Oleh Miftahul Jannah
Satu hal yang paling bisa membuat saya menangis hari ini –masa di mana saya sudah beranjak dewasa dan harus berpisah dengan keluarga– adalah saat saya teringat ibu. Ingat akan wajah lembutnya, senyum manisnya, kelembutan tuturnya, dan segenap nasihatnya selalu mampu menjadi penentu setiap keputusan saya. Seolah ada reminder ajaib dari ibu. Sehingga setiap saya ingin berbuat sesuatu, selalu ibu yang terbayang lebih dahulu.
Apakah yang akan saya lakukan disukai ibu atau apakah ini akan membuat ibu senang selalu menjadi pertimbangan bagi saya. Di lain kesempatan, jika saya memperoleh sesuatu yang menyenangkan, maka saya akan berkata “Ini saya persembahkan untuk ibu”. Saya meyakini perasaan ini tidak hanya saya yang merasakannya.
Setiap anak tentu tidak akan memungkiri betapa peran ibu mempunyai porsi terbesar dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Bagaimana tidak? Ruh seorang anak dititipkan Allah melalui rahim ibu. Sembilan bulan sepuluh hari ia berbagi makanan, cairan, dan suplemen tubuh lainnya dengan ibu. Bahkan setiap apa yang dikonsumsi ibu saat hamil bisa dipastikan adalah untuk janin di rahimnya. Pada masa itu banyak penderitaan yang dialami ibu. Sulit makan di awal-awal kehamilan, membenci sesuatu yang paling disukai saat tidak hamil, sulit bergerak, belum lagi maturational crisis (krisis pada masa hamil ) yang harus dialami.
Saat melahirkan sang bayi, ibu bahkan harus mempertaruhkan nyawanya. Tidak sedikit ibu yang meninggal saat melahirkan. Kemudian dimulailah masa-masa radikal dalam kehidupan anak. Saat anak hanya mampu berkomunikasi dengan tangisan, ocehan-ocehan yang mungkin hanya ibu yang memahaminya, gerakan tangan, tendangan kaki, dan genggaman jari. Begitu lambatnya pertumbuhan kita namun begitu sabarnya ibu mengurus kita. Makan melalui mulut, berbicara, berjalan, semuanya harus dipelajari. Bukankah ibu yang mempunyai peran terbesar dalam tahapan itu?
Kita tumbuh menjadi anak-anak yang lincah dan cenderung nakal. Aktif dan selalu ingin bermain. Ibu dengan sabarnya menemani kita kendati harus letih mengejar kita, melompat, dan memanjat bersama kita. Ia dampingi tahapan-tahapan penting dalam pertumbuhan kita dengan senyum dan harapan indah akan masa depan cerah kita. Ibu tanamkan aqidah dan akhlaq. Apa yang saat dewasa kita anggap benar, laik dan sesuai norma, bukankan kebanyakan merupakan apa yang ibu tanamkan ketika kecil?
Ketika kita sakit, ibu adalah orang yang paling panik. Ketika kita nakal, ibu adalah orang yang paling sedih. Ketika kita berhasil, ibu adalah orang yang paling bahagia. Yakinilah itu !
Saat kita beranjak remaja, masa yang penuh dengan kelabilan dan gejolak itu menjadi aman dengan ibu di sisi kita. Ibu mampu menjadi teman cerita yang begitu setia. Ibu bisa menjadi solusi dari persolan rumit akibat keegoan dunia remaja kita.
Seorang ibu tidak akan pernah menuntut balas semua pemberiannya kepada anak-anaknya. Hanya saja, apakah kemudian anak-anak juga tidak menyadari peranan ibu tersebut ?
Setelah dewasa anak-anak mulai sibuk dengan dirinya sendiri. Berjuang sekuat tenaga untuk mengembangkan karir dan mengukir kesuksesan. Sementara itu, ada ibu yang beranjak tua dan mulai lemah.
Wahai kita, para anak. Laikkah jika kemudian ibu kita tempatkan di panti wreda ? Menghabiskan sisa-sisa kehidupannya dan menanti mautnya dalam kesendirian ? Membiarkan mimpi-mimpi untuk melihat anaknya berhasil, menyaksikan dan membersamainya, pupus dan harus terkikis habis di panti jompo lantaran anak-anak sibuk dan tidak sempat mengurusnya. Setelah begitu panjang dan beratnya perjuangan ibu mengurus kita saat kecil dulu ? Padahal, diriwayatkan seorang laki-laki datang kepada Nabi saw seraya bertanya tentang orang yang paling laik ditemani. Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu bertanya lagi, “Lalu siapa lagi?” “Ibumu,” jawab Nabi. “Kemudian siapa lagi?” tanya lelaki itu. “Ibumu,” jawab Nabi. “Kemudian siapa lagi?” Rasul menjawab, “Kemudian ayahmu.”
Sungguh... Ibu pun butuh cinta dari kita, anak-anaknya. Wallahua’lam.
Untuk para nenek di panti Wreda Pakem, semoga senantiasa dalam perlindungan ALLAH.
Kasih sayang Ibu
Oleh Miftahul Khair
Siang itu, aku berada dalam bis ekonomi jurusan Bekasi-Bogor yang sesak oleh penumpang. Bau keringat menusuk hidung, bercampur cuaca panas dan kepulan asap rokok disana-sini. Meski aku berdiri dekat ventilasi udara, tetap saja tak bisa mengurangi rasa gerah. Panas sekali.
Namun di ujung sana, di atas kap mesin bis yang kutumpangi, seorang ibu menarik perhatianku. Sepertinya ia tidak memedulikan panas ruangan di sekitarnya. Dengan tenang digendongnya sang anak yang masih balita. Sambil menyusui anaknya lewat botol susu, sesekali ia mengajak sang anak bergurau dan bercanda. Walaupun mungkin anak seusianya belum mampu merespon senda-gurau itu.
Melihat pemandangan itu, sejenak pikiran ini menerawang jauh, Subhanallah, begitu dahsyatnya kasih sayang orang tua kepada anaknya. Terutama kasih sayang seorang ibu.
***
Setiap kita tak akan bisa menghitung, berapa banyak kesusahan yang telah kita timpakan kepada orang tua dari mulai kita berada dalam kandungan sampai saat ini. Sembilan bulan kita berada dalam rahim ibu, dibawa, dirawatnya janin kita yang tak berdaya itu dimanapun ia berada. Tak ada kata istirahat buat Ibu. Saat tidurnyapun kita ini masih begitu menyusahkan. Jangankan tengkurap, tidur telentang saja dirasakan ibu begitu berat.Ketika detik-detik kelahiran kian dekat, perjuangan Ibupun semakin berat, dihadapkan pada dua pilihan antara hidup atau mati. Bersimbah peluh, berlumur darah untuk melahirkan anak kesayangan yang telah lama dinanti-nantikan.
Setelah kita lahir, kesusahan yang kita timpakan kepada duanya semakin bertambah pula. Kita minum air susunya kapanpun kita mau. Ditengah kerewelan kita, segala macam kebutuhan dan keinginan kita dengan sabar dilayaninya. Waktu istirahat Ibupun sering kita "rampas." Siang hari kita enak tidur, namun malam hari, saat Ibu atau Bapak membutuhkan istirahat, tangisan kita malah santer membuat mereka terjaga dan sulit terlelap kembali.
Lalu apakah kesusahan yang kita timpakan kepada ibu selesai sampai di situ? Tentu tidak. Justru semakin bertambah usia kita semakin bertambah pula kesulitan yang ditanggungkan Ibu. Saat sekolah, misalnya, tak jarang kita yang menjalani ujian, namun justru ibu kita yang lebih banyak berdoa dan lebih khawatir. Takut tidak bisa-lah, takut tidak lulus-lah, dan kecemasan lain, yang kita sendiri kurang peduli.
Setelah kita bekerja atau berkeluarga, berkurangkah kasih sayang mereka? Tidak sama sekali. Biarpun diri kita telah dianggap mandiri, tetap saja Ibu mengkhawatirkan keadaan kita. Seperti saat kita sakit misalnya.
Setelah kita berkeluarga, kasih sayang Ibu tetap tak berujung. Walaupun secara kasat tampaknya lebih banyak dicurahkan kepada sang cucu, Toh, tetap saja itu termasuk salah satu wujud kasih sayangnya kepada kita.
Maka, jika keduanya masih ada, bersikap santunlah kepada ibu dan bapak. Berbuatlah yang terbaik bagi mereka. Simak Firman Allah SWT dalam Al Qur'an surat Al 'Isra, ayat 23 : "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia. Dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan perkataan "ah", dan janganlah kamu membentak mereka. Dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia."
Andaikan orang tua kita telah dipanggil Allah SWT, doakanlah mereka. Karena beliau begitu merindukan doa-doa kita. Semoga saja kita tergolong sebagi anak-anak yang shaleh.Aamiin.
Maafkan ibu, bidadari kecilku
Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. "Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur," pintaku.
Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.
Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.
Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?" Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah," jawabku singkat.
"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?" Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya." Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.
Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.
Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.
Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor.
Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak.
Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh, tapi setelah minum susu, kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.
Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi", bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Laiknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah.
Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.
Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu.
Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanalloh, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.
Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia laiknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam.
Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan Ibu.
Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. "Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu."
Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi)
Penjaja Kuepun Berumroh, Subhanalloh…
Satu kenangan spesial yang tidak pernah dilupakan oleh salah seorang rekan saya asal Trenggalek, ketika berkunjung ke tempat saya beberapa tahun lalu, adalah suara seorang penjaja kue. Dua hari selama tamu saya ada di rumah, dua kali itu pula dia mendengarnya: "Jajaaannnn…… Jajaaaannnnnn……"
Entah berapa tahun sudah suara pedagang ini 'berkumandang', berkeliling setiap hari di perkampungan kami. Khas sekali suaranya. Perempuan itu dikenal masyarakat sebagai penjual jajan keliling. Satu keranjang kecil, ditaruh di atas kepalanya, piawai sekali. Mengenakan pakaian khas Jawa sederhana dengan kepala dililit kerudung, tiada sore terlewatkan tanpa kehadiran suara pedagang ini. Hujan pun bukan penghalang baginya. Pisang goreng misalnya, salah satu jajanan yang ditawarkan, menjadi favorit kami.
Sesekali, secara bergantian tangan kanan dan kirinya menahan keranjangnya, agar tidak jatuh. Menyusuri lorong-lorong perkampungan kecil, menghampiri rumah demi rumah pelanggan yang biasa membutuhkan snack sore, menemani minuman teh mereka. Aroma aneka jajanan yang ditawarkan, membuat orang tidak pernah melewatkan. Lepas sholat ashar, tanpa diundang, kue-kue hangat ini ibarat free delivery. Sang pedagang sepertinya sudah memiliki jadwal paten siapa gilirannya dan jam berapa mendapatkannya.
"Mbak Tin penjual kue", begitu kami memanggilnya. Dia telusuri hari-harinya, bersaing dengan pedagang-pedagang keliling lainnya. Ada yang menjajakan bakso, nasi goreng, rujak, bakpao, pangsit mie, soto ayam, dan pedagang lain yang menarik gerobak. Berbeda dengan Mbak Tin, pedagang-pedagang keliling ini rata-rata berasal dari luar perkampungan kami.
Mbak Tin tinggal di gubug reyot di pojokan kampung kami. Saya yakin, kalaupun pemerintah kota mengetahuinya di pinggir jalan, gubug ini jadi salah satu prioritas penggusuran karena 'mengganggu' pemandangan. Mbak Tin tinggal bersama seorang anak laki-lakinya. Adalah di luar pengetahuan saya tentang kapan dia ditinggal pergi oleh sang suami. Sejak tinggal di gubug tersebut, hanya mereka berdua yang kelihatan.
Alhamdulillah dagangannya selalu laris. Sebelum adzan maghrib tiba, ia sudah kembali ke rumahnya. "Mbak Tin...!" teriakku sore itu sekitar jam empat tiga puluh. Dia pun menoleh, mencari tahu dari mana arah suara tadi. "Masih ada pisang gorengnya, Mbak?" tanyaku, kepada orang yang usia sebenarnya tidak terpaut jauh dengan Ibuku. Tapi karena orang-orang semua memanggilnya Mbak Tin; jangankan saya, anak-anak TK saja memanggilnya dengan sebutan 'Mbak'. "Maaf Mas, sudah habis. Singkong gorengnya masih!" tawarnya. "Iya deh!" jawabku.
Mbak Tin terkenal ramah. Orang-orang senang sekali kepadanya. Terkadang kualitas sebuah produk menjadi prioritas kedua seorang customer. Sebaliknya, pelayanan yang baik dan ramah menduduki posisi satu tingkat di atasnya. Itu semua diajarkan dalam Islam. Bahwa bukankah ucapan salam dan senyuman juga ibadah yang membawa berkah? Itulah rumus yang diaplikasikan oleh Mak Tin, seorang ibu sederhana penjual jajan yang tidak pernah melupakan salam dan hamdalah dalam keseharian bisnis kecilnya.
Sebenarnya, bukan karena keramahan dan kesupelannya saja yang mendorong orang-orang di kampung kami untuk membeli dagangannya. Kelebihan lain yang dimiliki ibu satu anak ini adalah keterampilan mengajari Al-Qur'an. Dibandingkan dengan kami, orang-orang kebanyakan, Mbak Tin beruntung dalam masalah ini. Makanya orang-orang di kampung mempercayakan anak-anak mereka untuk diajar membaca Al-Qur'an oleh Mbak Tin.
Setiap sore, lepas maghrib, Mbak Tin mengajari anak-anak membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kadang di surau, tidak jarang di rumahnya sendiri. Dengan fasilitas bentangan tikar yang sudah kusam, anak-anak duduk di lantai, mendengarkan: Alif, ba, ta, tsa… begitulah seterusnya. Proses belajar mengajar di 'forum' yang jauh dari sentuhan konsep para ahli pendidikan maupun sarana teknologi canggih ini berlangsung terus-menerus.
Buahnya, kita tidak pernah menyangka, bahwa perubahan moral kerohanian yang dihasilkan dari sumbangsih perempuan penjual jajan ini bisa saja lebih besar ketimbang itu semua. Anak-anak kampung yang kini sudah besar dan 'bertebaran' di bumi Allah, secara tidak langsung telah menikmati dan mengamalkan sebagian 'ajarannya'. Karena jasa Mbak Tin mereka pandai membaca Al-Qur'an, sekalipun kini ada yang duduk di IAIN.
Sementara banyak anak didiknya yang tinggal di rumah-rumah yang laik, guru 'madarasah' kecil ini tetap istiqomah di gubug yang sudah hampir ambruk.
Selama bertahun-tahun, Mbak Tin telah memanfaatkan 'madarasah' ala kadarnya guna melestarikan 'Kalam Ilahi' dalam benak calon-calon generasi mendatang. Selama itu pula, sayangnya, orang-orang di perkampungan kami tidak ada yang tergerak untuk memberikan uluran tangannya guna memperbaiki 'madarasah' nya. Hingga suatu hari, atas inisiatifnya sendiri, Mbak Tin berkunjung ke rumah Pak Ahmad, seorang pedagang barang-barang bangunan di sudut jalan yang dikenal sebagai satu-satunya orang pemelihara masjid di lingkungan kami.
"Pak Haji!" katanya. "Ini saya serahkan uang tabungan saya bertahun-tahun, sepuluh juta rupiah, saya minta bantuan Bapak untuk menggunakan uang ini buat memperbaiki rumah saya yang sudah reyot!" Mendengar permohonannya, Pak Haji Ahmad baru tersentuh. Sadar bahwa selama ini beliau merasa kurang perhatian terhadap kebutuhan Guru Mengaji ini.
"Baiklah!" jawab Pak Ahmad. Hari itu juga, Pak Ahmad memulai kalkulasi bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan. Permintaan Mbak Tin yang semula hanya memperbaiki bagian rumah yang rusak, oleh Pak Haji bangunan dirobohkan secara keseluruhan. Kemudian dibangunnya rumah baru. Kelebihan dana yang dikeluarkan untuk mendirikan bangunan baru tersebut seluruhnya dipikul oleh Pak Haji. Subhanallah. Rumah Mbak Tin yang semula terjelek di perkampungan itu, kini nampak cantik sekali. Bahkan paling baik kondisinya dibandingkan rumah-rumah di sebelahnya.
"Mbak Tin tidak usah memikirkan berapa sisa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan bangunan ini. Saya ikhlas!" Kata Pak Ahmad suatu hari ketika Mbak Tin menanyakan jumlah uang yang dikeluarkan untuk memperbaiki rumahnya. Mbak Tin sadar, bahwa uang yang diserahkan Pak Ahmad, jauh dari cukup untuk merampungkannya.
Tidak haya sampai di situ kebahagiaan yang dialami Mbak Tin. Selama bertahun-tahun mengajar anak-anak mengaji, ternyata ada pula seseorang yang memperhatikan dari 'jauh'. Seorang dermawan yag ingin agar ustadzah ini berkesempatan melihat Baitullah dari dekat. Rumah Allah. Tempat ibadah yang didambakan semua umat Islam.
Betapa bersyukurnya Mbak Tin mendengar berita ini. Mungkin ia berpikir, mana mungkin seorang penjual jajan pasar mampu membiayai perjalanan ke Masjidil Haram. Seumur hidup pun kalau dia mau menabung, di jaman sekarang ini, tidak bakal tertutupi biayanya. Apalagi kebutuhan terhadap kondisi rumahnya juga membutuhkan penanganan segera.
Namun di tengah segala kesulitan yang dialaminya, rupanya Allah SWT memberikan kemudahan. Tidak ada orang yang akan pernah menyangka bahwa Mbak Tin bakal berkunjung ke Mekah. Melaksanakan ibadah umroh.
Hari ini, tanggal dua puluh enam April, tahun dua ribu lima, Guru Mengaji di kampung kami, Mbak Tin, berkemas-kemas menuju bandara. Puluhan orang, termasuk bekas anak-anak didiknya, memadati rumahnya. Sebagian besar mereka meneteskan air mata, terharu mengingat besarnya jasa perempuan penjaja pisang goreng itu selama ini. Mengingat betapa Allah Mahabijaksana, memberangkatkan kaum papa seperti dia. Bertahun-tahun sudah dia baktikan hidupnya untuk sebuah kepentingan yang jarang dilirik orang sebagai suatu prestasi. Apalagi sebuah karir ! Hari ini, Allah SWT telah melengkapi kebahagianya. Selamat menempuh perjalanan ke Baitullah Mbak Tin !
Dostları ilə paylaş: |