tidak mendapatkan apa-apa kecuali keletihan, kesengsaraan, bahkan pengusiran dan penolakan.
Adapun bekal: Maka carilah dari tempat yang halal. Jika merasakan adanya ketamakan untuk memperbanyak dan tuntutan untuk selalu ada sepanjang perjalanan, tanpa berubah dan rusak sebelum tercapainya tujuan, maka hendaklah ia mengingat bahwa perjalanan akhirat lebih panjang dari perjalanan ini. Bekal yang sesungguhnya adalah taqwa sedangkan bekal selainnya, yang dikira sebagai bekalnya, akan tertinggal saat kematiannya dan tidak menyertainya, seperti makanan basah yang rusak di awal terminal perjalanan sehingga ketika membutuhkan ia kebingungan tanpa bisa berbuat apa-apa. Maka hendaklah berhati-hati jika amal perbuatannya yang merupakan bekalnya' ke akhirat itu tidak dapat menyertainya setelah kematian, bahkan telah rusak oleh berbagai bakteri riya' dan keteledoran.
Adapun kendaraan: Maka hendaklah ia bersyukur kepada Allah dengan hatinya atas berbagai kendaraan yang telah ditundukkan Allah untuk manusia, dan hendaklah mengingat pada saat itu akan kendaraan yang akan dinaikinya ke kampung akhirat yaitu jenazah yang diusung di atas kendaraan itu. Karena sesungguhnya urusan orang haji sama dengan urusan perjalanan, dan hendaklah ia memperhatikan apakah perjalanannya dengan kendaraan ini layak menjadi bekal bagi perjalanan di atas kendaraan tersebut? Betapa dekat hal tersebut dengannya. Bukankah kematian sangat dekat dan pengusungan jenazah dapat dipastikan sedangkan kemudahan perjalanan masih penuh keraguan? Bagaimana bisa terjadi ia sangat baik mempersiapkan bekal perjalanan yang masih diragukan dengan memeriksa bekal dan kendarannya tetapi ia mengabaikan persiapan perjalanan yang pasti'?
Adapun membeli dua pakaian ihram: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat kain kafan yang akan membungkusnya. Ia akan memakai dan bersarung dengan dua kain ihram pada saat mendekati Baitullah, dan bisa jadi perjalanannya tidak bisa mencapainya, tetapi yang pasti ia akan bertemu Allah dalam keadaan terbungkus dalam kain kafan. Seperti halnya ia tidak menjumpai Baitullah kecuali dengan pakaian khusus yang tidak biasa dipakai, demikian pula ia tidak akan bertemu Allah setelah kematian kecuali dalam pakaian yang tidak sama dengan pakaian dunia. Pakaian ini sangat dekat dengan pakaian ihram tersebut sebab tidak berjahit sebagaimana kain kafan.
Adapun keluar dari negeri: Maka pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa ia pasti berpisah dengan keluarga dan kampung halaman menuju Allah dalam suatu perjalanan yang tidak sama dengan berbagai perjalanan dunia. Karena itu, hendaklah ia menghadirkan di dalam hatinya apa yang ia inginkan, kemana arah yang dituju, dan siapa yang akan dikunjungi'? Sesungguhnya ia menuju kepada Raja Diraja di tengah keramaian para penziarah-Nya yang diseru lalu mereka menyambut seruan. dan digalakkan lalu mereka bangkit berduyun-duyun. Mereka memutuskan segala keterkaitan dan meninggalkan semua makhluk menuju ke Baitullah yang sangat diagungkan demi mengharap kepada Pemilik rumah itu akan puncak karunia-Nya dan kebahagiaan dengan melihat-Nya (kelak di sorga). Hendaknya ia menghadirkan di dalam hatinya harapan wushul (sampai) dan gabul (diterima), bukan sebagai perbuatan nekat atau spekulasi dalam melakukan perjalanan dan perpisahan dengan keluarga dan harta kekayaannya, tetapi karena yakin akan karunia Allah dan harapan akan mendapatkan janji-Nya yang telah diberikan kepada orang yang menziarahi rumah-Nya. Hendaklah ia mengharap, seandainya tidak bisa sampai Baitullah karena meninggal di tengah perjalanan, bisa bertemu Allah dan bertamu kepada-Nya, karena Dia telah berfirman: "Barangsiapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah." (an-Nisa': 100)
Adapun memasuki perkampungan menuju miqat dan menyaksikan tanjakan-tanjakan terjal tersebut: Maka pada saat itu hendaklah ia mengingat suasana antara keluar dari dunia dengan kematian menuju miqat hari kiamat dan berbagai peristiwanya yang mengerikan. Juga suasana keterpisahannya dari keluarga dan kerabatnya; kegelapan kubur, kepayahan dan kesendiriannya. Hendaknya berbagai kekhawatiran terhadap berbagai amal perbuatan dan perkataannya ini menjadi bekal untuk menghadapi berbagai suasana kubur yang menakutkan itu.
Adapun ihram dan talbiyah dari miqat: Maka pada saat itu hendaklah ia mengetahui bahwa maknanya ialah menyambut seruan Allah. Karena itu, berharaplah penerimaan dari-Nya dan takutlah bila dikatakan kepada Anda: "Tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu." Hendaklah Anda selalu berada dalam keadaan antara harap dan cemas. Janganlah Anda mengandalkan kemampuan dan kekuatanmu, tetapi bertawakallah kepada karunia dan kedermawanan Allah, karena waktu talbiyah merupakan awal persoalan (yang sebenarnya) dan sekaligus sangat penting.
Sufyan bin Uyainah berkata: Ali bin al-Husain ra menunaikan haji dan ketika berihram di atas kendaraan, wajahnya pucat pasi, badannya gemetar dan tidak bisa mengucapkan talbiyah, lalu ditanyakan kepadanya: Mengapa engkau tidak bertalbiyah? Ia menjawab: "Aku takut bila dikatakan kepadaku, "Tidak ada sambutan untukmu dan tidak ada kebahagiaan bagimu."
Ketika ber-talbiyah dengan suara keras di migat hendaknya orang yang bertalbiyah mengingat akan sambutannya kepada seruan Allah ketika berfirman: "Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji." (al-Hajj: 27) Juga seruan-Nya kepada makhluk dengan tiupan sangkakala, kebang-kitan mereka dari kubur dan berdesakan mereka di lapangan hari kiamat demi memenuhi seruan Allah; sementara itu mereka terbagi kepada golongan muqarrabin dan golongan yang dimurkai atau golongan yang diterima dan golongan yang ditolak. Pada mulanya mereka berada dalam suasana antara cemas dan harap seperti suasana para hujjaj di miqat dimana mereka tidak mengetahui apakah mereka mampu menyempurnakan haji dan diterima ataukah tidak?
Hal 80
Dostları ilə paylaş: |