Pagar Sepiring Nasi


Ibunda Perkasa dari Tanah Duka



Yüklə 363,64 Kb.
səhifə13/15
tarix27.10.2017
ölçüsü363,64 Kb.
#16154
1   ...   7   8   9   10   11   12   13   14   15

Ibunda Perkasa dari Tanah Duka


Oleh Miftahul Jannah

Di antara puing-puing luka dan penderitaan para korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah, ada banyak keperihan yang tersingkap, ada banyak duka yang terkuak, namun ada pula kekaguman yang tersibak. Kekaguman yang semakin menguatkan keyakinan pada diri saya, bahwa seorang ibu memanglah sosok yang amat mulia.

Namanya ibu Tuminem. Saya bertemu dengannya dihari ke-enam gempa yang menimpa Yogya dan Jawa Tengah. Ibu bertubuh kecil itu datang ke posko Masjid Mardliyyah -tempat saya berkativitas sebagai relawan- dengan menggendong bayinya. Wajahnya sendu dan tampak amat letih. Ia terduduk di tangga masjid, menangis sambil tak putus mengucap istighfar.

Rekan saya sesama relawan mendekati beliau, mengusap punggungnya dan membiarkan hingga tangisnya reda. Saya menyusul mendekati dan menghibur bayinya yang juga mulai menangis.

“Bagaimana, Bu?” Pertanyaan itu seolah telah terekam dan selalu menjadi pertanyaan pertama bagi kami tim psikologis untuk bisa mendapatkan aliran cerita dari para korban demi mereka bisa mengungkapkan apapun yang mereka rasakan.

Ibu Tuminem menghapus air matanya dan sekali lagi melafalkan istighfar.


“Saya mencari anak saya, Mbak. Sudah enam hari saya tidak bertemu dengan anak saya. Saya sudah tiga hari mencarinya ke semua rumah sakit, tapi nggak ketemu-ketemu” ujarnya tersendat-sendat karena dibarengi tangisan. “Keluarga yang lain bagaimana, Ibu?” tanya saya lagi. “Suami saya meninggal...” kalimatnya terputus dan ia mulai menangis lagi, lalu kembali menghapus air matanya dan melafalkan istighfar. “Saya ngurusin jenazah suami saya sampai dimakamkan dulu baru mencari anak saya” tambahnya. Waktu kejadian bagaimana, Ibu?” “Waktu gempa saya udah keluar rumah, belanja ke warung. Ibu mertua saya cuci piring, suami dan anak saya yang kedua masih tidur. Anak saya yang pertama udah main ke luar. Suami dan anak saya yang kedua ketimpa reruntuhan. Tapi anak saya yang pertama nggak tahu entah kemana” ujarnya tetap berurai air mata.

Innalillaahi, sungguh Allah berkuasa atas segala sesuatu. Cerita bu Tuminem ibarat sinetron bagi saya, kehilangan suami dan terpisah dari darah daging sendiri.

“Saya harus ketemu anak saya, Mbak. Kasihan dia, sudah enam hari tidak bertemu ibunya. Saya tidak tahu harus mencari kemana lagi. Saya cuma berharap dia diantar ke Magelang” tambahnya. Ia mulai menangis lagi. “Putera yang kedua bagaimana, Bu?” “Ada, Mbak. Dirawat di Panti Rapih, tangannya patah.”

“Di sana ada yang jagain?” “Ada budenya. Dia lagi ulang tahun, merengek-rengek terus minta dibelikan kue ulang tahun. Saya nggak tahan, saya nggak punya apa-apa lagi. Waktu gempa itu saya cuma ngantongin uang dua puluh lima ribu, itupun udah terlanjur saya belanjakan sayur. Sisanya habis untuk ongkos nyari-nyari anak saya. Makanya saya kesini, sambil nyari anak sulung saya ke Sarjito. Saya menjanjikan kue ulang tahun pada anak saya...” bu Tuminem mulai menangis lagi.

Masya Allah... seorang anak tetaplah seorang anak, ia ingin hari ulang tahunnya lebih berarti dengan kue ulang tahun. Tak peduli kakaknya entah di mana, ayahnya telah tiada, dan ibunya telah menjadi papa. Sedang ibu tetaplah ibu, tak kan kuasa seorang ibu memupus harapan anaknya, walau tak tahu dengan apa dia mendapatkan kue ulang tahun itu, tetap saja ia janjikan pada anaknya.“Putera yang ulang tahun namanya siapa, Bu?” tanya saya “Sena, Mbak”

“Ini ulang tahun yang ke berapa ?” “Tujuh tahun, kenapa Mbak?” bu Tuminem bertanya balik. “Nggak apa-apa, Bu. Sekarang ibu makan dulu saja, kalau ibu nggak makan kasihan anak-anak. Apalagi yang bungsu masih menyusu. Kalau ibu sakit kan lebih repot” dengan sedikit memaksa kami meminta bu Tuminem untuk makan, sudah sehari lebih beliau tak makan. Sedang bungsunya kami berikan susu, karena sudah berhari-hari pula dotnya hanya berisi air teh dingin.

Saya dan dua rekan relawan memutuskan untuk mewarnai ulang tahun Sena dengan sebuah kue ulang tahun. Selepas membeli kue ulang tahun kami mengantar bu Tuminem ke Panti Rapih dengan motor. Subhanallah, sesampainya di rumah sakit kami tak bisa menemukan Sena, karena lokasi tempat ia dirawat pagi harinya telah bersih dari korban gempa yang dirawat. Bu Tuminem mulai panik lagi.

“Kok nggak ada ya, Mbak? Tadi pagi masih di sana pakai tenda” tunjuknya pada taman di barat rumah sakit. “Mungkin udah dipindah, Bu. Kita tanya saja” saya mencoba menenangkannya. Pasien-pasien di RS Sarjito tempat saya beraktivitas sudah sejak dua hari yang lalu dipindah ke areal parkir rumah sakit, pasti di rumah sakit ini demikian juga, batin saya.

Lantas kami menemui petugas keamanan. Oleh beliau kami ditunjukkan beberapa tempat yang mungkin menjadi lokasi baru perawatan putera bu Tuminem. Ternyata di tempat-tempat itu tidak ada pasien dengan nama Sena Ramadhani, nama putera bu Tuminem.

Entah bagaimana kemudian terbersit pikiran bahwa putera bu Tuminem telah dibawa pulang keluarga ke Magelang. Selepas dhuhur bu Tuminem memang berencana melanjutkan pencarian putera sulungnya ke Magelang, ke tempat orang tuanya. Pikiran itu diperkuat dengan pernyataan tetangga bu Tuminem yang kebetulan berpapasan di rumah sakit dan baru datang dari Magelang. Bahkan kata beliau putera sulungnya juga ada di sana.

Bu Tuminem langsung berhamdalah, bahkan hampir menyungkurkan dirinya ke lantai untuk bersujud. Namun saya dan rekan-rekan merasa tetap memerlukan data bahwa putera kedua beliau memang telah dibawa pulang. Ternyata benar, di data pasien pulang ada nama yang dikenali bu Tuminem, yaitu ibu Dariyem. Pantas saja kami tidak menemukan nama Sena, karena nama yang dicantumkan di data adalah nama budenya. “Rasanya ibu seperti disiram air dingin, Nak” kata bu Tuminem pada puteri bungsu di gendongannya.

Alhamdulillah, ya Bu” kami turut berbahagia dengan kebahagiaannya. Kami hanya bisa mengantarnya hingga ke terminal menuju Magelang seraya berharap ia bisa berkumpul lagi dengan anak-anaknya di sana.



Subhanallah, pasti ada banyak bu Tuminem lain selepas gempa tektonik lalu. Saya berdo’a semoga beliau mampu menjalani hidupnya ke depan dengan teguh sebagaimana keteguhannya mencari putera sulungnya, dan semoga Allah senantiasa melimpahkan kasih sayang padanya sebagaimana kasih sayang-Nya mengumpulkan kembali si ibu dengan anak-anaknya.

Mandikan aku, mom…

Rani, sebut saja begitu namanya. Kawan kuliah ini berotak cemerlang dan memiliki idealisme tinggi. Sejak masuk kampus, sikap dan konsep dirinya sudah jelas: meraih yang terbaik, di bidang akademis maupun profesi yang akan digelutinya. ''Why not the best,'' katanya selalu, mengutip seorang mantan presiden Amerika.

Ketika Universitas mengirim mahasiswa untuk studi Hukum Internasional di Universiteit Utrecht, Belanda, Rani termasuk salah satunya. Saya lebih memilih menuntaskan pendidikan kedokteran. Berikutnya, Rani mendapat pendamping yang ''selevel''; sama-sama berprestasi, meski berbeda profesi.

Alifya, buah cinta mereka, lahir ketika Rani diangkat sebagai staf diplomat, bertepatan dengan tuntasnya suami dia meraih PhD. Lengkaplah kebahagiaan mereka. Konon, nama putera mereka itu diambil dari huruf pertama hijaiyah ''alif'' dan huruf terakhir ''ya'', jadilah nama yang enak didengar: Alifya. Saya tak sempat mengira, apa mereka bermaksud menjadikannya sebagai anak yang pertama dan terakhir.

Ketika Alif, panggilan puteranya itu, berusia 6 bulan, kesibukan Rani semakin menggila. Bak garuda, nyaris tiap hari ia terbang dari satu kota ke kota lain, dan dari satu negara ke negara lain. Setulusnya saya pernah bertanya, ''Tidakkah si Alif terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal?'' Dengan sigap Rani menjawab, ''Oh, saya sudah mengantisipasi segala sesuatunya. Everything is OK!''

Ucapannya itu betul-betul ia buktikan. Perawatan dan perhatian anaknya, ditangani secara profesional oleh baby sitter mahal. Rani tinggal mengontrol jadual Alif lewat telepon. Alif tumbuh menjadi anak yang tampak lincah, cerdas dan gampang mengerti. Kakek-neneknya selalu memompakan kebanggaan kepada cucu semata wayang itu, tentang kehebatan ibu-bapaknya. Tentang gelar dan nama besar, tentang naik pesawat terbang, dan uang yang banyak.

''Contohlah ayah-bunda Alif, kalau Alif besar nanti.'' Begitu selalu nenek Alif, ibunya Rani, berpesan di akhir dongeng menjelang tidurnya.

Ketika Alif berusia 3 tahun, Rani bercerita kalau dia minta adik. Terkejut dengan permintaan tak terduga itu, Rani dan suaminya kembali menagih pengertian anaknya. Kesibukan mereka belum memungkinkan untuk menghadirkan seorang adik buat Alif. Lagi-lagi bocah kecil ini ''memahami'' orang tuanya. Buktinya, kata Rani, ia tak lagi merengek minta adik. Alif, tampaknya mewarisi karakter ibunya yang bukan perengek. Meski kedua orangtuanya kerap pulang larut, ia jarang sekali ngambek. Bahkan, tutur Rani, Alif selalu menyambut kedatangannya dengan penuh ceria. Maka, Rani menyapanya ''malaikat kecilku''.

Sungguh keluarga yang bahagia, pikir saya. Meski kedua orangtuanya super sibuk, Alif tetap tumbuh penuh cinta. Diam-diam, saya iri pada keluarga ini.

Suatu hari, menjelang Rani berangkat ke kantor, entah mengapa Alif menolak dimandikan baby sitter. ''Alif ingin Bunda mandikan,'' ujarnya penuh harap. Karuan saja Rani, yang detik ke detik waktunya sangat diperhitungkan, gusar. Ia menampik permintaan Alif sambil tetap gesit berdandan dan mempersiapkan keperluan kantornya. Suaminya pun turut membujuk Alif agar mau mandi dengan Tante Mien, baby sitter-nya. Lagi-lagi, Alif dengan pengertian menurut, meski wajahnya cemberut. Peristiwa ini berulang sampai hampir sepekan.

''Bunda, mandikan aku !'' kian lama suara Alif penuh tekanan. Toh, Rani dan suaminya berpikir, mungkin itu karena Alif sedang dalam masa pra-sekolah, jadinya agak lebih minta perhatian. Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya Alif bisa ditinggal juga. Sampai suatu sore, saya dikejutkan telponnya Mien, sang baby sitter. ''Bu dokter, Alif demam dan kejang-kejang. Sekarang di Emergency.''

Setengah terbang, saya ngebut ke UGD. But it was too late. Allah swt sudah punya rencana lain. Alif, si malaikat kecil, keburu dipanggil pulang oleh-Nya. Rani, ketika diberi tahu soal Alif, sedang meresmikan kantor barunya. Ia shock berat. Setibanya di rumah, satu-satunya keinginan dia adalah memandikan putranya. Setelah pekan lalu Alif mulai menuntut, Rani memang menyimpan komitmen untuk suatu saat memandikan anaknya sendiri.

Dan siang itu, janji Rani terwujud, meski setelah; tubuh si kecil terbaring kaku. ''Ini Bunda Lif, Bunda mandikan Alif,'' ucapnya lirih, di tengah jamaah yang sunyi. Satu persatu rekan Rani menyingkir dari sampingnya, berusaha menyembunyikan tangis.

Ketika tanah merah telah mengubur jasad si kecil, kami masih berdiri mematung di sisi pusara. Berkali-kali Rani, sahabatku yang tegar itu, berkata, ''Ini sudah takdir, ya kan. Sama saja, aku di sebelahnya ataupun di seberang lautan, kalau sudah saatnya, ya dia pergi juga kan?'' Saya diam saja. Rasanya Rani memang tak perlu hiburan dari orang lain. Suaminya mematung seperti tak bernyawa. Wajahnya pias, tatapannya kosong. ''Ini konsekuensi sebuah pilihan,'' lanjut Rani, tetap mencoba tegar dan kuat. Hening sejenak.

Angin senja meniupkan aroma bunga kamboja. Tiba-tiba Rani berlutut. ''Aku ibunyaaa!'' serunya histeris, lantas tergugu hebat. Rasanya baru kali ini saya menyaksikan Rani menangis, lebih-lebih tangisan yang meledak. ''Bangunlah Lif, Bunda mau mandikan Alif. Beri kesempatan Bunda sekali saja Lif. Sekali saja, Aliiif..'' Rani merintih mengiba-iba. Detik berikutnya, ia menubruk pusara dan tertelungkup di atasnya. Air matanya membanjiri tanah merah yang menaungi jasad Alif. Senja pun makin tua. Nasi sudah menjadi bubur, sesal tidak lagi menolong.

Hal yang nampaknya sepele sering kali menimbulkan sesal dan kehilangan yang amat sangat. Sering kali orang sibuk 'di luaran', asik dengan dunianya dan ambisinya sendiri tidak mengabaikan orang2 di dekatnya yang disayanginya. Akan masih ada waktu 'nanti' buat mereka jadi abaikan saja dulu. Sering kali orang takabur dan merasa yakin bahwa pengertian dan kasih sayang yang diterimanya tidak akan hilang. Merasa mereka akan mengerti karena mereka menyayanginya dan tetap akan ada.



Yüklə 363,64 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   7   8   9   10   11   12   13   14   15




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin