Mutiara Shubuh : Kamis, 20/01/00 (13 Syawal 1420H) Perbaharui iman dengan kalimah “Laa ilaha Illallah”
Didalam salah satu hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw pernah bersabda: “Perbaharuilah imanmu”. Ketika itu para sahabat kemudian bertanya: “Yaa.. Rasulullah, bagaimanakah caranya memperbaharui iman kami ?”, Seraya Rasulullah saw menjawab: “Hendaklah kalian memperbanyak ucapan LAA ILAHA ILLALLAH” (HR. Ahmad, Thabrani, Al-Hakim dan Abu Dawud)
Didalam sebuah hadits lain Rasulullah saw menggambarkan iman itu seperti kain, dimana rusaknya iman laksana kain yang tersobek-sobek dan lusuh hingga tidak bisa terpakai lagi, makanya perlu diperbaharui dan diganti dengan kain yang baru. Rusaknya iman kita disebabkan oleh perbuatan dosa yang kita perbuat. Semakin banyak dosa yang diperbuat semakin melemahkan kekuatan iman kita sehingga nur iman kitapun semakin melemah dan memudar.
Hati kita ini laksana cermin, sekali kita berbuat dosa atau maksiat maka cermin itu akan muncul atau melekat noda hitam yang sebanding dengan dosa yang kita perbuat. Semakin banyak dosa yang diperbuat semakin hitam pekatlah hati (cermin) itu dan bahkan akan menutupi semua permukaan cermin tersebut hingga hati tersebut tidak dapat menerima sinar kebenaran (Allah swt), apalagi memancarkan sinar kebenaran itu kembali ke orang-orang lain disekitarnya.
Nach… berdzikir itu laksana kita menyiram kaca tersebut dengan air, khususnya mengucapkan kalimat Thoyyibah seperti yang disabdakan Rasullulah pada hadits diatas. Makin banyak noda-noda yang menempel di cermin itu maka seharusnya makin sering dan makin deras air yang kita perlukan untuk membersihkannya hingga cermin itu menerima nur kebenaran secara sempurna dan tidak pelak lagi akan memancarkannya kesekelilingnya… LAA ILAHA ILLALLAH………..
Mutiara Shubuh : Jum’at, 21/01/00 (14 Syawal 1420H) Menafkahkan Harta di jalan Allah
Jika kita simak firman Allah swt didalam Al-Qur’anul Karim: “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (QS. 57:11), tidakkah kita tersentuh dengan kata “meminjamkan” diatas?.
Sungguh Maha Bijaksana Allah swt memakai kata “meminjamkan” terhadap hambanya yang menyisihkan sebahagian rizkinya di jalan Allah, padahal itu semua khan punyanya DIA. Bahkan kalau Allah maupun semua harta milik kita sekarang ini dapat diambilnya dalam sekejap. Dan tidak tanggung-tanggung lagi dimana Allah akan mengganti semuanya itu dengan yang lebih banyak bahkan berlipat ganda …… Subhanallah……….
Kalau kita ibaratkan menafkahkan harta kita dijalan Allah itu laksana menanam tanaman, tentu kita akan memilihkan benih yang baik dan unggul untuk mendapatkan hasil yang baik. Artinya kita menanamkan modal kita kepada Allah pun dari rizki yang baik dan halal, baik dari apa yang kita nafkahkan itu ataupun bagaimana cara kita mendapatkan harta tersebut. Sudah barang tentu harta yang bersih akan menghasilkan yang bersih pula. Nach… sekarang kalau sudah dapatkan benih yang bagus dan unggul tentunya setelah ditanam tentu perawatan, dipupuk dan disiram. Penyiram dari zakat, infaq dan sadaqoh ini adalah ikhlas, tidak riya. Berinfaq, zakat dan sadaqoh itu boleh terang-terangan bila hal ini digunakan untuk memacu semangat orang lain berinfaq, tetapi kalau khawatir riya, dengan sembunyi-sembunyi itu lebih baik.
Didalam ayat lain Allah menyatakan ganjaran bagi yang menafkahkan hartanya sebagai berikut: Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada tiap-tiap tangkai: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:261)
Masya Allah….. Bank mana yang berani memberi bunga pinjaman sampai 70000% ??…
Mutiara Shubuh : Senin, 24/01/00 (17 Syawal 1420H) Yang Paling Mulia
Pada suatu ketika Rasulullah saw sedang duduk-duduk dengan para sahabat, ada seorang lelaki melewati mereka dan Rasulullah bertanya kepada sahabat: "Bagaimana pendapat kalian tentang orang yang lewat tadi?". Salah seorang sahabat menjawab: "Yaa Rasulullah, dia berketurunan bangsawan. Jika ia melamar seorang perempuan dari kaum bangsawan juga, lamarannya tentu tidak akan ditolak. Kalau dia menganjurkan sesuatu tentu akan disetujui orang lain."
Rasululah dia dan tidak berkata sepatahpun. Tidak lama berselang seseorang lewat lagi dihadapan mereka, dan Rasulullah pun bertanya tentang pendapat sahabat tentang orang yang lewat tersebut. Merekapun menjawab: "Yaa Rasulullah orang itu adalah orang muslim yang miskin. Jika ia meminang seorang wanita, tentu akan sulit untuk diterima. Kalau dia menganjurkan sesuatu maka akan ditolak, tidak ada orang yang mendengarkannya."
Lantas Rasulullah saw bersabda: "Orang Habsyi yang kedua itu lebih baik dari yang pertama walaupun ia mempunyai dunia beserta isinya."
Kisah Rasulullah dan sahabatnya diatas menggambarkan bagaimana manusia memandang seseorang yang biasanya hanya memandang dari segi kedunianya saja (materialistis). Seorang bangsawan kaya terhormat tentu akan jauh lebih dipandang orang dibanding seorang yang tidak mempunyai apa-apa. Hal ini amat sangat jauh berbeda dengan paradigma agama (Allah) yang memandang memuliaan seseorang itu dari kedekatannya kepada Allah, yang paling bertaqwa diantara kitalah yang paling dimuliakan Allah, sesuai dengan firman Allah swt. ".....Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. 49:13)
Mutiara Shubuh : Selasa, 25/01/00 (18 Syawal 1420H) Sabar Itu Tak Ada Batasnya
Didalam Al-Qur’an, Allah swt merangkaikan kata sabar dan shalat seiring seperti dalam ayat berikut: “Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu'” (QS. Al-Baqarah [2]:45) dan juga pada ayat 152 di surat yang sama. Diantara makna dari rangkaian dua kata ini adalah sabar didalam shalat (thuma’ninah) yang telah pernah kita bahas sebelumnya.
Makna lain yang dapat kita tarik lagi dari dua kata tersebut diantaranya adalah bahwa mengerjakan kedua perintah Allah ini adalah sangat berat jika kita tidak lakukan dengan sungguh-sungguh. Dan yang lebih penting adalah Allah swt memerintahkan kedua amalan ini tanpa ada batas waktu, yaitu shalat diwajibkan bagi setiap muslim dari ketika perintah shalat itu samapai kepadanya hingga ia meninggalkan dunia yang fana ini (wafat). Walau dalam kondisi apapun, apabila sedang sakit dan tidak dapat berdiri, maka ia dapat shalat duduk. Tidak bisa duduk, dapat dilakukan dengan berbaring atau tidur, hingga dengan isyaratpun harus kita lakukan. Begitu juga dengan sabar, dalam paradigma Al-Qur’an ini juga tanpa batas waktu, hingga akhir hayat dikandung badan nanti, khususnya ketika kita ditimpa oleh musibah. Jadi tidaklah pantas sebenarnya kita mengucapkan kata: “Sabar ada batasnya bung…”, karena sesungguhnya Allah swt selalu memerintahkan kita sabar. Semoga kedua hal ini dapat kita camkan dalam kalbu kita dan aplikasikan dalam kehidupan kita hingga dua hal ini juga akan menolong kita nantinya dan sudah barang tentu dan pasti itu juga datangnya dari Allah swt.
Dostları ilə paylaş: |