Mutiara Shubuh : Kamis, 09/03/00 (03 Dzulhijjah 1420H)
Sebagaimana telah difirmankan Allah diawal Surah Al-Baqarah bahwa salah satu ciri dari orang yang bertaqwa itu adalah mereka yang menafkahkan sebahagian dari rejeki yang telah dianugerahkan Allah swt kepadanya dan sudah tentu dijalan Allah. Sementara itu disurat lain Allah swt berfirman: “Katakanlah: "Sesungguhnya Rabb-ku melapangkan rezki bagi siapa yang dikehendaki-Nya diantara hamba-hamba-Nya dan menyempitkan (siapa yang dikehendaki-Nya)". Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya. “(QS. 34:39) dan bahkan dalam Surah Al-Hadid (57) ayat 11, Allah swt menyatakannya dengan kata “meminjamkan hartanya”, padahal sebenarnya “harta” yang kita punya tersebut adalah milikNya. Karena itu, jika Allah swt menghendaki dengan paksa Allah akan dapat mengambil semua harta yang kita punyai itu dalam sekejap. Tetapi… Allah swt tidak begitu, dia Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Bijaksana dan Maha Pemberi Rejeki.
Maka terbuktilah apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw bahwa: “Carilah rejeki dengan berinfak”. Memang sekilas pernyataan ini aneh karena berinfak kan berarti mengeluarkan sesuatu dari yang kita punyai, khan bukannya bertambah… berkurang donk… Nach.. saudaraku logika seperti ini adalah sebenarnya logika sekuler alias logika syeitan. Karena logika ini berangkat dari pengertian bahwa dari ada menjadi tiada. Padahal jika dilihat dari kacamata iman seharusnya kita berangkat dari kita tidak mempunyai apa-apa (atau tiada), dan diberi oleh Allah swt rejeki atau menjadi ada, nach jika Allah swt minta sedikit untuk meratakannya dengan saudara-saudara kita yang lain wajar donk.. Justru lebih dari 2.5 persen yang diminta Allah swt itu sangat amatlah wajar.
Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an yang menyatakan keistimewaan berinfak yang berkaitan dengan imbalan yang akan diberikan Allah swt, diantaranya yaitu: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. 2:261). Begitu juga dengan penggalan ayat berikut: “...Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (QS. 57:7)
Maka dapat kita katakan disini bahwa merugilah orang-orang yang tidak mau menafkahkan sebahagian dari hartanya dijalan Allah. Dan juga patut kita ingat bahwa banyak juga kecaman-kecaman yang diingatkan Allah swt terhadap orang-orang yang bakhil, diantaranya: “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:180). Dan juga di ayat lain: “Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, (QS. 9:34)
Mutiara Shubuh : Jum’at, 10/03/00 (04 Dzulhijjah 1420H) Kufur Nikmat
Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim, yang artinya: “Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu mema'lumkan: "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. 14:7). Ayat ini mengingatkan kita untuk selalu bersyukur atas nikmat yang dikaruniakan kepada kita dan janganlah kita kufur kepada nikmat yang telah diberikanNya.
Banyak contoh dari riwayat-riwayat orang terdahulu yang kufur terhadap nikmat Allah swt, seperti Qorun pada zaman Nabi Musa as dan Tsa’labah dizaman Rasulullah saw. Selagi miskin, dia sangat rajin beribadah dan berdo’a untuk dilimpahkan rejeki, tetapi setelah rejeki dilimpahkan oleh Allah swt terhadapnya, dia tidak mensyukurinya dan bahkan harta yang melimpah ruah itu membuat dia lup terhadap ibadah kepada Allah.
Semoga Allah memelihara kita dari sikap kufur nikmat ini dan bahkan dijadikan yang selalu bersyukur terhadap nikmat yang dikaruniakanNya, sehingga kita tidak menjadi Qorun-Qorun atau Tsa’labah-Tsa’labah masa kini. Dahulu Tsa'labah menangis di depan Nabi saw yang tak mau menerima zakatnya. Sekarang ditengah kesenjangan sosial di negeri kita, jangan-jangan kita bukan hanya akan menangis namun berlumuran darah ketika orang miskin menolak sedekah dan zakat kita!
Mutiara Shubuh : Senin, 13/03/00 (07 Dzulhijjah 1420H)
Telah kita ketahui bersama, membaca Al-Fatihah didalam shalat adalah wajib hukumnya, sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh ‘Ubadah bin Shamit ra: Rasulullah bersabda: “Tidak ada (tidak shah) shalat bagi orang yang tidak membaca fatihatul kitab” (HR Jama’ah).
Adapun tentang tata cara membacanya dijelaskan oleh Ummu Salamah (salah satu istri Rasulullah) ketika beliau ditanya tentang bagaimana bacaan Nabi ketika shalat. Ummu Salamah menyatakan Rasulullah membaca Al-Fatihah ayat demi ayat (tidak disambung-sambungkan) (HR. Ahmad dan abu Dawud). Berdasarkan hadits ini, maka kepada seorang imam atau yang shalat sendirian hendaknya membacanya ayat demi ayat, berhenti disetiap ayatnya dan tidak disambung-sambung seperti orang membaca Al-Fatihah dengan satu tarikan nafas. Rasulullah saw melakukan hal in sesuai dengan hadits qudsi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muslim: “ Berkata Allah Ta’ala: aku membagi shalat itu setengah-setengah antara Aku dengan hamba-Ku. Apa yang dimintanya. Maka bila hambaKu membaca: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, Allah menjawab: Aku telah dipuji oleh hambaKu. Dan apabila hambaKu membaca: Arrahmanir rahiim, Allah menjawab: Aku telah disanjung oleh hambaKu. Dan apabila ia membaca: Maaliki yaumiddiin, Allah menjawab: Aku telah diagungkan oleh hambaKu. Dan ia berkata pada kali yang lain: HambaKu telah menyerahkan urusannya kepadaKu. Maka apabila ia membaca: Iyyaaka na’ budu wa iyyaaka nasta’iin, Allah menjawab: Ini diantaraKu dan hambaKu, dan untuk hambaKu apa yang dimintanya. Maka apabila hamba membaca: Ihdinash shiraathal mustaqiim, Shiraathalladziina an’amta’alaihim, ghairil maghdluubi ‘alaihim, wa laadl dlaallin, Allah meyatakan: Ini untuk hambaKu dan untuk hambaKu apa yang dimintanya.
Jadi dari hadist diatas jelaslah bahwa shalat itu adalah merupakan dialog antara seorang hamba dengan Sang Penciptanya (Allah swt), jadi seyogyanyalah kita dalam suatu dialog kita tidak memonopoli pembicaraan dan berilah kesempatan bagi teman dialog kita, apalagi yang diajak dialog itu adalah sesuatu yang paling berkuasa terhadap diri kita. Maka tiadalah alasan bagi kita untuk terburu-buru didalam shalat sehingga membaca bacaan shalat itu secara sambung- menyambung, kecuali karena kebodohan kita sendiri. Semoga hadits-hadits diatas dapat mengingatkan kita sehingga kita dapat memperbaiki shalat kita hingga lebih sempurna dan tentunya dapat menjadikan shalat kita itu benar-benar menjauhkan kita dari perbuatan keji dan mungkar.
Dostları ilə paylaş: |