Pagar Sepiring Nasi


Mereka yang Telah Memberi Inspirasi



Yüklə 363,64 Kb.
səhifə15/15
tarix27.10.2017
ölçüsü363,64 Kb.
#16154
1   ...   7   8   9   10   11   12   13   14   15

Mereka yang Telah Memberi Inspirasi


Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa'
Belakangan ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya sia-siakan hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan mengesampingkan aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti. Salah satunya, belajar ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga saat ini ketika usia saya sudah melewati kepala tiga.

Dari hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan agama saya, meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat lima waktu dan ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit harta yang saya punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak pernah merasa tergerak untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol mengejar belajar ilmu umum yang saya minati, saya lebih tertarik membaca novel atau buku lainnya yang tidak bernafaskan agama. Untuk mengaji pun malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah bekerja sepanjang hari, kerap menjadi alasan saya.

Meski Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib saja sudah cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau membaca Al-Quran, tidak terlalu penting. "Yang penting kenal huruf dan bisa baca sedikit-sedikit," kataku waktu itu.

Tetapi pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini saya mulai mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca Al-Quran dengan benar itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji kandungan-kandungannya. Ternyata, dari ceramah-ceramah para ustadz dan ustadzah di pengajian yang saya ikuti, saya mendapati bahwa belajar agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua aspek kehidupan.

Dan sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli buku-buku keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi atau radio, dan rasa keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah habis.

Perubahan itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena saya menjumpai beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang agama saya.

Seorang mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat karib saya, adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika mengenalnya, saya sudah kagum dengan semangatnya belajar membaca Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam dengan banyak bertanya dan membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu bahwa Lia yang baru dua tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang Islam, bahkan isi Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai saat itu malah belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun iman-meski saya hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana berwudhu yang benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa menjadi tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,"Duh betapa meruginya saya."

Suatu saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu lemari pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi daftar surat-surat dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah, terlihat ditandai dengan contrengan kecil. Aku bertanya, "Ini apa Li, koq dikasih tanda?"

"Oh, itu daftar surat yang sudah aku hapal," katanya sambil tersenyum.

Hapal? tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah ditandai, jumlahnya 18 surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru mengenal Islam, sudah hapal 18 surat. Sementara saya, selama puluhan menjadi Muslim cuma hapal kurang dari lima surat dan tidak pernah punya keinginan untuk berusaha menghapal surat-surat Al-Quran yang lain. Malu rasanya.........

Sejak itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari. Sampai aku tahu bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari meski cuma beberapa menit saja, termasuk menjalankan sholat dan puasa sunnah. Ah, Lia, selama ini ternyata aku sudah jauh tertinggal.....

Sejak itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai menambah hapalan surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah sholat dan puasa sunnah, mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat memang, kadang rasa malas amat menggoda.

Setelah Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu semangatku untuk mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku sendiri, aku biasa memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak menikah beberapa puluh tahu silam. Meski ketiga anak-anaknya sudah besar-besar dan usianya tidak lagi muda, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang ia dapat di pengajian dalam buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan sejarah Islam, sempat membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya tidak ada apa-apanya dibanding Kak Lili.

Selanjutnya, suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang aku tumpangi. Aku melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari gerak-geriknya aku tahu ia sedang berusaha menghapal salah satu suratnya. Sayapun tersentuh melihat si Bapak tua tadi. Semangat belajarku terpompa kembali, "Saya belum terlambat untuk mulai belajar," gumamku dalam hati.

Kadang, saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur, karena Allah swt memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa menjadi penyemangat saya dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Makin banyak saya mengenal Islam, makin bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan, saya benar-benar merasakan kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga Allah swt selalu memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap istiqomah di jalanNya.

(Sebuah catatan kecil untuk orang-orang yang telah memberi inspirasi)


Bersedekah di Kala Lapang dan Sempit


Oleh Rubina Qurratu 'ain Zalfa

Hati saya bergetar melihat ribuan manusia memenuhi jalan utama di ibukota. Puluhan ribu umat Islam di Jakarta dan sekitarnya melakukan aksi damai dan penggalangan dana untuk warga Palestina yang terancam kelaparan, diisolasi dan dihentikannya bantuan internasional oleh Eropa dan AS. Subhanallah... cuma kata-kata itu yang terucap dalam hati saya melihat perhatian yang besar Muslim di Indonesia terhadap penderitaan saudara-saudara mereka yang didzolimi di Palestina.

Apa yang membuat hati saya tersentuh adalah, saat ini, kondisi rakyat Indonesia sebenarnya juga dalam keadaan yang sangat sulit. Krisis ekonomi masih melilit kehidupan sebagian rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim, sehingga masih banyak di antara mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Tak heran kalau banyak juga orang yang mencibir aksi penggalangan dana untuk rakyat Palestina itu. Mereka menganggap aksi sosial ini tidak realistis, buat apa membantu orang yang sedang kesusahan di negeri yang beribu-ribu mil jauhnya dari Indonesia, sementara di negeri sendiri banyak orang yang kelaparan. Alasan seperti ini memang tidak salah, tapi tidak sepenuhnya benar. Apalagi saudara-saudara Muslim kita di Palestina menderita karena perlakuan tidak adil negara-negara kuat, negara-negara yang selama ini mengaku menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.

Sungguh, melihat aksi damai kemarin hati saya tergugah bahwa dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini, Muslim Indonesia tidak melupakan saudara-saudara mereka yang menderita di negeri lain. mereka tidak kehilangan semangat untuk memberikan sedikit harta yang mereka punya. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk tetap bersedekah di waktu lapang maupun di waktu sempit? Seperti firman Allah swt. dalam Surat Ali-Imran: 133-136. "Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yag menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun di waktu sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik... Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya, dan itulah sebaik-baik pahala orang yang beramal ."

Anjuran mulai dari Allah swt ini bermakna, bahwa dalam kondisi sesulit apapun, manusia masih bisa memberikan sesuatu di jalan Allah. Meski cuma sedikit, yang terpenting adalah pemberian itu diberikan dengan keikhlasan dan hanya mengharap ridho ilahi. Namun terkadang, kita sangat sulit memberikan sedikit apa yang kita punya dalam kondisi lapang, apalagi dalam kondisi sempit dengan berbagai pertimbangan.

Pernahkah kita mengalami pada suatu saat dimintai sumbangan untuk keperluan umat, dan pada saat itu kita hanya memberikan uang ala kadarnya, yang penting sudah nyumbang. Padahal uang yang dikeluarkan untuk sedekah itu tidak seberapa jumlahnya dibandingkan uang yang kita keluarkan untuk hura-hura, kumpul dengan teman makan di restoran, beli baju mewah di mall ekslusif, beli sepatu bermerk dari luar negeri, beli parfum dengan harga ratusan ribu rupiah. Pernahkan kita merenungkan hal ini? Betapa beratnya kita mengeluarkan uang banyak untuk bersedekah dan betapa ringannya kita menghambur-hamburkan uang hanya untuk hal-hal yang sifatnya komsumtif dan duniawi.

Padahal anjuran dan perintah Allah swt berinfaq pada waktu lapang tujuannya untuk menghilangkan perasaan sombong, serakah dan cinta yang berlebihan terhadap harta. Sedangkan bersedekah di waktu sulit dianjurkan agar sifat manusia yang lebih suka diberi dari pada memberi bisa berubah menjadi suka memberi daripada diberi. Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.

Rasulullah saw pun mengingatkan kita untuk jangan segan bersedekah, meski hanya dengan sebutir kurma. "Jauhkanlah dirimu dari api neraka walaupun dengan (bersedekah) sebutir kurma." (HR Muttafaq alaih).

Semoga kita menjadi umat yang senantiasa selalu ingat bersedekah baik dalam kondisi lapang maupun sulit. Jikapun kita sudah tidak memiliki apapun untuk diberikan, bersedekahlah dengan doa. Sesungguhnya Allah swt senantiasa memberi kemudahan bagi kita untuk beramal shalih dengan keikhalasan dan hanya berharap ridho darinya. Rubina Qurratu 'ain Zalfa' rubina_zalfa@yahoo.com

Maafkan Ibu, Bidadari Kecilku

Gesang Utari

Malam belum seberapa tua, mata anak sulungku belum juga bisa dipejamkan. Beberapa buku telah habis kubacakan hingga aku merasa semakin lelah. "Kamu tidur donk Dila, Ibu capek nih baca buku terus, kamunya nggak tidur-tidur," pintaku.


Ditatapnya dalam wajahku, lalu kedua tangannya yang lembut membelai pipiku. Dan, oh Subhanallah, kehangatan terasa merasuki tubuhku ketika tanpa berkata-kata diciumnya kedua pipiku. Tak lama, ia minta diantarkan pipis dan gosok gigi. Ia tertidur kemudian, sebelumnya diucapkannya salam dan maafnya untukku. "Maafin kakak ya Bu. Selamat tidur," ujarnya lembut. Kebiasaan itulah yang berlaku dikeluarga kami sebelum tidur. Aku menghela nafas panjang sambil kuperhatikan si sulung yang kini telah beranjak sembilan tahun. Itu artinya telah sepuluh tahun usia pernikahan kami.
Dentang waktu didinding telah beranjak menuju tengah malam. Setengah duabelas lewat lima ketika terdengar dua ketukan di pintu. Itu ciri khas suamiku. Seperti katanya barusan ditelepon, bahwa ia pulang terlambat karena ada urusan penting yang tak bisa ditunda besok.
Suamiku terkasih sudah dimuka pintu. Cepat kubukakan pintu setelah sebelumnya menjawab salam. "Anak-anak sudah tidur?" Pertanyaan itu yang terlontar setelah ia bersih-bersih dan menghirup air hangat yang aku suguhkan. "Sudah," jawabku singkat.
"Kamu capek sekali kelihatannya. Dila baik-baik saja?" Aku menggangguk. "Aku memang capek. Tapi aku bahagia sekali, bahkan aku pingin seperti ini seterusnya." Lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu menatapku dengan sedikit bingung. "Akan selalu ada do'a untukmu, karena keikhlasanmu mengurus anak-anak dan suami tentunya. Dan aku akan minta pada Allah untuk memberimu pahala yang banyak," hiburnya kemudian.
Aku tahu betapa ia penasaran ingin tahu apa yang hendak aku katakan, tapi ia tak mau memaksaku untuk bercerita. Tak sanggup aku menahan gejolak perasaan dalam dada yang sepertinya hendak meledak. Kurangkul erat tubuhnya. "Maafkan aku mas," bisikku dalam hati.
Pagi ini udara begitu cerah. Dila, sulungku yang semalam tidur paling akhir menjadi anak yang lebih dulu bangun pagi. Bahkan ia membangunkan kami untuk sholat subuh bersama. Mandi pagipun tanpa dikomandoi lagi. Dibantunya sang adik, Helmi, memakai celana. Dila memang telah trampil membantuku mengurus adiknya. Tak hanya itu, menyapu halamanpun ia lakukan. Tapi itu dengan catatan, kalau ia sedang benar-benar ingin melakukannya. Kalau "angot" nya datang, wah, wah, wah.
Inilah yang ingin aku ceritakan. Dila kerap marah berlebihan tanpa sebab yang jelas, sampai membanting benda-benda didekatnya, menggulingkan badan dilantai dan memaki dengan kata-kata kotor.
Memang aku pernah melakukan suatu kesalahan saat aku kesal menghadapi ulahnya. Saking tak tertahannya kesalku, aku membanting pintu dan itu dilihatnya. Wajar saja kalau akhirnya Dila meniru perbuatanku itu. Penuh rasa sesal saat itu, aku berjanji untuk tidak melakukan hal itu kembali. Kuberikan penjelasan pada Dila bahwa aku salah dan hal itu tak boleh ia lakukan. Entah ia mengerti atau tidak.
Hari itu Dila bangun agak siang karena kebetulan hari Minggu, pakaiannya basah kena ompol. Padahal ia tak biasanya begitu. Segera saja kusuruhnya mandi. Tapi Dila menolak, dengan alasan mau minum susu. "Boleh, tapi setelah minum susu, kakak segera mandi ya karena baju kakak basah kena ompol" Dila menyetujui perjanjian itu. Tapi belum lagi lima menit setelah habis susu segelas, ia berhambur keluar karena didengarnya teman-temannya sedang main. Mandipun urung dikerjakan. Aku masih mentolelir. Tapi tak lama berselang "Kak Dila. mandi dulu," aku setengah berteriak memanggilnya karena ia sudah berada diantara kerumunan anak yang sedang main lompat tali. "Sebentar lagi Bu. Kakak mau lihat Nisa dulu," begitu jawabnya.
Aku masih belum bereaksi. Kutinggal ia sebentar karena Helmi merengek minta susu. Setelah membuatkan susu untuknya, aku keluar rumah lagi. Kali ini menghampiri Dila. "Waktumu sudah habis, sekarang kamu mandi", bisikku pelan ditelinganya. Dila bereaksi menamparku keras, "Nanti dulu!" aku tersentak, mendadak emosiku membludak. Aku balas menampar Dila hingga meninggalkan bekas merah di pipi kanannya. Tanpa berkata-kata lagi, kuseret tangannya sekuat tenaga. Dila terus meronta. Kakiku digigitnya. Aku dengan balas mencubit. Layaknya sebuah pertarungan besar kami saling memukul dan meninggikan suara. Setibanya dikamar mandi Dila kuguyur berulang-ulang, kugosok badanya dengan keras, kuberi sabun dan kuguyur lagi hingga ia tampak gelagapan. Aku benar-benar kalap. Selang beberapa menit kemudian, kukurung Dila dikamar mandi dalam keadaan masih tidak berpakaian. Ia menggedor-gedor pintu minta dibukakan. Berulang kali ia memaki dan mengatakan akan mengadukan kepada ayah.
Tak berapa lama kemudian suara Dila melemah, hanya terdengar isak tangisnya. Aku membukakan pintu dengan mengomel. "Makanya, kalau disuruh mandi jangan menolak, Ibu sampe capek, dari tadi kamu menolak mandi terus. Awas ya kalau seperti ini lagi. Ibu akan kunci kamu lebih lama lagi. Paham!", entah ia mengerti atau tidak. Dila hanya menangis meski tidak lagi meraung.
Setelah rapih berpakaian, menyisir rambut dan makan. Dila seolah melupakan kejadian itu. Iapun asyik kembali main dengan teman-temannya. Peristiwa itu tidak hanya satu dua kali terjadi. Tidak hanya pada saya ibunya tapi juga pada ayahnya. Tapi, cara suamiku memperlakukan Dila sangat berbeda. Barangkali memang dasarnya aku yang tidak sabar menghadapi anak rewel. Tiap kali itu terjadi, cara itulah yang aku lakukan untuk mengatasinya. Bahkan mungkin ada yang lebih keras lagi dari itu.

Tapi apa yang dilakukan Dila pada saya, Subhanallah, Dila tak pernah menceritakan perlakuanku terhadapnya kepada siapapun. Seolah ia pendam sendiri dan tak ingin diketahui orang lain. Akupun tak pernah menceritakan kepada suami, khawatir kalau ia marah.



Padahal Dila itu anak kandungku, anak yang keluar dari rahimku sendiri. Aku kadang membencinya, tidak memperlakukan dia layaknya aku memperlakukan Helmi adiknya. Dila anak yang cerdas. Selalu ceria, gemar menghibur teman-temannya dengan membacakan mereka buku yang tersedia dirumah. Bahkan teman-temannya merasa kehilangan ketika Dila menginap di rumah neneknya diluar kota, yang cuma dua malam.
Belaian lembut tangan suamiku menyadarkan aku. Kulepas pelukanku perlahan. Tak sadar air mata menyelinap keluar membasahi pipi. "Sudahlah, malam semakin larut. Ayo kita tidur," ajaknya lembut. Aku berusaha menenangkan gemuruh dibatinku. Astaghfirullah, aku beristighfar berulang kali. "Aku mau tidur dekat Dila ya?" pintaku. Lagi-lagi kearifan suamiku membuatku semakin merasa bersalah. Kuhampiri Dila yang tampak pulas memeluk guling kesayangannya. Siswi kelas tiga SD itu begitu baik hati. Aku malu menjadi ibunya yang kerap memukul, berkata-kata dengan suara keras dan...oh Dila maafkan Ibu.
Disisi Dila bidadari kecilku, aku bersujud di tengah malam. "Ya Allah, melalui Dila, Engkau didik hambamu ini untuk menjadi ibu yang baik. Aku bermohon ampunan kepada-Mu atas apa yang telah kulakukan pada keluargaku, pada Dila. Beri hamba kesempatan memperbaiki kesalahan dan ingatkan hamba untuk tidak mengulanginya lagi. Dila, maafkan Ibu nak, kamu banyak memberi pelajaran buat Ibu."
Sebuah renungan untuk para ibu (termasuk saya didalamnya). Semoga kita semakin menyayangi anak-anak dan memperlakukan mereka dengan baik. Sebagaimana diingatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW agar manusia menyayangi anak-anaknya. Ketika Aqra' bin Habis At Tamimi mengatakan bahwa ia memiliki sepuluh anak tapi tak pernah mencium salah seorang diantara mereka, Rasululloh SAW bersabda "barangsiapa yang tidak menyayangi maka dia tidak disayangi" (HR. Bukhari dan Tirmizi).


Ibu…, Ujang sayang Ibu

Kafemuslimah.com - Setiap liburan SD aku sering menghabiskannya di kampung kalijati. Kalijati itu sebuah desa yang dekat dengan subang, jawa barat.
Liburan pertama kali di sana, aku sering menangis karena jarang jauh dari orang tua. Namun, liburan yang ke dua kali aku mulai kerasan di sana. Soalnya asyik banget kalau ke desa itu. Penduduknya ramah, bahasanya halus, dan masih kelihatan gotong royongnya. Nggak kayak di jakarta yang loe loe gue gue. Aku kalau liburan menginap di rumah bibiku. Di sana aku berkenalan dengan sebuah keluarga yang terdiri dari seorang ibu dan lima anak.
Ke lima anaknya laki-laki semua dan ke lima-limanya menjadi tentara. Kalau rambutku sudah panjang, sering anak sulung ibu itu tanpa segan mencukur rambutku. Aku sering main ke sana karena dulu ku punya cita-cita jadi tentara.
Setiap ke sana aku selalu memandangi lambang divisi siliwangi. Sering ku elus-elus lambang itu, seakan ada getaran semangat mengalir di dadaku. Tapi sayang ku tak berhasil mencapai cita-cita itu. Tak apa. Mungkin ada rencana Allah yang lain untukku.
Dari berkenalan dengan tetangga bibiku, aku sering bertanya mengenai perihal tetangga itu. Gimana sih kok kulihat ke lima anaknya rukun sekali dan sayang pada ibunya itu. Lalu bibiku menceritakan perihal tetangganya.
Begini ceritanya …
Saat ke lima anak itu masih kecil, ayah mereka telah di panggil Allah SWT. Si ibu itu akhirnya menjadi janda dalam usia muda. Seperti halnya janda muda lainnya, banyak lelaki iseng yang mengajukan lamaran padanya. Ibu itu selalu menampik semua lamaran karena takut lelaki itu hanya cinta pada dirinya bukan pada anaknya. Ada pula yang meneror ibu itu tiap malam dengan mengetuk pintu. Ibu itu meminta bantuan bibiku dan pamanku untuk melindunginya dari teror lelaki hidung belang. Untuk biaya hidup keluarganya, ibu itu menjual kebun yang ia punya kepada bibiku. Dari menjual kebun itu, ia gunakan sebagai modal berdagang makanan kecil. Dari hasil usahanya berjualan ia pergunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
Ke lima anaknya pun sangat sayang pada ibunya. Mereka selalu membantu ibunya membuat makanan kecil dan jika pulang sekolah mereka ikut menemani ibunya berjualan. Si anak sulung sering berkata pada ibunya kala beristirahat di malam hari,
"Ibu…ibuku sayang…kalau ujang nanti sudah besar, ujang akan bekerja. Ibu di rumah saja yah… biar ujang yang urus ibu dan adik-adik. Ibu nggak perlu jualan lagi. Ujang juga akan jaga ibu dari lelaki hidung belang" Ibu itu tersenyum mendengar perkataan anaknya. Sambil membelai rambut anaknya dengan sayang, ibu itu berkata,
"Selama ibu masih kuat, ibu akan bekerja jang, buat biayai sekolah kalian. Kalau kamu sudah besar dan menjadi orang, ibu hanya berharap kamu bisa membantu adik-adikmu. Jangan pikirkan ibu. Ibu sudah senang kalau melihat kamu sudah bisa mandiri…". Si ujang mendengarkan perkataan ibunya sambil menangis terisak-isak.

"Tapi ujang akan bantu ibu kalau sudah bekerja !"


"Iya jang…iya !" jawab ibunya sambil tersenyum,

"Sudah sana tidur.Besok bisa terlambat sekolah kalau tak tidur sekarang."


Singkat cerita, ujang lulus sma. Lalu ia mengikuti ujian masuk sekolah tentara, SMU Taruna. Alhamdulillah ia lulus dan mengikuti pendidikan di sekolah itu. Suatu ketika ada latihan terjun payung. Sebagai peserta didik di sekolah itu, ujang pun mengikuti latihan itu. Dari pesawat yang terbang tinggi, satu persatu peserta melakukan terjun payung. Tiba giliran si ujang.

Loncat…


Ketika sedang melayang di udara, tiba-tiba di matanya ia seperti melihat ibunya sedang memasak di dapur yang atapnya masih rusak dan sering bocor kala hujan. Air mata menetes tanpa sadar dan ujang terlupa untuk menarik tali pembuka parasut. Baru tinggal beberapa meter dari tanah, ujang menarik tali itu. Ujang terjatuh ke tanah. Segera teman-temannya membawa ujang ke rumah sakit militer.
Alhamdulillah berkat lindungan Allah dan doa ibu, ujang hanya cedera ringan saja dan hanya di rawat beberapa hari saja di sana. Teman-temannya saat menemani ujang menjenguk ibunya menceritakan pada hal itu padanya.
"Aduh ibu…ujang tiap malam selalu mengigau. Kami sering mendengar ia sering berteriak dapur ibuku…dapur ibuku…" cerita salah seorang teman ujang pada ibu ujang.
" Aih…aih ujang…ujang. Ku naon mikirkeun kitu...", ibu ujang berkata sambil linangan air matanya membasahi pipinya,"bagja ujang dunia akhirat…semoga ujang jadi anak sholeh…"

Ujang akhirnya lulus sekolah tentara dan menjalankan dinasnya di divisi Siliwangi bandung. Dari gajinya, ia bisa melaksanakan cita- citanya membantu ibunya menyekolahkan adik-adiknya dan memperbaiki dapur ibunya. Ke empat adiknya pun mengikuti jejak kakaknya menjadi tentara.


Setiap lebaran, ke lima anaknya selalu menjenguk ibunya. Ujang sering membuat malu ibunya di depan tetangga yang berkunjung. Ketika datang, ia peluk ibunya erat-erat, ia ciumi, sambil terus berkata di telinga ibunya,
"Ujang sayang ibu…ujang sayang ibu…ujang sayang ibu…Janganlah ibu menangis, ujang ingin selalu melihat ibu tersenyum". Pelukannya tak ia lepas-lepas sampai si ujang merasa puas menyampaikan rasa sayang dan rindunya pada sang ibu. Ke empat adiknya pun lalu larut dalam suasana itu. Saling mengerubungi ibunya yang sudah mulai tua. Berisak-isaklah ibu bersama lima anaknya. Para tetangga hanya bisa melihat sambil berlinang air mata. Mungkin di hati mereka juga berharap, anakku suatu ketika bisa seperti mereka, yang selalu sayang pada ibunya. Selalu rukun sebagai saudara…

Ujang selalu sayang ibu.

Nürnberg, 23.12.2004

Rinduku pada ibu dan adikku di sana…



Kunaon mikirkeun kitu : kenapa memikirkan hal itu
Bagja ujang dunia akhirat : sejahtera ujang dunia akhirat







Yüklə 363,64 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   7   8   9   10   11   12   13   14   15




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin