(Sebuah Kajian Bibliograpi)
Anisa Listiani73
Abstract
Ideology is ideal hope claiming as a truth. Every the claim will declare that program achievement that brought will produce best social rule; a rule truth and the legitimization proved for everyone. Ideology aim often described with stipulating repeats something that ever there but in this time lose the triumph time, but he also can be in the form of a dreams realization and anspirasi only haunt in past.
Ideology almost always integration with a few vast interpretation about cosmology nature, that is they related with thinking system according to various confirm that penomena that seen produced by material pure strength; by a dualism aim between good principle and bad, with intervention from individual mobile, or by tongue rule but has impersonal that appointed by lord. Hence, several ideology claims inclined be absolute.
Keywords: ideology, truth, legitimization, power, intervention.
-
Pendahuluan
Legitimasi adalah suatu yang fundamental dalam sebuah sistem social-politik. Ia adalah stempel ideology. Ideologi sendiri merupakan sebuah system yang hidup dimana distribusi kekuasaan, kekayaan, materi, dan status dirasa benar bagi kelompok tersebut. Dalam sebuah masyarakat yang stabil, yaitu sebuah masyarakat yang damai dan tidak dikacaukan oleh kekuatan luar, konsep yang digunakan untuk melegitimasi aturan yang ada biasanya tidak diekspresikan dalam bentuk proposisi yang abstrak. Namun, ia diwujudkan dalam bentuk seremonial, simbol-simbol visual dan mitos. Tetapi saat ‘aturan’ yang ada dirasa kacau, baik oleh ketidaksepakatan internal maupun kekuatan eksternal maka para pemangku aturan berusaha menjelaskan kenyataan yang sebenarnya terjadi.
Usaha-usaha tersebut sebagai bentuk definisi diri dengan menggunakan pernyataan umum yang abstrak tentang apakah sistem sosial-politik yang digunakan dan ideologi apakah yang seharusnya ditetapkan. Cara yang dengannya ideologi yang disampaikan (seremonial umum, arsitektur, ukuran, pamplet, khotbah, dan sebagainya) dapat disebut propaganda. Dan lebih formal,kita dapat mendefenisikan ideologi sebagai sebuah kritik terhadap sistem sosial–politik yang ada baik untuk menggambarkan sistem tersebut maupun mengajak anggota-anggotanya untuk memegang teguh, memilih ataupun mengesampingkannya. Ideologi, pendeknya, adalah sebuah analisis dan sebuah panggilan untuk berbuat.
-
Ideologi dan Propaganda dalam Pustaka
Ideologi mempunyai sebuah retorika yang jelas, sesuatu yang secara simultan rasional dan mengharukan. Karena ideologi mencoba manghasut orang-orang untuk berbuat, ia jarang ditampilkan secara sederhana sebagai sebuah rangkaian proposisi abstrak yang logis, tetapi mereka hampir selalu dikerangkakan dalam kekuatan, nilai bahasa yang berisi. Dan secara khusus, ideologi berakar pada simbol-simbol budaya untuk membawa pesannya. Simbol-simbol ini, pada gilirannya, menjadi semacam tangan pendek bagi ideologi memang mungkin untuk mengucapkannya secara rinci ide yang terdapat dibalik mereka, tetapi biasanya simbol-simbol ditangkap secara intuitif oleh pembicara dan pendengar. Karenanya tendensi ideologi tereduksi dalam nyanyian slogan-slogan. Dalam diskursus Islam, misalnya, seseorang biasanya menyerukkan untuk menjalankan syariah, mengikuti jalan yang digariskan para pendahulu (kaum salaf), dan aturan yang sesuai dengan al- Qur’an dan Sunah. Jika dipahami secara mendalam, seruan tersebut sungguh merupakan ungkapan-ungkapan yang belum jelas. Penafsiran tentang Syari’ah mana yang dimaksud dari seruan itu, para pendahulu (kaum salaf) yang mana yang dimaksud, dan pada bagian Al-Qur’an mana yang dituju? Tetapi dalam suatu mileu sosial dan politik yang sesuai, slogan-slogan tersebut akan hadir sebagai sebuah progam yang spesifik, dan nyata.
Tak banyak kajian bibliografi yang memadahi tentang masalah ideology,, namun tulisan yang agak bombastik membahasnya adalah analisis dari Karl Mannheim, Ideology and Utopia ( terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils, 1936), dan sejumlah studi Clifford Geerts. Lihat secara khusus pada “ Ideology as a Cultural System” dalam The Interpretation of Cultures (1973), halaman 193-233. Begitu juga tulisan Edward Shils dan Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences, viii (1968), 66-85.
Ideologi adalah sebuah tampilan penting dari kebenaran sejarah Islam dari luarnya. Al-Qur’an sendiri menegaskan adanya sebuah ideologi, suatu program tingkah laku sosial dan politik yang bertujuan menciptakan sebuah masyarakat yang berketuhanan. Bahkan dalam sejarahnya, karier Nabi Muhammad SAW sebagian besarnya dicurahkan untuk mewujudkan program tingkah laku yang diyakini sebagai artikulasi berketuhanan ini. Baru setelah Nabi Muhammad SAW, kebanyakan krisis internal ummat disimpulkan sebagi kumpulan besar dari ideologi-ideologi yang saling bertentangan.
Banyak catatan sejarah tentang ideology ini, mulai dari Revolusi Abbasiyah, penggulingtan kekuasaan Karmatian dan Fatimiyah pada akhir abad 3 H/9 M-10 M, gerakan Almoravid dan Almohad di Maghrib, kemunculan Bani Safawi dan masih banyak lagi yang lain. Bahkan pemerintahan seperti pemerintahan Bani Ayyub, yang aslinya didirikan tak lebih dengan kekuatan yang kejam, dengan cukup cepat mencoba membangun sejumlah ideologi yang menjadikan mereka diterima secara politis.
Di sisi lain, propaganda pada masa pertengahan Islam, pada awalnya mencerminkan sebuah kompleksitas dari ideologi. Karena waktu itu tak ada mass media seperti yang ada masa ini, namun baik pemerintah maupun para oposisi mereka memiliki cara yang efektif. Seluruh kelompok bagaimanapun batasannya, mampu memberikan harapan dan sejumlah partisipasi langsung dalam membentuk dan memutuskan kebijakan negara, atau bagi yang mampu mengorganisir cukup kekuatan mampu menjadikan diri mereka diperhitungkan. Kelompok-kelompok sosial yang termasuk dalam kriteria ini adalah banyak sekali tipenya; misalnya pemerintahan Mamluk, suku-suku nomad, persaudaraan sufi, orang-orang kota yang terhormat dan para ulama, dan lain sebagainya). Tak satu pun alat komunikasi dapat efektif diantara seluruh kelompok, dan sehingga tak ada propaganda harus ditargetkan..
Apakah instrumen propaganda itu verbal ataukah visual? Di antara instrumen verbal, perbedaan antara tulisan dan ucapan tidaklah seluruhnya terpisah dengan jelas, sebab mayoritas teks-teks yang ada dijadikan ungkapan ulang.
Untuk memahami dengan baik teks-teks propaganda tersebut setidaknya perhatian yang diberikan tidak hanya pada kosa kata saja namun lebih pada seting dimana mereka harus dibaca. Karena itu Khutbah (khotbah resmi saat sholat Jum’at) disampaikan sebelum sekelompok orang melaksanakan sembahyang – pada prinsipnya yang hadir adalah seluruh laki-laki yang dewasa dari seluruh kota atau orang-orang yang bertempat tinggal di sana. Puisi akan dibacakan di antara sekumpulan teman (majlis) dalam rumah yang khusus atau di tempat yang lain. Teks-teks hadits ataupun teks-teks hukum maupun teologi juga dapat dipelajari dalam sebuah majlis tertentu, namun hal yang sama juga sepertinya disampaikan pada lingkaran murid dalam sebuah masjid ataupun madrasah. Beberapa aliran sejarah paling tidak dibawa dalam bentuk yang sama. Khotbah-khotbah informal juga disampaikan dalam masjid atau di berbagai tempat yang lain di mana kumpulan besar orang dapat dikumpulkan. Esei dan karya-karya selalu disusun untuk diucapkan ulang bagi para pendengar yang khusus, yang anggotanya dapat dikenal oleh penulis saat ia bekerja. Saling mempengaruhinya antara ucapan dan tulisan dalam sebuah masyarakat tradisional, masyarakat berbudaya semi tulis menulis seperti pada masa pertengahan Islam, butuh lebih banyak studi dari pada yang telah diterimanya; beberapa pemikiran yang berguna tentang persoaln tersebut, bersama-sama dengan rujukannya yang jauh, di sampaikan secara bersama dalam Michael Zwettler, The Oral Tradition of Classical Arabic poetry (1978).
Pahatan-pahatan yang monumental, yang dipahat pada pintu gerbang atau sepanjang muka gedung-gedung umum, tentunya berbeda-beda; mereka tidak dimaksudkan sebagai jeritan bacaan juga tidak ditujukan untuk para pendengar pilihan. Sebaliknya, mereka dapat dibaca oleh bayak orang-orang marginal yang lewat yang tahu tulis menulis. Audensi tulisan-tulisan ini tentunya jauh lebih besar dibanding yang dapat kita bayangkan. Hampir seluruh anak laki-laki muslim dalam kota, bahkan meskipun yang tidak mampu tulis menulis kata menurut pemahaman kita, telah belajar mengucapkan al-Qur’an dan mampu menulisnya ulang; dalam cara ini mereka telah terbiasa dengan alpabet dan banyak kata-kata kunci. Semenjak seluruh tulisan mempunyai tata bahasa dan kamus dasar mereka – sebagian besarnya berisi nama-nama, nama tambahan dan slogan-slogan - mereka dengan serta merta dapat dipahami oleh setiap orang yang dapat menulis. Sebuah tulisan pahat dasar (misalnya, sebuah tulisan pahatan yang mengidentifikasi karakter monumen yang ditempatinya, tanggal pembangunannya, dan nama orang yang menyebabkan dibangunnya monumen tersebut) karena itu ia dapat menjadi alat yang sangat jitu bagi propaganda (Untuk pembahasan umum tentang tulisan pahat dalam Islam lihat di atas).
Hanya sedikit aliran-aliran tulis Islam pada masa pertengahan (puisi, pidato, cermin ratu dan polemik-polemik politik) yang terbuka menyatakn dirinya sebagai propaganda – yaitu sebagai medium untuk membawa dan memperkuat lagi sebuah ideologi. Dimensi ideologi dalam sebuah teks , agenda tersembunyi yang membentuk pilihan pengarang dalam menjamu pokok persoalannya, harus selalu dilihat diantara baris perbaris. Lebih jauh, sebuah teks ideologi yang benar dapat berbeda dari atau bahkan bertentangan dengan isi dan maksudnya yang nampak. Adalah mudah mengambil aturan ini begitu jauh, kita dapat mulai dengan melihat polong dimanapun kita lihat, mengurangi kebenran intensitas dan signifikansi budaya dari sebuah karya dalam sebuah kesurupan pencarian terhadap penyolong ideologinya. Begitu juga, dua buah resiko sederhana dan terlalu kritis hanya akan menaikkan kewaspadan dan sensitifas.
Propaganda visual telah memunculkan persoalan tersendiri. Pada masa sebelum modern sangat sedikit masyarakat secara bersama melafalkan dalam istilah yang abstrak “makna” ritual mereka, upacara-upacara ,arsitek-arsitek, seni lukis dan plastik, dan lain sebagainya – mereka juga tidak dapat melakukan hal itu jika ditekan. Hingga kini secara ringkas segala hal ini adalah simbol yang sangat cepat dan begitu efektif, bagi identitas, solidaritas, legitimasi dalam masyarakat tradisional. Pada masa kita, tentunya tak seorang pun mampu menggambar sebuah gambar dengan tanpa menulis makna yang terkadung yang menjelaskan signifikansi sosial dari seninya. Pada masyarakat Islam masa pertengahan, kita menghadapi situasi yang begitu cepat. Ideologi, sebagaiman kita catat, adalah elemen penting dalam kehidupan politik dan karenanya memperoleh tampilan verbal yang hati-hati. Begitu juga seni dan arsitektur Islam selalu terasa ‘menyesuaikan’ ideologi era yang menghasilkannya, namun para pengarang muslim hampir-hampir tidak pernah mendiskusikan dimensi ideologis seni dan arsitektur ini. Itu hanya melalui penggunaan secara aktual dari segala hal ini. Kita dapat mendekati peranan mereka sebagai propaganda (sebagaimana adanya hal ini, banyak persoalan yang sama yang muncul pada akhir masa Romawi dan seni Eropa awal pertengahan; lihat E.B Smith, Architectural Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages [1956], h. 3, 10-12, di sana sini. Untuk pertimbangan yang jauh lebih umum, lihat Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols,” dalam The Interpretation of Cultures, 126-141).
Seperti ritual dan seremonial dalam Islam, kita tahu banyak tentang ibadah formal, namun hal itu pada dasarnya tidaklah berubah, paling tidak setelah dekade pertama, dan karena itu ia dapat membawa makna ideologi ketika hal itu secara eksplisit dihubungkan dengan seringnya perubahan konteks dari isu-isu dan konflik politik yang terjadi. Tentang seremonial pemerintahan, kita memiliki sejumlah pengetahuan, dan itu tentunya adalah sifat dari ideologi sendiri, namun ia menampilkan ide-ide dan nilai-nilai politik hanya bagi elit-elit politik. Sayangnya kita hanya tahu sangat sedikit tentang ritual dan upacara dari organisasi dan, yang dipandang menampilkan lebih dari sekedar orientasi yang populer.
Para sarjana modern secara berlahan meneliti elemen-elemen ideologis dalam seni dan arsitektur Islam masa pertengahan, namun ada sejumlah esei yang bermanfaat dalam hal ini. Tentang penanggalan, Oleg Grabar telah mengembangkan sebuah pemikiran yang paling luas dan profokatif; semua itu terangkum secara bersama dalamThe Formation of Islamic Art (1973; edisi revisi, 1987). Dalam sebuah lapangan penelitian yang lebih sempit, simbolisme politik dari masjid-masjid pada masa Umayah dieksplorasi dalam tulisan Jean Sauvaget, La Mosquee Omeyude de Medine (1947), sebuah studi yang kesimpulannya kadang meragukan namun argumennya tidak kalah brilian dan terpadu. Usaha yang sama telah dilakukan oleh pengarang saat ini, dalam “The Expressive Intent of the Mamluk Architecture of Cairo: a Preliminary Essay,” SI, xxxv, (1972), 69-119. Di sisi lain, perangkap semacam analisis ini ditampilkan oleh kritik Jonathan Blomm terhadap penafsiran saya atas sebuah monumen dalam “The Mosque of baybar’s al-bunduq dari in Cairo,” AI, xviii (1982), 45-78 (Lihat khususnya halaman 51-52).
Dalam budaya Barat, melukis adalah salah satu cara yang paling dipergunakan dan efektif dalam mengkomunikasikan nilai-nilai sosial-politik. Hal yang sama adalah kurang tepat untuk dunia Islam tentunya, bukan karena Islam tidak mempunyai lukisan namun karena melukis adalah (khususnya pada abad belakangan) utamanya sebuah seni buku, dan karena itu karakternya adalah bersifat privat dari pada publik. Buku-buku yang berilustrasi tidak dapat dihasilkan dalam jumlah yang sangat besar tentunya, dan itu hapir dengan pasti bahwa mereka dihasilkan bukan untuk dijual secara umum namun atas permintaan pelanggan yang khusus. Kecuali jika kita tahu pelanggannya atau paling tidak kelompok besar yang kita tuju (Raja-raja, para saudagar, dan lain sebagainya), kita bukan tidak pantas menafsirkan makna ideologis dari gambar. Hingga abad 5 H/ 11 M, gambar di gedung dan hiasan seni pahat sepertinya menjadi elemen yang sangat biasa dalam dekorasi keraton, namun hal ini dibuat untuk kesenangan para pegawai pemerintah dan para pegawai terdekatnya. Begitu juga, mereka menampilkan semi privat. Media hiasan lain –keramik, karya-karya dari logam, dan kaca-kaca bergambar – begitu beredar, tetapi ikonografi kebanyakan dari lembaran-lembaran ini adalah begitu sederhana dan dibentuk untuk membawa lebih dari sekedar konsep ideologi yang paling umum. Pengecualian terhadap aturan ini adalah juga lembaran-lembaran mutiara yang dikerjakan khusus untuk para Raja dan pegawai tinggi. Dalam isu ini, sejumlah pemikiran yang berguna beserta dengan sebuah bibliografi penting (meskipun sekarang ini kuno) dapat diketemukan dalam Oleg Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657.
Upacara kerajaan dalam Islam akhir-akhir ini baru mulai memperoleh perhatian yang serius, meskipun lapangan tersebut tetap menyolok, Begitu juga, kebanyakan penilaian adalah bersifat deskriptif dari pada pendekatan yang interpretatif. Sebuah tinjauan istimewa diberikan oleh D. dan J. Sourdel dalam Bab 7, “Le Palais et l’entourage souverain,” pada La Civilisation de l’Islam classique,” –nya (1968). Poin-poin khusus tercakup dalam beragam artikel dalam EI²: “Anaza,” “’Asa”, “Balat”, “Burda”, “Kadib”, “khil’a”. Banyak kutipan-kutipan yang penting, khususnya berfokus pada abad 4 H/10 M terangkum dalam bab IX dari Adam Mez, Die Renaissance des Islam (1922).
Sumber-sumber dan studi-studi yang berhubungan dengan dinasti-dinasti tertentu sangat terpencar-pencar. Dinasti Umayah adalah yang paling baik dikerjakan dalam Oleg Grabar, “Notes sur les ceremonies umayyades,” dalam Miriam Rosen-ayalon (editor), Studies in Memory of Gaston Wiet (1977), 51-60. Tentang Abbasiyyah, lihat Dominique Sourdel, “Questions de ceremonial ‘abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148. Dua buah teks dasar tentang Abbasiyah yang sesuai dalam terjemahan adalah sebagai berikut:
-
Hilal al-Sabi’, Rusum dar el-khilafa, editor Mikha’il ‘Awad (1964); penerjemah Elic Salem dengan The Rules and Regulations of the Abbasid Court (1977).
-
Jahiz (gadungan), Kitab al-Taj, editor Ahmad Zaki (1914); diterjemahkan oleh Charles Pellat dengan Livre de la Couronne (1954); tentang pengarang dari karya ini, lihat G. Schoeler, “Versasser und Titel der dem Gahiz zugeschrie benen sog, Kitab al-Taj,” ZDMG, cxxx (1980), 217-225.
Bani Fatimiyah telah dibahas oleh Marius Canard, “Le ceremonial fatimide et le ceremonial byzantin: essai de comparaison,” Byzantion, xxi (1951), 355-420; dan karya-karya yang berkelanjutan oleh Paula Sanders. Seraya menantikan publikasi dari disertasinya (1984); lihat “From Court Ceremony to Urban Language: Ceremonial in Fatimid Cairo and Fustat, dalam Essay in Honor of Bernard Lewis (1989),311-321. Upacara-upacara Buwaihi belum secara umum disampaikan, namun kejadian khusus yang penting telah di analisis dalam Heribert Busse, “The Revival of Persian Kingship under the Buyids,” dalam D.S. Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1130 (1973), hlm. 47-69. Rival mereka yang paling sengit di Timur Iran, yang mempunyai peran penting yang khusus dalam mengembangkan sebuah konsepsi pemerintahan Islam –Persia yang nyata, telah dijamu dalam C.E. Bosworth, The Ghaznavids: Their Empire inAfghanistan and Eastern Iran (1963) –lihat khususnya hlm. 129-141. Yang cukup aneh adalah Bani Seljuk yang telah diabaikan dari sudut pandang ini, selain dari pengaruhnya yang besar sebagai contoh dinasti dari masa pertengahan. Kaum Mamluk di Mesir dan Syria telah menarik sejumlah perhatian, meskipun banyak sisa yang harus dikerjakan; sebuah deskripsi umum tentang upacara mereka (analisis yang terlalu berfikir panjang) dapat diketemukan dalam M. Gaudefray-Demombynes, La Syrie a l’Epoque des Mamelouks, d’apres les Autereurs Arabes (1923); ada juga poin-poin penting dalam P.M Holt, “The Position and Power of the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-249.
Berkaitan dengan upacara-upacara dan seni-seni visual, begitu juga dengan teks, adalah keliru untuk berpandangann bahwa saat kita mengidentifikasi sejumlah aspek ideologi dalam suatu objek, kita dengan demikian telah mengeluarkan maknanya yang benar. Kebanyakan gambar-gambar, objek dan ritual-ritual secara serentak membawa signifikansi masing-masing pada berbagai level mereka. Untuk mempelajari dimendi-dimensi ideologisnya adalah bukan membuka sifat dan maksud-maksud riil mereka, namun cukup agak menempatkan mereka dalam sebuah konteks politik yang khusus.
Ideologi dan propaganda tak diragukan lagi menyerap elemen-elemen dalam kehidupan politik Islam masa pertengahan., tetapi untuk kebenaran alasan ini mereka juga sukar untuk dimengerti. Pada poin ini, akan sangat berguna untuk memperhatikan waktu dan tempat yang khusus, dan menanyakan bagaimana sebuah ideologi difungsikan di sana baik sebagai ide pemikiran maupun juga sebagai refleksi atas milieu sosial politik yang khusus. Dari sudut pandang ini, awal-awal periode Seljuk sepertinya menawarkan serangkaian persoalan khusus yang menantang.
Selama enam dekade sejak penyerbuan pertama mereka ke Khurasan pada tahun 1030 M hingga meninggalnya Malikshah pada tahun 485 H/1092 M, orang Seljuk menguasai usaha-usaha ideologis utama untuk menegakkan prinsip-prinsip kerajaan Iran dalam terma Islam. Ideologi yang dihasilkan, yang barangkali dapat kita sebut “Autokrasi Persia-Islam” pun pada masanya tidak memperoleh tempat yang mandiri. Sebaliknya, abad 5 H/ 11 M adalah masa yang menghasilkan definisi-definisi klasik otoritas khalifah, dan itu tampaknya bahwa definisi-definisi ini (yang dalam beberapa hal tetap normatif hingga masa sekarang ini) adalah paling tidak dibentuk sebagai bagian untuk menghambat dan memotong pertumbuhan sitesa Persia-Islam. Bahkan lebih dari itu, konsep politik Seljuk tetap sangat berpengaruh di sepanjang daerah dari Nil hingga Oxus sampai akhir abad 9 H/ 15 M.
Sementara ideologi bukanlah sebuah jasad pemikiran yang mandiri, tetapi agak merupakan respon terhadap sebuah situasi sosial politik yang khusus. Kita ingin memulai dengan mendefinisikan situasi tersebut di Iran dan Irak selama abad 5 H/ 11 M. Pertanyaan-pertnyaan berikut, yang merefleksikan proses dimana dalam meraih kekuasaan menghasilkan ideologi, menunjukkan sebuah pendekatan terhadap pekerjaan tersebut:
-
Bentuk-bentuk politik apa (misalnya; negara, dinasti, konfedersi suku, dewan militer) yang terlibat dalam memperjuangkan otonomi ataupun kekuasaan tertinggi ?
-
Kelompok-kelompok apakah yang sesuai secara politik dengan bentuk ini?
-
Bagaimanakah kelompok-kelompok ini mendefinisikan identitas politik mereka, peranan sosial mereka dan kepentingan-kepentingan konkret mereka ?
-
Konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan yang spesifik apakah yang mengharuskan kelompok-kelompok ini mengartikulasikan sebuah respon ideologis ?
Tak ada yang lengkap dan panjang bagi studi komperhensif tentang politik Iran dan Irak pada abad 5 H/ 11 M, dan ternyata tak seorang pun dengan begitu jelas menggunakan serangkaian pertanyaan ini. Bagaimanapun, dalam Continuity and change in Medieval Persia (1988). AKS Lambton memberikan sebuah sebuah survei yang rinci tentang tentang institusi administrasi dan keuangan Iran pada abad 5 H/ 11 M. Meskipun institusi-intitusi ini selalu mengalami evolusi dan inovasi, mereka tentunya jauh lebih stabil dibanding pemerintahan-pemerintahan yang memanfaatkannya. Mereka menentukan, begitu katanya, aturan-aturan permainan kerangka kerja abadi yang didalamnya perjuangan meraih kekuasaan dan kekuasaan tertinggi dijalankan (dimainkan). Tentang sejarah dinasti yang kompleks dan memusingkan pada periode tersebut, Lambton adalah pembimbing yang tak dapat ditinggalkan.
Sejarah dinasti memperoleh reputasi yang tak dapat dicemburui diantara para sejarawan modern, namun bagaimanapun gersang dan antiknya hal itu terlihat, ia tak dapat ditinggalkan. Tak ada analisis serius tentang ideologi yang mungkin tanpa sebuah pengetahuan yang solid tentang 4 bentuk politik utama dari periode ini: khalifah, orang Buwaihi Irak dan Iran Barat, orang Ghaznawi Khurasan dan Afghanistan, dan orang-orang seljuk sendiri. Selain artikel dalam IE² (diantaranya tulisan Claude Cahen tentang orang Buwaihi adalah secara khusus penting) dan bab-bab yang sesuai dalam Cambridge History of Iran, vol.iv dan v, lihat studi-studi berikut :
-
Tentang konfederasi diantara orang-orang Buwaihi, lihat Heribert Busse, Chalif und Grosskonig : die Buyiden in Iraq (945-1055) (1969), yang sekarang ini menjadi standar penilaian, dan Mafizullah Kabir, The Buwayhid Dinasty of Baghdad (1964). Kedua karya ini berfokus pada cabang keluarga Irak, meskipun pada waktu yang berbeda Shiraz dan Rayy adalah pusat politik yang lebih penting dalam konfederensi. R.P Mottahedeh, Leadership and Loyalty in an Early Islamic Society, (lihat diatas), adalah sangat mendasar, bagi pemahaman tentang aturan-aturan dengan nilai-nilai yang membentuk tingkah laku politik dalam lingkungan Buwaihi.
-
Mengenai Ghaznawi, ada sebuah penilaian bersifat naratif yang terpercaya tentang yang paling terkenal diantara mereka, dengan menekankan kampanye spektakulernya di India. Muhammad Nazim, The Life – and Time of Sultan Mahmud of Ghazna (1931). Jauh lebih analitis dalam karakternya adalah studi dari C.E. Bosworth, The Ghaznavids : their Empire in Afghanistan and Eastern Iran (1931). Bosworth memiliki sebuah bab penting tentang kota-kota dan hubungan ambivalen mereka dengan pusat pemerintahan, juga sebuah pengujian yang hati-hati dalam Turkestan down to the Mongol Invasion (edisi asli, 1900 ; edisi ke-3, 1968, lihat khususnya h. 254-333) tentang orang-orang Ghaznawi dan Seljuknya harus dikonsultasikan – sebagaimana tentunya bagi setiap dinasti di timur Iran dan Transoxiana – sebab ia mengantisipasi banyak dari baris-baris penelitian yang paling produktif yang dikembangkan oleh Cahen dan kawan-kawan lebih kurang beberapa dekade belakangan. Ini adalah bacaan yang majemuk namun dibayar penuh dengan waktu yang dihabiskan.
-
Tentang masa awal Seljuk. Literatur-literatur tersebut adalah sangat berserakan. Tak ada naratif panjang yang sempurna dalam bahasa Barat bahkan mengenai perang dan politiknya. Kebutuhan ini sebagaiannya telah dipenuhi oleh terjemahan dari Gary Leiser pada artikel panjang tentang dinasti dalam IA: A History of the Seljuks : Ibrahin Kafesouglu’s Interpretation and the Resulting Controversy (1988). A.K.S. Lambton telah menganalisis politik dan administrasi Seljuk dalam sebuah serial buku dan artikel yang panjang; ia menyampaikannya dengan ringkas namun hal itu bukan selalu sintesa yang terfokus dengan bagus dari padangannya dalam “The Internal Structure of the Seljuq Empire,” dalam Cambridge History of Iran, v (1968), 203-282. Calude Cahen juga telah menyumbang banyak kontribusi studi yang penting: pikiran-pikirannya yang paling bagus terangkum dalam “Turkish Invasion: The selchukids,” dalam K.M. Setton (editor), A History of the Crusader (1955: dicetak ulang pada tahun 1969), 135-176. Kebanyakan karya-karya yang terbaik tentang Seljuk adalah terdapat dalam bahasa Turki. Dan berikut ini adalah tulisan-tulisan yang bagus untuk mulai:
-
Ibrahim Kafesoglu, Sultan Maliksah derrinde buyk Selcuklu Imparatorlugu (1953).
-
M.A. Koymen, Bayuk Selcuku Imperatorlugu Tariki:Kurulus Derri (1979).
-
Osman Turan, Selcuklutar Tarihi ve Turk-Islam Medeniyeti (1965)
-
Pada abad 5 H/11 M, khalifah tradisional dipandang sepele yang digambarkan sebagai sebuah institusi hantu yang tidak mempunyai manfaat praktis. Bagaimanapun, penafsiran ini dengan tajam dan efektif ditentang oleh George Makdisi, Ibn ‘Aqil et la resurgence de l’Islam tradisionaliste au xi siecle (1963), khususnya pada halaman 69-164. Makdisi menegaskan bahwa khalifah mampu mengukir dirinya paling tidak pada peranan lokalnya di Baghdad dengan mengadu para amir yang bersaing dan ingin menjadi sultan, dan juga dengan memobilisasi segmen tertentu dari populasi Baghdad (khususnya para pengikut Hanbali) dalam dukungan mereka.
Beberapa dari studi ini, khususnya Bosworth dan Makdisi, tidak hanya menggariskan perjuangan hegemoni inter-dinasti, namun juga menguji kompetisi kekuatan dan pengaruh diantara masing-masing sistem politik. Bagaimanapun, aturan yang menjadi acuan kompetisi ini tidak mudah dicampuri baik oleh data faktual maupun kalimat penafsiran yang terdapat dalam karya-karya ini. Konflik politik selalu datang melintang dalam wujud sebagai perjuangan diantara ambisi dan individu yang berprinsip. Pada poin yang lain, pemain permainan benar-benar telah membenamkan dirinya dalam kelompok, tetapi kelompok ini didefinisikan dalam beragam bentuk mengikuti kriteria perubahan yang cepat – dari sisi etnis (misalnya Turki vs Tajk), keyakinan (misalnya- Hanafi vs Syafi’I atau Hanbali vs Syiah), afiliadi kesukuan, tempat tinggal (misalnya kota dan bukan kota), atau bahkan asosiasi volentir (misalnya, kelompok futuwwa ataupun gang anak muda).
Dalam menghadapi kebingungan tertentu, para sejarawan modern digoda untuk menyerukan bahwa seluruh kelompok ini harus benar-benar merefleksikan beberapa faktor tersembunyi, seperti bentuk penentangan ekonomi. Hal itu agaknya seperti melulu tipuan untuk menegaskan bahwa orang Hanbali menyerang orang Mu’tailah di Baghdad karena perbedaan doktri tentang hubungan kalam Tuhan dengan Dzat Tuhan. Begitu juga, konflik etnis dapat dilihat sebagai sebuah pergantian yang tidak rasional tentang kompetisi karena kekurangan sumber makanan. Tetapi untuk mengesampingkan nama-nama yang diberikan kelompok untuk dirinya sendiri atau motif-motif yang mereka klaim sebagai tindakan mereka adalah sebuah kesalahan yang serius. Dalam kondisi yang seperti itu, kita akan meninjau bentuk-bentuk identitas solidaritas dan nilai sosial dalam bentuk dimana tindakan politis benar-benar dilakukan dan dikerjakan. Kemudian setelah itu, semuanya itu secara ringkas merupakan sebuah pemahaman pribadi tentang posisinya dalam sistem sosial dan politik yang mendasari usahanya untuk menciptakan sebuah ideologi. Pendeknya, supaya kita dapat memahami apa arti sebuiah ideologi bagi para pengikutnya, kita harus memahami istilah yang mereka gunakan untuk menganalisis masyarakat mereka sendiri; menentukan tujuan tindakan politis, dan mencoba membentuk diri mereka dalam sebuah kelopok yang efektif secara politik
Usaha yang serius untuk menyajikan sejarah sosial periode awal Bani seljuk, dan untuk mengetahui kelompok apa yang diperhitungkan secara politik pada masa itu, adalah masih jarang dan analisisnya bersifat sementara. Kebanyakan judulnya, sebagaimana yang akan kita lihat, berkaitan dengan masyarakat perkotaan dan politik dan ada beberapa alasan dalam hal ini. Kaum pedesaan, yang merupakan mayoritas terbesar di sebagian besar wilayah, adalah hampir-hampir tidak pernah melakukan tindakan yang dipandang bersifay politik (dalam definisi yang kita berikan) meskipun pada tingkat yang paling lokal. Bahkan person mereka yang memiliki kekuatan politik adalah karena kepemilikan lahannya di kota. Para pendeta suku pada dasarnya adalah persoalan yang lain, namun mereka sering dikaitkan dengan para perampok ataupun pejuang, tidak sebagai kelompok sosial sebenarnya.
Sebuah tinjauan terhadap persoalan ini disajikan oleh Claude cahen, “Tribes, Cities, and Social Organization,” dalam Cambridge History of Iran, iv (1975), hlm. 305-328. D.S. Richard (editor), Islamic Civilization, 950-1150 (1973), adalah sebuah tulisan yang berisi lembaran-lmbaran yang sesuai. Tentang kependetaan suku dan pengaruh mereka dalam struktur sosial daerah dan kehidupan ekonomi, misalnya, dapat dilihat pada sajian yang hati-hati dan menawan dari Cahen , “Nomades et sedentaires dans le monde musulman du milieu du Moyen Age,” dan Lambton, “Aspects of saljuq Ghuzz settlement in Persia,” keduanya terdapat dalam tulisan Richard, 93-102, 105-125. (Yang pertama dicetak ulang dalam Cahen, Peuples musulmans dans l’histoire [1977],423-437). Kelompok etnis terbesar Bani Seljuk telah disurvei dalam sintesa dari Faruk Sumer, Oguzlar (Turkmenler); tarihieri, boy teskilan, destanlari (1972). Tentang kelompok-kelompok yang membentuk masyarakat kota, studi perintis (sekarang masih sangat dibutuhkan) adalah tulisan Cahen, “Mouvements popularies et autonomisme urbain dans l’asie musulmane du Moyen Age,” Arabica, v (1958), 225-250; vi (1959), 25-56, 233-263. Ketetapan tentang perserikatan kota disampaikan oleh Cahen, “Ya-t-il eu des corporations professionelles dans le monde musulman classique,” dan oleh S.M. Stern, “The constitution of the Islamic City,” keduanya dalam A.H. Hourani dan S.M. Stern (editor), Middle Eastern Cities (1969), hlm. 47-79.
Berdasar literatur ini, kita dapat membangun sebuah gambaran tentang perjuangan membangun hegemoni di Irak dan Iran. Empat prinsip kekuasaan dilibatkan, masing-masing menampilkan tipe yang sangat berbeda tentang bentuk politik khalifah. Karena prestisnya yang besar maka ia benar-benar kebal dari pemusnahan para orang yang berkompetensi. Di sisi lain, kekuatan riil miliknya begitu ramping dan tingkat pengaruhnya di wilayah Baghdad dan Sawadi dapat diatur dengan sangat baik dengan mempermainkan para pesaingnya dalam dan diantara para pemerintah Buwaihi dan seljuk. Satu-satunya dukungan panjang yang terpercaya yang sesuai dengan khalifah adalah segmen suni dari penduduk Baghdad.
Seperti pada pemerintahan Buwaihi, pemerintahan mereka telah mulai menjadi sebuah pemerintahan diktator yang benar-benar bersifat militer, dan itu agaknya berdasar pada para tentara bayaran yang dengannya mereka dapat mencapai kekuasaan. Yaitu mereka berasal dari penduduk Daylami dan penduduk inilah yang merupakan tentara elit mereka, dan menjadi kafeleri Mamluk Turki mereka. Sebagai tambahan, sebagai Syiah dua belas mereka dapat mengumpulkan sejumlah dukungan populer dari mereka yang sealiran agama di Baghdad dan kota-kota lain tertentu semisal Qumm.
Seperti Buwaihi, kelompok Ghaznawi adalah sebuah dinasti militer yang otoritasnya bertumpu terutama pada tentara profesional mereka yang luar biasa. Tetapi ada perbedaan yang sangat krusial. Pertama, pusat kekuatan mereka terletak di sebelah Timur Iran dan Afghanistan. Karena itu khalifah bukanlah saingan bagi mereka, tetapi cukup sebagai sebuah potensi sumber legitimasi. Kedua, para pendukung khalifah semuanya memperoleh kemudahan semenjak orang-orang Ghaznawi adalah orang-orang Suni yang militan. Fakta ini juga memberi kesempatan kepada mereka untuk menarik dukungan dari kelompok keagamaan suni yang berpengaruh dan terhormat dari Khurasan. Ketiga, orang-orang Ghaznawi adalah orang Turki –sultan pertama mereka pada faktanya adalah mamluk- dan karenanya mereka menjadi kelompok militer utama pada saat itu. Orang-orang Turki mereka tidak harus menjadikan mereka lebih dari sekedar ‘sekutu’ bagi daerah-daerah yang mereka perintah di banding orang buwaihi tentunya, sebab pendiri pemerintahan Ghaznawi adalah para pembantu dinasti Saman, sebuah dinasti asli Iran dan mereka menganggap diri mereka sebagai pewaris sah kerajaan dan tradisinya.
Sejak abad pertengahan ke depan, orang Seljuk menjadi kekuatan politik yang dominan di daerah tersebut. Para sultan bani Seljuk aslinya para panglima perang dari koalisi kelompok orang-orang Turki yang berasal dari suku Oguz yang hidup di sebelah timur laut Aral, dan mereka selalu kokoh, memaksakan diri, untuk mendapatkan status sebagai pemimpin dan patron bagi orang-orang Turki pengikut mereka. Sebagai tambahan tentunya, bani Seljuk harus memerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, dan tanggung jawab ini memerlukan dukungan elemen tertentu dari para penduduk asli. Rezim tersebut secara khusus terbagi ke dalam tiga kelompok yang secara fungsional sangat jelas namun yang mempunyai keanggotaan yang sebagiannya saling tumpang tindih; birokrasi yang bersifat Irak dan Iran, orang-orang kota yang terhormat, dan elit keagamaan suni. Sebagai pemerintah masyarakat kota dan masyarakat agraris, bani Seljukmembutuhkan sebuah dukungan kekuatan militer yang terpercaya dan bukan berwatak penyamun dari orang-orang Turki, dan benar-benar mampu mengatasi orang-orang terakhir ini bila dibutuhkan. Kekuatan ini mereka peroleh dengan ukuran sewajarnya dari masa itu – yaitu dalam penjagaan Mamluk Turki, dan kelompok inilah yang dengan cepat menyediakan banyak pegawai militer senior (termasuk para gubernur provinsi) dalam negara. Mengenai khalifah, raja-raja seljuk menggambarkannya sebagi pembantu dan pelindungnya yang loyal, tetapi pada kenyataannya mereka harus bergelut dengannya sebagai rival yang gigih dan suka mengganggu, khususnya di Irak.
Sketsa dahulu tersebut dengan jelas mengimplikasikan kelompok mana yang memiliki kepentingan politik dalam konflik-konflik di masa seljuk. Pertama, ada dua kelompok di tingkat pemerintahan ; birokrat sipil murni (Arab dan orang Iran), dan tentara profesional yang kokoh. Kedua, suku-suku Turki, yang menampilkan elemen sosial ekonomi yang berbeda di daerah maupun sebuah otonomi, dan kadang-kadang perselisihan militer. Ketiga, para elit asli kota; para pedagang, para pemilik lahan tanah, dan ulama yang rangking tinggi. Keempat, populasi urban di beberapa puat terbesar seperti Baghdad dan Nishapur, semua ini kadang diorganisasikan melalui madhahib (sekte teologis-hukum), kadang dalam bentuk geng-geng muda atau milisi yang bertetangga. Kadang kelompok yang besar ini berbuat sebagai kelas-kelas yang solid, masing-masingdengan tujuan dan kepentingan yang tentunya jelas. yang lebih sering lagi, masing-masing kelompok tersebut secara internal terbagi ke dalam kelompok-kelompok pesaing yang besar, dan kelompok-kelompok ini akan berpihak dan menyesuaikan diri mereka satu sama lain dalam serangkaian gerakan koalisi yang memusingkan. Karena itu kita menyaksikan seorang amir dari kalangan tentara merekrut para pengikut dari suku-suku Turki dan Kurdi. Juga, Ulama suni di Baghdad yang merupakan para pengikut teologi al-‘Asy’ari akan mencari dukungan dari pemerintah Seljuk dalam menentang kolega kelompok tradisionalis mereka, sementara itu semua ini pada gilirannya ternyata adalah mencari dukungan khalifah.
Setelah mengembangkan beberapa pengertian tentang lingkup politik yang kompleks dan encer pada masa ini, kita sekarang ini dapat berpaling pada ideologi yang muncul di dalamnya. Tidaklah mengejutkan bahwa ada banyak sekali tentang hal ini, tetapi kita tidak mengetahui seluruhnya secara sama. Bentuk sumber-sumber kita meyakinkan bahwa kita paling baik diberi tahu tentang ideologi-ideologi resmi, yang mengartikulasikan klaim-klaim yang berselisih bagi legitimasi beragam dinasti. Seperti ideologi protes, kita menemukan banyak jejak tentang hal ini dalam sumber kita, tetapi sedikit yang sampai dalam bentuknya yang lengkap.
Tak ada survei umum tentang ideologi saja dalam periode Seljuk; yaitu, kita tidak memiliki studi yang luas yang tercurah tidak hanya untuk pemikiran politik pada masa itu, namun juga tentang retorika, simbolisme, dan propaganda. Sungguh, kita hanya memiliki satu studi serius semacam ini bagi banyak porsi dari periode pertengahan, yaitu monografi terkenal dari Emmanuel Sivan, L’islam et la Croisade: Ideologie et propagande dans les reactions musulmanes aux croisades (1968). Buku Sivan jatuh di luar batas kronologi bab ini, tetapi fokusnya tentang negara penerus bani Seljuk menjadikannya sangat sesuai. Persoalan yang menghadang negara-negara ini (pendudukan orang kristen atas daerah-daerah orang muslim) adalah unik, tetapi respon ideologis mereka terhadapnya dikerangkakan dalam makna yang dikembangkan pada masa Seljuk. Lebih dari itu, ringkasan Sivan, -dokumentasinya yang luas, dan kewaspadaannya terhadap cara dimana perubahan verbal yang ramping mampu menerangi gerakan-gerakan utama dalam kebijakan, seluruhnya terkombinasikan untuk membuat studinya sebagai model bagi karya dalam lapangan ini.
Begitulah adanya, kita harus puas memulai dengan analisis tentang pemikiran politik, yang benar-benar telah dikaji dengan baik, barangkali dari sana aspek-aspek lain dari ideologi sejauh yang diijinkan literatur akan dituju. Survei menyeluruh yang paling baik saat ini barangkali adalah A.K.S.. Lambton, State and Government in Medieval Islam (1981), yang secara bijak memfokuskan diri pada tradisi Syariah, yang akrab dengan hukum konstitusi kita. Penilaiannya dapat dikomparasikan dengan studi klasik dari Louis Gardet, la cite musulmane: vie sociale et politique (edisi asli, 1954; edisi revisi, 1961; lihat khususnya hlm. 147-188), yang menyajikan analisis yang luas tentang nilai-nilai dan konsep-konsep suni dalam sudut pandang atomis yang jelas. Studi-studi tersebut dapat ditambah dengan E.I.J. Rosenthal, Political thought in Medieval Islam (1958), yang gemuk dan banyak mengutip dari para ahli hukum syariah, tetapi mempunyai suatu yang berguna untuk disampaikan mengenai pembicaraan asli para filosof, sepeti al-farabi dan Ibn Sina.
Tradisi Syariah aslinya terpusat pada institusi khalifah. Ungkapan klasik tentang keharusan religiusitas dalam kemuliaan politiknya tidak diragukan adalah karya dari Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyah (diedit oleh R. Enger, 1853, dengan Constituones politicae, Kairo, 1929). Al-Mawardi adalah Kadi Baghdad yang bermadzhab Syafi’I dan kepercayaan khalifah al-Qadir (381 H-422 H/991 M-1031 M), yang padanya ia menyusun karya tersebut, barangkali kurang lebih tahun 420 H/1030 M. Tulisan itu memperoleh terjemahan yang bagus dari Emile Fagnan, Les Status gouvernementaux, ou regles de droit public et administratif (1915). Bagaimanapun, tulisan al-Mawardi bukanlah satu-satunya karya aliran ini pada masanya; kadi Baghdad bermadzhab Hanbali, Abu Ya’la b. al-Fara’ (w. 458 H/1066 M) menyusun sebuah buku dengan judul yang identik (edisi Kairo, 1357 H/1938 M), juga tampaknya atas permintaan khalifah. Jelasnya tulisan-tulisan ini menyajikan bukan teori-teori yang tidak berkepentingan, tetapi sebuah konser kampanye oleh Abbasiyah untuk memperkuat otoritas politik mereka.
Karya Abu Ya’la, meskipun dipublikasikan setengah abad yang lalu, belum lama mendapat kajian yang serius. Al-Mawardi, sebaliknya, telah menarik perhatian yang meyakinkan. Studi-studi perintis lainnya adalah oleh H.A.R. Gibb: (a) ‘Al-Mawardi’s Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302; (b) “Some Consideration on the Sunni Theory of The chaliphate,” Archives d’histoire du droit oriental, iii (1939) 401-410; (c) “Constitutional Law,” dalam M. Khadduri dan H. Liebesny (editor), Law in the Middle East (1947), 1-29. (Dua item pertama dicetak ulang dalam Gibb, Studies on the Civilization of Islam, 141-165). Analisis yang paling menyeluruh adalah dari Henri Laoust, “La pense et l’action politiques d’ al-Mawardi (364-450/974-1058), REI, xxxvi (1968),11-92, yang menguji teori pemerintahannya maupun konteks politik saat tulisan itu ditulis.
Tulisan George Makdisi, Ibn’Aqil memperluas konteks dimana karya-karya formal seperti tulisan al-Mawardi mengenai makna ideologis yang seksama bagi kepercayaan agama harus ditafsirkan melalui analisisnya, yang seolah-olah bersifat teologis ketimbang berbentuk pernyataan politik. Bahasannya (hlm. 299-310) dapat dikomparasikan dengan penasehatnya tersebut, Laoust yang tidak dapat ditinggalkan, di akhir pendahuluan pada La profession de foi d’Ibn batta (1958) – sebuah karya oleh seorang ahli hukum Irak pada abad 4 H/ 10 M yang telah menulis ketika kejayaan tirani Buwaihi.
Pada akhir abad ke 5 H/ 11 M, Abu Hamid al- Ghazali (400-505/1058-1111) menyampaikan ulang teori supremasi politik Khalifah, meskipun dengan beberapa konsesi yang agak jelas terhadap realitas yang ada dari dominasi militer Seljuk. Ia menyajikan bahasan persoalan ini dengan sangat lengkap dalam Kitab Fada’ih al-Batiniyya wa wafada’il al-Mustazhiriyya, diterbitkan dan dikaji oleh Iqnaz Goldziher dalam Die Streitscrift des Gazali gegen di’e Batiniy ya- sekte (1916). Sebuah pernyataan yang lebih ringkas diberikan dalam al-Iqtisad fi al- I’tiqad ( edisi Kairo, 1327/1909), dianalisis oleh Leonardo Binder dalam, “Al- Ghazali’s Theory of Islamic Government, “ Muslim World, xiv (1955), 229-241. Sebuah studi luas tentang pemikiran politiknya (yang didalamnya Kalifah dipandang hanya satu elemen) dapat diperoleh dalam Henri Laoust, La Politique de Ghazali (1970). Pada dekade paling belakangan, Carole Hillenbrand telah menerbitkan dengan hati-hatidan agak bersudut pandang revisiones tentang korpus politik al-Ghazali, “Islamic Orthodoxy or Realpolitik ? Al-Ghazali’s Views on Government, “ Iran , xxvi (1988), 81-94.
Realitas politik fundamental yang menghadang khalifah tentunya adalah sebuah tindakan yang harus disertai dengan paksaann oleh sejumlah anggota diktator militer, -beberapa keuntungan dari hal tersebut adalah sangat jauh, namun yang lainnya begitu dekat dengan Mamluk. Studi-studi yang dinukil di atas tentunya adalah mengenai persoalan tersebut, tetapi sebagai tambahan ada banyak yang lain yang seacara khusus dicurahkan terhadapnya.
-
W. Barthold , “Kalif; Sultan,” Mis Islama, I (1912), 202-226, 345-400; dianalisis dalam C.H. Becker, “Barthold’s studien uber Kalif und sultan,” Islam, vi (1916), 350-412; terjemahan parsialnya dilakukan oleh N.S. Doniach dalam Islamic Querterly, vii (1963), 117-135.
-
A.H. Saddiqi, “caliphate and Kingship in Medieval Persia,” IC, ix (1935), 560-579; x (1936), 97-126, 260-279, 290-408; xi (1937), 37-59. (Secara esensi merupakan sebuah survei tentang kejadian-kejadian politik sejak masa Tahiri hingga akhir masa Seljuk).
-
Emile Tyan, Institutions du droit publi musulman, II: sultanat et califat (1957). (Sebuah studi berguna, bahkan mencatat review yang sangat kritis dari Claude Cahen dalam arabica, v [1958], 70-76)
Diantara para pemimpin diktator ini, Bani Buwaihi pastinya menampilkan persoalan yang paling akut, sejak mereka mengkontrol Baghdad dan daerah-daerah rendah Irak, dan lebih-lebih Syiah yang tidak menerima Abbasiyah sebagai pemimpin masyarakat yang benar. Di sisi lain, Bani Buwaihi mengeksploitasi Syiah mereka hanya pada level lokal, sebagaimana baru saja kita catat. Tidak hanya mereka menolak klaim Fatimiyah sebagai Imamah, mereka tidak pernah mencoba berbuat sebagai wakil bagi imam yang tersembunyi, spiritual tersebut ada jika kepala dari sekte dua belas mereka tidak hadir. Ketika Bani Buwaihi merasa butuh akan sejumlah sumber legitimasi di luar peperangan, mereka berharap mendapatkannya dari kekaisaran tradisi Iran kuno. Usaha ini sebagai revivalisasi budaya terkait secara khusus dengan ‘Abdud al-Dawla Fana-Khuraw yang luar biasa (338-372/949-983). Sebagai tambahan bagi tulisan Busse, “The Revival of Persian kinship under the Buyids,” (lihat di atas), lihat dua buah artikel berikut ini:
-
W. Madelung, “The Assumtion of the Tittle Shahanshah by the Buyid and the Reign of Daylam (Dawla al-Daylam),” JNES, xxviii (1969), 84-108, 168-183.
-
Lutz Richter-Bernburg, “amir Malik-Shahanshah: Adud al-dawla’s Titulature Re-examined,” Iran , xviii (1986), 83-102.
Pengetahuan kita tentang ideologi kerajaan Buwaihi sebagian besarnya adalah berdasar pada judul-judul yang mereka klaim. Pastinya kita tidak mempunyai karya formal dari seorang yang sekaliber al-Jahiz, al-Ghazali, al-Mawardi, Nizam al-Mulk, dan lain-lain, yang menceritakan pemahaman Buwaihi tentang Iran. Sumber kita yang paling berguna barangkali adalah mata uang Buwaihi. Sebagai tambahan kita dapat memperoleh sejumlah data babad dan korespondensi negara (yang terakhir tidak terjaga dalam bentuk aslinya, tetapi hanya dalam koleksi insha’). Semua refernsi yang penting terdapat dalam J.C. Burgel, Die Hofkorrespondenz ‘Adud al-Dawla und ihr verhaltnis zu anderen historischen Quellen des fruhen Buyiden (1965).
Revivalisasi Buwaihi atas kekaisaran Iran merupakan sesuatu yang tentatif, terutama karena terbatas pada upacara dan gelar kerajaan. Dalam generasi berikutnya, idealisme dan kriteria aturan pemerintahan dari model ini akan mendapat pernyataan yang lebih jelas dalam Shah-nameh yang luar biasa dari Firdawsi, disusun di keraton Saman di Bukhara tetapi pada ujungnya disampaikan untuk sultan Mahmud dari Ghazna. Berikutnya nilai-nilai dan sikap-sikap neo-sasanid akan melebur dalam setiap lembaran tulisan politik di Iran, pada setiap prasati dan mata uang, setiap upacara, hingga seluruh masa pertengahan. Untuk alasan ini, adalah berguna menyadari literatur pada masa sebelum kekaisaran Islam di Iran. Survei standar adalah tulisan Athur Christensen, L’iran sous les Sassanides (1936; revisi kedua, 1944), lihat khususnya bab 8, mengenai monarkhi yang paling lengkap yang dapat dijadikan contoh bagi pemikiran Iran, Khusraw Nushirwan. Ada kekayaan materi di sini, tetapi itu harus digunakan dengan sangat hati-hati, sebab banyak data kita tentang sasanid berasal dari sumber-sumber yang ditulis pada masa Islam, dan pemahaman kritis Christensen kadang menggagalkannya. Persoalan tersebut juga telah dikaji oleh Geo. Widengren, “The sacral Kinship of Iran,” dalam The Sacral kinship (1959), 2420258. Sebuah artikel oleh R.N. Frye, “The Charisma of kingship in Anciebt Iran,” Iranica Antiqua, vi (1964), 36-54, mempunyai banyak poin yang menarik, tetapi ia tidak sesuai dengan judulnya. Seni Sasanid mengembangkan sebuah ikonografi kekaisaran yang kokoh. Bejana-bejana perak yang menyolok yang dibuat untuk kerajaan sekarang ini dikatalogkan dengan baik sekali dan dikaji dalam Prudence Harper, Silves Vessels of the sassanid Periode . Volume one : Royal Imagery (1981), yang mempunyai gambar-gambar yang istimewa dan sebuah bibliografi yang menyeluruh mengenai seluruh aspek seni sasanid. Relief karang yang mengagumkan untuk memperingati penobatan dari raja-raja pertama telah disurvei (sayangnya, tidak dapat dengan sangat mudah dipahami) dalam Roman Ghirshman, Iran : Parthes et Sassanides (1962), diterjemahkan oleh S. Gilbert dan J. Emmons dengan Iran Parthians and sassanians (1962). Yang monumental dalam skala tentunya dari semua ini adalah lembaran-lembaran yang benar-benar mengagumkan tentang propaganda dinasti.
Transmisi tradisi Raja Sassanid kepada Islam adalah persoalan utama dalam dirinya, dan kita hanya dapat memberi sedikit referensi disini. C.E. Bosworth telah memberikan kontribusi sebuah esei yang ringkas, “ The Heritage of Rulerhip in Early Islamic Iran and the Search for Dynastic Connections with the Past, “Iran, xi (1973), 51-62. Mengenai arsitektur dan daya khayal, ada banyak sugesti yang bermanfaat dalam Oleg Grabar, The Formation of Islamic Art, lihat khususnya halaman 141-178. Dari sisi literatur, banyak tema yang beredar melalui kontroversi Syu’ubiyah yang terkenal di akhir abad 2 H/ 8 M, melibatkan para pendukung budaya Iran disatu sisi dan penjaga kemuliaan Arab sebelumnya disisi lain. Ignaz Goldzeher membawa seluruh fakta utama dalam tulisannya Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-198). H.A.R Gibb menyiapkan penafsiran yang bersifat sosial politik ketimbang bersifat budaya bagi konflik ini dalam sebuah artikel terkenal, “ The sosial significance of the Shu’ubiyya, “ dalam Studi’a Orientalia Loanni Pedersen Dicta (1953), 105-114; dicetak ulang dalam Studies on the Civilization of Islam, 62-73; lihat juga R.P. Mottahedeh, “The Shu’ubiyah Controversi and the social History of Early Islamic Iran, “IJMES, vii (1976), 161-182. Teks-teks yang relevan adalah tak terhitung jumlahnya; bab pertama dan antologi terkenal Ibn Qautayba (w.276/889) akan menunjukkan bagaimana konsep politik Sassanid dapat diterima menjadi bahkan dalam lingkup Islam yang konservatif : “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar (4 Volume, 1343-49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The book of Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27.
Meskipun bangsa Turki dengan ras orang-orang Ghaznaw mencoba sekeras orang-orang Buwaiki, ternyata mereka lebih berhasil dalam menghubungkan diri mereka dengan tradisi kekaisaran Iran. Kebalikan dari saingan mereka, tentunya, mereka berusaha juga menciptakan suatu sintesa antara bangsa Iran dan secara khusus Islam yang berasal dari pemerintahan mereka; Ghaznawi kenyataannya adalah pendiri sebenarnya model pemerintahan yang kita sebut dalam buku ini dengan autokrasi Persia – Islam. Menggunakan model ini, mereka menggambarkan diri mereka dengan prajurit pejuang yang mengembangkan dunia Islam, sebagai penjaga Suni dan penindas bid’ah, dan sebagai aliansi dan agen yang loyal dari Khalifah Abbasiyah. Dalam cara ini mereka secara simultan memproklamasikan nilai absolut dan konsep keadilan bangsa Iran. Sama dengan orang Buwaihi, judul yang digunakan oleh sultan-sultan Ghaznawi adalah sangat terbuka: lihat C.E . Bosworth, “ The Titulature of the Early Ghaznavids, “ Oriens, xv (1962), 210-233. Mengenai seni arsitektur mereka, ada sebuah survei ringkas yang bagus (barusaja agak kuno) Oleh J. Sourdel. Thomine dalam EI2,ii, 1053-55. Ungkapan-ungkapan ideologi mereka yang terbaik barangkali adalah tulisan Bayhaqi Tarikh –I Mas’udi, tentangnya lihat analisis dalam Bab yang telah mendahului sebagai tambahan, siyasat-naweh dari nizam al-Mulk yang terkenal, meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah dari Nizam al-Mulk yang terkenal,meskipun ditulis untuk Sultan Seljuk Malikshah (465-485/1072-1092) secara dekat mencerminkan nilai-nilai dan pemikiran monarki dinasti Ghaznawi, dalam dinasnya Nizam al-Mulk mulai kariernya. Edisi dan terjemahan paling bagus terhadap hal itu adalah oleh Hubert Darke,The book of Government or Rules for kings (teks persia, 1960; edisi revisi tahun 1978).
Beragam untaian ideologi yang dihasilkan oleh Khalifah bani Buwaihi dan Ghaznawi seluruhnya diwarisi oleh Bani Seljuk, yang menjadi, sebagaimana yang dicatat dahulu dalam bab ini , contoh negara Islam pada akhir masa pertengahan. Di sisi lain pengaruh dan prestis besar mereka, bagaimanapun, kita masih belum memiliki pennelitian umum tentang ideologi bani seljuk. Pendekatan yang paling dekat mengenai hal ini dapat diketemukan dalam sejumlah studi oleh A.K.S. Lambton tentang konsep-konsep kekaisaran Iran masa pertengahan, yang semuanya terdapat dalam Theory and Practice in Medieval Persian Government (1980). Diantara semua ini, dua buah artikel secara khusus telah banyak dikutip : (a) “Quis Custodiet custodes: Some Reflection on the Persian Theory of Government,” SI, v (1956),125-146; (b) “Justice in the Medieval Persian Theory of Kingship,” SI, xvii (1962), 91-119. Artikel-artikel ini penuh dengan pemikiran-pemikiran yang menarik. Di sisi lain mereka hanya mengenai aspek khusus dari keseluruhan pokok persoalan, dan sebagai tambahan mereka menco ba meliput seluruh dinasti utama Islam Iran, tidak hanya dinasti Seljuk saja.
Karya Lambton berdasar pada teks-teks yang ditulis dengan jelas untuk menunjukkan kriteria pemerintahan yang benar. Diantara sejumlah karya yang penting dalam tipe ini yang dihasilkan pada masa dinasti seljuk, kita telah menunjukkannya dengan siyasat nameh dari Nizam al-mulk. Dalam karya ini (baik itu al-Ghazali ataupun yang lainnya) tidak memberi perhatian pada khalifah dan klaim-klaimnya; ia menulis secara khusus tentang pemerintahan seljuk di timur Iran. Hillenbrand (“Islamic Ortodoxy or Realpolitik ?” yang telah dinukil di atas hlm 161) menganggap lembaran-lembaran itu sebagai palsu. Dalam beberapa hal, nasihat mempunyai sebuah sejarah tekstual yang kompleks dan ia paling mudah dikonsultasikan dalam terjemahan oleh F.R.C. Bogley, Ghazali’s Book of Connsel for Kings (1964). Terakhir ada Qabur-nameh yang elok dari ratu kay ka’us b. Iskandar (475/1082), editor dan penerjemah Reuben Levy denganA Mirror for Princes (1951).
Tiga karya ini berbagi konsep yang biasa tentang status dan peranan pemerintahan monarkhi, yang mereka sajikan baik dalam kerangka sasanid dan Islam, tetapi dalam nada dan etosnya mereka masing-masing sangat berbeda. Nizam al-Mulk menerima tanggung jawab sultan dengan realisme yang keras, baginya, sultan mampu meraih keadilan dan sentosa hanya dengan memaksakan keinginannya pada bawahannya, dan ini dapat dikerjakan hanya melalui kewaspadaan yang terus menerus dan ancaman yang konstan dan menghilangkan hubungan diantara kelas-kelas yang stabil. Karena aturan sosial yang adil ini adalah ditetapkan oleh Tuhan, berikutnya sultan harus berbuat dengan seluruh tenaganya untuk berpegang teguh pada agama yang benar dan menghilangkan bid’ah. Di sisi lain, Nizam al-Mulksepertinya menerima keadilan sebagai sesuatu yang secara rasional dapat diketahui dan diserukan oleh seluruh agama yang sesuai, tidak hanya Islam. Dari sudut pandang ini, hubungan antara pemerintah dan agama adalah hubungan fungsional. Penguasa mengemban agama yang telah ditetapkan karena agama tersebut melegitimasi dan memperkuat susunan sosial yang ada, bukan karena kebenaran nilai-nilai yang abstrak dari agama tersebut.
Dalam nasihat al-Mulk, pengarang pertama kali ditarik perhatiannya dengan karakter dan motivasi dari penguasa. Ia secara implisit berargumen bahwa jika pemikiran dan tindakan diri penguasa adalah benar-benar telah dibentuk, maka kebijakannya akan di dengar dan pemerintahannya akan berkembang dengan baik. Baginya, bagaimanapun, kebenaran nilai agama adalah utama. Setiap aspek tingkah laku penguasa harus berhembus dari komitmen personal mengenai kebenaran ini. (Bandingkan dengan analisis Lambton dalam “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely, I [1954], 47-55)
Qabus-nameh pastinya yang paling menarik dan paling harmonis dari teks ini, meskipun dari sudut pandang teoritis ia kurang begitu penting. Ia berisi nasehat tentang persoalan dunia dari sebuah dinasti yang saleh bagi putranya tentang bagaimana jalannya di dunia yang berbahaya, dan bagaimana bertingkah laku pada setiap saat sebagai seorang raja.
Tiga karya ini seluruhnya ditujukan bagimpara penguasa, dan semua karya tersebut adalah memorandum dan sekaligus juga dokumen umum. Dalam rangka merangkul kelompok-kelompok lain, ideologi bani Seljuk harus diekspresikan melalui karya-karya asli yang beragam. Kebanyakan historiografi bani seljuk yang bagus (sebuah tulisan yang paling langsung berhubungan dengan birokrasi) adalah terlalu berkarakter ideologis. Literatur ini belum pernah dipelajari secara memadai, namun Claude Cahen telah memberi dua kontribusi penting berkaitan dengan hal ini; (a) “Le Malik –Nameh et l’histoire des origines seljukides,” Oriens, ii (1949), 31-65; (b) “Historiography of the Seljukid Period,” dalam Lewis dan Holt, ditor, Historians of the Middle East, 59-78.
Di kalangan Ulama dan para pengikutnya, peranan dinasti sebagai’ penjaga keyakinan’ dapat disimbolkan dengan perlindungannya terhadap institusi-institusi agama. Masjid-masjid dan madrasah pada masa bani Seljuk celakanya hidup hnaya dalam kepingan-kepingan, dan apa yang kita miliki benar-benar diabaikan oleh para sarjana modern. Mengenai tinjauan ringkas atas apa yang telah diketahui, liha Oleg Grabar , “The Visual Art,” dalam Cambridge Historyn of Iran, v,626-641. begitu juga, epigrafi bani seljukbelum pernah menjadi objek dari sebuah studi sintesa, meskipun nilainya bagi perkembangan ideologi tersebut adalah sudak terbukti. Sebuah indikasi atas apa yang dapat dipelajari dapat diketemukan dalam dua buah studi oleh Mikita Elliseeff tentang para raja penerus bani Seljuk di Syria abad 6 H/ 12 M, Nur al-Din Mahmud b. Zanji: (a) “La Titulature de nur ad-Din d’apresses inscription,” BEO, xiv (1952-1954), 155-196; (b) “Les Monumens de Nur ad-din,” BEO, xiii (1949-1951), 5-43. Penafsiran Elliseff begitu dekat dengan kerangka kerja yang dilakukan oleh Max van Berchem dalam CIA . Dan pernyatan dari yang terakhir tersebut mengenaio bani Seljuk adalah mudah dimengerti meskipunsangat berserakan.
Sejauh ini kita telah berbicar seolah-olah bani Seljuk memandang dirinya sebagai autokrasi Persi-islam, dan sebagai penjaga dari Islam suni dan khalifah. Tetapi mereka juga para pemimpin orang-orang Turki, paling tidak pada permulaannya, dan sangat perlu menanyakan apa yang dimiliki dari fakta ini pada pmikiran politik mereka. Bahkan Nizam al-Mulk yangrealistik menyinggung segi identitas mereka ini hanya dengan cara sepintas lalu, ketika ia menasehati Malik shah untuk tidak mengabaikan ataupun melukai hati orang-orang Turki yang telah ikut membawa dinasti mencapai kekuasaan. Mengenai konsep politik dan nilai-nilai orang Turki, tentu ia katakan tidak dengan sebuah kata. Meskpun demikian jelas bahwa penduduk Turki Asia tengah mempunyai tradisi yang berurat akardengan tradisi aaslnya, beberapa diantaranya paling tidak telah mereka bawa saat emasuki wilayah di luar Oxus pada awal-awal abad 5 H/11 M.
Contoh khusus yang penting tentang hal ini adalah ungkapan bahwa wilayah kedaulatan adalah hak milik bagi seorang individu namun untuk keseluruhan keluarga. Yaitu, anggota-anggota utama dari famili yang paling besar dalam sebuah kebijakan adalah diharuskan berbagi kekuasaan dengan mengakui porsi wilayahnya sebagai bagian yang otonom bagi anggota keluarganya yang lain Struktur politik semacam ini dapat dibri beragam nama; diantara nama – nama tersebbut dalam penggunaannya yang pantas adalah kedaulatan kolektif, “konfederasi Kekeluargaan,” dan negara bagian. Institusi tersebut pertama kali diidentifikasi oleh Barhold (Turkestan down to the Mongol Invasion, 268), tetapi pandangannya tidak diorbitkan hingga Claude Cahen mengadakan penelitian tentang bentuk tingkah laku ini dalam artikelnya tentang Bani Ayyub dan bani Buwaihi dalam EI2 Institusi tersebut paling sistematis diteliti dalm dua monografi belakangan: (a) R.S. Humphreys, From saladin to the Mongols: The Ayyubids of Damascus, 1193-1260 (1970); dan (b) John E. woods, The Aqquyunlu clan, confederation, Empire (1976). Tak ada pertanyaan tentang kode kedaulatan kolekstif yang sangat kuat membentuk tingkah laku politik Bani seljuk, tetapi tampatknya hla itu merupakan persoalan yang tidak dibicarakan – bentuk pemikiran dan nilai yang mempengaruhi hubungan merka satu sama lain dan dengan para pengikut orang-orang Turki mereka, tetapi yang tidak prnah menjadi bagian dari klain publik mereka untuk menguasai daerah dan penduduk muslim.
Bani seljuk menetapkan kebanggaan besar mereka dengan bahasa Turki. Dan sebuah bukti kuat terdapat dalamawal-awal abad 5 H/11 M, Tafdil al-Atrak dan Ibn Hasul (teks Arab dan terjemahan Turkinya dikerjakan oleh S. Yaltkaya, studi oleh ‘abbas al-‘azawi, Belleteni, iv [1940],235-266. Di sisi lain banii Seljuk tidak pernah mensponsori literatur dalam bahasa Turki, meskipun model hal ini telah dipersiapkan oleh Qara-Khanid dari Transoxiana pada pertengahan abad 5 H/11 M. Di bawah pattron mereka cermin bahasa Turki bagi para Raja kenyataannya disusun dengan penanggalan yang ramping tentang banyak teks Persi semcam ini yang ada, Kutadgu Biliq dari Yusuf Khass Hajib, diterjemahkannoleh Robert Dunkoff dengan The Wisdom of Royal Glory (1983) Bahkan yang lebih menarik lagi adalah Diwan al-Lughat al-turk yang sangat besar dari Mahmud al-Kashghari. Tetapi secara umum kita mulai melihat literatur Turki yang disponsori secara rresmi hanya pada paruh kedua abad 9 H/15 M.
Telah disampaikan bahwa sejak masa awal bani Seljuk menganggap diri mereka sebagai penduduk yang memiliki mandat wahyu untuk mengatur dunia, meskipun saya menemukan tesis tersebut meragukan. Tema ini paling lengkap (meskipun cinta tanah airnya agak berlebihan) di gali oleh Osman Turan, Turk cihan Hakimiyeti Mefkuresi Tarihi (2 volume, 1969); pengarang yang sama jug memberikan pernyataan yang ringkas tentangnya dalam “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”SI, iv (1955), 77-90. Satu aspek dari tradisi kepemimpinan Turki digali dalam J.P. Roux, “L’origine celeste de la souverainete dans les inscriptions paleo-turques de mongolie et de Siberie,” dalam The Social Kingship, 231-241. Tentang penggunaan bani Seljuk ata simbol kekuatan raja bahasa Turki tua, tundukan dan anak panah, lihat Claude Cahen, “la tughra seljukide,’ JA, ccxxxiv (1943-45), 167-172.
Kita seharusnya tidak usah melebih-lebihkan bisunya konsep dan simbol bahasa Turki dalam imaginasi umum yang dicoba direncanakan oleh Bani Seljuk. Tak diragukan semua ini penting bagi cara mereka dalam memahami diri mereka sendiri, tetapi mereka benar-benar telah mampu berbuat banyak dalam melegitimasi aturan pemerintahanSeljuk di kalangan orang-orang Iran, Arab dan penduduk Kurdi. Tentunya ide-ide tersebut dengan jelas sangat penting bagi Khans-II dan para penerus Turki Mongol mereka seperti kelompok Jalayirin, Qara-Qayunlu dan Timur Lank. Namun orang-orang Mongol memulai dominasi mereka di Irn dan Mesopotamia sebagai penduduk pagan, orang yang terpatri dengan tradisi Asia Tengah, dan sangat pelupa dengan ide-ide Persia-islam. Bagi bani Seljuk, sebaliknya, kriteria Islamsecara khusus dan neo-sasanid sepertinya telah mengontrol ungkapan politik umum mereka, dan bahkan pandangan tentang kekaisaran dan aturan sosial yang mereka anspirasikan.
-
Penutup
Jika kita kembali kebelakang pada kerangka perbandingan umum ideologi dan propaganda yang telah kita kembangkan pada awal bab ini, kita sekarang dapat mencoba melokasikan bani Seljuk di dalamnya pertama, mereka memauki dunia Islam pada saat kekacauan politik dan budaya yang mendalam disana. Dalam lingkungan tertentu mereka (atau lebih punya, para ahli kampanye asli mereka) tidak dapat menghindarkan diri dalam menjelaskan peranan dan maksud mereka.- Yaitu membangun sebuah ideologi yang memperkuat dominannya atau populasi muslim yang ada mereka adalah orang-orang Barbarian, barbarian yang berkeinginan melanggengkan, sejauh mungkin, susunan sosial masyarakat kota- agraris yang telah ada di Iran dan daerah bulan sabit yang subur. Sikap inimengharuskan mereka berpihak pada kelas-kelas asli mereka yang memegang teguh aturan tersebut. - Birokarasi kepemiliki lahan dan masyarakat kota yang terhormat (Ulama dan para pedagang). Karena alasan itu, ideologi bani Seljuk akan seacara pasti menjadi satu-satunya yang mencoba memastikan dan menjaga sesuatu sebagaimana adanya mereka. Pandangan konservatif ini diperkuat oleh keputusan para pedagang tak resmi untuk menjalin hubungan diri mereka dengan Khalifah Abbasiyah. Ketegangan dan konflik dibangun dlam aturan bani Seljuk tentang segala hal, dan para apologi mereka berharap dapat menyelesaikan hal ini dengan mengterangkan sepasang konseptual yang akan mempertegas harmoni dalam diantara elemen-elemen yang kelihatan bertentangan – bahkan penekanan mereka pada peranan kunci kelompok etnis tambahan (Turkidan Tajik)dan institusi politik (khalifah dan ksultanan). Dalam cara yang sama, mereka menampilkan pemerintahan bani Seljuk sebagai satu-satunya yang dapat menyesuaikan seluruh kriteria penguasa ideal yangmuncul pada masa-masa aawal Islam, Sassanid Iran dan Turki asia Tengah, bagaimanapun kontrdiksinya hal ini terlihat dari luarnya.
Karena aturan yang ada dibawah tekanan dari berbagai jurusan, yang opaling terlihat adalah Syiah Ismailiyah, bani Seljuk yang konservatif adalah tak dapat tidak militan dan bahkan menyayat dalam nada. Propaganda mereka adalah propaganda pada orang yang bebas berbicara dikalayak umum dn yang mengontrl sumber-sumber yang sangat luas. Para pendukung merka dapat mengajar di masjid dan madrasah, mengedarkan karyua-karya tertulis utama, dan membangun institusi agama yang indah. Apakah seluruh hal ini efektif ? Tentunya itu saja tidak dapat menyelamatkan pemerintahan bani Seljuk dari melemahnya strukturalnya. Tetapi ideologi lambat laun bekerja menuju secara jelas kebutuhan politik dinasti militer yang mencoba mengatur dalam kerangka nilai dan perilkaku Islam yuang telah ada. Lebih jauh, itu dapat memberikan kemampuan bagui generasi-generasi belakangan melihat ke belakang pada awal-awal bani Seljuk sebagai kesempatan memperbaiki keagunagn Islam, sebuah kesemnpatanmyang seharusnya mereka perj8angkan untuk merebut kembali bagi diri mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Clifford Geertz, “Ethos, World View, and the Analysis of Sacred Symbols,” dalam The Interpretation of Cultures, New York: Basic Book, 1973, {126-141).
Dominique Sourdel, “Questions de ceremonial ‘abaside,” REI, xxviii (1960), 121-148.
Edward Shils dan Harry M. Johnson, “Ideology,” dalam International Encyclopaedia of the Social Sciences, viii (1968).
E.B Smith, Architectural Symbolism of Imperial Rome and the Middle Ages, Princeton: Princeton University Press,[1956]
E.I.J. Rosenthal, Political Thought in Medieval Islam , Cambridge: Cambridge University Press,1958.
H.A.R. Gibb: (a) ‘Al-Mawardi’s Theory of the Khilafa,” IC xi (1937), 291-302.
Ignaz Goldzeher, Muhammedanische Studies, I, hlm. 147-216 ( Muslim Studies, I, 137-198)
Ibn Qautayba (w.276/889) “Kitab al-Sultan,” dalam Uyun al-Akhbar (4 Volume, 1343-49/1924-30), I, 1-106, diterjemahkan oleh Josef Horovitz dengan “ The book of Government, “ IC, iv (1930), 171-198, 331-362, 487-530; v (1931), 1-27.
Karl Mannheim, Ideology and Utopia (terjemahan Louis Wirth dan Edward Shils), New York: Harcourt, Brace & Co., 1936.
Lambton, “The Theory of Kingship in the Nasihat al-Muluk of Ghazali,” Islamic Quartely, I [1954], 47-55).
Leonardo Binder, “Al- Ghazali’s Theory of Islamic Government, “ Muslim World, xiv (1955), 229-241.
P.M Holt, “The Position and Power of the Mamluk Sultan,” BSOAS, xxxviii (1975), 237-249
Osman Turan, “The Ide of world Domination among Medieval Turks,”Studia Islamica, iv (1955), 77-90.
Oleg Grabar, “The Visual Art,” dalam Cambridge History of Iran, v (1986), 641-657
MEMPERTAHANKAN PILKADA LANGSUNG
Hasyim Asy’ari74
Abstract
Dostları ilə paylaş: |