Walhasil, apapun pisau bedah yang digunakan dalam meneliti fenomena keagamaan melalui pendekatan kontekstual, pendekatan akademis ini bermuara pada semakin banyaknya titik-titik persinggungan antara agama dan kenyataan dalam kehidupan manusia kontemporer yang membutuhkan metodologi pemecahan masalah yang tidak saja harus tetap berlandaskan pada semangat universalitas al-Qur’an, di mana al-Qur’an adalah pesan Tuhan yang diperuntukkan bagi seluruh manusia, tetapi juga untuk bisa tetap menjaga agar tujuan yang diinginkan dari pesan Tuhan tersebut bisa dijelaskan dalam penelitian ilmiah kontemporer
Pendekatan Filsafat Hermeneutika Kaitan Hermeneutika dengan ilmu tafsir Secara etimologis, istilah hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan atau bentuk nomina hermeneia yang berarti penafsiran. Dengan menelusuri asal katanya, hermeneutika mengarah pada arti “membuat menjadi mengerti”, khususnya ketika proses ini mengikutsertakan bahasa, di mana bahasa merupakan satu-satunya medium dalam proses memahami. Proses ini dikaitkan dengan peran Hermes dalam mitologi Yunani yang bertugas sebagai pembawa pesan, sekaligus penafsir bagi pesan-pesan para dewa. Ini sejalan dengan makna kata kerja hermeneuein yang meliputi 3 aktivitas: - (1) mengekpresikan secara lantang dengan kata-kata, atau sebut saja “mengatakan”,
- (2) menerangkan, seperti dalam menerangkan situasi, dan
- (3) menerjemahkan, seperti dalam menerjemahkan pesan ke dalam bahasa asing. Ketiga aktivitas tersebut tercakup dalam makna kata “menafsirkan”.
Oleh karena itu, sudah semestinya bila hermeneutika memiliki kaitan yang erat dengan upaya penafsiran.
6 makna hermeneutika Hermeneutika sebagai teori penafsiran biblikal, Metodologi filologi secara umum, Ilmu tentang semua pemahaman lingusitik, Landasan metodologis bagi Geisteswissenschaften, Fenomenologi eksistensi dan pemahaman eksistensial, Sistem penafsiran, baik yang bersifat rekolektif maupun ikonoklastik, yang dipakai manusia dalam memahami makna dibalik mitos dan simbol-simbol.
1 Hermeneutika sebagai penafsiran biblikal Pengertian ini merupakan pemahaman yang tertua dan mungkin masih dikenal secara luas. Dalam masa yang paling awal, makna ini dipakai oleh J.C. Dannhauer (dengan karyanya yang terbit 1654 hermenutica sacra sive methodus exponendarum sacrarum litterarum) untuk membedakan penafsiran (exegesis) dengan aturan, metode, dan teori yang mengaturnya (hermeneutics). Dua hal yang patut dicatat dalam mencermati perkembangan hermeneutika yang diartikan sebagai teori penafsiran biblikal: - pertama, karakter hermeneutika sebagaimana diindikasikan dalam contoh-contoh teori penafsiran kitab suci; yang dalam hal ini dapat disebutkan bahwa hermeneutika menyajikan “sistem” interpretasi yang dengan itu suatu ayat dalam kitab suci dapat ditafsirkan. Melalui sistem tersebut, seorang mufassir dapat menemukan makna yang tersembunyi dari sebuah teks. Hal tersebut didasari pada pertimbangan, bukan saja lantaran sebuah teks tidak bisa ditafsirkan dengan sendirinya, tetapi setelah masa pencerahan teks-teks kitab suci merupakan wahana yang memiliki banyak kebenaran moral, yang akan bisa ditemukan di dalamnya jika prinsip-prinsip penafsiran dibentuk untuk menemukannya.
- Kedua, dengan memahami hermeneutika sebagai teori penafsiran biblikal, maka akan didapatkan kejelasan tentang ruang lingkup hermeneutika, yang tidak saja mencakup teori-teori eksplisit tentang aturan-aturan dalam menafsirkan, tetapi juga teori-teori yang didapatkan secara tidak langsung dalam praktek penafsiran yang dilakukan. Jika Gerhard Ebeling, misalnya mengkaji “Hermeneutika Martin Luther”, maka ia tidak saja memusatkan kajiannya pada pernyataan-pernyataan Luther tentang teori penafsiran biblikal, tetapi juga terhadap praktek penafsiran yang dilakukannya seperti yang didapatkan dengan menganalisis khutbah-khutbah yang diberikan dan tulisan-tulisannya yang lain. Dari sini, lingkup kajian hermeneutika menjadi lebih luas ---sebagai sebuah sistem penafsiran baik yang eksplisit maupun implisit--- yang tidak saja diterapkan bagi teks kitab suci, tetapi juga terhadap literatur di luar kategori kitab suci itu sendiri.
2,3,4 Hermeneutika sebagai metode filologi secara umum Konsekuensi dari perluasan ruang lingkup Hermeneutika yang meliputi teks-teks non-biblikal, maka dimulailah kecenderungan untuk memperlakukan kitab suci sama dengan perlakuan terhadap buku-buku sekuler lainnya. Dalam sebuah panduan hermeneutika yang ditulis 1761, Ernesti menyatakan bahwa makna verbal kitab suci harus ditetapkan secara sama seperti yang dilakukan terhadap buku-buku lain.[1] Hal senada diungkap oleh Spinoza, bahwa norma penafsiran biblikal hanya bisa menjadi penerang untuk akal yang sama.[2] Dengan mencermati perkembangan semacam ini metode penafsiran biblikal menjadi sama saja dengan filologi klasik yang menjadi dasar teori penafsiran sekuler, sebuah bangunan yang menjadi landasan bagi definisi modern kedua bagi hermeneutika sebagai metode filologi. Hermeneutika sebagai Ilmu pemahaman linguistik Hermeneutika dianggap sebagai “seni” atau “ilmu” memahami, sebagaimana dilontarkan oleh F. Schleiermacher. Di sini, hermeneutika mengimplikasikan sebuah kritik radikal terhadap landasan utama filologi, yang mengharuskan hermeneutika untuk bergerak mencapai batas luar konsepsinya sebagai sekumpulan aturan-aturan, dan untuk membuatnya koheren secara sistematis, yaitu sebuah bidang ilmu yang menjelaskan kondisi bagi pemahaman dalam segala dialog. Hasilnya, bukan lagi sekedar hermeneutika filologis, tetapi hermeneutika yang bersifat umum yang prinsip-prinsipnya dapat menjadi pondasi bagi penafsiran segala macam teks.
Dostları ilə paylaş:
|