Hegemoni faktor politik dan ekonomi dalam



Yüklə 0,56 Mb.
səhifə2/7
tarix11.09.2018
ölçüsü0,56 Mb.
#80287
1   2   3   4   5   6   7

Penutup

Media kampanye Pilbup Kudus kurang menerapkan adab berkampanye dalam Islam. Di antaranya, ikhlas; taat kepada seluruh aturan Allah, perundangan yang berlaku, dan arahan Partai; menampilkan keteladanan; jujur; menjaga ukhuwah; edukatif); rendah hati; dan ishlah.


DAFTAR PUSTAKA


Benny Siga Butarbutar, “Dominasi Media Massa dalam Pemilihan Kepala Daerah: Kajian Ekonomi Politik Media terhadap Pilkada Depok,” tesis, Universitas Indonesia, 2006.

Changara, Hafied. 2009. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi, Jakarta : PT Raja Grafindo Perasada.

Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta : Erlangga

Laporan hasil survei el-Kasyf Kudus tentang Sikap Masyarakat Kudus dan Elektabilitas Para Calon Bupati- Wakil Bupati dalam Pemilukada Kudus Tahun 2013

Mohammad Sholihin, “Perilaku Pemilih Buruh Rokok dalam Pilkada Langsung di Kabupaten Kudus tahun 2008”, tesis, Universitas Diponegoro, 2009.

Monika Wutun, “Analisis Berita Politik tentang Gubernur Nusa Tenggara Timur Di Media Massa Cetak (Studi Analisis Wacana Model Teun A.Van Dijk Pada Headline Pemberitaan Di Surat Kabar Harian Pos Kupang dan Harian Pagi Timor Express Dalam Perspektif Public Relations Politik Periode Agustus – September 2012)”, tesis, Universitas Padjajaran, 2013.

Ni Made Ras Amanda G., “Pola Penggunaan Media Massa sebagai Komunikasi Politik Calon Kepala Daerah (Studi Kasus:Pilkada 5 (Lima) Kabupaten/Kota Di Bali, 2010”, tesis, Universitas Udayana, 2013.

Peraturan KPU No.17 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaporan Dana Kampanye Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

Refika Aditama. Steinberg, A., 1981. Kampanye Politik Dalam Praktek, PT Intermasa.

Survey el-Kasyf sebelum kampanye 2013

Venus, Anatar. 2004. Manajemen Kampanye Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Bandung : Simbiosa Rekatama.

Zainuri, “Partisipasi Politik Perempuan (Perspektif Tradisi Islam Lokal Kudus)” tesis, Universitas Diponegoro, 2007.

HAK POLITIK PEREMPUAN:

Antara Tantangan dan Harapan


Oleh: Mila Karmilah14
Abstract
Efforts to build alliances and specialized cooperation is needed to change perceptions regarding women's leadership, especially with female leadership disseminate credible, effective, and better than men in various fields and at all levels of society. All women should know that as a leader, he must wrestle with the responsibility and priority to public world. As a person that women leaders also became parents and housewives, as well as women traders or businessmen. Humans, no matter men or women, plays different roles at different times. Women still tend to be more appreciative of his contributions in the private space and the role of voluntary (unpaid) rather than the aspects related to the social sphere.


Keywords: political rights, women's, gender.

A. Pendahuluan


Kebebasan tidak akan dapat dicapai kecuali kalau perempuan telah dimerdekakan dari segala bentuk penindasan. Kita semua berangkat dari sini dan menegaskan bahwa tujuan program rekonstruksi dan pembangunan tidak akan terwujud kecuali kalau kita memandangnya dalam bentuk-bentuk praktis yang terlihat bahwa kondisi perempuan di Negara kita telah berubah secara radikal menjadi lebih baik dan bahwa mereka telah diberdayakan untuk berkiprah dalam segala aspek kehidupan yang sejajar dengan setiap anggota masyarakat lainnya”. (Nelson Mandela, 24 Mei 1994)15
Pernyataan dari seorang Presiden Afrika Selatan, Nelson Mandela, dapat diambil kesimpulan bahwa belum merdeka perempuan ketika masih didiskriminasikan oleh kaum laki-laki dalam bentuk apapun dan masih juga terjadi kekerasan terhadap perempuan. Oleh karenanya perempuan harus menjadi pemegang kebijakan untuk menjadikan perempuan yang lainnya merasakan hawa kebebasan dan kemerdekaan. Dan tidak mungkin semua perempuan menjadi pemegang kebijakan dalam sebuah Negara yang berkaitan dengan kepentingan kaum perempuan secara umumnya, jika kaum perempuan sendiri tidak turut andil dalam pemilihan wakil rakyat dari kaum perempuan. Oleh karenanya diperlukan pemilih-pemilih dari kaum perempuan untuk memilih perempuan sebagai wakil perempuan untuk mengutamakan kepentingan perempuan dan anak-anak.

Perempuan, tidak akan mampu meraih hasil yang dicita-citakan dan memajukan kepentingan mereka, jika sejak awal mereka tidak mengorganisasikan diri mereka ke dalam kelompok-kelompok perempuan di dalam partai dalam arus multi partai. Mereka nantinya juga diuntungkan oleh komitmen dan tindakan-tindakan perempuan di parlemen. Mereka mampu melanjutkan kemajuan mereka berkat hubungan dan partisipasi mereka dalam organisasi-organisasi perempuan dan ornop di civil society.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa perempuan jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki, karena koordinasinya lebih mudah, memobilisasinya juga mudah, wadahnya juga jelas, akan tetapi sering kali partisipasi dan kebutuhan serta kepentingannya sebagai perempuan tidak terakomodir, mengapa bisa terjadi demikian?

Hal ini karena bargaining perempuan kurang kuat: posisi legislatif tidak banyak, sektor-sektor tertentu dalam eksekutif juga tidak banyak posisi strategis, perempuan dalam berpolitik cenderung jujur tapi jujur dalam berpolitik beda dengan yang dipersepsikan oleh perempuan. Hal ini ada kaitannya dengan bias gender dan politik



Berbagai persepsi perempuan tentang pemilu baik pemilu presiden pemilu kepala daerah maupun pemilu legislatif, wakil rakyat atau wakil rakyat perempuan. Secara umum, perempuan memandang pemilu sebagai ajang memilih wakil rakyat. Wakil rakyat dipahami sebagai orang yang dapat dipercaya oleh rakyat, bisa menyampaikan suara rakyat dan mampu membawa kehidupan rakyat Indonesia kearah yang lebih baik. Pendapat perempuan tentang wakil rakyat yang menjabat saat ini adalah: sosok yang suka mengabaikan rakyat, tidak peduli dengan kemiskinan, OKB (orang Kaya baru), mereka cenderung tidak tahu malu, suka korupsi, suka pelesir ke luar negeri, suka janji-janji palsu dan orang yang tidak bisa dipercaya.16

Sebagai pemilih, selama ini perempuan belum secara independen memilih calon wakil rakyat, karena banyak alasan mereka memilih karena ikut pilihan kyai, pilihan suami, pilihan saudara, teman atau lingkungan. Mayoritas kaum perempuan belum mengerti urgensi keterwakilan perempuan di lembaga eksekutif maupun legislatif. Bagi mereka tidak masalah presiden, gubernur, bupati, caleg laki-laki atau perempuan asal mau mengerti penderitaan rakyat. Namun kaum perempuan sepakat bahwa memilih perempuan sebagai pemimpin baik sebagai wakil rakyat maupun sebagai pemimpin daerah adalah sebuah keharusan karena perempuan lebih peka dan lebih tahu kebutuhan perempuan dan perempuan yang diinginkan bukan hanya berjenis kelamin perempuan tetapi perempuan disini adalah perempuan yang secara ideologis memiliki kemampuan intelektual dan emosional serta mau dan mampu memperjuangkan agenda perempuan. Perempuan yang seperti inilah yang akan menyadarkan perempuan-perempuan lainnya akan hak-hak politik perempuan yang harus diperjuangkan meskipun banyak tantangan yang harus dihadapi termasuk kondisi perempuan itu sendiri. Pada tulisan ini akan kami sampaikan berbagai pengalaman penulis terhadap komunitas perempuan yang selama ini penulis amati dan kami dampingi, bagaimana harapan perempuan dalam menggunakan hak politiknya, sehingga diperoleh data dan sekaligus solusi yang penulis tawarkan berkaitan dengan hak politik perempuan karena bagaimanapun perempuan mempunyai hak politik yang sama dengan laki-laki dan harus diperjuangkan.17
B. Pembahasan

  1. Bias Gender dan Politik

Bias gender adalah prasangka yang dibuat tanpa pengetahuan yang memadai atau bukti-bukti yang kuat terhadap seseorang atau sekelompok masyarakat yang didasarkan pada peran dan posisi gender laki-laki dan perempuan, misalnya ketika ada pertanyaan mampukah bupati/ ketua DPRD perempuan memimpin masyarakat di suatu daerah? Mengapa pertanyaan ini dilontarkan hanya kepada perempuan, mengapa kepada bupati/ketua DPRD yang laki-laki tidak ada pertanyaan seperti itu. Jika di dunia kerja bias gender juga berarti perlakuan tidak setara dalam memberikan kesempatan kerja atau jabatan (promosi, upah atau gaji, keuntungan dan hak-hak istimewa) dan harapan-harapan terhadap sikap dan tingkah laku yang didasarkan pada jenis kelamin seorang karyawan atau sekelompok karyawan. Bias ini sangat berkaitan dengan keyakinan adanya pemisahan antara ruang publik dan ruang privat. Ruang publik adalah tempat dan milik laki-laki baik secara sosial, politik dan ekonomi, seperti lembaga publik, partai politik, parlemen dan lainnya, sementara ruang privat adalah ranah perempuan, tempat mereka hadir dan beraktivitas, seperti keluarga, merawat suami, anak, aktivitas rumah tangga. Pembagian ruang ini menjadikan konsekuensi masalah kesetaraan dan keadilan tidak menjadi perhatian dalam hubungan antar keluarga (suami-istri, orang tua-anak). Atas dasar itulah sehingga ketika perempuan masuk dalam ranah publik menempati sebagai kepala daerah ataupun parlemen dipermasalahkan kapasitas dan keahliannya sehingga ketika gagal kesannya heboh tidak seperti laki-laki yang menjadi pemimpin yang mempunyai kapasitas sama dengan perempuan.18


  1. Beberapa bentuk bias gender dalam politik

Bias gender dalam politik terjadi karena ada beberapa pemikiran tentang politik yang menjadi teori dalam ilmu politik yang terhegemoni sampai detik ini. Diantaranya teori-teori tersebut adalah:

  • Pembicaraan politik selalu berkaitan dengan “ the exercise of power” yang ada di pemerintahan atau institusi-institusi public lainnya. Harorld Laswell dalam bukunya “ What Gets What, When and How” (Siapa Dapat Apa, Kapan dan Bagaimana), definisi politik ini menunjuk pada semua aktivitas yang terjadi dan berlangsung di ranah public milik laki-laki. Juga pendapat neo-evolusionis yang mempromosikan paradigma androsentris, “ man as the the hunter “menunjukkan bahwa semua perkembangan manusia dalam masyarakat bermula dari perburuan yang dilakukan laki-laki.19

  • Pemikiran politik modern yang menekankan pentingnya kewarganegaraan universal yang akan memperluas hak semua orang untuk teribat dalam partisipasi politik. Kelihatannya ada prinsip keadilan akan tetapi hakekat perluasan kewarganegaraan yang universal ini berasal dari pengalaman laki-laki yang berkarakter maskulin, militeristik, rasionalitas, kemandirian, keagresifan, kekuatan, kekompetitifan, tawar menawar yang diasosiasikan dengan laki-laki dan maskulinitas.20

  • Nuansa seksisme dalam teori-teori politik. Seksisme adalah hubungan social yang menyokong otoritas laki-laki terhadap perempuan. Para pemikir politik menganggap perempuan terlalu emosional, tidak rasional untuk membuat keputusan atau kebijakan yang penting dan strategis, ada kecenderungan mysogny (sikap yang tidak menyukai perempuan). Tetapi sungguh ironis sebagian besar akademisi maupun politisi mengamini dan merujuk pada pemikiran tersebut sebagai cerminan suara demokrasi padahal demokrasi tanpa suara perempuan di dalamnya bukanlah demokrasi sejati.21

  • Teori- teori politik yang konvensional yang ada tidak bisa memandang gender sebagai sebuah konstruksi atau kategori teoritis, konseptual dan analitis.

Padahal ada tiga asumsi yang diungkapkan berkaitan dengan persoalan perempuan dan politik yaitu:22

    • Politik apapun definisinya memiliki dampak yang berbeda pada laki-laki dan perempuan

    • Politik dalam proses-prosesnya sering mengubah hubungan gender antara laki-laki dan perempuan.

    • Perempuan yang berpartisipasi sebagai subyek politik melakukan aktivitas politik yang berbeda dengan laki-laki.

Dari gambaran tersebut, dapat dipahami sebenarnya politik adalah suatu tindakan kebijakan untuk menyelesaikan masalah. Sehingga siapapun yang mampu dan berkesempatan dapat berperan dalam melakukan kebijakan tersebut, tidak hanya laki-laki, perempuan juga bisa. Tidak harus terpaku dengan umur dan usia, setiap orang yang mampu punya kesempatan yang sama. Hanya yang perlu dipahami, kebijakan yang dihadirkan politik adalah yang mempunyai ekses luas. Namun, catatan yang utama, permasalahan-permasalahan yang ada dalam dunia perempuan selama ini hanya bisa diselesaikan oleh perempuan dan laki-laki yang peduli pada perempuan. Yang terakhir inilah yang harus dicermati.


  1. Situasi Perempuan Jawa Tengah

Secara kuantitatif jumlah perempuan di legislatif meningkat, secara kualitas masih dipertanyakan dan dapat dipastikan mereka akan learning by doing. Berdasarkan latar belakang dan profesi mereka yang sangat beragam mulai dari bidan, selebritis sampai politisi, dapat dipastikan lembaga legislatif hasil Pemilu 2009 telah didominasi wajah baru, yaitu  caleg perempuan yang baru pertama kali terpilih melalui dapil Jawa Tengah.  Ada sebesar 88,89%, DPD sebesar 75% dan DPRD Jawa Tengah sebesar 71,43%. (Peta Suara Perempuan Jateng 2009; Ari Pradanawati)

Di lain sisi secara umum para pemilih Jawa Tengah yang tidak menggunakan hak suaranya pun mengalami peningkatan. Dari catatan rekap suara per kabupaten /kota di Jawa Tengah dalam pilgub tahun 2008 dan 2013, terlihat bahwa angka pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai meningkat dari 41,55% pada tahun 2008 menjadi 44.27% pada tahun 2013. Secara spesifik, 5 kabupaten dan kota dari 35 kabupaten dan kota di Jawa Tengah, tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya bahkan sampai 50% atau lebih adalah (Kab. Jepara (56,20%), Kabupaten Pati (55,48%), Kabupaten Demak (55,99%) dan Kabpaten Brebes (50,96%)). Kabupaten Temanggung adalah wilayah dengan tingkat pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya paling rendah (17,11%) disusul oleh Kabupaten Kudus sebesar (20.48%) (Sumber: KPU Provinsi Jawa Tengah, Rapat Pleno Terbuka Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah Tahun 2013, 4 Juni 2013).

Angka ini memberikan gambaran bahwa partisipasi politik masyarakat (dan perempuan) terhadap pemilihan kepala daerah masih rendah. Rendahnya partisipasi perempuan dalam politik disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya sistem perekrutan pada partai politik belum memberikan ruang penuh kepada perempuan; kehidupan politik dalam anggapan masyarakat adalah kehidupan yang hanya cocok untuk perempuan; standar kehidupan politik masih menggunakan standar laki-laki; kurang percaya diri pada perempuan untuk memasuki wilayah politik; dan lemahnya dukungan kepada perempuan dalam berpolitik.

Beberapa catatan mengenai hak politik perempuan baik sebagai calon legislatif maupun sebagai pemilih sebagai berikut akan dipaparkan.


a. Sebagai Calon Anggota Legislatif

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah dan Kemitraan (Patnership for Governance Reform in Indonesia), dalam rangka memberikan pendidikan politik bagi calon legislative di Jawa Tengah, dimana kegiatan ini memberikan pemahaman mengenai strategi kampanye, serta teknik-teknik yang dapat dilakukan untuk menjaring suara tanpa melakukan money politic. Hasil kajian ini memperlihatkan bahwa profil beberapa anggota legislatif baik berdasarkan latar belakang, proses pencalegan, agenda yang diusung pada saat kampanye dan apa yang akan dilakukan pada saat terpilih nantinya. Walaupun apa yang dilakukan ini tidak mewakili seluruh Jawa Tengah namun gambaran ini akan memberikan perspektif mengenai caleg perempuan yang ada di Jawa Tengah dan menurut penulis secara kewilayahan dapat mewakili gambaran yang ada.


1. Latar Belakang Caleg

    1. Tingkat Pendidikan

Terlihat bahwa potensi caleg perempuan Jawa Tengah yang mengikuti pelatihan yang dilakukan oleh kemitraan dari sisi pendidikan yang diselesaikan tampak bahwa potensi caleg perempuan sangatlah luar biasa hal ini dapat terlihat dengan tingginya caleg perempuan yang menamatkan pendidikan strata 1 (S1) sebanyak 66.67 %, sedangkan jumlah mereka yang menamatkan pendidikan Strata 2 (S2) sebasar 13 % dan sisanya adalah tamatan SMA, dengan potensi ini akan mempercepat peluang keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, paling tidak sebagai persiapan tahun 2014.

    1. Usia

Dari sisi usia terlihat bahwa usia calon legislatif (caleg) perempuan rata-rata didominasi oleh caleg yang berusia 36-45 tahun (46.7%), serta caleg berusia antara 46-55 tahun (26.7%). Sedangkan Caleg termuda berusia 22 tahun dan caleg tertua berusia 63 tahun. Gambaran ini memberikan petunjuk dari sisi usia sebenarnya rentang antara usia caleg perempuan berada pada rentang usia produktif, dan dalam derajat tertentu dianggap sebagai usia matang dalam berpolitik, karena relatif telah bersentuhan dengan pengalaman dalam masyarakat maupun dalam politik.
2. Latar Belakang Politik Caleg

Caleg perempuan relatif memiliki rekam jejak organisasi yang baik, ini dibuktikan dengan besarnya keterlibatan mereka (100%) sebagai eksponen organisasi partai politik, profesi, maupun sosial. Bahkan aktivitas di partai politik sangat dominan hampir seluruhnya caleg perempuan berasal dari organisasi politik (73%), organisasi sosial (83%), dan jumlah mereka yang berasal dari jumlah organisasi profesi juga cukup besar (41%). Sebagian besar caleg (62%) yang aktif di organisasi politik merupakan bagian dari jajaran induk partai.

Namun situasi agak berbeda terjadi pada aktivitas di organisasi sosial, caleg perempuan yang memiki pengalaman di organisasi sosial jumlahnya jauh lebih besar, lebih dari setengah dari sisi kuantitasnya (90%), ini menunjukkan sebelum kran gender mainstreaming melalui tindakan khusus sementara untuk keterwakilan perempuan didunia politik dibuka, sebagian besar dari mereka memilih aktif di organisasi sosial. Informasi lain yang cukup bagus, adalah bahwa keterlibatan caleg perempuan didalam organisasi politik maupun sosial sebagian besar adalah pengurus organisasi. Untuk organisasi politik bahkan mereka hampir seluruhnya menjadi pengurus (100%), demikian juga organisasi sosial (93%). Sementara yang hanya menjadi anggota dalam organisasi baik sosial maupun politik berada direntang (14-17%). Termasuk dalam organisasi profesi mereka kurang dari separuh adalah pengurus organisasi tersebut.
3. Proses Pencalegan

Banyaknya partai politik saat ini membuka peluang yang sangat besar untuk mendaftarkan diri sebagai caleg. Sebagian besar caleg perempuan di Jawa Tengah telah berpengalaman sebagai caleg lebih dari satu kali (53.3%), dan hanya (46,7%) yang belum pengalaman sebagai caleg (kali ini merupakan pengalaman pertama). Jumlah caleg yang berhasil menjadi anggota legislatif hanya 26,67%. Kemenangan pada pemilu 2009 ini bagi mayoritas dari mereka (83%) merupakan pengalaman yang pertama sebagai anggota legislatif dan 17% memiliki pengalaman kemenangan yang kedua. Sebagian besar caleg merasa kecewa terhadap sistem dan keadaan negara ini. Keinginan mereka untuk melakukan perubahan (67.67%) telah memotivasi mereka untuk menjadi caleg. Motivasi lain yang medorong mereka menjadi anggota legistaif antara lain karena adanya dorongan dari pihak lain (15%), ingin mencoba profesi/karier baru (10%), adanya keterwakilan perempuan (5%) dan hanya ingin coba-coba (3%).


4. Agenda dan Isu yang Diusung oleh Para Caleg

Agenda dan isu yang diusung oleh para caleg memiliki porsi sangat besar dan dominan adalah isu yang berkaitan dengan perempuan dan ekonomi. Isu ini diagendakan oleh 79% caleg dan 41% menyatakan isu ini yang paling diminati. Isu pendidikan (71%), Keterwakilan politik perempuan (88%), serta sosialisasi tata cara pemberian suara (73%), sementara isu kekerasan dalam rumah tangga juga mendapat porsi meski tidak terlalu dominan (41%) termasuk masalah kesehatan keluarga (56%). Namun dari beberapa isu yang dilontarkan caleg perempuan isu yang paling diminati adalah perempuan dan ekonomi (41%), hal ini memperlihatkan isu ekonomi dan kesejahteraan memang menjadi isu magnet dan mainstreaming karena janji perbaikan ekonomi sangat dekat dengan kalangan pemilih di pedesaan maupun perkotaan, disaat krisis ekonomi yang sedang mendera negeri ini. Data ini juga dapat diambil besaran kesimpulan bahwa majunya caleg perempuan tidak dengan kepala kosong, namun dengan agenda yang tertata.


5. Langkah yang Diambil Beberapa Caleg Setelah Terpilih

Langkah pertama bagi seorang caleg perempuan terpilih adalah menepati janji dan berusaha semaksimal mungkin memperjuangkan tuntutan konstituen pemilih (40%), meski pekerjaan ini bukan perkara yang mudah. Seperti pada saat bekerja mereka akan terpenjara dalam kerangka kerja kekomisian yang kadangkala tidak sesuai dengan kebutuhan konstituen pendukung. Oleh karena bekerja sebaik mungkin (27%), dengan mengeluarkan regulasi yang berpihak pada kaum perempuan.

Bagi caleg perempuan, tampaknya kekalahan bukan berarti akhir segalanya, kekalahan bukan juga kiamat bagi masa depan dan karier politik mereka. Sebagian besar caleg perempuan justru menjadikan kekalahan sebagai bahan pembelajaran dan perenungan (39%), dan memulai bekerja serius dengan kembali melakukan penggalangan politik, termasuk mempersiapkan sedini mungkin ketersediaan finansial (23%). Semuanya dilakukan dengan cara memulai kembali aktif di ormas maupun partai politik sebagai lembaga pijakan untuk memasuki kembali pertarungan caleg tahun 2014.

Setelah para caleg terpilih menjadi anggota DPR/DPRD periode 2009-2014, kebutuhan mendesak yang mereka inginkan adalah pelatihan dalam rangka pengembangan kapasitas sebagai anggota DPR/DPRD yang baru (43%). Termasuk para caleg yang tak terpilih juga menginginkan adanya penambahan kualitas diri melalui berbagai pelatihan yang disediakan bagi dari dalam partai sendiri maupun lembaga-lembaga lain di luarnya.


b. Sebagai Pemilih Kritis dan Cerdas

Kondisi marginal perempuan baik sebagai pemilih maupun caleg tidak terlepas dari lemahnya pendidikan pemilih dan kepemiluan khususnya bagi komunitas perempuan. Hasil penelitian UNDP (2008) memaparkan bahwa secara umum, “aspek ini relatif kurang mendapatkan perhatian. Ada sinyalemen bahwa semakin pemilih tidak paham dengan sistem pemilihan, mekanisme penyusunan calon, sampai implikasi dari janji-janji kampanye, maka semakin peserta Pemilu mendapatkan keuntungan. Pemilih yang pasif hanya dijadikan sebagai alat legitimasi atas kekuasaan”. Lebih lanjut diungkapkan pendidikan Elektoral kebanyakan ditargetkan pada publik umum tanpa kategori khusus sesuai karakteristik pemilih dan daerah, kecuali dalam beberapa kasus. Dalam hal ini komunitas perempuan marginal (ibu RT, pekerja informal, penyandang cacat, pekerja migran, pembatu rumah tangga, lansia) sering luput dari target ini. Mereka dianggap dapat memperoleh informasi atau dapat diwakili oleh suami/laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa pendidikan pemilih dan elektroral belum berperspektif gender. Perempuan sebagai komunitas memiliki persoalan dan kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki. Tidak terwakilinya persoalan dan kebutuhan perempuan menjadikan mereka komunitas yang dinomerduakan dalam pembangunan bangsa ini. Kemiskinan, eksplotasi, dan kekerasan masih berwajah perempuan. Kurangnya pengetahuan tentang pemilu dan elektoral menyebabkan mereka kurang mampu menyuarakan persoalan dan kebutuhannya serta memberikan suaranya secara tepat dan rasional agar memperoleh solusi. (www.menegpp.org).

Berdasarkan beberapa kajian yang dilakukan oleh KPI Jawa Tengah bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain (PSG UKSW Salatiga, Yayasan Parahita Salatiga, Lappis Kudus) pada tahun 2009 terlihat bahwa secara kuantitatif maupun kualitatif perempuan marginal yang menjadi wilayah sasaran adalah wilayah yang mempunyai tingkat partisipasi pemilu kepala daerah maupun pemilu gubernurnya rata-rata rendah. Sehingga wilayah yang terpilih akan merepresentasikan wilayah Jawa Tengah dengan tingkat partisipasi penduduk dalam pemilu tersebut rendah. Berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan terlihat bahwa, sebagian besar perempuan tersebut sangat kurang mendapatkan informasi terkait dengan pemilu sehingga mereka merasa bahwa pemilu ini tidak akan berdamapk bagi kehidupan mereka selanjutnya (masa bodoh). Selain itu tidak sedikit perempuan marginal tersebut tidak dapat membaca dan menulis (buta huruf) dan ini juga berakibat pada meningkatnya apatisme mereka untuk mengikuti pemilu.

Berikut ini beberapa hasil yang dilakukan oleh Penulis yang kebetulan aktif di KPI (koalisi Perempuan Indonesia) bekerjasama dengan L@PPis dan PSG UKDW Salatiga didalam membantu perempuan-perempuan marginal dalam melakukan pendidikan bagi pemilih dan Kepemiluan dengan sasaran perempuan marginal dengan tema: Suara Perempuan untuk Perubahan (menjadi Pemilih Cerdas yang Berwawasan Gender).

Dalam pelatihan ini disampaikan beberapa hal yang berkaitan dengan Pemilu dan bagaimana menjadi pemilih yang cerdas yang memilih bukan karena iming-iming calon tetapi lebih mengedepankan program serta perbaikan-perbaikan kondisi masyarakat baik secara fisik maupun non fisik.

Best practice dari kegiatan ini adalah peserta antusias menceritakan pengalamannya bertemu dengan caleg dari beberapa partai. Mereka menceritakan caleg mendatangi mereka dengan berbagai janji dan memberikan macam-macam barang, misalnya; kalender, sembako, dll. Mereka menjadi tahu mana yang disebut pelanggaran dalam kampanye (administratif dan pidana). Juga mereka mengungkapkan menjadi tahu pentingnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan mulai dari desa sampai dengan tingkat pusat. Beberapa peserta yang adalah buruh pabrik belajar bahwa kebutuhan untuk perlindungan pekerjaan dengan sistem perburuhan yang tidak adil bagi buruh, terutama perempuan. Mereka juga baru tahu bahwa jika mereka bisa bersatu, mereka bisa menuntut keadilan upah bagi mereka. Selama ini upah minimum mereka sangat rendah dan tidak cukup untuk kehidupan sebulan. Mereka belajar bahwa dengan memilih caleg yang mampu memperjuangkan kebutuhan mereka ini, mereka berharap bahwa mereka akan memiliki kehidupan yang lebih baik, terutama caleg yang berkeadilan gender baik itu perempuan ataupun laki-laki. Dalam pelatihan ini juga disimulasikan bagaimana perempuan memilih di dalam TPS (tempat pemungutan suara) serta berapa menit waktu yang diperguanakan dalam mencoblos pilihan mereka supaya pada saat pemilihan tidak melakukan kesalahan atau kebingungan dalam memilih.

Di wilayah ini ternyata masih banyak peserta yang Buta Aksara (16 orang). Mereka mengungkapkan kebingungan dalam melakukan pemilu mendatang karena mereka tidak bisa membaca dan belum pernah tahu seperti apa kartu suara yang digunakan. Dalam pelatihan ini, mereka pertama kali mengetahui seperti apa kartu suara dan bagaimana cara memberikan suara. Namun, mereka tetap ada kesulitan karena dalam kartu suara hanya ada nomor partai, gambar partai, nomor urut dan nama caleg. Dalam pelatihan ini juga mereka memperoleh informasi pentingnya suara perempuan dalam pemilu. Sebelumnya mereka tidak pernah menyadarinya. Seperti Ibu Siti (bukan nama sebenarnya yang berprofesi sebagai pengamen). Ia menjadi tulang punggung keluarga mencari uang karena suami hanya bermalas-malasan di rumah (tidur dan menunggu makan). Ia hidup di jalanan, mengamen, bekerja dengan waktu yang panjang (sampai malam), pendapatan tidak pasti, kerasnya hidup di jalan menjadi kesehariannya (dikejar petugas, diusili laki-laki, bahkan mengalami kekerasan), pulang di rumah juga menyelesaikan pekerjaan rumah tangga, dan termasuk memperoleh perlakuan kasar suami bila tidak dilayani. Dari pelatihan ini, Ia menyadari pentingnya memberikan suara kepada caleg yang peduli pada nasibnya sebagai perempuan marginal.


C. Kesimpulan

Permasalahan-permasalahan yang timbul berkaitan dengan perempuan tersebut diatas tidak akan selesai ketika campur tangan perempuan diabaikan. Baik sebagai pendorong kebijakan maupun sebagai pemegang kebijakan.

Berdasarkan kondisi dan pengalaman bekerja bersama dengan perempuan baik sebagai calon anggota legislatif maupun perempuan pemilih marginal, maka beberapa kesimpulan dapat disampaikan sebagai berikut:

1. Langkah Publik

Perlu dirumuskan kerangka waktu bagi pencapaian kesetaraan gender dalam representasi politik di tahun 2014. Tujuan yang tidak dibatasi oleh waktu akan membuat pemerintah, partai politik, para pelobi, dan kelompok perempuan kehilangan akuntabilitas.

Affirmative Action di Badan Legislatif

Affirmative action di dunia politik adalah langkah sementara yang diperlukan untuk memperoleh keadilan dalam jangka panjang bagi perempuan secara sosial dan ekonomi, di dunia privat maupun publik.23 Target minimum 30-33,3% tidaklah lebih dari masa kritis. Hal itu masih jauh dari kesetaraan. Sebagian suatu kesetaraan pun masih diragukan.

Berbicara mengenai affirmative action, sebaiknya kita tengok kembali kutipan dari Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) tahun 1979.

“Penggunaan langkah sementara yang dilakukan pemerintah untuk memacu kesetaraan laki-laki dan perempuan secara de facto tidak dapat dianggap sebagai diskriminasi, tetap hal itu tidak boleh dilanggengkan karena sama dengan memelihara ketidaksetaraan dan standar yang berbeda; langkah itu harus segera dihentikan ketika tujuan dari kesetaraan kesempatan dan tindakan telah tercapai” (Pasal 4).

Partai Politik dan Reformasi Sistem Pemilu

Selama targetnya adalah di tingkat distrik ke atas, sistem partai telah lama menjadi kendala bagi kepemimpinan perempuan. Selain affirmative action di tingkat legislatif, partai politik harus memiliki komitmen terhadap kesetaraan dan menjamin bahwa jumlah perempuan mencapai 50% dari keanggotaan partai, pemimpin, pejabat komite, dan calon legislatif.


  1. Pembentukan Aliansi

Pengalaman di India, Afrika Selatan, Uganda, serta di negara-negara industri menunjukkan pentingnya membangun aliansi antar aktor di pemerintah lokal, nasional, sektor swasta, dan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan. Proses pembangunan aliansi itu membutuhkan mitra untuk bekerjasama dalam berbagai isu di semua aspek pemerintahan. Peran negara adalah memperbaiki kebijakan, semacam affirmative action untuk mencapai kesetaraan gender di struktur pemerintahan. Kekuatan masyarakat sipil terletak pada langkah-langkah yang akan meningkatkan kualitas partisipasi politik perempuan, seperti pelatihan, lobi dan kerja lapangan. Keduanya mempengaruhi sektor swasta, perempuan sudah menempati posisi manajemen senior perusahaan. Mungkin yang lebih penting lagi adalah bahwa perempuan di seluruh dunia semakin banyak yang menjadi pengusaha, baik usaha kecil maupun usaha menengah, terutama pada bidang jasa dan retail yang modal awalnya lebih kecil daripada modal untuk membangun bisnis manufaktur atau bisnis lain, dan e-commerce menawarkan keuntungan tertentu.

Hampir di semua negara dibutuhkan penciptaan hubungan yang positif antara politisi dan masyarakat sipil dan saling berbagi antara perempuan di berbagai bidang untuk membentuk strategi pelengkap. Di samping itu keterlibatan dengan kelompok-kelompok agama juga perlu untuk membangun dialog mengenai ketidaksetaraan gender dengan pemimpin agama, terutama bila menyangkut interpretasi ayat suci yang menghambat partisipasi perempuan.

Secara keseluruhan, membangun aliansi menjadi mekanisme yang efektif untuk:


  • Pertukaran informasi mengenai pengalaman perempuan dalam mengidentifikasi syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan hubungan yang berkelanjutan diantara berbagai aktor pemerintahan.

  • Dialog antar semua aktor untuk meningkatkan dampak dari partisipasi politik perempuan.

  • Membangun akuntabilitas perempuan diantara berbagai konstituen.




  1. Pembagian Peran

Usaha membangun aliansi dan kerjasama khusus diperlukan untuk mengubah persepsi yang menyangkut kepemimpinan perempuan, terutama dengan menyebarkan informasi kepemimpinan perempuan yang kredibel, efektif, dan lebih baik daripada laki-laki di berbagai bidang dan di seluruh lapisan masyarakat. Semua perempuan harus mengetahui bahwa sebagai pemimpin, ia harus bergelut dengan tanggung jawab dan mengutamakan dunia publik. Sebagai pribadi bahwa pemimpin perempuan juga menjadi orang tua dan ibu rumah tangga, seperti halnya perempuan pedagang atau pengusaha. Manusia, tak peduli laki-laki maupun perempuan, memainkan peran berbeda pada saat yang berbeda. Perempuan masih cenderung lebih menghargai kontribusinya di ruang pribadi dan peran sukarela (tidak dibayar) daripada aspek-aspek yang terkait dengan lingkup sosial.

Peran media massa juga menentukan. Diperlukan dialog proaktif dan terus menerus antara pemimpin perempuan dan lobi-lobi perempuan ke media massa. Hal itu tidak hanya untuk menyoroti kepemimpinan perempuan saja, tetapi juga untuk meliput isu-isu yang menyangkut ketimpangan gender, mulai dari perkawinan di bawah umur hingga alokasi anggaran reset kesehatan. Contoh lain adalah perhatian besar yang diberikan oleh media massa pada masalah perdagangan obat terlarang dalam skala nasional maupun internasional. Sebaiknya perhatian itu tidak hanya pada dampak negatifnya terhadap perempuan dan peranannya, tetapi juga pengalihan dana dari masalah pembangunan yang lebih vital.




  1. Merangkul Generasi Muda

Dapat disimpulkan bahwa upaya-upaya di atas masih menempatkan perempuan dewasa sebagai sasaran. Namun untuk melangkah ke masalah bias gender yang sudah terjadi selama dua milenium itu, kita tidak boleh melupakan pengkondisian awal. “Anak adalah bapak setelah dewasa”, kata penyair Inggris William Wordsworth. “Beri aku anak, hingga ia berumur enam tahun”, kata tokoh Jesuit Ignatius Loyola, “dan aku jadikan dia laki-laki”. Kedua pendapat itu berlaku pula untuk perempuan. Bila pendidikan politik dan peranan perempuan diberikan setelah mereka dirancukan oleh peran perempuan yang lain, mengurus rumah dan kegiatan ekonomi (yang dibayar maupun tidak, di dalam atau di luar rumah), transformasi sistem politik akan tetap berjalan lambat, mungkin baru tercapai seabad atau satu milenium kemudian.


  1. Ada perwakilan perempuan menjadi pemegang kebijakan baik yang duduk di legislatif maupun di eksekutif serta yudikatif.

Ada perempuan yang menjadi wakil perempuan baik dalam legislatif maupun di eksekutif serta yudikatif sangat membantu kemajuan perempuan dalam mewujudkan kesetaraan gender dan memberikan peran yang sangat penting dalam mendorong affirmative action dalam rangka menciptakan demokrasi yang sebenarnya.24


  1. Menjadi pendorong kebijakan dengan memaksimalkan wadah-wadah yang ada untuk mengawal, memperjuangkan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak melalui penerapan anggaran yang responsif gender.

Strategi untuk mengintegrasikan isu gender ke dalam proses penganggaran dan menerjemahkan komitmen pemerintah untuk mewujudkan kesetaraan gender ke dalam komitmen anggaran yang meliputi seperangkat alat/instrument dampak belanja dan penerimaan pemerintah terhadap gender.

Berikut ini Kategori Anggaran Responsive Gender:25



  1. Alokasi anggaran gender “ Spesific gender” → belanja yang diperlukan bagi perempuan atau laki-laki dalam komunitas untuk memenuhi kebutuhannya khususnya. Contoh : alokasi anggaran untuk kesehatan reproduksi perempuan, alokasi anggaran untuk penyediaan alat kontrasepsi laki-laki, alokasi anggaran untuk pap smears, alokasi untuk kanker prostat, alokasi untuk sunnatan missal.

  2. Alokasi anggaran gender untuk meningkatkan kesempatan setara dalam pekerjaan → sebagai affirmative action untuk mewujudkan kesempatan yang setara antar laki-laki dan perempuan terutama dalam lingkungan pemerintahan atau dunia kerja lainnya. Contoh: alokasi anggaran untuk pelatihan teknologi pertanian bagi perempuan, alokasi anggaran untuk fasilitas penitipan anak di tempat kerja.

  3. Alokasi anggaran umum yang mainstreaming → alokasi anggaran umum yang menjamin agar pelayanan public dapat diperoleh dan dinikmati oleh semua anggota masyarakat (laki-laki dan perempuan)→ alokasi anggaran untuk penyediaan fasilitas WC Umum yang proporsional terhadap jumlah pengguna (3 perempuan, 2 laki-laki), alokasi anggaran untuk gerbong terpisah bagi laki-laki dan perempuan, dll.

  1. Proses partisipasi mulai dari need assessment (pemetaan kebutuhan masyarakat) sampai dengan advokasi) dengan melibatkan perempuan basis.

Meskipun secara formal telah ada proses perencanaan partisipatif yang melibatkan masyarakat mulai dari tingkat kelurahan sampai dengan tingkat kota kabupaten, namun pelaksanaannya hanya bersifat formalitas karena rendahnya tingkat akomodasi usulan masyarakat di APBD dengan alasan dana pemerintah terbatas.

DAFTAR PUSTAKA


Anonimous. “Partisipasi Politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik Tantangan Abad 21” United Nation Development Programme. 2003.

Anonimous. Laporan Final Interim “Pendidikan Pemilih dan Pemilu: Meningkatkan Partisipasi Politik Perempuan di Jawa Tengah” PSG-UKSW Salatiga. 2009.

Anonimous. “Survey Profil Caleg Perempuan Pemilu 2009” Patnership for Governance Reform in Indonesia Jakarta. 2009.

Amartya Sen. “More than 100 Million are Missing”, New York Review of Books. 1990.

Amartya Sen. “Development as freedom”, Alfred A Knopf, New York.

Miriam Budiarjo. “Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai” Yayasan Obor Jakarta. 1999.

Henrietta Moore. ” Feminism and Antropology” Cambridge Polity Press, Cambridge. 1988.

Ani Sutjipto. “Hak Politik Wanita dalam Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita” (T.O. Ihromi ed) Alumni Bandung. 2000.

Romany Sihite. “Perempuan Kesetaraan dan Keadilan: Suatu Tinjauan Berwawasan Gender” Raja Grafindo Perkasa Jakarta. 2007.

Heri Setiono. “Gender dan Demokrasi” Averroes Press Malang. 2008.

Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 46 Cetakan Pertama, Maret 2006.

Jurnal Perempuan untuk Pencerahan dan kesetaraan Vol. 34, Cetakan Pertama Maret 2004.

UNDP, Partisipasi politik Perempuan dan Tata Pemerintahan yang Baik: Tantangan Abad 21, Edisi Bahasa Indonesia, Jakarta, UNDP, 2003.

UNIFEM Kantor Regional Asia selatan & Centre for Womens Research (Cenwor), CEDAW: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Agustus 2004.

POLITIK LOKAL KOTA SANTRI

( SEBUAH TELAAH KONSEP KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM dan PERILAKU POLITIK SANTRI)


Oleh : Mufatihatut Taubah26,
Abstract
Yüklə 0,56 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin