Bp. Achmad Chodjim



Yüklə 0,55 Mb.
səhifə17/22
tarix18.04.2018
ölçüsü0,55 Mb.
#48887
1   ...   14   15   16   17   18   19   20   21   22

Bag. Ke-17


[Lanj. Zuhud]
La ilaha illa l-lah”, tidak ada tuhan selain Allah. Inilah konsep pokok yang diajarkan oleh Muhammad Saw. Yang pertama adalah negasi, yaitu ‘tidak ada tuhan’, tidak ada yang menjadi tujuan akhir. Negasi ini penting sekali dalam perjalanan hidup ini. Tanpa negasi, manusia akan terbelenggu oleh berbagai ilah, atau tuhan-tuhan yang sudah menjadi kepercayaan masyarakat. Selanjutnya, harus dilakukan ‘peneguhan’ atau konfirmasi, bahwa tujuan manusia adalah Allah. Tidak mungkin hidup tanpa tujuan! Dan satu-satunya tujuan adalah “Yang Maha Benar”, yaitu Allah. Yang Maha Benar tentunya cuma satu. Dia-lah Allah atau Tuhan [tuhan dengan ‘T’ besar dalam ejaan bahasa Indonesia].
Dalam berpikir pun harus didahului oleh ‘negasi’, agar kita dapat menemukan yang benar. Yaitu, kita harus berpikir yang bebas dari takhyul. Bila hidup kita masih terbelenggu takhyul maka kita tak akan dapat menemukan kebenaran. Nah, dari tahapan berpikir, pada pelajaran zuhud yang terakhir, kita sudah sampai ditangga ‘penalaran’. Dan setiap kali kita menapaki tangga ini harus berpegangan pada ‘zikir kepada Allah’ atau dzikru l-lah. Jadi, berpikir dan berzikir itu seperti ‘tangga’. Anak tangganya adalah berpikir, dan ibu tangganya yang menjadi pegangan ketika menaiki anak tangga adalah berzikir. Ini penting sekali diperhatikan! Sebab, setiap kali kita menggunakan pikiran, bisikan takhyul itu

datang.
Lho, dari mana takhyul itu datang jika kita berpegang teguh pada asas pikiran? Tentu saja dari dorongan emosi kita, dari batin kita, yang disebut “hawa” dalam bahasa Arab, dan diindonesiakan menjadi ‘hawa nafsu’. Hawa nafsu adalah dorongan batin yang sangat kuat untuk bertindak tanpa dilandasi pikiran. Sedangkan ‘nafsu’ adalah dorongan untuk meredakan ketegangan dalam diri. Hal ini penting untuk diketahui agar kita bisa memahami arti masing-masing. HS [sexual intercourse] adalah nafsu. Tetapi jika tindakan HS itu tanpa dilandasi kebenaran [just do it], maka tindakan HS tersebut berarti hanya untuk memenuhi hawa nafsu. Salah satu makna ‘hawa’ adalah jatuh. Maka orang yang memenuhi hawa nafsunya berarti mendorong jatuh dirinya. Banyak orang yang berbuat dengan memperturutkan hawa nafsunya. Dan hal ini di dalam Al Quran disebut perbuatan syirik atau musyrik [orangnya].
Nah, mari kita perhatikan ayat-ayat yang berkaitan dengan hawa nafsu [baik ayat utuh maupun hanya bagian ayat yang dikutip].
4:135 Hai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi syuhada’-nya meskipun terhadap dirimu sendiri, ibu-bapakmu, atau kerabatmu; baik ia kaya atau miskin. Allah lebih [mempunyai hak] atas mereka. Maka janganlah mengikuti hawa nafsu sehingga kamu berlaku tidak adil.
38:26 “Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan engkau khalifah di bumi. Maka berikan keputusan yang benar di antara manusia, dan jangan engkau mengikuti hawa nafsu; karena hawa nafsu itu menyesatkan engkau dari jalan Allah. Barangsiapa yang menyimpang dari jalan Allah niscaya akan tertimpa azab yang keras. Mereka sesungguhnya telah melupakan hari perhitungan.”
7:175 Dan bacakan kepada mereka tentang orang-orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami. Lalu, mereka menarik diri dari [ayat] itu. Kemudian, setan mengikutinya sehingga ia tersesat.
7:176 Dan bila Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan dia dengan [ayat] itu. Tetapi, dia ingin menetap di bumi, dan memperturutkan hawa nafsunya. Perumpamaannya bagaikan anjing, engkau halau atau biar-kan, tetap menjulurkan lidahnya. Inilah perumpamaan orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Sampaikan kisah ini untuk mendorong mereka mau berpikir.
18:28 ... Dan jangan engkau mengikuti orang yang telah Kami lalaikan hatinya dari berzikir kepada Kami, dan dia [cuma] mengikuti hawa nafsunya, dan selalu melampaui batas dalam urusannya.
18:29 Kemudian katakan, “Kebenaran itu dari Tuhanmu! Barangssiapa yang menghendaki keimanan maka hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang menghendaki kekafiran maka hendaklah dia kafir. ....
28:50 ... Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya tanpa petunjuk dari Allah? Sesungguhnya Allah tidak mem-berikan petunjuk kepada orang-orang zalim.
25:43 Tahukah engkau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Akah engkau [Muhammad] sebagai pelindungnya?
45:23 Adakah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkan sesat berdasarkan ilmu? Dan Dia menutup pendengaran dan hatinya, dan menjadikan sebuah tutup bagi penglihatan [abshar]-nya. Selain Allah, siapakah yang menunjuki-nya? Mengapa kamu tidak bertazakur?
Nah, ada sembilan ayat tentang peranan hawa nafsu yang akan dikupas dan diulas dalam pelajaran hari ini.
Pertama, orang-orang beriman diperintah Tuhan untuk menegakkan keadilan. Adil, baik terhadap ibu-bapak maupun kerabat! Perhatikan kaitan antara keimanan dan keadilan. Itulah sebabnya dari awal pelajaran ini ditegaskan bahwa keimanan bukanlah semata-mata ‘kepercayaan’. Orang beriman harus berusaha hidup adil, termasuk kepada orangtua dan kerabatnya. Adil dalam kehidupan nyata yang

disebut sebagai syuhada’ Allah. Sengaja kata syuhada’ tidak saya terjemahkan. Karena syuhada’ adalah orang yang menyaksikan dan disaksikan Allah. Menyaksikan Allah berarti menyaksikan kebenaran itu sendiri. Disaksikan oleh Allah berarti disaksikan oleh Yang Maha Benar, karena itu adil terhadap siapa pun [yang kita cintai dan kita benci]. Inilah salah satu unsur pokok orang yang beriman!
Kedua, keadilan dipertentangkan dengan hawa nafsu. Orang yang mengikuti hawa nafsunya akan bertindak atau berbuat tidak adil. Mengapa demikian? Karena adil itu bersifat ‘fair’, bersikap seimbang dan proporsional terhadap semua orang. Adil itu tidak berat sebelah! Adil tidak berpihak kepada seseorang karena hubungan kekerabatan atau kekayaannya. Dan untuk dapat berlaku adil manusia harus mampu menimbang dengan benar. Untuk itu diperlukan pikiran!
Sering kita mendengarkan kalimat “kita harus menggunakan akal sehat” atau “menurut akal sehat” dan lain sebagainya. Kalau kita perhatikan kalimat tersebut, ada pengertian bahwa ada ‘akal yang tidak sehat’. Yang benar adalah akal selalu sehat. Akal adalah representasi Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah Akal Yang Maha Agung! Karena itu Tuhan bersifat Maha Mengetahui. Orang yang bodoh, orang yang tidak mampu menimbang sesuatu dengan benar, tidak berarti akalnya tidak sehat atau sakit. Ia adalah orang yang tidak mampu menggunakan akalnya. Karena itu orang harus dilatih menggunakan akalnya. Ia harus diajari bagaimana mengasah pikirannya. Pikiran yang diasah dengan benar akan menjadi tajam, mudah tanggap terhadap sesuatu. Lalu, pikiran yang tajam itu harus digunakan dengan benar, sehingga bisa memberikan solusi yang tepat dalam kehidupan ini.
Ketiga, berdasarkan ayat 38:26 suatu keputusan yang benar adalah keputusan yang tidak timbul dari hawa nafsu. Artinya, keputusan akan benar bila dilandasi dengan pemikiran yang benar. Hawa nafsu akan menyesatkan manusia dari jalan yang benar, yaitu jalan Allah. Hawa nafsu adalah tindakan tanpa pikiran. Yang penting keinginan terpenuhi tanpa peduli cara dan akibatnya. Karena itu hawa nafsu menyesatkan manusia dari jalan yang benar. Ia membawa manusia ke jalan yang salah!
Nah, setelah memahami ketiga uraian di atas, sampailah kita pada kesimpulan bahwa prasangka, takhyul, hawa nafsu, dan setan, sesungguhnya adalah wajah-wajah dari ‘thaghut’, yaitu sikap yang melampaui batas! Semuanya adalah sisi-sisi dari thaghut yang sama. Mengikuti hawa nafsu juga disebut sebagai ‘mengikuti setan’. Dan pada ayat 38:26 tersebut dikatakan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsu adalah orang yang melupakan hari perhitungan, melupakan konsekuensi perbuatannya. Orang itu lupa bahwa setiap perbuatan itu ada akibatnya! Dikiranya suatu perbuatan itu tak ada bekas-nya dalam perjalanan hidup ini.
Kembali kepada langkah-langkah dalam berpikir. Pertama, harus kita tinggalkan prasangka [syak]. Kedua, harus kita bebaskan dari takhyul. Lalu, kita bingkai dengan sabar dan zikir. Agar proses melihat, mendengar, dan mengingat itu bekerja dengan jernih. Sebab kegugupan, keraguan, dan ilusi akan mempengaruhi persepsi kita pada kenyataan yang kita indrawi itu. Ketiga, kita lakukan penalaran, reasoning. Jangan emosi, atau hanya mengikuti hawa nafsu. Penalaran adalah upaya memahami sebab-akibat pada objek yang menjadi perhatian kita. Kita perhatikan relasi antara objek-objek yang ada di sekitar kita ini. Kemudian, penalaran itu kita bingkai dengan tazakur, yaitu perenungan dan penjernihan pikiran.
Lho, apa bisa orang awam diajak berpikir? Tentu saja bisa! Yang penting setiap orang harus dirangsang dan didorong untuk menggunakan pikirannya sesuai dengan kapasitas otaknya atau kapabilitasnya. Seseorang tak perlu dibebani melebihi takaran kemampuannya. Dan, yang paling pokok adalah umat harus dibebaskan dari belenggu prasangka, takhyul, dan hawa nafsu. Inilah modal dasar umat untuk berpikir! Dengan bebas dari ‘pth’ umat bisa dituntun untuk melihat kebenaran. Dengan modal dasar itu umat bisa dibawa maju, tidak jumud [mandek]. Dengan cara berpikir yang benar, kesadaran bisa ditingkatkan. Perlu diperhatikan kembali bahwa tingginya pengetahuan yang dicapai seseorang tak ada kaitannya dengan kesadaran. Karena pengetahuan didapat dari luar, sedangkan kesadaran diperoleh dari dalam diri seseorang itu sendiri. Kesadaran berkaitan dengan keimanan. Sedangkan pengetahuan adalah tahap awal bagi keimanan. Jadi, setinggi-tingginya pengetahuan tidaklah sama dengan ‘ain atau telah mengalami sendiri. Tetapi pengetahuan yang tinggi disertai pengalaman mengantarkan seseorang naik ke tahap ‘haqq al-yaqin’.
Apa artinya “pengetahuan yang tinggi + pengalaman” => keyakinan yang haq? Saya tak perlu membuat definisinya. Tetapi Anda bisa memahami bagaimana sekiranya anak kecil mengalami sesuatu tanpa pengetahuan atau orang yang berpengetahuan tanpa pengalaman. Anak kecil tidak mengerti apa yang dialaminya. Berpengetahuan tanpa pengalaman berarti tak ada penghayatan kebenaran. Kita memiliki pengetahuan tentang rasa daging, tetapi tanpa mengecapnya, bagaimana kita mengetahui kebenaran rasa daging itu sendiri? Kita memiliki pengetahuan tentang khusyu’, tetapi kita tidak pernah mengalami khusyu’, bagaimana kita bisa mengerti kebenaran khusyu’?
Sekarang marilah kita perhatikan ayat 7:175-176. Apa saja yang ada yang bisa kita tangkap dengan indera adalah ayat-ayat Tuhan. Ayat-ayat yang kasat mata adalah pijakan bagi ayat-ayat kitabiyah. Tanpa mengerti ayat-ayat kauniyah [kasat mata] sulit untuk dapat mengerti kandungan ayat-ayat kitabiyah. Jika kita tidak menghayati arti sebuah kemiskinan atau kekalahan, bagaimana kita bisa menegakkan keadilan? Bila kita tidak mengerti hukum Tuhan yang digelar di alam ini bagaimana kita bisa memutuskan kebenaran? Jika kita tidak mengerti makna sebuah perjanjian, bagaimana kita dapat menghormati kerja sama?
Memahami ayat-ayat Tuhan, baik yang kauniyah maupun yang kitabiyah, adalah tangga untuk dapat kembali kepada Tuhan. Jika seseorang memperturutkan hawa nafsu, tak peduli terhadap lingkungannya, maka setanlah yang mengikuti tingkah lakunya. Dan selanjutnya, setanlah yang ada di depan menuntunnya. Jika setan yang menuntun, ya akan keluar dari jalur yang benar. Apabila seseorang memalingkan diri dari kebenarn, maka setanlah yang mengikutinya. Lalu setannya siapa? Ya dirinya sendiri yang terjebak ‘pth’ dalam hidup ini. Jadi, jangan cari-cari bentuknya setan!
Lalu, ayat 176 menyebutkan bahwa Tuhan menghendaki derajat yang tinggi bagi hamba-Nya yang tidak mau melekat [menetap] di bumi! Untuk dapat memahami arti “melekat (menetap) di bumi” memerlukan penalaran dan perenungan. Apa artinya “tetapi ia ingin menetap di atau cenderung kepada bumi”, wa lakinnahu akhlada ila l-ardhi? Tanpa menggunakan pikiran, kita tak bisa memahami ayat ini. Yang jelas, Tuhan tidak meninggikan derajat atau kedudukan orang yang cenderung kepada bumi atau dunia. Tentu ini pun bukan bermakna harfiah, dalam arti naik pangkat, menjadi kaya materi dan lain-lain. Tetapi ini bermakna batiniah, seperti jiwanya tercerahkan, dirinya terbebas dari jeratan materi atau kesementaraan. Kalimat ingin menetap di bumi atau cenderung kepada dunia disambung dengan mengikuti hawa nafsu, artinya lebih memilih kehidupan sementara, atau kehidupan jangka pendek, ketimbang kehidupan jangka panjang atau kehidupan di masa depan!
Orang yang lebih mementingkan kehidupan dunia atau jangka pendek in bagaikan anjing, dihalau atau dibiarkan lidahnya tetap terjulur. Artinya, diberi pelajaran atau tidak, sama saja. Pelajaran atau peringatan tak akan mengubah sikap hidupnya. Ayat ini merupakan rangkaian ayat yang menuturkan kehidupan komunitas Yahudi. Pada zaman Musa ada seorang hamba yang menguasai pengetahuan keagamaan [lahir-batin]. Ia adalah Baal Am bin Baura, dan paham betul tentang kebenaran hidup ini. Tetapi ia iri kepada Musa, ia merasa tersingkir dengan datangnya Nabi Musa. Sehingga ia bersama dengan para pengikutnya berusaha menyingkirkan Musa. Mengapa tindakan itu dia lakukan? Karena Baal Am [atas desakan pengikutnya] lebih memilih kehidupan jangka pendeknya daripada jangka panjangnya. Ia tinggalkan kebenaran, dan ia ikuti hawa nafsunya. Sehingga malanglah nasibnya. Ia tidak lagi menjadi orang yang tercerahkan, tetapi justru konfrontasi dengan Nabi Musa. Ayat itu ditutup dengan kalimat “ceritakan kisah itu agar mereka berpikir”.
Jelaslah sudah suatu kisah, hikayat, sejarah, disampaikan kepada generasi berikut-nya itu bukan hanya untuk dipercaya, tapi dipikirkan pesan-pesan dan kandungannya agar manusia bisa melangkah dengan benar ke masa depannya. Apa mutiara hikmah yang ada di dalam suatu kisah atau sejarah, atau bahkan legenda, itulah yang harus ditimba. Jadi, dengan berpikir kita tidak hanya terpaku pada fakta. Tetapi kita lebih melihat makna yang terkandung, sehingga kisah, sejarah, mitos, legenda itu dapat digunakan sebagai tongkat untuk menyongsong hari depan kehidupan manusia. Dengan berpikir manusia dapat mencari makna dan realita di balik fakta-fakta dan data. Kita bisa memahami kebenaran yang terselubung oleh bentuk objek-objek yang tercerap oleh indera.
Jika berpikir itu menjadi fungsi pokok manusia, lalau dimana letaknya intuisi dan wahyu bagi manusia? Lalu, apa artinya kita harus meningkatkan di ke tingkat kesadaran "zero mind" atau "No-mind"? Ingat, 'to mind' tidak sama dengan 'to think' apa lagi dengan 'to contemplate' [merenungkan]. Pada pelajaran kali ini tidak dibahas dulu perihal wahyu atau intuisi. Tetapi perlu diberikan gambaran agar konsep 'berpikir' menjadi jelas. Para nabi bukanlah orang-orang yang bodoh. Bahkan mereka adalah manusia-manusia yang sungguh-sungguh merenungkan [berpikir mendalam] kebenaran di alam ini. Mereka merenung agar bisa menemukan solusi dalam kehidupan di dunia maupun di akhirat. Dan solusi itu untuk kesejahteraan manusia, baik sebagai individu maupun komunitas.
Sekarang mari kita lanjutkan ulasan ayat 18:28-29. Kita diperingatkan untuk tidak mengikuti orang-orang yang melalaikan hatinya untuk berzikir. Dengan kata lain, kita jangan termasuk orang-orang yang memperturutkan hawa nafsu. Bagaimana kita bisa menjadi tenang dan berpikir jernih jika yang kita ikuti itu orang-orang yang menjadikan hawa nafsu sebagai pimpinannya. Orang-orang yang mengedepankan hawa nafsu mereka itu lebih mementingkan pribadi dan golongan mereka. Bukan kebenaran yang menjadi perhatian atau kepedulian mereka, tetapi 'kepentingan'. Karena itu orang demikian disebut 'selalu melampaui batas' dalam urusannya. Orang demikian memang sudah tidak kenal dan tahu lagi batas-batas yang harus dipatuhi. Nah, kalau hidup tanpa batas, kemana lagi perginya kalau tidak semakin melenceng.
Kebenaran sudah pasti datangnya dari Tuhan. Wong semua ini diciptakan berdasar-kan kebenaran, dan bukan kebatilan. Tentu saja yang mengetahui hakikat sesuatu adalah Tuhan, karena Dia-lah pencipta segala sesuatu. Tetapi, di bumi ini, cuma manusia yang dianugerahi "al-qalam", atau akal. Dengan al qalam manusia dapat mengetahui sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya. Dengan berbagai kelengkapan yang diberikan Tuhan, manusia diberi kebebasan untuk menjadi manusia beriman atau kafir. Jadi, manusia tidak dicetak untuk menjadi beriman atau kafir. Karena itu manusia diberi amanat dan dituntut tanggungjawab dan akuntabilitasnya. Tak ada pengertian 'jabariyah' atau paksaan Tuhan dalam agama. Karena itu, hidup beragama pun tidak dipaksakan.
Dalam ayat 28:50 ditegaskan bahwa orang yang mengikuti hawa nafsunya tidak akan mendapat petunjuk dari Tuhan. Orang yang menuruti hawa nafsu disebut juga sebagai 'orang zalim', orang yang menganiaya. Dan, petunjuk Tuhan tak akan datang pada si zalim. Celakanya jika si zalim ini menjadi 'penggede', pejabat tinggi, elite, atau mala'. Petunjuk Tuhan tak akan sampai pada mereka. Akibatnya, rakyat bawahan akan menjadi sengsara. Tetapi, percayalah, jika di tengah suatu komunitas masih ada orang-orang yang 'berzikir dan berpikir' suatu saat pasti ada orang yang menjadi juru ingat! Di tengah deru kezaliman masyarakat industri di Eropa abad ke-19, muncullah Nietzsche [meskipun kita dididik keliru dalam melihat dia]. Di tengah kezaliman komunisme Soviet, muncullah Gorbachov yang mendengungkan 'glasnost' dan 'perestroika'. Tentu saja, tidak cukup hanya munculnya sang juru ingat. Tetapi perlu ada tindakan! Dan tindakan itu harus bisa diterapkan berdasarkan 'POAC', perencanaan, pengorganisasian, pengaktualisasian, dan pengawasan yang benar. Penegakan moral dan keadilan tidak cukup hanya dengan modal niat. Harus disertai kemauan, kehendak, dan kepiawaian. Karena kebenaran tidaklah berjalan dengan sendirinya.
Puncak dari mengikuti hawa nafsu adalah menjadikannya tuhan. Yaitu, menjadikan hawa nafsu itu sebagai tuhan yang disembah dan dipatuhi! Inilah syirik yang tidak tampak rupanya, tetapi lebih dahsyat dari berhala. Kalau berhala berupa patung, hanya orang bodoh yang memuja. Tetapi berhala 'hawa nafsu', orang yang berpengetahuan 'sundul langit' [setinggi langit] pun bisa menjadi pengikutnya. Jika orang memperturutkan hawa nafsu, maka Allah membiarkannya tersesat. Pendengaran dan hatinya dibiarkan tertutup karat. Nasihat, petunjuk, petuah tak mempan lagi. Bahkan penglihatannya pun ada tutupan. Sehingga jerit derita masyarakat tidak tampak lagi. Semuanya bagaikan angin lalu. Dianggap seperti kentut, bau sebentar dan hilang. Mau cari petunjuk dari siapa lagi, kalau tidak kembali kepada Allah? Agar pemikiran kita tidak masuk ke jurang setan, maka kita harus "berpikir+berzikir". Manakala kita membuang pemikiran, maka kita tinggal tunggu bencananya!
Kajian kita kali ini merupakan bagian terakhir dari zuhud, dan bagian ke-18 adalah "topik ridha". Semoga kita bisa berzuhud di tengah kehidupan modern dan tanpa batas ini, tanpa harus mengasingkan diri di gua-gua. Wa billahi t-taufiq wa l-hidayah.


Yüklə 0,55 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   14   15   16   17   18   19   20   21   22




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin