Aqidah Jihadiyah Umat Islam


Bantahan terhadap syuhbat yang berbahaya (dari) syaikh Al Albani



Yüklə 0,94 Mb.
səhifə9/13
tarix26.07.2018
ölçüsü0,94 Mb.
#58417
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   13

Bantahan terhadap syuhbat yang berbahaya (dari) syaikh Al Albani.

Telah tersebut di dalam kitab Al Aqidah Ath Thahawiyah, dengan syarh (penjelasan) dan tahqiq (pemeriksaan) oleh Syaik Al Albani, cetakan Al Maktab Al Islami 1398 H, halaman 47. Telah disebutkan di dalam suatu matan “ Kita tidak pernah berpendapat tentang bolehnya memberontak terhadap imam kita, dan para ulil amri kita, meskipun mereka berbuat aniaya kita tidak mendoakan mereka dnegan doa-doa yang buruk serta kita tidak akan mencabut/melepaskan tangan kita dari ketaatan terhadap mereka.”

Dalam catatan kaki, Syaikh Al Albani mengemukakan, “ pensyarah telah menyebutkan hadits-hadits yang banyak tentang matan itu, yang mana anda melihat hadits-hadits itu telah ditakhrij di dalam kitabnya.

Kemudian persyarah berkata, “ Adapun alasan agar tetap melazimi ketaatan terhadap mereka, meskipun mereka telah berbuat zhalim dikarenakan akibat dari membelot/ keluar dari ketaatan kepada mereka itu akan membuahkan kerusakan-kerusakan yang berlipat ganda bila dibandingkan dengan kerusakan akibat kezaliman merkea. Bahkan bersabar terhadap kezaliman mereka itu dapat menghapus kesalahan-kesalahan kita.

Karena Allah SWT tidak akanb menguasakan mereka atas diri kita melainka disebabkan oleh kerusakan amal-amal kita. Sedangkan balasan itu setimpal dnegna jenis amal yang kita lakukan. Maka kita wajib bersungguh-sungguh dalam memohon ampun (istighfar) dan tarbiyah (membina diri) serta memperbaiki amal (ishlahul amal). Allah SWT berfirman,

“ Dan demikianlah kami telah menjadikan sebagian orang zhalim itu penolong bagi sebagian yang lain, terhadap apa-apa yang telah mereka usahakan.’ (An An’am 9).

Maka bila rakyat ingin lepas dari kezaliman penguasa, hendaklah ia meninggalkan perbuatan zalim itu.

Pensyarah yang dimaksud oleh Al Albani adalah Ibnu Abi Al’izz Al hanafi, penulis Kitab Syarh Aqidah Thahawiyah, pernyataan beliau termaktub di dalam syarh beliau, cetakan Al Maktab Al Islami 1403 H, halaman 431).

Syaikh Al Albani sengaja meringkas pernyataan beliau, namun sebenarnya pensyarah tidak pernah menyebutkan lafaz “Tarbiyah” tetapi yang disebutkan di dalam tema itu adalah lafaz “taubat”.

Kemudian Al Albani mengomentari pernyataan pensyarah, seraya berkata, “ Di dalam pernyataan ini ada keterangan tentang jalan keluar dari kezhaliman penguasa yang merkea itu satu kulit dan satu bahasa dengan kita. Yaitu agar umat Islam bertaubat kepada Rabb mereka, dan membenarkan Aqidah mereka, serta mendidik diri-diri dan keluarga mereka berdasarkan ajaran Islam yang benar, sebagai perwujudan dari Firman Allah SWT.” Sesungguhnya Allah SWT tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka sendiri yang merubah nasib mereka.” ( Ar Ro’du : 11).

Seorang dari zaman ini ada yang mengisyaratkan tentang persoalan ini dengan ucapan,

“ Tegakkanlah daulah Islam di hati-hati kalian niscaya ia akan tegak untuk kalian diatas bumi kalian.”

Jalan keluar itu bukanlah apa yang dikhayalkan sebagian orang yaitu berupa revolusi bersenjata yang dilancarkan terhadap para penguasa dengan cara melakukan kudeta militer. Sesungguhnya, kudeta militer itu, selain ia merupakan bentuk bid’ah masa kini, ia juga menyelesihi nash-nash syari yang memerintahkan agar merubah apa yang ada di dalam jiwa-jiwa manusia itu sendiri dan membenahi Fondasi sebagai dasar untuk membangun suatu bangunan. Allah SWT berfirman,” Dan Allah SWT pasti akan menolong siapa saja yang menolong agamanya, sesungguhnya Allah SWT itu Maha Kuat lagi Maha Perkasa. “ (Al Hajj : 40).

Inilah komentar dari Syaikh Al Albani. Di dalamnya terdapat kekeliruan yang berbahaya dan kesamaran yang parah. Tentu hal yang demikian tidak pantas terjadi pada syaikh dan siapapun selain beliau yang memiliki segudang ilmu.

Keterangan tentang hal ini sebagai berikut;


  1. Pada Bab ketiga, tentang kewajiban-kewajiban thaifah Manshurah telahsaya sebutkan yaitu kewajiban jihad melawan penguasa-penguasa murtad yang memerintah di negeri-negeri kaum muslimin dengan hukum-hukum selain hukum Allah SWT (syariat Islam).

Disana juga saya sebutkan fatwa-fatwa Ahmad Syakir dan Muhammad Hamid Al Faqi serta Muhammad bin Ibrahim Aalusy syaikh tentang pengkafiran mereka itu.

Diantara komentar syaikh Ahmad Syakir apakah boleh di dalam syariat Allah SWT itu bila kaum muslimin diatur dengan undang-undang yang diambil dari undang-undang Eropa yang paganis lagi Kafir itu sampai pada kata beliau, “ Sesungguhnya perkara tentang undang-undang/hukum positif ini merupakan perkara yang terang seterang matahari yaitu kufur yang nyata tidak ada sedikitpun yang tersembunyi. (Umdatut tafsir, tulisan Ahmad Syakir / 173 – 174).

Diantara ucapan syaikh Muhammad Hamid Al faqi’ (semisal dengan ini atau bahkan lebih buruk darinya adlah orang yang menjadikan ucapan-ucapan orang-orang Eropa menjadi undang-undang yang mengatur masalah darah, nikah dan harta serta mendahulukannya daripada apa yang telah ia ketahui dan telah jelas baginya tentang hukum-hukum yang bersumber dari kitab dan sunah Rasulnya. Orang semacam ini tidak diragukan lagi kemurtadannya bila ia tetap mengulang-ulang perbuatannya dan tidak mau kembali kepada hukum yang telah diturunkan oleh Allah SWT. Tidak bermanfaat baginya sebutan/nama apapaun yang ia sandang, demikian pula amal papaun berupa amal-amal zhahir sepeti sholat, puasa dan haji serta sejenisnya, semua itu tidak bermanfaat baginya.” (Fathul Majid Syarh Kitabut Tauhid) catatan kaki hal 396).

Diantara ucapan Syaikh Muhammad bin Ibrahim Aalusy (Sesungguhnya berhukum dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT adalah kufur akbar di berbagai keadaan. Yang kelima diantaranya adalah beliau mensifati keadaan bagi sebagian besar negeri-negeri kaum muslimin saat ini dengan keterangan yang detail.

Beliau menuturkan, “ Pengadilan-pengadilan yangada dikebanyakan bumi Islam saat ini di dalamnya telah tersedia undang-undang buatan manusia yang komplit, dengan pintu terbuka, dan orang-orang pun bahu membahu mendukungnya. Para penguasanya mengatur rakyatnya dengan undang-undang yang bertentangan dengan hukum sunah dan kitab. Yaitu berupa hukum-hukum dari undang-undang yang diberlakukan secara mengikat bagi mereka, menjadikannya sebagai dasar untuk memberikan ketetapan bagi mereka dan mewajibkan hukum-hukum itu atas merkea. Lalu kekufuran mana yang lebih tinggi dari kekufuran ini. Dan pembatal syahadat (bahwa muhammad adalah utusan Allah SWT) mana yang lebih parah setelah pembatal ini ? ( Dari Risalah Tahkimul Qowanin).

Keterangan ini memberikan kecukupan bagi anda wahai saudaraku kaum muslim untuk mengetahui hukum apa yang terjadi di negeri-negeri ini yaitu menyingkirkan hukum Allah ta’ala dan membuat syariat/undang-undang yang bertentangan dengan hukum Allah SWT untuk mengatur manusia merupakan gambaran yang sama dengan peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat, ( Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT, maka mrekea itulah orang-orang kafir : Al Maidah : 44).

Bentuk peristiwa yang menjadi turunnya ayat, secara qathi terdapat di dalam nash itu sendiri menurut ijma”. Sebagaimana penuturan As Suyuthi di dalam kitab Al Itqan juz 1 / 28-30).

Perkara ini, yakni kufurnya aturan-aturan yang mengatur manusia dengan dasar selain apa yang telah diturunkan Allah itu terlihat jelas oleh Syaikh Al Albani, sebagaimana penuturan beliau tentang ketetapan perkara ini.

2. Menurut saya, diantara kekeliruan-kekeliruan yang berbahaya diaman sebagian orang terjerumus di dalamnya, yaitu mendudukan hadits-hadits yang sebenarnya berlaku bagi imam-imam kaum muslimin diberlakukan utnk para penguasa murtad itu.

Misalnya hadits Ibnu Abbas (Marfu’)

“Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya, maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang membelot dari ketaatan terhadap penguasa walaupun sejengkal saja, niscaya ia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.”(muttafaq alaih).

Dan hadits Auf bin Malik Al Asyaji, bahwa Nabi SAW bersabda,

“ Sebaik-baik pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian mencintai mereka dan mereka mencintai kalian, kalian mendoakan mereka dan merekapun mendoakan kaian. Sedangkan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah para pemimpin yang kalian benci terhadap mereka dan mereka membenci kalian, kalian melaknat mereka dan merekapun melaknat kalian.”

Auf bin Malik berkata,

Kami bertanya,

“ Wahai Rasulullah apakah kami tidak memerangi mereka saja ? “ Beliau menjawab, “Jangan ! Selama mereka mau menegakkan sholat di tengah-tengah kalian”(HR. Mukmin).

Di dalam riwayat lain disebutkan, “Tidak, selama mereka masih sholat !

Kupasan tentang kesamaan ini dapat dilihat dari dua segi :



Pertama : Hadits-hadits ini berlaku khusus bagi para penguasa muslim bukan penguasa kafir. Dan hadits-hadits ini tidak bisa dijadikan dalil untuk para penguasa murtad karena :

  1. Mereka tidak memenuhi syarat-syarat Imamah seperti ilmu syari dan ‘adalah (berlaku lurus sesuai ajaran Islam).

  2. Mereka tidak pernah diangkat menjadi penguasa dengan baiat syari yang benar. Sedangkan baiat itu tidak akan sesuai tuntutan syari kecuali bila telah didasarkan atas syarat agar berhukum dengan kitab dan sunah.

Sebagaimana Al Bukhari telah meriwayatkan bahwa Ibnu Umar pernah menulis surat kepada Abdul Malik bin Marram dalam rangka membaiatnya ! “ Aku mengakui bahwa mendengar dan taat diatas dasar. Kitab Allah SWT dan Sunah rasulNya wajib diberikan kepadamu, semampuku ( hadits 7272)

Ibnu Hajar berkata, Pada dasarnya di dalam pembaiatan Imam itu ia dibaiat agar mengamalkan kebenaran, menegakkan hudud dan beramar makruf nahi mungkar.” ( fathul Bari 13/203)

Sedangkan para penguasa murtad itu mereka bersumpah, untuk mengamalkan undang-undang dan hukum-hukum positif, demokrasi sosialisme dan paham-paham kafir lainnya disaat mereka menerima jabatan pemerintahan.

c. Mereka tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban Imam dan yang pertama adalah menjaga agama Islam ini diatas dasar-dasarnya yang telah baku. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Al Mawardi tentang kewajiban-kewajiban Imam kaum muslimin baik dari sisi syarat-syarat, baiat maupun kewajiban-kewajiban sebagaimana point a, b, c, diatas.

Anda juga melihat bahwa mendudukkan hadits-hadits Imam atas penguasa-penguasa thaghut itu menimbulkan kekeliruan yang membahayakan dan kesamaran.

Kedua, Jika hadits-hadits tentang imam tadi dipaksakan untuk tetap diberlakukan atas mereka, maka sesungguhnya hadits-hadits ini berkaitan erat dengan hadits ubadah bin Shomit [ Dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah), Nabi SAW bersabda, “ kecuali jika kalian melihat kufur yang nyata yang kalian memiliki bukti/keterangan dari Allah tentangnya] (muttafaq alaih).

Karenanya kapanpun penguasa itu melakukan kufur yang nyata seperti berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah berarti benar-benar telah gugur ketaatan terhadapnya dan ia telah keular dri kursi kekuasaannya serta wajib diperangi.

Sebagaimana kata Al Qodhi ‘Iyadh didalam menjelaskan hadits ubadah itu, beliau berkata, “ Ulama bersepakat bahwa Imamah tidak boleh diserahkan kepadaorang kafir, dan bila muncul kekufuran dari seorang kafir, dan bila muncul kekufuran dari seorang amir maka ia wajib dicopot”, sampai pada kata beliau , “ Maka jika ia melakukan kekufuran, mengubah syariat, atau berbuat bid’ah berarti ia telah keluar dari kekuasaannya serta ketaatan terhadapnya menjadi gugur. Kaum musliminpun wajib memeranginya dan mencopotnya lalu mengangkat Imam yang adil, jika hal itu memungkinkan mereka dan seterusnya.” ( Shahih Muslim, dengan syarh Imam Nawawi 12/229).

Dari keterangan diatas tentu anda melihat, bahwa tidak ada tempat untuk berdalil dengan hadits-hadits Imam Kaum Muslimin guna diberlakukan pada diri penguasa thaghut yang murtad itu.

Anda juga melihat alangkah bahayanya kesamaran yang berkembang dari istidlal (berdalil) dengan hadits-hadits ini, yang mana ia akan mengakibatkan berpalingnya kaum muslimin dari jihad memerangi thaghut-thaghut itu yang telah diwajibkan atas mereka.

3. Syaikh Al Albani juga tergelincir di dalam kekeliruan saat mengomentari kita Aqidah Thahawiyah.

Perlu diingat bahwa pernyataan Imam Ath Thahawi dan Ibnu Abil (Selaku pensyarah) adalah ditujukan kepada diri Imam Muslimin, jika ia berbuat fasik atau aniaya, dan bukan ditujukan kepada pemimpin yang kafir. Dan ini sangat jelas terdapat di dalam penuturan Imam Ath Thahawi,”Kami tidak melihat (kebolehan) memberontak terhadap para Imam kita”. Artinya Imam-imam kaum muslimin. Lalu Al Albani mengambil pernyataan kedua Imam tadi dan mendudukannya pada para penguasa muslim zaman ini, yang mana kekufuran dan kemurtadan mayoritas mereka tidak diragukan sama sekali, Akhirnya hal itu mengakibatkan kesamaran yang berbahaya.

Dan syaikh Al Albani sebenarnya telah menetapkan kekufuran sistem yang mengatur kehidupan kaum muslimin dengan selain syariat Islam, diantaranya ucapan beliau, “ Saya benar-benar telah mendengar banyak sekali diantara mereka (kaum muslimin) yang berceramah dengan penuh semangat dan ghirah Islam yang terpuji untuk menetapkan bahwa hakimiyyah itu hanya hak Allah SWT semata, dengan itu pula ia menampar sistem kekuasaan kafir. Ini jelas sesuatu yang bagus, sekalipun pada saat ini kita tidak mampu merubahnya. ( Al Haditsu Hujjatan binafsihi fil Aqaid wal Ahkam 96,97)

Ini adalah ucapan Al Albani, beliau bersikap diam terhadap ta’liq (komentar) Syaikh Ahmad Syakir (di dalam syarh Aqidah Thahawiyah), yaitu ucapan pensyarah yang berbunyi (sesungguhnya seorang hakim itu, bila ia berkeyakinan bahwa berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah SWT itu tidak wajib, boleh pilih-pilih atau ia meremehkannya disertai keyakinannya bahwa ia adalah hukum Allah SWT, maka yang demikian ini adalah kufur akbar).

Ahmad Syakir mengomentari pernyataan diatas dengan ucapan beliau, “ dan yang demikian ini seperti yang menimpa orang-orang yang belajar undang-undang Eropa yaitu, Para tokoh-tokoh umat Islam dan wanita mereka yang telah diresapkan ke dalam hati-hati mereka rasa cinta terhadap undang-undang kafir itu, tergila-gila padanya, membelanya berhukum dengannya dan menyiarkannya….). (Syarh Aqidah Thahawiyah 323, 324).

Lalu bagaimana Syaikh Al Albani berkata bahwa jalan keluar dari para penguasa kafir itu adalah dengan sabar dan tarbiyah ?

Hal yang demikian itu tentu bertentangan dengan jumhur salaf yang telah menetapkan bahwa kesabaran itu untuk menghadapi hakim/penguasa muslim jika ia berbuat fasiq atau aniaya. Adapun bila ia berbuat kekafiran maka wajin memeranginya bila mampu, sebagaiman ijma ulama’.

Tentang ini saya telah sebutkan pernyataan Al Qodhi ‘Iyadh dan Ibnu Hajar.Keduanya telah mengutip ijma’ tentang wajibnya memerangi penguasa kafir. ( Shahih muslim dengan syarh An Nawawi 12/229 & fathul bari 13/ 7, 116, 123).

Diantara ucapan Ibnu Hajar adalah [“Kesimpulannya, bahwa penguasa Muslim itu harus copot bila berbuat kekafiran atas dasar ijma’. Makawajib bagi setiap muslim untuk melaksanakannya.” ( Fathul Bari13/123).

Pernyataan manakah yang lebih terang dari ini ?

Hukum bersabar terhadap penguasa muslim yang berbuat aniaya dan memberontak terhadap penguasa kafir dapat dipahami dari kompromi antara hadits-hadits tentang ketaatan terhadap para Imam kaum muslimin.

Hadits-hadits yang menyuruh bersabar terhadap para imam, seperti hadits-hadits Ibnu Abbas (marfu’).

“ Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa keluar dari ketaatan terhadap penguasa walaupun sejengkal saja niscaya ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah”. ( Muttafaq alaih).

Semisal dengan itu juga adalah hadits wail bin hajar dan hadits ummu salamah, semoga Allah SWT meridhoi mereka semua.

Hadits-hadits ini diikat oleh hadits Ubadah bin Shomit”Kami pernah dipanggil Nabi SAW lalu kami berbai’at untuk selalu mendengar dan taat baik disaat kami suka atau tidak suka, disaat kami sulit atau mudah atau saat kami diperlakukan tidak adil dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah) beliau berkata, “Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata yang kalian memiliki bukti dari Allah SWT tentangnya”. (Muttafaq alaih).

Hadits ini adalah hadits yang memerintahkan bersabar terdapa imam sekaligus menjadi pengkhususnya. Maka jika seorang Imam/penguasa berbuat kafir niscaya wajib ditentang dan digulingkan !

Al Bukhari mengisyaratkan pengikatan (Hadits) seperti ini dengan menyebutkan hadits-hadits sabar seperti hadits-hadits Ibnu Abbas dan Ibnu Masud tadi lalu mengikutinya dengan hadits ubadah di dalam bab yang sama. ( Kitabul Fitan, Shahih Bukhari pada bab II).

Jadi kalau keluar dari kekufuran para penguasa murtad adalah dengan memerangi mereka dengan senjata dan ini hukumnya wajib disaat ada kemampuan, menurut ijma’, jalan keluar itu bukan dengan tarbiyah saja. Hujah Syaikh Al Albani telah dikalahkan dengan hujah ijma’ yang telah dinukil Al Qodhi ‘Iyadh dan Ibnu Hajar.

Dan apabila penguasa melakukan kekufuran maka tidak perlu melihat mafsadat (kerusakan) yang diakibatkan dari pemberontakan terhadap mereka. Karena tidak ada mafsadat yang lebih besar dari fitnah kekufuran. Firman Allah SWT, “ Dan fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada pembunuhan (Al Baqarah 217).

Para ulama juga sepakat bahwa menjaga agama lebih di dahulukan dari menjaga nyawa, harta, keturunan, kehormatan dan harga diri.

Di muka telah disebutkan ucapan Ibnu Taimiyah, “ yang demikian itu bahwa Allah SWT membolehkan pembunuhan terhadap jiwa-jiwa manusia. Karena ada kebutuhan untuk kemaslahatan manusia itu sendiri, sebagaimana FirmanNya, “ Dan fitnah itu lebih besar dosanya daripada pembunuhan”. Artinya pembunuhan itu, walaupun didalamnya terdapat keburukan dan kerusakan, namun di dalam fitnah orang-orang kafir terdapat keburukan dak kerusakan yang lebih besar darinya. (Majmu Fatawa 28/355).

4. Diantara ucapan Al Albani di dalam kitab Al Haditsu Hujjatun Binafsihi, hal. 97, yaitu bahwa pada hari ini kita tidak mampu memukul sistem-sistemn kafir. Maka sesungguhnya jika kaum muslimin dalam keadaan lemah, tidak mampu berjihad, mereka wajib meraih kemampuan, karena Allah SWT berfirman,” Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka dengan segenap kekuatan yang kalian sanggupi”. (Al Anfal : 60)

Inilah yang telah ditetapkan Ibnu Taimiyah, yaitu bahwa disaat kewajiban jihad gugur disebabkan ketidakmampuan atau lemah maka kewajiban pada saat itu adalah I’dadul Quwah (Menyiapkan kekuatan). (Majmu’ Fatawa 28/259).

Kekuatan itu adalah senjata, bukan tarbiyah, sebagaimana hadits uqbah bin amir (Marfu’).

“Ingatlah ! sesungguhnya kekuatan itu adalah melempar !” (HR. Muslim).

Syaikh al Albani sendiri telah menetapkan hal ini, dimana beliau telah menyebut hal ini di dalam ucapannya yang berjudul Al Mustaqbalu lil Islam (masa depan milik Islam).

Saya telah menukilnya di dalam masalah perjanjian, dihalaman 242, dari Risalah ini. Al Albani berkata, [ hadits yang bermakna ] Perkara ini benar-benar akan sampai ke tempat-tempat yang dilalui oleh siang dan malam, … sampai pada kata beliau, “diantara perkara yang tidak diragukan lagi bahwa untuk mewujudkan tersebarnya Islam mengharuskan kaum muslimin untuk kembali kuat baik dari sisi spiritual, material dan persenjataan mereka, hingga merekamampu mengalahkan kekuatan kekafiran dan thaghut-thaghut yang melampaui batas. (dikutip dari Muqaddimah Kitab Al Hikamu Al jadiratu bil Idzaati).

Jadi disaat kaum muslimin lemah dan tidak mampu melawan musuh, kewajiban pada saat itu adalah menyiapkan kekuatan ! bukan sekedar Tarbiyah.

5. Dan ucapan syaikh Al Albani bahwa revolusi bersenjata terhadap para penguasa murtad merupakan pertimbangan keliru yang dikhayalkan oleh sebagian orang adalah tidak benar, ia bukanlah pertimbangan yang keliru, bahkan tindakan itu merupakan bentuk daripada mengikuti sunah Nabi SAW sebagaimana Hadits Ubadah bin Shamit !

“ dan agar kami tidak merampas kekuasaan dari ahlinya (penguasa yang sah). Nabi berkata, “ Kecuali jika Engkau melihat kufur yang nyata yang engkau memiliki bukti dari Allah SWT tentangnya. (Muttafaq alaih.

Dalam menafsirkan Firman Allah SWT [Apakah hukum jahiliyah yang kalian cari (Al Maidah 50) Ibnu Katsir berkata,” Allah SWT mengingkari tindakan orang yang keluar dari hukum Allah SWT yang mengandung segala bentuk kebaikan, dan yang mencegah segala keburukan lalu ia membuat tandingan kepada selainnya berupa pendapat-pendapat, hawa nafsu, dan istilah-istilah yang dibuat oleh para tokoh tanpa bersandar diatas hukum/syariat Allah SWT. Sampai pada kata beliau” Maka barangsiapa melakukan itu berarti ia telah kafir, wajib dibunuh, hingga ia kembali kepada hukum Allah SWT. Maka tidak boleh berjukum kepada selain hukum Allah SWT itu, sedikit maupun banyak.”

Lalu bagaimana Syaikh mengatakan bahwa melawan mereka (para penguasa murtad) degnan persenjataan, di zaman sekarang ini dianggap pertimbangan yang keliru, sedangkan Al Qodhi ‘Iyadh Ibnu Hajar telha menukil ijma’ tentang wajibnya memerangi orang-orang seperti mereka.
6. Kudeta militer hanyalah satu macam cara diantara berbagai macam cara pemberontakan bersenjata terhadap thaghut-thaghut itu. Dan ia hukumnya wajib.

Lalu bagaimana Syaikh mengatakan kewajiban syari sebagai bentuk bid’ah.

Kudeta militer bukan merupakan bid’ah masa kini sebagaimana pendapat syaikh. Pada zaman Nabi SAW telah terjadi hal demikian itu.

Yaitu ketika Fairuz ad Dailami memberontak terhadap Al Aswad Al ‘Ausi yang mengaku sebagai Nabi lagi pendusta, hingga Fairuz membunuhnya.

Siapapun telah menyebutkan peristiwa ini pada Faqrah sebelumnya. Sebagaimana pernah saya sebutkan di akhir-akhir masalah perjanjian setia dan baiat yait contoh-contoh tentang pemberontakan terhadap penguasa yang sah (Bab II), yang kesemuanya mirip degnan kudeta militer. Dimana peristiwa-peristiwa itu terjadi pada Tiga abad yang utama (zaman Nabi, Sahabat, Tabiin).

Jadi kudeta militer bukan termasuk bid’ah masa kini sebagaimana pendapat syaikh.

7.Syaikh tidak hanya mengatakan bahwa perlawanan bersenjata adalah bid’ah. Bahkan beliau mengatakan bahwa perlawanan bersenjata itu menyelisihi nash-nash syari yang menyuruh untuk merubah apa yang ada pada diri manusia. “Sesungguhnya Allah tidak merubah nasib suatu kaum hingga ia merubah apa yang ada pda diri mereka sendiri.” (Ar Ra’du :11)>

Perkaranya tidak seperti yang diucapkan beliau itu. Sesungguhnya perlawanan bersenjata (jihad fi sabilillah) termasuk bagian dari merubah apa yang ada pada diri manusia. Karena, sesungguhnya kehinaan yang menimpa kaum muslimin dimana mereka hidup di bawah kekuasaan penguasa-penguasa murtad tidak akan pernah terjadi kecuali karena sebab mereka telah meninggalkan jihad, condong terhadap dunia dan takut mati. Dan tidak ada jalan keluar bagi kaum muslimin dari kehinaan ini kecuali dengan merubah ini semua. Artinya dengan jihad dan tidak condong terhadap kehidupan dunia yang penuh tipuan. Hal demikian ini telah jelas menurut nash, sebagaimana dua hadits Tsauban dan Ibnu Umar, semoga Allah meridhoi mereka. Dari Tsauban bahwa Rasulullah SAW bersabda,

“ Hampir-hampir kalian dikerumuni oleh umat-umat dari setiap untuk sebagaimana makanan yang ada diatas piring besar yang dikerumuni banyak orang. “ Kami Bertanya, “ Ya Rasulullah apakah jumlah kami pada saat itu sedikit ? “ Nabi SAW menjawab : “ Kalian pada hari itu berjumlah banyak, Tetapi kalian hanyalah seperti buih air bah. Kehebatan kalian telah dicabut dari hati musuh-musuh kalian dan Dia menjadikan penyakit Wahn di hati kalian. “ Mereka berkata, “ Apakah penyakit Wahn itu ya Rasulullah ? “ beliau bersabda, “ Cinta hidup dan benci mati.

Dari Ibnu Umar bahwa Nabi SAW bersabda,

“ Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah dan kalian sibuk berternak serta puas dengan bercocok tanam, sedangkan kalian meninggalkan jihad. Niscaya Allah akan menmpakan kehinaan ats kalian yang tidak akan dicabut hingga kalian kembali kepad agama klian.” (HR Abu Dawud.”

Anda dapat melihat bahwa meninggalkan jihad adalah bagian dari sebab hinanya kaum muslimin. Dan untuk merubah ini hanya dengan kembali kepada jihad. Khususnya jihad yang wajib, seperti jihad memerangi Thaghut. Jadi jihad itu termasuk merubah apa yang ad pada diri-diri manusia yang tentu tidak bertentangan sebagaimana kata Syaikh Al Albani. Dan perubahan ap yang ada pada diri-diri manusia itu tidak hanya dengan ilmu dan tarbiyah saja yang disebut Syaikh sebagail jalan keluar. Bhkan jihad yang diingkari syaikh adalah sebagai jalan keluar yang semestinya.

8. Kami sepakat dengan Syaikh tentang kewajiban merubah apa yang ada pada diri masing-masing manusia agar Allah SWT mencabut kehinaan dan kerendahan dari diri kita.

Saya telah menyebutkan hal ini pada dasar kelima, dari tema lima hal yang mendasari terwujudnya kemenangan dan hal-hal yang menyebutkan ia tertunda, tepatnya diawal-awal masalah I’dad Imani (Lihat Bab IV kewajiban Amir yang kedelapan).

Namun demikian kami berbeda pendapat dengan syaikh pada beberapa perkara diantaranya :

a. Ungkapan beliau bahwa perlawanan bersenjata (jihad) itu menyelisihi konsep merubah apa yang ada pada diri manusia seperti keterangan diatas.

b. Membatasi bentuk merubah apa yang ada pada diri manusia hanya dnegna ilmu dan tarbiyah. Dan saya akan menyendirikan pembahasan dua perkara ini di lampiran ketiga dan keempar, tepatnya diakhir pasal ini.

Pada pembahasan itu, anda akan melihat bahwa ilmu syari dan ‘adalah (berlaku lurus sesuai ajaran Islam) bukan merupakan syarat wajib jihad. Sedangkan orang yang bodoh dan hasik juga mendapatkan perintah berjihad dengan sempurna sebagaimana orang yang berilmu dan orang yang shalih.

Jihad yang hukumnya Fardhu ain tidak boleh ditunda disat ada kemampuan/qudrah hanya dengan maksud ingin mencapai sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan syarat wajib jihad.

Bila jihad tida dapat terlaksana kecuali bersama dengan Amir fajir, atau prajurit yang banyak berbuat kefasikan, maka yang wajib adalah berjihad bersama mereka untuk menolak kerusakan yang lebih besar, yaitu kerusakan yang bersumber dari orang-orang kafir. Inilah madzhab Ahlus Sunah wal Jama’ah, sebagaimana kata imam Ibnu Taimiyah, [“ Dan karena inilah bahwa diantara dasar-dasar ahlus sunah wal jamaah adalah berjihad bersama setiap orang baik dan orang fasik. Karena Allah SWT menguatkan agama ini dengan laki-laki yang Fajir (berbuat fasik) dan kaum-kaum yang tidak mendapatkan bagian diakherat sebagaimana khabar dari Nabi SAW.

Karena bila peperangan tidak dapat terlaksana selian bersama dengan pemimpin-pemimpin yang fajir atau bersama prajurit yang banyak berbuat Fajir. Maka pasti akan terjadi sala satu dari dua hal ! Yaitu ditinggalkannya perang bersama mereka yang mengakibatkan berkuasanya musuh yang lebih besar bahayanya terhadap agama. Atau tetap berperang bersama Amir Fajir itu sehingga dnegannnya akan dapat menolak dua hal yang lebih Fajir dan dapat menegakkan syariat Islam yang lebih banyak, meskipun tidak dapat menegakkan semuanya. Beginilah yang wajib dilaksanakan pada kejadian seprti ini, dan kejadian-kejadian lain yang serupa. Bahkan banyak sekali peperangan-peperangan yang terjadi setelah era Khulafaur Rasyidin dimana peperangan itu tidak terjadi melainkan dengan cara ini. (Majmu’ Fatawa 28/506 – 507).
c. Begitu juga bila jihad tidak dapat dilakukan kecuali dengan ahli bid’ah, maka yang wajib adalah berjihad bersama mereka.

Kita tidak mengatakan, “ Kita tidak berperang bersama mereka hingga mereka meninggalkan kebid’ahan-kebid’ahan mereka tetapi kami tetap berjihad bersama ahli bid’ah dengan selalu mengajak mereka untuk beriltizam (komitmen) terhadap sunah.”

Ibnu Taimiyah berkata, “ Bila terdapat halangan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban baik berupa ilmu, jihad dan sebagainya. Dan kewajiban-kewajiban itu hanya bisa dilaksanakan dengan orang-orang yang masih berbuat bid’ah dimana bahayanya bukan bentuk bahaya yang mengabaikan kewajiban itu sendiri, maka meraih kemaslahatan yang wajib dengan tetap menanggung kerusakan yang lebih ringan adalah lebih baik daripada sebaliknya. Dan karenanya pembicaraan dalam masalah ini memerlukan banyak penjabaran. (Majmu’ Fatawa 28/212).

Menurut saya kita sepakat dengan Syaikh Al Albani bahwa berkuasanya orang-orang kafir dan berbagai kezaliman atas diri kita hanya disebabkan kemaksiatan-kemaksiatan yang kita lakukan. Allah berfirman, “ Dan musibah keburukan yang menimpa semata-mata berasal dari kamu sendiri.” (An Nisa 79).

Sedangkan Ibnu Hazim berkomentar keras dalam mengingkari siapa saja yang melarang jihad bersama dengan amir yang Fasiq, beliau bersabda, “ Tidak ada dosa setelah kekufuran yang lebih besar dari dosa orang yang melarang jihad terhadap orang kafir dan menyuruh untuk diserahkannya para wanita muslimah kepada mereka disebabkan kefasikan seorang laki-laki muslim (yang orang tadi tidak mau berjihad bersamanya) yang mana kefasikan orang yang selainnya saja tidak pernah diperhitungkan.” (Al Muhalla 7/300).

Hal ini merupakan hukuman kodrati bagi kita.

Tetapi kami berbeda pendapat dengan Syaikh tentang pembatasan cara untuk menolak mereka (para penguasa thaghut) itu hanya dengan taubat dari berbagai kemaksiatan dan kembali kepada Allah (Inabah).

Dan Syaikh mengingkari cara syari untuk menolak orang-orang kafir itu (seperti penguasa murtad). Cara syari yang dimaksud adalah jihad yang disebut oleh Syaikh dengan Khuruj Musallah (Perlawanan bersenjata).

9. Diantara pernyataan Syaikh yang bertentangan satu dengan yang lainnya, bahwa beliau mengajak umat Islam untuk bersabar terhadap kelakuan penguasa mereka dan pada saat yang sama beliau menyerukan kepada mereka untuk berjihad melawan kaum Kuffar penjajah, dengan ucapan beliau, “ Adapun kaum Kuffar penjajah itu, maka sama seklai tidak ada ketaatan bagi mereka. Bahkan wajib menyiapkan persiapan yang sempurna baik materi maupun mental untuk mengusir mereka dan mensucikan bumi Islam dari kekotoran-kekotoran mereka. (Kitab Aqidah Thahawiyah, syarh wa Ta’liq Al Albani, 48).

Kafir penjajah itu adalah kafir ajnabi (asing). Dan telah saya jelaskan sebelumnya bahwa tidak ada perbedaan antara orang kafir yang berkuasa terhadap umat islam itu keadaanya ajnabi (orang asing) atau Mahali (orang tempatan). Karena alasan kewajiban jihad melawannya terdapat pada dua keadaan, satu diantaranya sifat kufur itu sendiri. Sebagaimana Kafir Mahali dapat berubah menjadi (orang asing) ajnabi bagi umat islam karena kekafirannya (meskipun berada dalam satu tempat). Sebagaimana Firman Allah SWT,

“Allah berkata, “ Wahai Nuh sesungguhnya ia bukan keluargamu, sesungguhnya perbuatannya adalah bukan perbuatan yang shalih.” (Hud : 46)

Saya telah menjelaskan hal ini sebelumnya.


10. Selain point kesembilan diatas Syaikh juga berkata di dalam kitab yang sama, “ Ketahuilah bahwa jihad itu ada dua bagian. Yang pertama Fardhu Ain, yaitu menghalangi serangan musuh yang masuk ke sebagian negeri Islam, seperti Yahudi yang sekarang ini menjajah Palestina, maka seluruh kaum muslimin berdosa hingga Yahudi itu keluar dari Palestina, (Halaman 49).

Sebelumnya telah saya sebutkan, bahwa para penguasa murtad itu hakikatnya musuh kafir yang menguasai negeri Islam, karena itu jihad melawan mereka hukumnya Fardhu Ain. Bahkan jihad melawan penguasa murtad lebih di dahulukan dengan dua alasan yaitu, kedekatan (Al Qurbu) dan Ar Ridah (Kemurtadan). Bahkan orang-orang Yahudi tetap bisa bercokol di Palestina itu hanya disebabkan mereka dipelihara oleh para penguasa Thaghut yang murtad itu.

Kemudian kami bertanya kepada Syaikh satu pertanyaan, “ Kenapa beliau berkata bahwa jalan keluar dari kezhaliman para penguasa adalah dengan cara mengadakan perubahan pada diri masing-masing orang, melalui ilmu dan Tarbiyah ? “ Kemudian beliau berkata, “ Sesungguhnya jalan keluar dari cengkeraman Yahudi dengan cara Jihad, padahal semua saja baik penguasa murtad dan orang Yahudi itu sama-sama orang kafir yang ditakdirkan menguasai kaum muslimin disebabkan dosa-dos kaum muslimin sendiri, lalu kenapa syaikh membedakan antara dua uslub (cara) menghadapi mereka ? “

Umar bin Khatab pernah berkata kepada Sa’ad bin Abi Waqash disebuah perjalanan untuk memerangi Persia, “ Janganlah kalian berkata sesungguhnya musuh kita lebih buruk dari kita, maka mereka tidak akan menguasai kita. Acapkali suatu kaum itu dikuasai oleh kaum yang lain yang lebih buruk. Sebagaimana kaum Bani Israel pernah dikuasai oleh orang-orang kafir Majusi disaat mereka melakukan hal-hal yang dimurkai oleh Allah, FirmanNya, Lalu mereka merajalela di kampung-kampung dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.” (Al Isra :5).

Di dalam hadits Tsaubah (marfu) disebutkan.

“ Dan aku tidak akan menguasakan atas mereka musuh selain dari diri mereka sendiri sehingga akan menghalalkan kesucian mereka, meski manusia dari segala penjuru bersatu padu mengeroyok mereka sehingga sebagian mereka membinasakan sebagian yang lain dan sebagian mereka memenjarakan sebagian yanglain.”( HR Muslim).

Ini adalah Nash bahwa musuh kafir itu tidak akan bisa menguasai kaum muslimin kecuali bila kerusakan mereka sudah mencapai tingkat yang parah. Dan ini merupakan perkara yang tidak lepas dari Taqdir. Lalu apakah yang wajib dilaksanakan bila musuh kafir telah menguasai kaum muslimin itu ? Apakah sebatas memperbaiki keadaan jiwa ataukah kewajiban itu dengan melawan permusuhan mereka melalui cara yang disyariatkan oleh Allah yaitu dengan jihad ?

Apa yang telah disepakati oleh ulama salaf pada maqam seperti ini ? Tarbiyah atau jihad yang hukumnya Fardhu ‘Ain ? Mana yang lebih wajib untuk diperangi ? Orang-orang Murtad seperti penguasa-penguasa itu atau orang kafir asli seperti Yahudi ?

Mana yang lebih wajib diperangi ? Musuh yang jaraknya dekat dengan kaum muslimin seperti para penguasa murtad itu, atau musuh yang jauh seperti yahudi ? (Lihat kembali Faqran 14).

Tentang ucapan beliau seputar pentingnya memperkokohkan Fondasi untuk mendirikan bangunan Islam diatasnya, kami sepakat dengan beliau bahwa dakwah dan Tarbiyah agar terbentuk kelompok yang mau melaksanakan jihad untuk menolak Fitnah orang-orang kafir adalah sebuah keharusan.

Adapun memutlakkan dakwah dan tarbiyah saja tanpa meletakkan jihad tegak dihadapan mata kita maka saya melihat bahwa hal itu tidak akan menghasilkan apa-apa, karena factor-faktor perusak dan penghancur itu masih aktif bekerja begitu juga yang lain serta didukung oleh kementrian pendidikan dn penerangan serta badan-badan wakaf pemerintah dan mendapat perlindungan dari pihak kepolisian.

Kembali saya ingatkan, bahwa membatasi usaha perbaikan hanya dengan Tarbiyah adalah tindakan menyimpang dari kewajiban syari yaitu jihad.

Pembatasan itu juga menyelisihi petunjuk Nabi SAW, karena beliau tidak hanya menempuh jalan Tarbiyah secara mutlak seperti ini.

Namun beliau berdakwah hingga terbentuk satu kelompok yang memiliki kekuatan, yang dengan kekuatan itu beliau berjihad melawan orang kafir, sebagai realisasi dari perintah Allah SWT, yaitu, Sabda Nabi SAW,

“ Dan berperanglah bersama orang yang mentaatimu untuk melawan orang yang bermaksiat kepadamu.”(HR Muslim).

Allah SWT berfirman,

“Maka berperanglah di jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan dengan kewajiban kamu sendiri. Dan kobarkanlah semangat jihad kepada kaum mukminin semoga Allah menahan kekuatan orang-orang kafir.” (An Nisa 84).

Mengobarkan semangat jihad kaum muslimin dijadikan Allah sebagai jalan untuk menahan kekuatan orang-orang kafir dan menolak fitnah mereka dengan jalan jihad. Ayat dan hadits ini merupakan Nash yang gambling dalam mengungkapkan maksudnya.

Benar, ilmu dan Tarbiyah itu haw dan ia termasuk I’dad dalam rangka jihad, demi terbentuknya kelompok yang memiliki kekuatan lagi mampu membumikan agama Allah.

Bersamaan dengan itu saya katakana, “ Bila kekuatan materi yang dimiliki satu kelompok jihad telah sempurna. Namun dari sisi Tarbiyah belum memuaskan, Maka yang wajib menurut syari adalah tetap berjihad bersama dengan kelompok itu, sebagai pengamalan dari apa yang telah ditetapkan oleh Ahlus sunah wal Jama’ah, yaitu berperang bersama orang-orang Islam yang baik maupun yang masih berbuat Fasik.



Yüklə 0,94 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   5   6   7   8   9   10   11   12   13




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin