Mutiara Subuh : Selasa, 14/09/99


Mutiara Shubuh : Rabu, 22/03/00 (16 Dzulhijjah 1420H)



Yüklə 496,46 Kb.
səhifə36/42
tarix15.01.2019
ölçüsü496,46 Kb.
#96942
1   ...   32   33   34   35   36   37   38   39   ...   42

Mutiara Shubuh : Rabu, 22/03/00 (16 Dzulhijjah 1420H)

Ghibah


Secara maknawi ghibah atau yang lazim kita sebut dengan bergunjing adalah membicarakan aib orang kepada orang lain tanpa diketahui oleh orang tersebut, sedangkan jika aib itu diutarakan di depannya akan membuat orang tersebut tidak suka. Ghibah itu sangatlah dilarang dalam ajaran Islam. Jangankan mempergunjingkannya berprasangka buruk saja sudah diingatkan oleh Allah swt melalui firmanNya: “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (QS. 49:12). Ketika diturunkannya ayat ini, dan disampaikan oleh Rasulullah saw kepada para sahabat, mendadak wajah Ali bin Abi Thalib ra pucat pasi, mual dan muntah membayangkan siksaan yang akan diterima jika melakukan ghibah, yang mana Allah swt mengibaratkan bergunjing itu sama dengan memakan bangkai saudara sendiri, apalagi membayangkan siksaan yang akan diterima kelak…. Na’udzubillahi min dzalik…….

Bahkan Rasulullah saw pun suatu ketika pernah menyatakan bahwa ghibah ini lebih berat dosanya dari pada berzinah. Karena jika berzinah dapat diampuni oleh Allah swt jika kita bersungguh-sungguh minta ampun kepadaNya dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Tetapi jika kita melakukan ghibah terhadap seseorang maka Allah swt tidak akan mengampuni dosa kita jika orang yang digunjingkan itu belum memberi ma’af kepada kita, dan juga harus disertai dengan usaha merehabilitasi nama baik orang tersebut kepada siapa ghibah tersebut sudah kita sebarkan… sungguh sangat berat sekali untuk menebus kesalahan ini….

Memang ada beberapa macam ghibah yang boleh dilakukan seperti memberi informasi yang benar (termasuk yang buruk) tentang seseorang yang akan dilamar untuk dinikahi oleh seseorang, memberi tahu tentang kelakuan seseorang yang biasa menipu kepada orang lain dengan maksud yang diberitahu akan waspada dari penipuan tersebut, atau secara umum dapat dikatakan bahwa ghibah yang dapat menolong seseorang dari perbuatan buruk yang digunjingkan itu boleh dilakukan.

Semoga yang singkat ini mengingatkan kita untuk tidak berprasangkan dan melakukan ghibah terhadap orang lain, apalagi terhadap saudara kita yang lain sesama muslim, dan bahkan lebih dari pada itu kita dapat menghentikan atau mengingatkan saudara kita yang lain untuk tidak melakukannya. Bukankah Rasulullah saw pernah bersabda bahwa jika kita dapat memperingatkan dan menghentikan kumpulan saudara kita yang sedang bergunjing (ghibah) maka Allah akan menghapuskan dosa-dosanya seperti rontoknya daun-daun dimusim kering.



Mutiara Shubuh : Kamis, 23/03/00 (17 Dzulhijjah 1420H)

Berilmu Tapi Tidak Diamalkan


Telah kita ketahui bersama bahwa orang yang berilmu (alim) itu lebih ditinggikan derajatnya oleh Allah swt (Al-Mujadillah:11). Keutamaan yang berganda dan akan mengalir terus jika dia menyampaikan ilmunya tersebut dan orang yang menerimanya mengamalkannya, dan sudah barang tentu dia pun harus ikut mengamalkannya juga. Lantas apa yang terjadi bila dia menyampaikan sesuatu tapi dia sendiri tidak melakukan apa yang dikatakannya tersebut. Untuk kasus ini Allah swt melaknati orang yang seperti ini, sebagaimana yang di firmankanNya: “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. “(QS. 61:3). Rasulullah saw mengibaratkan orang yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain tetapi dia sendiri menghiraukan hal itu terhadap dirinya adalah laksana lentera yang menerangi sekitarnya tetapi membakar dirinya sendiri (HR Thabrani). Sedangkan dihadits lain Rasulullah saw menyatakan kekhawatirannya terhadap sikap orang seperti ini, yang beliau sebut sebagai orang alim yang munafiq.

Dalam salah suatu riwayat disampaikan dari Usamah bin Zaid ra bahwa ia mendengar Rasulullah saw bersabda: “Seseorang diseret pada hari kiamat kemudian dicampakkan kedalam neraka lalu (isi) perutnya keluar kemudian dibawa keliling di neraka sebagaimana keledai mengitari penggilingannya, lalu penghuni neraka mengerumuninya dan bertanya: “Wahai Fulan, apa sebabnya kamu? Bukankah kamu dahulu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?”. Ia menjawab: “Aku dahulu memerintahkan kalian dengan yang makruf tetapi tidak melakukannya dan aku melarang kalian dari keburukan tetapi aku melakukannya”.

Usamah berkata: “Sesungguhnya aku mendengarnya (Rasulullah saw) bersabda: “Pada malam diisra’kan aku melewati orang-orang yang lidah mereka dipotong dengan alat-alat pemotong dari api neraka. Aku bertanya: Siapakah mereka itu wahai Jibril? Jibril menjawab: “Para khatib ummatmu yang mengatakan apa yang tidak mereka perbuat” (HR Bukhari & Muslim)

Betapa ngerinya ancaman bagi orang yang berilmu tetapi tidak mengamalkannya. Semoga Allah swt menjaga dan menjauhi kita dari sifat yang tidak terpuji ini sehingga jauh dari lanknat dan bencinya Allah.



Mutiara Shubuh : Jum’at, 24/03/00 (18 Dzulhijjah 1420H)

Berkaca Diri


Ketika kita mematut diri kita didepan kaca, terkadang atau bahkan sering timbul dalam hati kita rasa kebanggaan bahkan dapat meningkat kepada kesombongan atau kecongkakan dikarenakan kita punya kelebihan, baik itu bentuk fisik tubuh, kemampuan diri maupun harta yang berlebih. Tetapi bila kita lebih arif dalam mematut diri, sesungguhnya rasa tersebut akan ciut bersamaan dengan kesadaran atas kebesaran Allah yang mengatur semua ini. Bahwa semua itu hanyalah datangnya dariNya dan kita ini adalah tiada. Bukankah Allah swt pernah berfirman: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. 17:37), dan didalam ayat lain Allah menyatakan: “Dan janganlah memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. “(QS. 31:18).

Imam Al-Ghazali pernah menuliskan dalam salah satu karyanya tentang ada empat cara atau kiat dalam mematut diri sehingga rasa bangga diri, sombong, congkak ataupun kepongahan perlahan bisa berangsur sirna dari diri kita:



  1. Muta’alim, yaitu banyak belajar segala segi-segi kehidupan keagaaman dari guru-guru agama, kiai, ustadz atau ulama. Misalnya belajar khusus pada ulama-ulama tertentu atau sering-sering hadir didalam majlis-majlis ta’lim. Dari kegiatan ini tentunya kita dapat lebih diingatkan akan kebesaran Allah swt dan hal ini akan lebih menyadarkan tentang ketiadaan kita dibanding Dia. Dan juga kita dapat lebih banyak berkonsultasi terhadap sikap kita pada orang-orang alim ini sehingga segala tindakan kita dapat lebih cepat terkoreksi.

  2. Musahabah, yakni berteman dengan orang yang baik, alim lagi bertaqwa. Dalam lingkungan orang yang beriman, sikap kita tentu akan lebih terjaga dari hal-hal yang tidak baik dan juga tentunya akan ada saling mengingatkan didalam lingkungan tersebut dalam kebenaran. Dan insya Allah dalam kondisi lingkungan saling mengingatkan ini kita akan terjaga dan selalu diingatkan akan hal-hal yang tidak baik dari diri kita dan tentunya insya Allah yang akan timbul hanya yang baiknya saja.

  3. Muhasabah, yakni menghisab diri dengan menerima segala sesuatu masukan dari luar atau lingkungan kita apakah itu tentang kebaikan kita, apatah lagi hal-hal yang negatif dalam sikap kita bergaul dalam lingkungan maupun dari luar lingkungan bahkan dari orang-orang yang kita rasakan selalu mengkritik kita ataupun bahkan memusuhi kita selama ini. Hendaknya kita terima semua masukan, kritik dan saran itu dengan hati lapang hingga kita dapat lebih introspeksi kedalam diri kita.

  4. Bersosialisasi terhadap semua lingkungan yang majemuk, sehingga kita tahu semua segi-segi kehidupan serta kita temukan bermacam-macam tingkat keberadaan seseorang. Jika kita melihat keatas pasti banyak lagi yang lebih dari kita dan untuk apa kita berbangga diri. Dan bahkan jika melihat kebawah seharusnya kita bersyukur kita diberi lebih dari mereka.

Semoga Allah swt selalu membimbing kita dalam bersikap yang sudah tentu harus diikuti oleh kesungguhan (mujahadah) kita dalam mematut diri atau menjaga sikap kita secara terus-menerus (istiqomah), sehingga kita luput dari siksaan dan kehancuran yang ditimpakan kepada orang-orang sebelum kita tidak terjadi pada diri kita.


Yüklə 496,46 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   32   33   34   35   36   37   38   39   ...   42




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin