86 Mohammad Arkoun, The Concept of Authority in Islamic Though, dalam Klauss Ferdinand and Mehdi Mozzafari (ed.), Islam, State and Society, (London : Curzon Press, 1988), hal. 23-35.
87 Ismail Yusanto, Islam Ideologi, hal. 18.
88 Ramli Kabi Ahmad Shiddiq Abdurrahman, Bai’at, hal. 23.
89 Menurut Muhammad Quthub, Sekularisme adalah Iqámah al-Hayát ‘ala Gair Asási min ad-dân yakni membangun struktur kehidupan di atas landasan selain agama. Lihat juga : Sayyid Quthub, Ancaman Sekularisme, 1986, hal. 5.
90 Lihat hasil wawancara penulis dengan anngota/ mantan anggota NII KW IX.
91 Wahbah al-Zuhayly, Tafsâr al-Munâr , hal. 249. Lebih jauh Wahbah Zuhayly menyatakan : {alat yang dimaksud pada ayat di atas adalah salat yang dilakukan dengan sempurna yang memenuhi rukun dan syarat-syaratnya. Jadi yang dimaksud dengan iqámah as-{alat adalah melaksanakan salat tersebut pada waktunya, lengkap dengan bacaan, ruku, sujud, duduk dan tasyahud. {alat yang demikian merupakan tiang agama dan merupakan media hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
92 Landasan tentang pentingnya berjama’ah antara lain hadis dari Umar ibn Khattab yang menyatakan bahwa “ Tidak sah Islam tanpa jama’ah, tidak sah jama’ah tanpa Imamah, tidak sah Imamah tanpa bai’at, dan tidak sah bai’ah tanpa ketaatan”.
93 Ramli Kabi Ahmad {iddiq Abdurrahman, Bai’at, Satu Prinsip Gerakan Islam, El-Fawaz Press, 1993, hal. 36 - 39. Judul aslinya adalah Al-Bai‘ah fi al-Nizám al-Siyásy al-Aslamâ wa Çabiqátuh fi al-hayát as-siyásiyyah wa al-Mu‘á[irah.
94 Definisi tasawuf menurut Junaid al-Baghdadi (w.289 H) tokoh sufi modern sebagai berikut : Tasawuf ialah membersihkan diri dari sifat yang menyamai binatang dan melepaskan akhlak yang fithri, menekan sifat basyariyah (kemanusiaan), menjauhi hawa nafsu, memberikan tempat bagi sifat-sifat kerohanian, berpegang kepada ilmu kebenaran, mengamalkan sesuatu yang lebih utama atas dasar keabadiannya, memberi nasihat kepada ummat, benar-benar menepati janji kepada Allah dan mengikuti syari'at rasulullah.
Selain itu, Zakaria al-Anshari (852-925 H) menyatakan bahwa : Tasawuf mengajarkan cara untuk mensucikan diri, meningkatkan akhlak, dan membangun kehidupan jasmani dan rohani untuk mencapai kebahagiaan abadi. Unsur utama tasawuf adalah penyucian diri dan tujuan akhirnya kebahagiaan dan keselamatan.
Jadi tasawuf identik dengan akhlak yang luhur. Oleh karena itu apabila barbicara masalah tasawuf maka akan berbicara tentang masalah yang sangat luas, yakni akhlak secara keseluruhan.
Menurut Ashaari Muhammad yang mengutip pendapat Imam Al-Ghazali, bahwa manusia memiliki nafsu yang bermacam-macam dan bertingkat-tingkat, dari mulai nafsu Amarah, Lawamah, Mulhamah, Muthma-imah, Radhiyah, Mardhiyah, sampai kepada nafsu Kamilah.
Nafsu Amarah adalah nafsu yang paling rendah yang termanifestasikan dalam segala sikap dan prilakunya yang tercela. Untuk mencapai kualitas nafsu yang lebih baik hingga mencapai tingkat ruhani paling unggul, manusia harus melatih diri menundukkan nafsu-nafsu buruk dan mengembangkan sikap-sikap yang terpuji yang disebut mujahadah al-nafs
96 Ibid.,p. 60-63, Juga : Ashaari Muhammad, Iman dan Persoalannya,Op.Cit.,p.82.
97 Asjhaari Muhammad, Mengenal Diri, Op.Cit.,p.63-65. Lihat Juga : Ashaari Muhammad, Huraian ke Arah Membangun Masyarakat Islam, Pusat Penerangan Arqam, Kuala Lumpr, Malaysia, 1983,p.97.
101 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai, LP3ES, Jakarta, 1982,p. 135.
102 Tim Penyusun Ensiklopedi,Op.Cit.,p 171- 172.
103 Ashaari Muhammad, Ulama dalam Pandangan Islam, Penerbit Hikmah, Kuala Lumpur, Malaysia, 1992, p. 54.
104 Abdul halim Abbas ,Loc. Cit..
105 Ashaari Muhammad, Ulama Dalam Pandangan Islam, Penerbit Hikmah, Kuala Lumpur, Malaysia, 1992, p. 54-55.
106 Ibid., p. 61.
107 Ibid.
108 Ibid.,p. 56-57.
109 Ibid.,p. 55.
110 Ibid.,p. 59. Lihat Juga : Abdul Halim Abbas,Op. Cit.,p. 84.
111 Ibid.,p. 84.
112 Abdul Halim Abbas, Bagaimana Menjadi Wali, Op. Cit.,p. 84.
113 Ibid.,p.105.
114 Ibid
115 Aurad, p. 144.
116 Sa'id Hawa, Jalan Ruhani, Bimbingan Tasawuf Untuk Para Aktivis Islam, Cetakan 1, Penerbit Mizan, 1995, p. 209.
117 Ibid.
118 Ibid., p. 211.
119 Ibid., p. 213.
120 Ibid., p. 214.
121 Ibid., p. 221.
122 Ibid.
123 Ibid.
124 Ibid., p. 224.
125 Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Op. Cit., p. 68-70 Lihat juga : Ashaari Muhammad, Berhati-hati Membuat Tuduhan,Pusat Penerangan Arqam, Sungai Penchala, Kuala Lumpur, 1989, p. 103.
126 Ibid
127 Ibid .,p. 104.
128 Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Op.Cit., p. 72.
129 Ibid.
130 Aurad, p. 71.
131 Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Op. Cit., p. 144.
134 Husain Hasai Tomai, Masalah Berjimpa Rasulullah ketika Selepas Wafatnya, Penrbit Pustaka Aman Press SDN. BHD., 1989, p. 59.
135 Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Op. Cit., p. 71.
136 Husain Hasan Tomai, Op. Cit.,p. 77.
137 Ibid, p. 77.
138 Sa'id Hawa, Loc. Cit.
139 Ashaari Muhammad, Aurad Muhammadiyah, Op.Cit., p. 70.
140 Ibid.,p. 144.
141 Ashaari Muhammad, Ulama Islam Dalam Pandangan Islam,,Op.Cit., p. 57-58. Karena berkeyakinan bahwa wali yang sudah meninggal masih bisa dimintai bantuan, maka seorang murid boleh ber-tawashul (menggunakan wali sebagai perantara) dalam berdoa. Bahkan menurut sebahagian besar tarekat, kalau seorang murid hendak berdoa, ia harus benar-benar dapat membayangkan Tuhan, akan tetapi itu tidak mungkin, maka ia harus dapat "menghadirkan" atau membayangkan wajah gurunya yang disebut tawajjuh. Dalam hal ini sepanjang hasil penelitian penulis, di kalangan DA tidak berlaku tawajjuhwalaupun jemaah DA mengenakan emblimb bergambar Ashaari Muhammad.