Relevansi aplikasi dalam kajian keislaman secara umum dapat diterapkan dalam kajian kritik terhadap redaksi matan hadis. Penerapan metode kritik redaksi sebenarnya sudah dilakukan oleh para ulama terdahulu, khususnya dalam kajian hadis untuk menilai redaksi matan hadis apakah memiliki kecacatan (‘illat) berupa tambahan penjelasan (idrâj) yang diberikan oleh perawinya. Kritik redaksi juga dilakukan untuk menentukan bahwa sebuah riwayat dianggap sebagai riwayat yang janggal (syâdz) dan berbeda dengan riwayat lain yang kebanyakan (disebut riwayat mahfuz). Kritik redaksi dalam kajian hadis adalah langkah utama untuk mendeteksi apakah sebuah hadis memiliki kualifikasi yang dianggap menjatuhkan sehingga dikelompokkan sebagai bagian dari hadis yang lemah dan tidak dapat diterima (da’if), seperti hadis maqlûb, hadis mudtarib, hadis muharraf, hadis musahhaf, hadis mubham, hadis majhûl, dan lain sebagainya.
Keunggulan ilmu hadis pada umumnya adalah menyangkut tingkat ketelitian yang sangat tinggi terhadap isnâd, di mana kualifikasi para perawi akan sangat menentukan diterima atau tidaknya sebuah tradisi kenabian. Bahkan nilai sebuah matan juga ditimbang dari kesahihan isnâd yang membawanya.
Penerapan pendekatan kritik redaksi yang dipinjam dari studi biblikal diharapkan dapat meningkatkan aspek metodologis terhadap penelitian terhadap redaksi matan hadis, sehingga diketahui mana substansi yang benar-benar berasal dari tradisi kenabian, dan mana elemen tambahan yang hanya merupakan penjelasan, atau pesan khusus yang dibuat oleh para perawinya.
Penerapan metode kritik redaksi terhadap matan hadis ini penting mengingat kemunculan hadis palsu banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor non-religius seperti faksi politik yang tidak jarang menampakkan biasnya dalam bingkai agama yang sengaja dilakukan oleh para perawi hadis di kalangan para pengikut generasi awal yang dihormati.
Pendekatan Kontekstual
Makna Konteks
Makna konteks dalam ilmu bahasa mengandung 2 macam arti:
(1) sekeliling teks atau percakapan tentang sebuah kata, kalimat, peralihan atau turn (disebut pula co-text), dan
(2) dimensi situasi komunikatif yang relevan guna memproduksi atau menyempurnakan sebuah diskursus.
Dari dua macam arti yang secara leksikal bisa diturunkan dari kata “konteks” tadi beberapa arti khusus yang menandai definisi istilah ini secara terminologis dapat dijelaskan berdasarkan spesifikasi bidang ilmu yang memakainya. Makna konteks dalam ilmu komunikasi, linguistik, dan discourse analysis; misalnya, didefinisikan sebagai cara-cara para partisipan menentukan dimensi relevan situasi yang komunikatif dari sebuah teks, percakapan, atau pesan, seperti setting (waktu, tempat); aktivitas yang berlangsung (misalnya, makan malam keluarga, perkuliahan, debat parlemen, dll); atau fungsi partisipan dan peranannya (misalnya pembicara, teman, wartawan, dll); serta tujuan, rencana/niat, dan pengetahuan partisipan.
Pendekatan kontekstual mengindikasikan terjalinnya hubungan harmoni antara ayat-ayat kitab suci atau potongan bagian teks yang tengah dikaji dalam mengikuti aturan “teks dalam konteks”, yaitu apa yang harus diikuti oleh makna skriptural yang menjelaskan hubungan yang erat dengan ayat ketika berusaha untuk menentukan makna kitab suci. Konteks kitab suci juga semestinya mengikuti maksud dan tujuan sebagaimana dipahami oleh penulis asli terhadap sebuah pandangan dalam menyampaikan kebenaran skriptural kepada pendengarnya.
Penerapan pendekatan kontekstual dalam bidang kajian Tafsir Hadis menempati posisi cukup krusial ketika proses pewahyuan al-Qur’an pada sebagian kasus berhubungan dengan situasi sosio-historis dalam bentuk asbab nuzul yangmenjelaskan fenomena hidup (the living phenomenon) dari sebuah diskursus dalam proses pewahyuan al-Qur’an.
Konteks juga penting dalam penelitian hadis, di mana ungkapan, atau perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW lahir dari kejadian yang melatarbelakanginya. Untuk itu, pendekatan kontekstual baik dalam bentuk ulasan tentang setting historis, sosiologis, maupun budaya yang mendasari sebuah tradisi kenabian ataupun diktum agama pada masa pembentukannya di masa-masa sesudahnya menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan makna dan pemahaman yang bisa diambil darii hadis-hadis di luar susunan redaksionalnya.
Konteks juga penting dalam penelitian hadis, di mana ungkapan, atau perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW lahir dari kejadian yang melatarbelakanginya. Untuk itu, pendekatan kontekstual baik dalam bentuk ulasan tentang setting historis, sosiologis, maupun budaya yang mendasari sebuah tradisi kenabian ataupun diktum agama pada masa pembentukannya di masa-masa sesudahnya menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan makna dan pemahaman yang bisa diambil darii hadis-hadis di luar susunan redaksionalnya.
Dalam penelitian tentang diktum maupun doktrin agama, penyertaan konteks memiliki peranan penting dalam membentuk karekter dari diktum maupun doktrin tersebut. Lokasi turunnya wahyu, seperti yang membedakan antara kelompok ayat-ayat makkiyah yang turun di Mekkah dan kelompok ayat-ayat madaniah yang turun di Madinah sesudah hijrah, turut membentuk karakter redaksional maupun isi kandungan pesan yang disampaikan yang menandai ciri-ciri umum redaksi masing-masing periodisasi pewahyuan al-Qur’an tersebut.
Pertimbangan konteks, atau lebih tepatnya kronologi historis juga berpengaruh terhadap penetapan dan pembatalan hukum dalam kasus nasikh mansukh. Konteks kronologis menjadi kajian yang harus dicermati, sehingga pembacaan terhadap al-Qur’an dengan menyertakan konteks turunnya ayat tersebut dapat dijadikan patokan mana ayat yang turun lebih dulu ---yang hukumnya dibatalkan, dan mana yang turun belakangan dan menggantikan hukum yang pertama.