Opini Sebagai Produk Jurnalistik
Oleh: Udji Kayang A.S.
Yang wajib dari hati adalah kata. (Sisir Tanah - Lagu Wajib)
Pada akhirnya aktivitas jurnalistik adalah soal pewartaan. Warta begitu beragam wujudnya, namun bisa kita sepakati bahwa tiap warta pada mulanya adalah kata. Misal, foto jurnalistik lahir dari kata, tak usah banyak-banyak, cukup satu, yakni yang disebut tema. Selain itu, siaran langsung di televisi ihwal bencana alam, atau yang lebih laku di negara ini: hubungan asmara selebriti, juga bukan disampaikan asal-asalan. Ada teks yang jadi acuan. Ada kata-kata di sana. Maka, sahihlah bila menyebut kata-kata sebagai organ vital dalam aktivitas jurnalistik. Kata Sebagai Senjata, kalau boleh mengutip lagu band death metal Siksa Kubur. Tak usah dibayangkan bagaimana lagunya. Tidak usah.
Sebelum kemutakhiran teknologi memungkinkan pewartaan lewat fotografi atau media audio-visual ala televisi, lebih dulu dikenal jurnalistik dalam wujud teks. Namun, alih-alih tersingkir, bentuk pewartaan paling primitif itu toh masih dan tetap bertahan sampai hari ini. Mengapa demikian? Teks adalah satu dari dua cara berbahasa: lisan dan tulisan. Meski di beberapa kesempatan, kedua cara berbahasa itu manunggal. Satu sama lain saling memengaruhi. Ada yang menulis puisi lalu dibacakan di hadapan khalayak, itu berarti menjelmakan tulisan jadi ekspresi lisan. Ada pula perpanjangan tradisi lisan ke tulisan, semisal Balai Pustaka yang giat membukukan cerita rakyat berbagai daerah di Indonesia. Aduh, tak usah jauh-jauh dulu, kita mulai saja dari menjelmakan pikiran ke dalam tulisan. Mari!
Opini, Kebebasan dan Keberanian
Teks jurnalistik ada beragam jenis, yang wajib di tiap media tentu news (straight, indepth, investigation, dan sebagainya) dan feature. Di luar itu, masih ada teks-teks lain seumpama resensi, cerita humor, jadwal imsakiyah, sampai slogan-slogan kampanye Pilkada. Namun, ada satu teks menarik yang hampir ada di semua media, yakni opini. Pertama, karena jenis tulisannya yang cenderung lebih bebas (dan tentu saja menuntut tanggung jawab lebih) ketimbang teks news atau feature. Kedua, karena opini biasanya bukan ditulis awak media sendiri, melainkan oleh khalayak luas. Opini memungkinkan media bergerak “bersama publik”, tak sekadar “untuk publik”.
Tapi apa sebetulnya opini itu? Opini hanya jenis tulisan, yang kemudian setiap kita bisa menamai sesukanya. Ada yang lantas menyebutnya esai, artikel, argumentasi, ide, pendapat, gagasan, atau mimbar mahasiswa, semuanya halal, insya Allah. Definisi opini memang relatif sederhana, yakni tulisan yang berasal dari gagasan penulis, bukan observasi atau wawancara dengan narasumber tertentu. Gagasan tersebut pun mestinya bukan sekadar asal tulis saja, melainkan pendapat argumentatif yang dikuatkan dengan berbagai referensi sebagai landasan teoretisnya. Adapun karakter umum tulisan opini adalah sebagai berikut:
-
Berupa gagasan orisinal.
-
Faktual, dan akan lebih baik lagi jika aktual pula.
-
Ilmiah populer, bukan ilmiah teknis (semisal skripsi atau LKTI).
-
Sistematis, kerangka berpikirnya jelas.
-
Menggunakan bahasa yang baik dan benar sesuai kaidah.
Sebagai gagasan orisinal, apa dan bagaimana bentuk opininya ya terserah penulis. Opini boleh berupa paparan jelas dan lugas sebagaimana tulisan Arief Budiman, yang puitis seperti Goenawan Mohamad, manis bak Ignas Kleden, komprehensif (dan ruwet) ala Martin Suryajaya, jenaka seumpama Sujiwo Tejo, bahkan yang nggatheli seperti Arman Dhani. Opini memberi penulis kebebasan, dan perlu diingat bahwa konsekuensi dari kebebasan adalah tanggung jawab!
Menulis opini pada dasarnya menuntut keberanian. Menulis opini memang lebih mudah ketimbang reportase yang sistematis, valid dan reliabel, namun risikonya lebih besar pula. Setiap pewartaan dapat menimbulkan pro-kontra di kalangan pembaca. Bila bicara teks news atau feature, penulis bisa langsung berkata, “data ini saya peroleh dari narasumber fulan, fulan dan fulan, silakan konfirmasi ke pihak yang bersangkutan saja.” Masalah selesai. Bila bicara opini, tanggung jawab di pundak penulis sendiri. Nah!
Manusia tak pernah betul-betul memahami dan mengamalkan kebenaran. Kendati demikian, kita tak boleh lelah untuk berupaya mendekati kebenaran itu lewat penguatan argumentasi dalam opini yang kita tulis. Dengan catatan, kita pun mesti rendah hati, opini kita hanya satu dari sekian banyak cara pandang. Cara pandang untuk merespon berbagai peristiwa atau isu tertentu. “Kesadaran senantiasa kesadaran akan sesuatu,” itu diktum filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre. Begitu pula dalam penulisan opini, sebab “opini senantiasa opini akan sesuatu.” Lihatlah sekitar dan tulislah. Sudah? []
Materi ini akan disampaikan pada Kamis (1/10). Saat materi, peserta dimohon membawa harian Solopos edisi 29 September 2015.
Dostları ilə paylaş: |