Rifcy Zulficar / 21793



Yüklə 174,11 Kb.
səhifə4/5
tarix27.12.2018
ölçüsü174,11 Kb.
#87026
1   2   3   4   5

Paradhika Galih Satria
      Kekerasan berbasis budaya sering kali tidak terlalu diperhatikan orang sampai akhirnya meletus ke permukaan. Budaya sering kali menjadi bara api yang tersimpan dan siap membakar saat dipanaskan. Kekerasan budaya sering kali tidak terasa tetapi, seperti namanya, sudah membudaya dalam masyarakat. Seringkali kesulitan yang terjadi bukan meredakan kekerasan yang timbul ke permukaan tetapi mengubah cara pandang masyarakat. Stereotip yang tercipta sering kali sulit untuk dihilangkan. Pandangan seperti etnis Madura kasar, orang Papua “terbelakang” dan sebagainya.

      Kekerasan berbasis budaya tidak hanya terjadi seketika. Kekerasan budaya dapat berjalan lambat dan tidak terasa. Seringkali kekerasan budaya berjalan seiring dengan diskriminasi dan diperparah oleh kesenjangan. Kekerasan terhadap etnis Cina saat Orde Baru menjadi contohnya. Saat orde baru etnis Cina mengalami diskriminasi sekaligus privilege sebagai etnis pedagang. Akibatnya terjadi kesenjangan dan hal ini semakin mempertajam konflik antar budaya di masyarakat terutama saat Orde Baru runtuh.  

      Menurut saya kekerasan yang terjadi antar budaya terjadi karena tidak saling mengenal. Kecurigaan yang timbul diperparah dengan stereotip yang jarang sekali ada orang yang mau direkonstruksi.  Sikap merasa budaya, etnis atau sukunya paling baik sering kali menghasilkan loyalitas buta yang menjurus pada penggunaan kekerasan. Komunikasi dan dialog yang baik akan sangat membantu dalam mengurangi konflik.

      Selama pengalaman saya berpindah-pindah mengikuti orangtua, rata-rata orang sebenarnya mempunyai budaya yang sama yaitu akan membalas perbuatan baik dengan perbuatan baik dan sebenarnya mereka bisa bertoleransi walaupun dengan kadar yang berbeda-beda. Pengalaman ini saya dapatkan saat di Pontianak saat konflik etnis Dayak-Madura di Kalimantan Barat. Keluarga tidak punya kesulitan untuk bergaul dengan dua jenis etnis yang sedang berseteru. Keluarga saya yang beretnis Jawa menemukan bahwa sebenarnya orang-orang kedua etnis (Dayak dan Madura) baik hanya saja perbedaan budaya yang tidak dikomunikasikan dan kesenjangan telah memicu konflik berlarut-larut. 



Bintar Amar
Kekerasan dalam Agama
      Dalam pemikiran saya seharusnya semua agama adalah benar dan baik, oleh karenanya semua dogma dan ajaran agama seharusnya mengajarkan nirkekerasan dan toleransi. Namun pada kenyataannya banyak sekali penganut agama tertentu yang justru melakukan tindak kekerasan pada pemeluk agama lainnya atas dasar ajaran agama mereka. Apakah tindakan sebagian dari para pemeluk agama tersebut benar-benar didasarkan atas ajaran langsung dari Tuhan mereka?

      Contoh nyata bahwa intoleransi dalam beragama sangat merasuk dalam jiwa para pemeluk agama di dunia antara lain ialah Perang Salib antara kaum Nasrani Eropa dengan kaum Muslim Timur Tengah yang sangat klasik dan historik, Perang Agama Eropa pada abad pertengahan antara kaum Katholik dengan kaum Protestan, Konflik berdarah kaum Hindu dengan kaum Muslim di India pasca-kemerdekaan India, dan konflik Yahudi-Arab di Palestina. Sedangkan dalam skala nasional terdapat konflik Ambon, konflik Poso, dan perlakuan kekerasan pada aliran Ahmadiyah.

      Benarkah Tuhan mengajarkan pada anak Adam untuk saling berperang dan menumpahkan darah atas dasar keimanan pada-Nya? Menurut pemahaman saya, kekerasan yang dilakukan oleh para pemeluk agama tertentu itu bukanlah dogma dan ajaran yang dibawakan para Nabi dan Rasul pembawa ajaran agama tersebut melainkan pembelokan pada dogma dan ajaran agama yang dilakukan oleh para ahli agama, pendeta, dan ulama yang memaksakan ajaran kekerasan fisikal yang mereka dasarkan atas kitab suci mereka.

      Salah satu bentuk pemaksaan ajaran kekerasan fisikal dalam agama yang saya ketahui adalah dogma jihad dalam ajaran agama Islam. Meski jihad merupakan salah satu ibadah sunnah terpenting (dalam dogma Syiah, jihad adalah rukun Islam ke-6), jihad tidak selalu berbentuk perang secara langsung terhadap para kafir dan hakikat lebih penting dari jihad ialah perang dalam sanubari manusia sendiri melawan hawa nafsu dan amarah. Bahkan dogma jihad tidak dapat dilakukan bila kaum Muslim tidak diserang terlebih dahulu oleh pihak penyerang dan lagi dalam ajaran Muhammad yang saya ketahui, kaum kafir bukanlah musuh yang harus dilawan karena sebab yang basic (kenyataan bahwa mereka ingkar dari ajaran Islam).

      Oleh karenanya dibutuhkan pemahaman yang lebih mendalam akan hakikat agama, apakah perang suci melawan kafir adalah sesuatu yang diinginkan Tuhan? Selain itu toleransi dan keterbukaan akan agama yang berbeda harus diintensifkan dan ditanamkan pada generasi muda mendatang agar salah paham dan kecurigaan tidak menjurus menjadi kekerasan antar-umat beragama. Berbeda itu wajar dan fitrah bagi manusia namun perbedaan itu janganlah dijadikan sumber dari perselisihan antar manusia sendiri.
Noor Laili Hikmah
Carok
Di sini saya akan membahas salah satu contoh kasus mengenai kekerasan berbasis budaya yang berbentuk kekerasan fisik. Contoh yang saya ambil yaitu carok yang merupakan tradisi bertarung satu lawan satu dengan menggunakan senjata (biasanya clurit). Tradisi ini berasal dari Madura dan masih dipegang teguh oleh beberapa suku Madura untuk mempertahankan harga diri dan keluar dari masalah pelik.

      Kata carok sendiri berasal dari bahasa Madura yang artinya bertarung dengan kehormatan. Secara historis, carok sudah dikenal sejak berabad-abad lalu. Biasanya digunakan sebagai jalan terakhir yang ditempuh suku Madura untuk menyelesaikan suatu masalah. Carok biasa terjadi jika menyangkut masalah-masalah kehormatan atau harga diri bagi orang Madura (sebagian besar karena masalah perselingkuhan dan harkat martabat atau kehormatan keluarga).

      Carok dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri terutama gangguan terhadap istri sehingga menyebabkan malu. Carok seolah menjadi satu-satunya opsi yang harus dilakukan. Para pelaku seolah tak bisa mencari dan memilih opsi lain untuk mencari solusi sehingga dipilihlah carok karena dianggap oleh mereka memenuhi rasa ‘keadilan’.Carok juga menunjukkan ketidakmampuan para pelaku untuk mengekspresikan budi bahasa karena lebih menjunjung perilaku agresif secara fisik untuk membunuh orang yang dianggap musuh sehingga konflik yang berpangkal pada pelecehan harga diri tidak akan pernah mencapai rekonsiliasi. Lagipula orang Madura memiliki prinsip yang sudah mengakar yaitu lebih baik mati daripada hidup menanggung malu dilecehkan.

      Terdapat pula ritual-ritual tertentu sebagai persiapan menjelang carok. Kedua pihak pelaku carok sebelumnya sama-sama mendapat restu dari keluarga masing-masing. Sebelum hari H pertarungan bersenjata clurit, di rumahnya diselenggarakan selamatan, pembekalan, pengajian, dan lainnya. Pelaku carok sudah dipersiapkan dan diikhlaskan oleh keluarganya untuk terbunuh. Namun, carok tidak akan terjadi selama tidak ada pelecehan harga diri yang membuat orang Madura malu.



Timur Girindra Wardhana
Kekerasan Dalam Islam

 

   Beberapa (kalau bukan sebagian besar) peperangan dan aksi kekerasan di dunia ini sering kali dimotori oleh semangat keagamaan, terutama oleh agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Karena saya kurang begitu mengetahui tentang agama Yahudi dan Kristen maka saya akan mencoba untuk mencari akar kekerasan dalam agama Islam.



   Belakangan ini, agama Islam seringkali diidentikan dengan kekerasan oleh dunia Barat, dalam banyak hal pemikiran ini memang dibentuk oleh media tetapi dalam Islam memang terdapat ajaran yang secara langsung maupun tak langsung memicu kekerasan. Untuk melihat hal ini perlu dilihat dalam dua sumber ajaran Islam yaitu Al-Quran dan Hadist.

   Dalam Qur'an surat at-Taubah ayat 97 disebutkan :” Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah naar Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” Seruan serupa juga ditemukan di ayat 123 :” Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa.”, Al-Qur'an juga mendukung pemenggalan kepala sebagaimana disebutkan dalam al-Anfal ayat 12 :”(Ingatlah), ketika Rabbmu mewahyukan kepada para malaikat,:"Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah (pendirian) orang-orang yang telah beriman". Kelak akan Aku jatuhkan rasa ketakutan ke dalam hati orang-orang kafir, maka penggallah kepala-kepala mereka dan pancunglah tiap-tiap ujung jari mereka.

   Sedangkan dari Shahih Bukhari disebutkan “Dikisahkan oleh Ibn 'Umar bahwa sang Nabi berkata,”Mata pencaharianku ada di bawah bayangan tombakku, dan dia yang tidak menaati perintahku akan dihinakan dengan membayar Jizya.”, selain itu di hadist lain yang juga diriwayatkan oleh Imam bukhari disebutkan :” Dikisahkan oleh Ibn 'Umar: Rasul Allah berkata, “Aku telah diperintahkan (oleh Allah) untuk memerangi orang2 sampai mereka mengaku bahwa tidak ada yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, dan melakukan sembahyang dengan sempurna dan membayar zakat, sehingga jika mereka melakukan hal itu, maka selamatlah nyawa dan harta mereka dariku kecuali dari hukum2 Islam dan amal mereka akan dihitung oleh Allah.”

   Meskipun kata Islam sendiri berarti perdamaian tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah Islam adalah sejarah peperangan, diawali dari Mekkah, Madinah, Khaibar, Baghdad hingga Jerusalem sampai Delhi, Carthagena, sampai Andalusia. Selain kekerasan fisik secara langsung, dalam al-Qur'an banyak sekali ayat yang memicu kecurigaan terutama kepada orang Yahudi dan Nasrani banyak sekali ayat yang mengatakan ini salah satunya dalam al-baqarah ayat 120: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu sehingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah:"Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

   Hal-hal diatas pada akhirnya akan menjadi pembenaran bagi ummat Islam untuk melakukan kekerasan, hal ini sulit untuk ditangani karena  al-Quran dan Hadist tidak boleh dirubah sehingga kita tidak akan pernah menemukan al-Qur'an yang lebih damai, satu-satunya solusi adalah menonjolkan sisi-sisi lain dari Islam yang lebih damai.

Heru Yuda
Justifikasi kekerasan dalam Islam

1. Hukum Qisas (pembalasan)

Al Baqarah 178: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) mambayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampui batas sesudah itu maka baginya siksa yang sangat pedih. (QS. 2:178)

Al Maidah ayat 5: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. 5:45)


2. Kewajiban berperang (apabila diserang orang musyrik)

 Al Baqarah ayat 190: Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. 2:190)

 Al Baqarah ayat 217: Mereka bertanya tentang berPERANG pada bulan Haram. Katakanlah: BerPERANG dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidil Haram dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (QS. 2:217)

3. Beberapa ulama dari Al Qaeda mewajibkan jihad (berperang) terhadap bangsa Barat atas pendudukan Anerika di Tanah Haram (Mekah, Medinah) dan tempat-tempat lain di seluruh dunia, seperti: Pakistan, Afghanistan, Irak, dan kekerasan Israel-Palestina
(untuk bahan ini, saya punya videonya Mba, tapi kayaknya terlalu besar kalau dikirim lewat email. Insya Allah hari Senin saya bawa soft filenya.)

Justifikasi kekerasan kultural


1. Budaya di Papua (ditampilkan dalam fim Denias) bahwa seseorang yang ditinggalkan anggota keluarganya karena meninggal harus melakukan "pengorbanan". Dalam contoh kasus di film tersebut, pengorbanan tersebut dilakukan dengan memotong jari tangan si Bapak yang ditinggal mati istrinya.

2. Budaya Sati di India, dimana janda akan melakukan pengorbanan atas meninggalnya suami, bentuk yang paling ekstrem dari Sati adalah membakar diri bersamaan dengan mayat suami.



Rise Prastika
Tradisi Sifon 
      Tradisi ritual Sifon dilakukan di daerah Timor Barat, terutama di Suku Atoni Meto dan Dawan Timur Tengah Selatan, suku Malaka di Timur Tengah Utara, dan beberapa daerah di kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur. Ritual Sifon bertujuan untuk membersihkan diri dari berbagai macam penyakit dan dosa serta menolak pengaruh bala setan. Selain itu, secara biologis Sifon dimaksudkan untuk menambah kejantanan seorang pria dewasa. Jika seorang pria dewasa tidak menjalankan ritual ini, ia akan dikucilkan dalam pergaulan.

      Ritual Sifon diawali dengan penyerahan mahar dari orang yang akan melakukan Sifon (pasien) kepada dukun sunat yang disebut Ahelet. Pasien tersebut biasanya adalah orang yang sudah pernah melakukan hubungan intim dengan wanita, jika belum pernah akan ditolak Ahelet. Pasien tersebut akan melakukan pengakuan dosa di sungai. Setelah itu, Ahelet akan menyunat pasien, kemudian dikembalikan ke sungai untuk melakukan proses pembersihan dan penyembuhan. Hal ini dilakukan dalam jangka waktu seminggu.

      Dalam proses penyembuhan luka pasca khitan dilakukanlah Sifon. Dalam keadaan yang luka yang masih belum sembuh, pasien tersebut harus berhubungan intim dengan seorang wanita tertentu yang telah disiapkan oleh Ahelet. Sifon bertujuan untuk memberikan luka kepada wanita tersebut dan membuang bala si pasien. Wanita korban Sifon biasanya tidak tahu ia sedang melayani pasien, karena biasanya wanita tersebut dihipnotis atau dalam keadaan tidak sadar. Wanita yang telah terpilih tersebut biasanya akan beberapa kali melayani pasien Sifon yang berbeda.

      Wanita korban Sifon sebenarnya mengalami kekerasan fisik, karena sebenarnya dia diperkosa dengan alasan agar mendapatkan berkah. Wanita tersebut tidak hanya mengalami kekerasan fisik seperti diperkosa, tetapi juga mengalami kekerasan kultural. Wanita korban Sifon akan terus melajang, karena tidak ada pria yang mau menikahinya. Wanita tersebut dianggap menyimpan penyakit dan bala. Wanita tersebut juga akan dikucilkan dari pergaulan, karena banyak yang meyakini bahwa wanita korban Sifon tubuhnya bersisik, berkulit Akibat tekanan tersebut, banyak wanita korban Sifon yang mengalami gangguan kejiwaan. Banyak juga wanita korban Sifon yang tertular Hepatitis dan HIV/AIDS karena mengalami infeksi kelamin, sehingga keadaan mereka makin parah.



Melati Dewi Ayuningtyas
     Salah satu teks atau ritual yang digunakanuntuk menjustifikasi kekerasan adlah Jihad. Jihad dalam islam arti yang sebenarnya adalah berjuang dengan sungguh-sungguh. Dalam hal ini berjuang dengan sungguh – sungguh dalam menegakkan ajaran Allah atau menjaga ajaran itu tetap tegak, dengan cara-cara sesuai dengan Al-Quran. Jihad yang dilaksanakan Rasul adalah berdakwah agar manusia meninggalkan kemusyrikan, menyucikan qalbu, memberikan pengajaran kepada umat dan mendidik manusia agar sesuai dengan tujuan penciptaan mereka yaitu menjadi khalifah Allah di bumi.

      Arti kata Jihad sering disalahpahami oleh yang tidak mengenal prinsip-prinsip ajaran Islam sebagai 'perang suci' (holy war).Jihad dalam bentuk perang digunakannakan jika terjadi fitnah yang membahayakan eksistensi umat (antara lain berupa serangan-serangan dari luar). Jihad tidak bisa dilaksanakan kepada orang-orang yang tunduk kepada aturan Allah atau mengadakan perjanjian damai maupun ketaatan.

     Namun yang terjadi sekarang Jihad digunakan sebagai landasan seseorang melakukan kekerasan, bahkan digunakan untuk membunuh orang lain. Seperti kasus bom bali, para pelaku pemboman dengan tega membunuh ratusan manusia, dan mereka merasa apa yang telah mereka perbuat itu adalah benar, dan seharusnya seluruh umat Islam di dunia melakukan hal yang sama seperti yang mereka lakukan. Padahal dalam setiap agama mengajarkan bahwa melakukan kekerasan apalagi pembunuhan itu adalah perbuatan dosa dan dilarang oleh ajaran agama manapun.

Inta Arum
“Kekerasan Kultural : Pernikahan Dibawah Usia di Daerah-Daerah Kecil” 
      Di desa-desa atau daerah terpencil sering kali saya menemukan anak di bawah usia 17 tahun telah menikah. Ini terjadi bukan hanya di daerah-daerah tertentu, melainkan sudah menjadi budaya yang meluas, yang secara tidak langsung memaksa “ wanita” pada khususnya untuk segera menikah jika sudah beranjak lulus SD. Saya mengamati “orang-orang yang pernah bekerja dan membantu orang tua saya dirumah”, mereka biasanya berasal dari daerah jawa, yakni di daerah pedalaman “Jampang kulon”. Di daerah tersebut, rata-rata umur 17 tahun ataupun kurang dari 17 tahun sudah pernah menikah, ataupun sudah memiliki anak. Hal ini dianggap sebagai kekerasan karena adanya “pemaksaan” baik dari orang tua, maupun lingkungan sekitar, agar cepat-cepat menikah dan tidak lagi menjadi tanggungan orang tua, serta agar di dalam diri mereka tidak melekat template sebagai “perawan tua” ataupun bahkan “tidak laku”. Salah satu alasan lain mengapa pernikahan dini di daerah-daerah kecil itu dapat berlangsung, disamping adanya budaya setempat yang memaksa, yakni kondisi ekonomi keluarga yang tidak memungkinkan sebuah keluarga untuk membiayai seorang anak untuk melanjutkan sekolahnya. Oleh karena itu anak tersebut dinikahkan, dengan harapan dapat membantu kondisi ekonomi keluarga, dan terhindar dari template yang di berikan oleh masyarakat dan lingkungan sekitar jika belum menikah diatas 17 tahun.

      Selain itu banyak dari mereka yang belum sempat mengenyam pendidikan sebagaimana layaknya seorang anak. Mereka terpaksa menikah karena dorongan dari lingkungan, kalaupun mereka menikah, biasanya tidak akan bertahan lama, dan biasanya pernnikahan tersebut bersifat perjodohan. Baik dengan pemuda dari kampung tersebut, ataupun menikah dengan orang yang sudah memiliki istri. Keadaan tersebut diperburuk ketika wanita tersebut tidak merasakan kebahagian, dan hanya dijadikan sebagai “pelampiasan” oleh orang yang dinikahinya serta tidak mendapatkan nafkah yang cukup bagi dirinya sendiri. Dan kekerasan fisik pun bisa saja terjadi pada pernikahan yang dilakukan pada usia dini. akhir dari pernikahan diusia dini tidak hanya kekerasan fisik, namun juga dapat menyebabkan perceraian dll.



Dea Kurniawan P.
ISLAM dan Kekerasan Terhadap Anak 
      Di alam Islam laki-laki merupakan pemimpin dalam keluarga, dan pemikiran ini pun bukan hanya dalam Islam saja, tetapi dalam berbagai budaya lainnya pun pemikiran ini merupakan hal yang telah diterima oleh masyarakat. Berhubungan dengan kepercayaan itulah seorang laki-laki harus bisa menjadi Imam atau pemimpin dan berkewajiban mendidik istri dan anaknya.

      Sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.

      Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.

      Tetapi dengan perkembangan saat ini banyak pemikiran yang berubah tentang cara mendidik anak, pemukulan dan kekerasan merupakan jalan yang sangat terakhir dalam upaya mendidik anak. Menurut saya sebagai pemeluk Islam, aturan ini sebenarnya dapat diterima. Dan dalam Islam sendiri di ajarkan bahwa anak merupakan titipan tuhan yang sangat berharga dan orang tua berkewajiban memperlakukan mereka dengan baik dan memenuhi hak-hak mereka. Karena itulah dengan adanya pemikiran seperti ini, Islam sebenarnya bukanlah agama yang melestarikan budaya kekerasan semata, tetapi lebih jauh dari itu ada nilai-nilai yang berusaha untuk dijaga dan diseimbangkan. Terlepas dari Islam atau bukan, kekerasan terhadap anak memang pada dasarnya telah membudaya. 




M. Aditya Julianto
Kekerasan Berbasis Agama
       Akhir-akhir ini dalam berita yang disiarkan di televisi, sering kita jumpai bahwa setiap pelaku bom yang menewaskan banyak orang adalah perbuatan kelompok Al-Qaeda. Salah satu pelaku yang ditangkap pun berkata bahwa hal itu adalah jihad yang harus dilakukan dalam memerangi kaum kafir. Mereka beralasan bahwa perbuatan mereka untuk membalas perlakuan kaum kafir terhadap saudara-saudara mereka yang dianiaya di Palestina, Afghanistan, dan di sejumlah negara lain. Hal itulah yang membuat mereka (para pelaku pemboman) rela mati untuk ber”jihad”.

        Tindakan yang seperti itu jelas-jelas sangat merusak upaya perdamaian yang saat ini sedang dilaksanakan di Indonesia. Ketika pemboman sejumlah tempat-tempat ibadah dan hiburan marak terjadi, hubungan antar-umat beragama pun menjadi sangat tegang. Sangat disayangkan kalau hal itu justru dilakukan oleh orang yang mengaku beragama Islam dan ingin menjalankan perintah Allah.

       Padahal dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal: 15 dan 55-56 dijelaskan bahwa kita hanya boleh menyerang orang kafir jika mereka akan menyerang kita dan jika mereka melanggar kesepakatan yang telah disepakati. Penyerangan terhadap orang kafir itu tak bisa kita lakukan oleh sembarangan orang kafir dan di sembarang tempat.

       Dalam surat itu juga disebutkan bahwa jika kita harus berperang dengan mereka, maka persiapkanlah dengan kemampuan yang kita miliki. Dalam hal ini ketika terjadi perang yang melibatkan kaum muslim di negara lain bukan berarti kita harus memerangi warga negara asing dalam negara kita, kita bisa membantu dengan berdoa dan memberikan bantuan lain. Dan dalam penutup ayat 61 disebutkan bahwa perdamaian adalah sesuatu yang tetap harus diupayakan.

       Ayat-ayat yang telah disebutkan di atas telah cukup menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang cinta damai, Islam adalah agama yang Rahmatan lil ‘alamin. Orang-orang Islam yang melakukan tindakan teror bukanlah orang yang ingin menegakkan Islam, tapi justru merobohkan fondasi Islam.


Yüklə 174,11 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin