Tanya-jawab pembelajaran pendidikan ips 2 Jelaskan inovasi besar yang sedang dilakukan dunia pendidikan di Indonesia ! Mengapa ?



Yüklə 217,5 Kb.
səhifə2/5
tarix06.09.2018
ölçüsü217,5 Kb.
#78479
1   2   3   4   5

DAFTAR PUSTAKA


Arikunto, Suharsimi. (2005). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Bank, James, With Clegg, 1975, Teaching Strategis for Social Studies: Inquiry, Valuing and Decission Making, New York : White Plaens.

Hasan Hamid. S. ( 1996 ). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta : Direktorat Pendidikan Tinggi.

Ibrahim, M.Sc. 1988. Inovasi Pendidikan. Dep.Dik.Bud. DirJed Pendidikan Tinggi. Jakarta.

Ibrahim, R dan Sukmadinata, N., S.. (2003). Perencanaan Pengajaran. Jakarta: Rineka Cipta.

Komariah Aan. ( 2006 ). Kualifikasi, Kompetensi dan Sertifikasi Sebagai Jaminan Mutu Guru Profesional “ Makalah pada Konfrensi Internasional Bersama Kedua UPI – UPSI “. Bandung : UPI – UPSI.

Mulyasa, E. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nasution, S. (2003). Asas-asas Kurikulum. Jakarta: Bumi Aksara.

Purwanto, M, Ngalim. (2001). Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya

Sanjaya Wina. ( 2006 ). Strategi Pembelajaran. Jakarta : Kencana Prenada Media.

Sardiman A.M. ( 2006 ). Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar/ Bab VIII. Jakarta Jakarta : Raja Grafindo Persada.

Saud Saefudin Udin. H. Dan Suherman Ayi. ( 2006 ). Inovasi Pendidikan (Inovasi Kurikulum Berbasis Masyarakat). Bandung : Universitas Pensisikan Indonesia.

Supriatna Nana. ( 2007 ). Konstruksi Pembelajaran Sejarah Kritis. Bandung : Historia Utama Prees.

Sukmadinata, N., S. (2005). Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumantri, M, Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sumantri, Mulyana. (1998). Kurikulum dan Pengajaran. Jakarta: Depdiknas.

Suwarma Al Muctar, 2001, Pendidikan dan Masalah Sosial Budaya, Bandung : Gelar Pustaka Mandiri.

Suwarma Al Muctar, 2004, Pengembangan Berpikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS, Bandung : Gelar Pustaka Mandiri.



___________(2004) Kurikulum Ketentuan Pokok dan Struktur Program.. Bandung: Depdiknas UPI.

(2003). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Citra Aditya Bakti.

(2005). Implementasi Kurikulum 2004 : Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.

( 2006 ). IPS Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan ” Makalah ”. Bandung : Program IPS-PPS.



Pendidikan IPS sebagai bidang ilmu masih diperdebatkan dalam aspek-aspek antologis dan epismologinya, walaupun secara aksiologis sudah jelas manfaatnya.

  1. Batang tubuh (body of knowledge) PIPS atau Studi social apabila PIPS adalah seleksi secara psikologis dari bahan ilmu-ilmu social untuk keperluan pendidikan.

Numan Somantri mengatakan : kalau ditelesuri dari filsafat ilmu, Pendidikan IPS harus bisa menjawab aspek antologis, epistemologis, dan aksiologis, yaitu :

a). Apa yang dikaji dalam Pendidikan IPS

b).Bagaimana proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan dalam Pendidikan IPS.

c). Apa kegunaan Pendidikan IPS.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut bisa digunakan batasan Pendidikan IPS untuk pendidikan dasar dan menengah serta untuk FPIPS. Batasan Pendidikan IPS, yakni ”Seleksi dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniora serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasi dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan”. Untuk menelusuri filsafat ilmu tentang Pendidikan IPS, kita bisa saja menganalisis berbagai faham ilmu (Barat) dan filsafat pendidikan, dengan pengertian bahwa :

a). Kebenaran yang dicari dalam Pendidikan IPS ialah kebenaran yang dilandasi iman, taqwa, dan kebudayaan Indonesia dengan ide vitalnya Pancasila.

b). Intraceptive knowledge dan extraceptive knowledge merupakan satu nafas.

c). Domain cognitive, efektif, dan keterampilan psikomotorik merupakan kesatuan . (1)

Sedangkan dalam aspek konseptual yang merujuk pada arti ontologi, epistomologi dan aksiologi dalam filsafat ilmu serta sumber Pendidikan IPS dan studi perbandingan di negara-negara lain yang sudah lama mengembangkan social science education, dirumuskan bahwa Pendidikan IPS adalah penyederhanaan atau adaptasi dari disiplin ilmu-ilmu social dan humaniora, serta kegiatan dasar manusia yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan pedagogis/psikologis untuk tujuan pendidikan. (2)


  1. Somantri (2001 : 88-89). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya.

(2) (hasil forum komunikasi II HISPIPSI 1991 di Yogyakarta).

Maka melihat pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli, jelaslah bahwa fungsi filsafat ilmu pendidikan dalam memecahkan permasalahan Pendidikan IPS adalah sebagai landasan dalam menyelediki hakikat pelaksanaan pendidikan yang bersangkut paut dengan “tujuan”, “latar belakang”, “cara”, serta hakikat ilmu Pendidikan IPS, dan juga yang bersangkut paut dengan analisis kritis terhadap struktur dan kegunaannya dengan menggunakan struktur ilmu, yaitu metode dan bentuk pengetahuan ilmiah Serta makna teoritis dan praktis dari ilmu. (4) (4) Kattsoff, L.O. (1996). Pengantar Filsafat.. Alih bahasa : Soejono Soemargono. Jakarta: Tiara Wacana.


Pendidikan IPS suatu program pendidikan yang memilih pendidikan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humanity, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan spikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat (Preston, 1968).

Pendidikan IPS bersumber dari beberapa dari beberapa disiplin ilmu, humaniora, disiplin ilmu pendidikan, kegiatan dasar manusia dalam masyarakat, dan tujuan pendidikan nasional, yang semuanya harus dipikirkan dan dikembangkan secara integrative. Dalam buku yang sama, disebutkan pula bahwa ada anggapan dikalangan para penjabat Depdikbud, dosen, dan guru bahwa Pendidikan IPS adalah program pendidikan terpadu, yaitu memadukan seluruh disiplin ilmu-ilmu sosial menjadi “disiplin baru”. (5)

(5) Somantri (1993). .Beberapa Pokok Pikiran tentang: Penelusuran Filsafah Ilmu tentang Pendidikan IPS dan kaitan Struktural-Fungsionalnya dengan Disiplin Ilmu-Ilmu Sosial. Ujung Pandang: Panitia Forum Komunikasi IV Pimpinan FPIPS IKIP dan JIPS-FKIP Universitas.

Secara filosofis, dan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional, Pendidikan IPS di Indonesia mengacu kepada keyakinan dan kebudayaan bangsa, disamping mengikuti kaidah-kaidah ilmiah.


Pendidikan IPS di Indonesia adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial dan segala sesuatu yang bersifat sosial, yang diorganisasikan secara ilmiah dan psikologis dengan Pancasila dan UUD 1945. dengan demikian, Pancasila dan UUD 1945 itu harus melakukan penetrasi (perembesan) terhadap tujuan, bahan pendidikan dan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya.

Dalam aspek filosofis, Somantri dalam hal ini memandang bahwa filsafat pendidikan IPS dan posisi sentral pendidikan IPS di antara faham-faham filsafat menunjukkan adanya berbagai pemikiran dalam filsafat ilmu dan filsafat pendidikan yang memiliki kebermanfaatan untuk pengembangan pendidikan IPS. Tetapi ada perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang mendasar antara pemikiran filsafat ilmu dan filsafat pendidikan (Barat) dengan pendidikan IPS yang berlandaskan Pancasila ialah bahwa intraceptive knowledge dengan extraceptive knowledge, yaitu iman, taqwa, dan kebudayaan (termasuk ilmu pengetahuan) merupakan satu nafas, sementara filsafat ilmu (Barat) cenderung untuk memisahkan ilmu dan keimanan (sekuler).

Karena itu, kedudukan pendidikan IPS dalam aneka ragam pemikiran filsafat ilmu (Barat) berada dalam posisi sentral, sehingga kebenaran dalam arti filsafat ilmu (Barat) akan diberi arti sebagai “kebenaran” yang dilandasi keimanan dan ketaqwaan sesuai dengan tujuan pendidikan nasional (aksiologis). Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa pendidikan IPS akan dikembangkan dan disajikan secara doksologis, melainkan sedapat mungkin mengikuti perkembangan sains dan teknologi. Karena itu pula Pendidikan IPS akan berada dalam posisi sentral diantara adagium “ intellectus quaerens fidem” , yaitu akal mengatasi atau lebih utama daripada iman/agama dan “fides quaerens intellectum”, yaitu sebaliknya dimana iman/agama mengatasi atau lebih utama daripada akal.

Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu social untuk keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhanaan materi tersebut, maka para siswa dengan mudah melihat, menganalisis dan memahami gejala-gejala yang ada dalam masyarakat lingkungannya konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah interaksi dengan lingkungan.

Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat katagori berikut ini :


  • Knowledge, yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu membantu para siswa belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah geografi, sejarah, politik, ekonomi, antropologi dan sosiopsikologi.

  • Keterampilan, yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam hal ini mencakup keterampilan berpikir (thinking skills).

  • Attitude, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intellectual behaviour) dan tingkah laku social (social behaviour).

  • Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam masyarakat yang didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga pemerintahan (falsafah bangsa). Termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan, nilai ekonomi, pergaulan antar manusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.

Selain itu, juga terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari waktu ke waktu akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu

  • Petama, menanamkan etika social, dengan mengupayakan peserta didik agar berprilaku sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, seperti berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja sama, suka menolong, dan sebagainya.

  • Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat memperkuat orientasi pertama tadi. Dalam orientasi ini,ilmu-ilmu variable-variabelnya, dengan hokum-hukumnya, sehingga terjadi peristiwa social tertentu.

  • Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi social dalam kehidupan social ditempat mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa belajar lebih jauh, sehingga akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang senantiasa berubah.

Keempat, orientasi kemampuan memecahkan masalah dan inovasi, yang diperlukan setelah siswa mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini, maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bahkan masyarakatnya ke arah yang lebih baik (6) (6) Sanusi, A. (1998). Pendidikan Alternatif : Menyentuh Aras Dasar Persoalan Pendidikan dan Kemasyarakatan. Bandung : PPS IKIP Bandung dan PT. Grafindo Media Pratama.
Membedakan Pendidikan yang dikembangkan untuk jenjang persekolahan yang berlandaskan kurikulum dengan orientasi esensialisme dengan PIPS yang mengikuti kurikulum dengan orientasi ke arah rekonstruksi sosial :

Sementara itu dilihat dari perkembangan pemikiran yang berkembang di Indonesia sampai saat ini pendidikan IPS terpilah dalam dua arah, yakni



  • Pendidikan IPS untuk dunia persekolahan yang pada dasarnya merupakan penyederhanaan dari ilmu-ilmu sosial, dan humaniora yang diorganisasikan secara psiko-pedagogis untuk tujuan pendidikan persekolahan

  • Pendidikan Disiplin IPS untuk perguruan tinggi pendidikan guru IPS yang pada dasarnya merupakan penyeleksian dan pengorganisasian secara ilmiah dan meta psiko-pedagodis dari ilmu-ilmu sosial, humaniora dan disiplin ilmu lain yang relevan untuk tujuan pendidikan professional guru IPS.

Filosofi IPS ada tiga pandangan yaitu esensialisme, perenialisme dan transsion of culture. Menurut pandangan esensialisme, disebutkan bahwa pengajaran disiplin ilmu tersebut harus diajarkan dalam bentuk aslinya. Pandangan perenialisme menyebutkan bahwa sebagai disiplin itu dapat melakukan kolrelasi maupun intregrasi. Sedangkan pandangan transsion of culture menghendaki pendidikan sebagai alat untuk pewarisan budaya walaupun ini hanya dikenakan pada pendidikan sejarah. (7) (7) Hamid Hasan (2002 :7) Diktat Kuliah PIPS UPI Bandung
Studi tentang kurikulum sosial studies di berbagai negara menunjukkan fenomena yang semakin kuat bahwa IPS di Indonesia harus mengubah orintasi filosofi kurikulumnya terutama untuk SD dan SMP sedangkan untuk SMA diperlukan perubahan pada model desain kurikulum. Kondisi masyarakat baik dalam kehidupan politik, sosial budaya, ekonomi, ilmu, teknologi dan seni menunjukkan adanya tuntutan yang tidak dapat dijawab hanya oleh orientasi kurikulum IPS sekarang ini. Tantangan kehidupan yang dihasilkan adanya otonomi daerah dan kehidupan persaingan global serta suasana kehidupan politik tingkat nasional telah memberikan dasar yang kuat bagi orientasi baru kurikulum IPS.

Ketiga pandangan di atas ternyata tidak mampu mewadahi pengembangan IPS sebagai pendidikan sosial karena pendidikan IPS tidak hanya sebagai alat pewaris kebudayaan, melainkan pula harus dapat berperan aktif dalam kehidupannya di masyarakat (agent of change) sehingga diperlukan perubahan pandangan filosofinya menjadi pandangan rekonstruksi sosial. Atas pandangan rekonstruksi sosial, maka kurikulum IPS harus dapat :



  • Mengembangkan kemampuan dan keterampilan sosial yang diperlukan masyarakat dan dirinya.

  • Mengembangkan life skills yang berkenaan dengan berbagai hal yang diperlukan masyarakat Indonesia masa kini dan mendatang seperti disiplin, kerja keras, kerja sama, taat peraturan, komunikasi, toleransi, hemat, kreatif dan sebagainya.

  • Mengembangkan berbagai sikap yang diperlukan untuk mendukung dan keterampilan sosial seperti sikap menghargai waktu, pekerjaan, karya orang lain, hormat pada prestasi, kepedulian terhadap mutu.

Rekonstruksi sosial juga diperlukan bagi kurikulum di SD dan SMP karena justru pada pendidikan dasar ini perubahan filosofi harus mulai dilakukan agar terdapat kesinambungan antara pendidikan dasar dengan pendidikan menengah dan Perguruan Tinggi. Pada akhirnya, IPS tidak lagi dipenuhi dengan fakta, konsep, generalisasi dan teori disiplin itu yang harus dikuasai peserta didik tanpa jelas kebermaknaannya dalam kehidupan tetapi berkenaan dengan hal-hal yang diperlukan dirinya dan masyarakat termasuk berbagai konsep, generalisasi dan teori terpilih dari disiplin ilmu berdasarkan kegunaannya di masyarakat. (8)

(8) Winataputra (2007). Dinamika Pemikian Inovatif dalam Khasanah Social Studies dan IPS untuk Pendidikan Dasar dan Menengah di Indonesia. Disampaikan pada Seminar Nasional PIPS program studi PIPS-PPs UPI. Bandung: UPI.


Untuk menghadapi problema dunia yang ditandai oleh polusi, pemanasan global, ledakan kependudukan dan kemiskinan, Fritjof Capra (2001) menawarkan pendekatan ekologis dalam prosedur epistemologis ilmu.

  1. Mengapa perlu ada perubahan dalam penggunaan metode ilmiah Cartesian – Newtonian, apakah tidak cukup dengan aspek aksilogisnya yang beretika :

Capra adalah seorang fisikawan menjadikan Daoisme sebagai sumber etika. Capra melihat adanya ketidak seimbangan atau ketimpangan yang luar biasa antara kemajuan pengetahuan yang rasional, kekuatan intelek, dan keterampilan teknologi di satu sisi, dengan perkembangan kebijaksanaan, spritualitas, dan etika disisi yang lain. Pada hal didalam cosmogoni Cina, keseimbangan dari dua kutub Yang dan Yin merupakan conditio sine qua non dari ketertiban, kestabilan, dan keseimbangan dunia. Dalam hal ini harman adalah tujuan dari kehidupan individu, masyarakat dan negara. Kemajuan pesat dibidang ilmu dan teknologi yang dirintis dalam sejarah peradaban manusia sejak zaman Mesir, Yunani dan Islam diikuti dengan sangat lamban oleh kemajuan ilmu-ilmu tentang etika atau moral, spritualitas, dan berbagai perilaku manusia. Ketidak seimbangan inilah nampaknya yang menimbulkan disequilibrium, ketidak pastian, ketidak aturan, dan chaos.

Fritjof Capra menilai bahwa kerusakan kehidupan modern sebagai akibat dari merajalelanya "krisis persepsi" manusia terhadap realitas yang cenderung bersifat analitis-reduksionis, mekanistis, dan linear sehingga memilah, mengisolasi dan mendistorsi keanekaragaman dan dinamika realitas itu sendiri. Cara memandang realitas itu berakibat pada "kebangkrutan" substansi realitas, ketidaktepatan merumuskan realitas sehingga usaha untuk membereskan persoalan juga membuahkan lagi persoalan yang lain karena landasan pijakan atau asumsi yang keliru atau tak lengkap.

Krisis persepsi itu terjadi atau disebabkan oleh pandangan dunia modern yang masih menganut paradigma Cartesian-Newtonian yang bersifat analitis-reduksionis, mekanistis, dan linear itu. Paradigma itu bergulir sejak 300 tahunan lalu dan sukses dalam mengembangkan sains dan teknologi, namun mereduksi kompleksitas dan kekayaan kehidupan manusia itu sendiri, sehingga menciptakan krisis-krisis kemanusiaan, misal perang, kerusakan lingkungan, kerusakan jiwa, dan lain-lain yang dalam istilah Capra disebut sebagai "penyakit-penyakit peradaban".

Capra menilai, paradigma Cartesian-Newtonian itu biang krisis manusia modern yang dalam bahasa RD Laing dinyatakan begitu bagus sebagai paradigma "yang menawarkan kepada kita suatu dunia yang mati: lenyapnya pemandangan, suara, rasa, sentuhan, dan penciuman, serta bersama itu mati pula kepekaan etis dan estetis, nilai, kualitas, jiwa, kesadaran, dan rohani". Akibatnya, masih menurut Laing, "Kita telah menghancurkan dunia ini secara teori sebelum kita menghancurkannya dalam praktik."

Kini dibutuhkan paradigma baru yang lebih sesuai dengan zaman yang cenderung saling berinteraksi, berkorelasi, dan saling mempengaruhi dalam suatu jaringan kehidupan akibat terjadinya revolusi teknologi komunikasi dan informasi yang begitu menakjubkan melibas jarak ruang dan waktu, sehingga runtuhlah batas-batas lama yang bernama ideologi politik, nasionalitas, dan agama maupun geografi. Kondisi kehidupan saat ini yang telah berubah secara revolusioner harus diiringi paradigma baru melihat realitas. Artinya, paradigma lama Cartesian-Newtonian setidaknya harus dievaluasi, ditimbang ulang, dikoreksi, untuk menemukan paradigma lain yang lebih cocok dengan zaman. Kondisi zaman dan cara pandang harus sinkron, tak ketinggalan zaman, supaya tak berbahaya bagi kehidupan itu sendiri.

Paradigma baru itu harus bisa memandang keseluruhan ketimbang bagian-bagian, bercorak sistemik, terintegrasi, kompleks, dinamis, nonmekanistis, nonlinear, yaitu paradigma holistik. Paradigma ini dapat juga disebut filsafat holistik yang potensial bisa mengisi kekosongan pemaknaan dan paradigma dalam memahami realitas dan sains.(9)

(9) Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru
Perbedaan pendekatan antroposentris dengan pendekatan ekologis dalam pandangan perlakuan terhadap planet bumi :

Pada intinya perbedaan tersebut adalah sebagai berikut :

Pendekatan Antroposentris :

Bahwa manusia dipandang sebagai pusatnya, dimana manusia berada di atas atau di luar alam, sebagai sumber nilai, dan akan dianggap sebagai instrumen atau hanya bernilai “guna.”

Pendekatan ekologis:

Pendekatan ekologis memandang planet bumi sebagai satu kesatuan system dimana adanya kesalingtergantungan fundamental semua fenomena dan sebagaimana individu dan masyarakat, kita sekalian berada dalam dan bergantung secara mutlak pada proses siklis alam.

Paradigma yang berakar dari hukum gerak Newton dan pemikir-filsof Descartes ini memang banyak membawa kemajuan pada kehidupan manusia, seperti sarana transportasi darat, laut dan udara, sistem persenjataan, dan konstruksi bangunan. Namun perjalanan peradaban manusia kemudian menunjukkan bahwa paradigma mekanistik ini ternyata gagal bila diterapkan pada sistem kehidupan seperti kehidupan sosial, pengelolaan hutan, pengelolaan danau dan sungai, atau bahkan kawasan transmigrasi. Paradigma yang telah menghujam lama dan berakar pada setiap individu dan kelompok atau golongan masyarakat modern ini telah menjadi inti dari berbagai akar masalah timbulnya kerusakan ekosistem hutan, degradasi keanekaragaman hayati, pencemaran ekosistem sungai dan laut, dan berbagai masalah lingkungan hidup yang kita jumpai saat ini.

Menurut ahli falsafah Daoisme, dao bermaksud metafizik. Ini bermaksud jika terdapat suatu proses kewujudan,maka hendaklah terdapat suatu puncak utama yang meluas dan ini dipanggil Dao. Seperti First Cause yang terdapat dalam kepercayaan Kristian. Menurut Konfusius Dao adalah satu konsep tata tertib moral yang mesti dipatuhi oleh seseorang individu, atau suatu set peraturan-peraturan etika yang harus diikuti oleh seorang individu. Ia juga menunjukkan kepada suatu corak atau jenis pentadbiran yang dapat menjamin kepentingan dan kesejahteraan rakyat dengan cara yang paling baik.

Konsep Dao mempunyai pelbagai maksud. Maksud terawal menunjuk kepada "jalan"atau "lorong". Sebelum kedatangan falsafah Konfusius , Dao digunakan untuk menunjukkan satu "jalan"ataupun suatu cara kelakuan atau tabiat sama ada tabiat baik ataupun buruk. Selepas kedatangan Konfusius, orang-orang yang mengikut fahaman Daoisme (berasal dari perkataan Dao) menggunakan konsep Dao dengan suatu maksud metafisik untuk menunjukkan kepada keseluruhan alam semesta.

Capra di dalam bukunya “Titik Balik Peradaban” menyebutkan Dao atau Tao merupakan suatu proses perubahan dan aliran yang terus menerus. Dalam pandangan falsafah dao ini semua fenomena yang kita amati turut serta didalam proses kosmik sehingga secara instrinsik bersifat dinamis. Ciri utama filsafat Dao atau Tao adalah alam yang berputar dalam gerakannya yang tak pernah berhenti; semua perkembangan di alam semesta, baik dialam fisik maupun psikologis dn sosial, menunjukkan adanya pola berputar ini. Orang-oranmg Cina memberi suatu struktur yang pasti pada konsep pola berputar ini dengan memperkenalkan dua kekuatan yang berlawanan, yin dan yang, yaitu kutub yang membatasisiklus perubahan. Yang setelah mencapai klimaksnya mundur demi Yin, lalu yin setelah mencapai klimaknya mundur demi yang.

Menurut Capra paradigma yang lebih tepat untuk penanganan atau pengelolaan suatu sistem kehidupan adalah paradigma ekologi. Paradigma ini berciri organik, sistemik, partisipatif, non-linier dan ekosentris. Karakter utamanya terletak pada hubungan manusia dan alam yang saling sinergi - tidak terpisah, penekanan pada kualitatif, dua arah, subyek dan obyek saling interaktif, dan ekologi menjadi penentu daya dukung lingkungan. Karakter lain dari paradigma ekologi ini adalah adanya sifat desentralisasi, menerapkan pendekatan multi dimensi dan penghargaan kepada pluralitas (kemajemukan) sehingga terwujud kerjasama atau integrasi.

Ilmu pengetahuan, teknologi, ekonomi, budaya dan struktur social merupakan jaring-jaring kehidupan abstrak yang telah mengubah dunia nyata beserta isinya. Namun manusia dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut banyak yang mengesampingkan nilai etis dan estetis. Manusia mengeksploitasi habis-habisan bumi beserta isinya sehingga bumi tidak lagi berada dalam keseimbangan. Akibatnya sejak akhir abad ke-20 masyarakat dunia diperhadapkan pada serangkaian masalah global yang membahayakan masa depan planet bumi. Diantara serangkaian masalah global yang dihadapi oleh seluruh masyarakat dunia yang menjadi masalah utama dan dominan adalah masalah lingkungan hidup.

Masalah-masakah global menyangkut kehidupan masyarakat dunia baik sekarang maupun masa yang akan datang tersebut perlu ditangapi dengan kerja keras dan pemikiran yang komprehensip, sistematik dan futuristic maka diperlukan suatu perubahan radikal dalam persepsi, pemikiran dan nilai-nilai. Dalam hubungan tersebut, Capra mengemukakan teorinya tentang nilai-nilai yang bersifat ekosentris dengan menyodorkan formula baru tentang paradifgma ilmu pengetahuan dan kehidupan, yaitu pemikiran system.

Dengan memodifikasi defenisi Thomas Kuhn mengenai paradigma ilmiah kepada paradigma social maka Capra merumuskan bahwa “ suatu konstelasi konsep-konsep, nilai-nilai, persepsi-persepsi dan praktek-praktek yang digunakan bersama oleh suatu komunitas, yang membentuk suatu visi tertentu atas realita yang merupakan basis bagi cara komunitas tersebut mengatur dirinya’. Paradigma baru ini dinamakan suatu pandangan dunia holistic, yang memandang dunia sebagai suatu keseluruhan yang terpadu, bukan suatu kumpulan bagian-bagian yang terpisah. Paradigma baru tersebut disebut juga suatu pandangan ekologis, yakni dengan melihat dunia bukan sebagai kumpulan objek-objek yang terpisah tetapi sebagai suatu jaringan fenomena yang saling berhubungan dan saling tergantuing satu sama lain secara fundamental. Ekologi mengakui nilai instrinsik semua mahkluk hidup dan memandang manusia tidak lebih dari satu untaian dalam jaring-jaring kehidupan atau tidak dapat dipisah-pisah, satu sama lain saling tergantung. Seperti masalah keterbelakangan yang dihadapi oleh negara-negara dunia ketiga. Masalah produktivitas tenaga kerja yang rendah, akan menyangkut banyak aspek kehidupan seperti pendapatan menjadi rendah. Akibat pendapatan yang rendah menyebabkan tingkat gizi dan kesehatan rendah, kesempatan pendidikan terbatas, tabungan menjadi rendah, sehingga tingkat pengangguran menjadi tinggi. Masalah-masalah inilah yang menjadi dasar pemikiran Fritjof Capra menyodorkan teori system tersebut. Dengan teorinya ini diharapkan dunia dapat kembali dalam suatu keseimbangan yang dapat menjamin kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia. Sekaligus tercipta sebuah masyarakat yang mampu mempertahankan kehidupan yakni yang mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhan tanpa mengurangi prospek generasi-genertasi masa depan. Dengan demikian, metode ilmiah itu harus dapat dikendalikan oleh etika guna mengantisipasi kehancuran manusia dengan adanya penemuan berbagai bidang ilmu. Perlu adanya kesadaran bahwa manusia merupakan bagian dari pada keseluruhan dunia atau jaring-jaring keseluruhan yang lebih luas sebagaimana telah dijelaskan tersebut. (10) (10) Fritjof Capra. (2004). Titik Balik Peradaban. Yogyakarta : PT. Bentang Pustaka


Yüklə 217,5 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin