Bab I pendahuluan a. Latar Belakang



Yüklə 148,24 Kb.
səhifə3/3
tarix08.01.2019
ölçüsü148,24 Kb.
#92760
1   2   3

Tahapan-Tahapan Tasawuf

Ada empat macam tahapan yang harus dilalui oleh hamba yang menekuni ajaran Tasawuf untuk mencapai suatu tujuan yang disebut sebagai “Al-Sa’adah” oleh Al-Ghazali dan “Al-Insanul Kamil” oleh Muhyidin bin Arabiy. Keempat tahapan itu adalah syariat, thariqat, hakikat, dan ma’rifat.

  1. Syariat

Menurut Al Sayyid Bakar Al-Ma’ruf, Syariat adalah perintah-perintah yang telah diperintahkan oleh Allah, dan larangan yang telah dilarang oleh-Nya.

Menurut Abu bakar al-Ma’ruf syariat adalah: meliputi segala macam perintah dan larangan Allah SWT. Perintah-perintah itu, disebut sebagai istilah ma’ruf yang meliputi perbuata yang hukumnya wajib atau fardhu, sunnah (mandub), atau mustahab dan mubah (jaiz) atau keharusan. Sedangkan larangan-larangan yang disebut dengan istilah munkarat meliputi perbuatan yang hukumnya haram dan makruh. Hal-hal yang sifatnya ma’ruf dan munkarat, sudah ada petunjuknya dalam Al-Qur’an dan Hadits, tinggal dilaksanakan oleh manusia sesuai dengan petunjuk itu. Keterangan ini diterangkan dalam Al-qur’an yang berbunyi:


Artinya: Untuk tiap-tiap umat diantara kamu Kami berikan aturan dan jalan yang terang.

  1. Thariqat

Thariqat dari kata Al-Thariq (jalan) menuju kepada hakikat atau dengan kata lain pengamalan syari’at, yang disebut Al-Jarra atau Al-Amal.

Menurut Syekh Muhammad Amin Al-Kurdy, thariqat adalah pengamalan syari’at, melaksanakan beban ibadah (dengan tekun) dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah ibadah yang sebenarnya tidak boleh dipermudah.



  1. Hakikat

Hakikat dari kata Al-Haqq, yang berarti kebenaran. ilmu hakikat, adalah ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.

Menurut Syekh Abu Bakar Al-Ma’ruf, Hakikat adalah (suasana kejiawaan) seorang salik (sufi) ketika ia mencapai suatu tujuan sehingga ia dapat menyaksikan (tanda-tanda) ketuhanan dengan mata hatinya.

Hakikat yang dicapai oleh sufi setelah lama menempuh Tarekat dengan selalu menekuni Suluk, menjadikan dirinya yakin terhadap apa yang dihadapinya. Karena itu, ulama sufi sering mengalami tiga macam tingkatan keyakinan:


  • Ainul Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh pengamatan indera terhadap alam semesta, sehingga menimbulkan keyakinan tentang kebenaran Allah sebagai penciptanya.

  • Ilmul Yaqin: tingkatan keyakinan yang ditimbulkan oleh analisis pemikiran ketika melihat kebesaran Allah pada alam semesta ini.

  • Haqqul Yaqin: suatu keyakinan yang didominasi oleh hati nurani sufi tanpa melihat ciptaan-Nya, sehingga segala tingkah laku dan ucapannya mengandung nilai ibadah kepada Allah SWT. Maka kebenaran Allah langsung disaksikan oleh hati, tanpa bisa diragukan oleh keputusan akal.

  1. Ma’rifat

Ma’rifat dari kata “Al-Ma’rifah” berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka ma’rifat berarti mengenal Allah ketika seorang sufi mencapai suatu maqam dalam Tasawuf.

Menurut Dr. Mustafa Zahri ma’rifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya.

Menurut Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiry yang meneruskan pendapat Abu al-Thayyib Al-Samiri, ma’rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi.

Tidak semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat samapai kepada tingkatan ma’rifat. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan ma’rifat, memiliki tanda-tanda tertentu. Menurut Dhun Nun Al-Misri tanda-tanda yang miliki orang yang sudah ma’rifat adalah:



  • Selalu memancar cahaya ma’rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.

  • Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

  • Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat menilai bahwa seorang sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT. Menurut syekh Muhammad bin Al-Fadal, bahwa ma’rifat yang dimiliki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan tuhan-Nya.


CONTOH-CONTOH PERILAKU BERTASAWUF.

  1. Tasawuf Dalam Kehidupan Modern

  1. Krisis yang melanda dunia modern atau problematika masyarakat modern

Allah memberikan isyarat lewat firmannya dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum (30): ayat 41:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ ﴿٤١﴾

Artinya:”Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”

Kehadiran Ilmu pengetahuan dan Teknologi telah menimbulkan beberapa krisis dan problematika yang melanda masyarakat Modern diantaranya adalah:



    1. Desintegrasi ilmu pengetahuan.

kehidupan modern antara lain ditandai oleh adanya spesialisasi dibidang ilmu pengertahuan. Masing-masing ilmu pengetahuan memiliki paradigma (cara pandang)nya sendiri dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Jika seseorang menghadapi masalah lalu ia pergi kepada kaum teolog, ilmuwan, politisi, sosiologi, ahli biologi, etnologi dan ekonomi misalnya, ia akan memberikan jawaban yang berbeda-beda dan terkadang saling bertolak belakang. Hal ini pada akhirnya dapat membingungkan manusia. Dengan menyempitnya pintu masuk bagi persepsi dan konsepsi spiritual, maka manusia modern semakin berada pada garis tepi, sehingga tidak lagi memiliki etika dan estetika yang mengacu pada spesialisasi, sehingga jikalau semuanya berjalan sendiri-sendiri tanpa ada tali pengikat dan petunjuk jalan yang mengusai semuanya, yang terjadi adalah kian jauhnya manusia dari pengetahuan (kearifan) akan kesatuan alam. Perkembangan semacam ini  diisyaratkan oleh Nas sebagai manusia modern yang memang tangannya dalam kobaran api tetapi dirinya sendiri yang menyalakan ketika dirinya sendiri yang melupakan siapa dia sesungguhnya.

    1. Kepribadian yang terpecah (split personalty).

Kehidupan manusia modern dipolakan oleh ilmu pengetahuan yang kering dari nilai-nilai spiritual dan terkotak-kotak, sehingga manusianya menjadi pribadi yang terpecah. Kehidupan manusia modern diatur menurut rumus ilmu yang eksak dan kering. Akibatnya kini tengah menggelinding proses hilangnya kakayaan rohaniyah, karena dibiarkannya perluasan ilmu-ilmu positif (ilmu yang mengandalkan fakta empirik, obyektif, rasional dan terbatas) dan ilmu-ilmu sosial. Jika proses keilmuan yang berkembang itu tidak berada di bawah kendali agama, maka proses kehancuran pribadi manusia akan terus berjalan. Dengan berlangsungnya proses tersebut, semua kekuatan yang akan mempertinggi derajat manusia itu akan hilang, sehingga bukan hanya kehidupan yang mengalami kemerosotan tetapi juga kecerdasan moral kita.

    1. Penyalahgunaan Iptek.

Dengan terlepasnya ilmu pengetahuan dan teknologi dari ikatan spiritual, maka iptek telah disalahgunakan dengan segala implikasi negatif sebagaimana disebutkan diatas, misalnya; kemampuan untuk membuat senjata yang diarahkan untuk tujuan penjajahan suatu bangsa atau bangsa lain, subversi dan lain sebagainya. Kemampuan dibidang  rekayasa genetika diarahkan untuk jual beli manusia. Kecangihan dibidang tehnologi komunikasi dan lainnya telah digunakan untuk menggalang kekuatan yang menghancurkan moral umat dan sebagainya.

    1. Pendangkalan iman.

Hal ini dikarenakan pola pikir para ilmuan yang hanya mengakui fakta yang bersifat empiris. Dan tidak tersentuh oleh informasi yang yang datang dari wahyu, bahkan informasi yang dibawa oleh wahyu menjadi bahan tertawaan dan dianggap sebagai tidak ilmiah dan kampungan.

    1. Pola hubungan materialistik.

Pola hubungan masyarakat yang ditentukan oleh seberapa jauh antara yang satu dengan lainnya dapat memberikan keuntungan yang bersifat material.

Penghormatan yang diberikan seseorang atas orang lain yang banyak diukur dengan sejauh mana orang tersebut memberikan manfa’at secara material.

Semangat persaudaraan dan rasa saling tolong menolong yang didasarkan atas panggilan iman yang sudah tidak nampak lagi, karena memang imanya sudah dangkal.

Sehingga Pola hubungannya dengan menempatkan pertimbangan material diatas pertimbangan akal sehat, hati nurani, kamanusiaan dan imannya.



    1. Menghalalkan segala cara.

Hal ini disebabkan oleh dangkalnya iman dan pola hidup matrealistik, sehingga manusia dengan mudah dapat menggunakan prinsip menghalalkan segala cara dalam mencapai tujuan. Jika hal ini terjadi, maka akan terjadi kerusakan akhlaq dalam segala bidang, baik ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.

    1. Stress dan Frustasi.

kehidupan yang penuh kompetitif menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran, tenaga dan kemampuannya untuk mengejar target. Mereka terus bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang dicapai tak pernah disyukuri dan selalu merasa kuarang. Apalagi jika usaha dan proyeksinya gagal, maka akan dengan mudah ia kehilangan pegangan. Hal ini disebabkan tidak lagi memiliki pegangan iman yang kokoh. Mereka hanya berpegang kepada hal-hal yang bersifat material yang sama sekali tidak dapat membimbing hidupnya. Akibatnya jika menghadapi masalah yang tidak dapat dipecahkan sendiri akan mudah frustasi bahkan stress, jika hal ini terjadi terus-menerus tidak mustahil akan menjadi gila atau hilang ingatan.

    1. Kehilangan harga diri dan masa depannya.

Karena terjerumus atau salah memilih jalan kehidupan. Masa mudanya dihabiskan untuk menuruti hawa nafsu dan segala daya yang ditempuhnya. Sehingga ketika sudah tua renta, fisiknya sudah tidak berdaya, tenaganya sudah tidak mendukung, dan berbagai kegiatan tidak bisa dilakukan, fasilitas dan kemewahan hidup tidak memerlukan lagi. Maka yang dirasa adalah kehilangan harga diri dan masa depannya, kemana ia harus berjalan, ia tidak tahu.

  1. Timbulnya tasawuf modern dalam kehidupan modern

Menurut Prof. Hamka, kita bisa berperilaku sufi atau mengikuti sunnah-sunnah yang sudah digariskan oleh Nabi SAW tanpa harus meninggalkan kehidupan modern. Dalam hal ini, ada beberapa hal yang harus kita teladani dari kehidupan Nabi antara lain:

  1. Zuhud

Beliau mengajarkan bahwa kekayaan yang sebenarnya bukanlah kekayaan harta benda melainkan kekayaan rohaniyah. Beliau tidak memiliki harta kekayaan padahal sebenarnya bisa memilikinya jika beliau mau. Beliau tidak tertarik pada harta benda karena memandang nilai rohani lebih tinggi kedudukannya.

  1. Hidup sederhana

Dalam kehidupan sehari-hari tercermin kesederhanaan beliau dalam perumahan, pakaian, dan makanan.

Dari segi perumahan, Kasur beliau terbuat dari kulit berisi sabut. Bahkan terkadang beliau tidur di atas tikar daun kurma sehingga membekas pada punggungnya. Pernah seorang sahabat melihat kesedehanaan Nabi, sehingga menawarkan kasur yang empuk. Beliau menolaknya dengan berkata, apakah arti kehidupan dunia ini bagiku. Bagiku dunia hanya ibarat seorang  penunggang kuda yang berteduh sejenak di bawah pohon, kemudian dia meninggalkannya.

Dari segi berpakaian, begitu sederhananya. Aisyah pernah memperlihatkan sehelai pakaian Nabi yang kasar yang dipakai beliau pada deti-detik hayatnya yang terakhir.

Dari segi makanan, amat sederhana sekali. Beliau banyak berpuasa dan tidak makan kecuali lapar dan kalaupun makan tidak sampai kenyang.



  1. Bekerja keras

Hidup sederhana yang dicontohkan rasul bukan lahir dari kemalasan. Nabi menyuruh bekerja keras untuk memenuhi hajat hidup dan kelebihan rezeki yang diperolehnya dari cucuran keringat itu untuk kepentingan infaq di jalan Allah SWT. Nabi pernah menandaskan: “bekerjalah untuk duniamu, seolah-olah engkau akan hidup selamanya dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan engkau mati esok hari”.

Aktif dalam kemasyarakatan dan amal sosial, Rasulullah terkenal amat pemurah. Beliau berkeinginan keras melayani kepentingan umat dan menolong mereka dari segala kesulitan. Rasulullah SAW. Selalu memperhatikan pelayanan terhadap fakir miskin, anak yatim piatu dan orang-orang lemah.



  1. Perbaikan akhlak

Nabi Muhammad SAW. Adalah contoh dari suri tauladan yang paling baik dalam tingkah laku (akhlaq). Beliau selalu memberi dorongan untuk berbuat ikhsan kepada sesama manusia, berbuat baik pada keluarga dan famili, memuliakan tamu dan tetangga. Nabi menjelaskan pada salah satu sabdanya bahwa: “manusia paling baik ialah yang paling baik perangainya.”. Dalam hal ini, yang dituntut bukan hanya tingkah laku lahir saja melainkan juga sikap batin yang selalu terkontrol dan cendrung kepada jalan kebaikan dan kebajikan.

  1. Ibadah

Rasulullah adalah ahli ibadah yang paling mulia, bukan saja dalam ibadah wajib, melainkan juga dalam ibadah sunnah. Sebagian malamnya dihabiskan dalam sholat malam (tahajjud), jarang meninggalkan rowatib dan setiap waktu selalu dalam dzikir dan istighfar. Sekalipun beliau sunyi dari dosa, beliau beristigfar tidak kurang dari 70-100 kali sehari.

Selain tasawuf modern yang ditawarkan oleh Prof. Hamka, ada tasawuf yang layak dipraktikkan kedalam kehidupan modern, yaitu tasawuf positif. Prinsip tasawuf positif ialah menekankan pentingnya nilai-nilai tasawuf yang positif dan sesuai dengan kehidupan kini. Gagasan  tasaawuf ini berawal dari fakta bahwa citra tasawuf masih berkutar dalam ekses-ekses negative yang berkaitan dengan hal-hal yang mistis sehingga orang modern jarang atau tidak tertarik pada kehidupan tasawuf.

Diantara ajaran tasawuf positif yang dikembangkan dalam kehidupan modern adalah:


  1. memandang zuhud sebagai prinsip tasawuf yang selaras dengan kewajiban zakat.

Bila ajaran zuhud pada zaman dulu melazimkan sufi untuk meninggalkan kehidupan duniawi yang menjerat nafsu, maka pada zaman kini orang kaya dapat berprilaku zuhud dengan jalan atau cara mengeluarkan zakat dan infaq. Ia masih boleh terikat secara fisik dengan dunia tetapi kehidupan rohaniah selalu terpelihara dari jeratan dan jebakannya. Hartanya akan selalu ia bagi-bagikan kepada kaum fakir yang membutuhkan. Do’anya setiap waktu adalah “ya Allah, jadikanlah aku orang kaya yang selalu berderma. Letihkanlah aku untuk membagi-bagikan titipanMu”.

  1. Memahami amal saleh secara luas, tanpa membatasi pada amal-amal yang bersifat agamis.

Misalnya, bekerja secara professional, membuka lapangan pekerjaan bagi pengangguran, dan mewujudkan sistem perbankan yang berkeadilan sosial.

  1. Bekerja keras sebagai salah satu cara dalam menerjemahkan kehendak Allah atau menjemput takdir-Nya.

Bekerja dipandang sebagi upaya untuk mengasah potensi diri atau fitrah yang telah Allah anugerahkan kepada setiap insan.


  1. Berusaha menintegrasikan nilai-nilai Tasawuf ke dalam dunia modern, seperti ke dalam dunia bisnis, ekonomi, politik, hingga ke dalam teknologi komunikasi.



BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Tasawuf di era modern ini, ditempatkan sebagai cara pandang yang rasional sesuai dengan nalar normatif dan nalar humanis-sosiologis.

Tasawuf atau sufisme diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tasawuf begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.

Maka kehadiran tasawuf di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (Zuhud pada dunia). Disamping itu juga, tasawuf modern juga sebagai terapi penyembuhan bagi kegundahan hati dalam merindukan tuhannya.



B.       Saran

Penulis menyadari bahwa didalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu demi pemahaman kita bersama, mari kita membaca dari buku-buku lain yang bisa menambah ilmu dan pengetahuan kita tentang tasawuf di era modern dan penulis sangat mengharapkan kritik maupun saran yang sifatnya membangun, dari Dosen Pembimbing dan para pembaca agar untuk berikutnya makalah ini bisa lebih baik lagi.




DAFTAR PUSTAKA
Alishah, Omar, Tasawuf sebagai Terapi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.

_______, Alishah, Terapi Sufi, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2004.

Annajar, Amin, Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern, Bandung: Mizan Media Utama, 2004.

Bagir, Haidar, Manusia Modern Mendamba Allah, Jakarta: Penerbit Pustaka Amani, 2002.

Rifa’i, Moh., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Wicaksana, 1992.

Soleh, Moh, Agama Sebagai Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.



Suyuti, Ahmad, Percik-Percik Kesufian, Bandung: Penerbit Pustaka Hidayah, 2002.

Syukur, M. Amin, Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka, 2003.
Yüklə 148,24 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin