Pagar Sepiring Nasi



Yüklə 363,64 Kb.
səhifə7/15
tarix27.10.2017
ölçüsü363,64 Kb.
#16154
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   ...   15

Kalimat Romantis


Oleh Sus Woyo
Setelah berbulan-bulan tak ada kabar yang jelas. Setelah sekian waktu jadwal kepulangan saya ke tanah air belum bisa dipastikan, maka suatu malam saya dipanggil sang majikan untuk berbicara empat mata. Saat pertemuan itu ada kalimat terindah yang pernah saya dengar dari mulutnya. Kalimat itu adalah, "Akhir bulan ini kamu pulang ke Indonesia."

Saya terdiam. Tapi saya tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang bergejolak di dada ini. Pulang! Sebuah kata yang sangat indah di telinga saya. Setelah dua tahun lebih saya meninggalkan orang-orang yang saya cintai: isteri, anak, keluarga yang lain, teman dan siapa saja orang-orang yang dekat dengan saya sebelum berangkat merantau ke negeri seberang.

Terlintas dalam pikiran saya, tentang masa lalu. Tentang sepenggal dari episode kehidupan saya pada masa duduk di sekolah menengah. Waktu di mana saya harus meninggalkan kampung halaman yang amat sangat saya cintai.

Selepas tamat sekolah dasar, orang tua saya mengirim saya untuk meneruskan pendidikan di kota. Karena kampung saya jauh dari kota, maka saya harus kost. Itu saya jalani dari SMP sampai tamat SMA. Dan saya selalu teringat saat yang paling indah, saat yang paling menyenangkan, yaitu saat datang hari Sabtu. Sebab di akhir pekan itu saya pulang kampung. Saking gembiranya kalau datang hari Sabtu, saya sering menyebutnya "Pulang ke pinggir sorga." Sebab akan bertemu dengan orang tua. Dan biasanya ibu saya sudah menyediakan makanan-makanan kesukaan saya. Yang tentunya sangat jarang saya temui di rumah kost.

Nah, saat mendengar kalimat dari majikan saya itu, hati saya sama persis seperti ketika mau pulang kampung di masa-masa menempuh pendidikan di kota saya, beberapa tahun yang lalu.

Sejak itu, hari-hari saya diliputi kegembiraan. Walaupun pekerjan yang saya tangani sebenarnya sangat banyak. Ocehan-ocehan dari majikan yang bersifat memarahipun tak begitu saya pedulikan. Artinya, apa yang ia omongkan hanya saya masukan telinga kanan dan saya keluarkan lewat telinga kiri. Bahkan terkadang, hati dan pikiran saya seolah sudah di kampung sendiri, padahal jasad saya masih bermandi keringat di negeri orang.

Suatu hari seorang teman menangkap perangai saya. Dan teman saya itu berkomentar. "Duh, gembiranya mau pulang kampung, ya...." Saya senyum-senyum saja mendengar itu. Memang itulah adanya.

Namun, di siang bolong yang terik mataharinya mencapai titik kulminasi, saat saya merebahkan badan untuk melepas lelah, tiba-tiba saya berpikir keras. Sambil melihat langit-langit kamar, saya bergumam sendiri. "Apakah kegembiraan ini bisa bertahan lama, atau setidaknya sampai ke Indonesia nanti?'

Saya tak bisa menjawab pertanyaan saya sendiri itu. Bahkan tiba-tiba pikiran saya melayang terlalu jauh ke depan. "Mampukah saya segembira ini jika nanti Allah juga memberikan kalimat itu kepada saya?"

Ya, setelah merantau, pasti saya akan pulang. Sama juga setelah saya diberi kesempatan hidup di dunia, pasti juga akan dipanggil pulang. Dan kepulangan yang terahir ini jelas tidak mungkin bisa ditawar-tawar lagi. Cepat atau lambat, Allah akan menyapa juga dengan kalimat yang tak beda jauh dengan kalimat majikan saya, walau dengan nuansa yang berbeda, tentunya.

Kalau pertemuan saya dengan semua keluarga nanti di tanah air mampu memberikan kegembiraan yang luar biasa pada saya, mampukah saya juga berperasaan yang sama tatkala saya nanti akan berjumpa dengan Sang Pencipta?

Saya tertunduk lama. Lama sekali. Bahkan tak terasa air mata ini memberontak ingin keluar. Seolah memerintahkan saya untuk cepat-cepat berintrospeksi diri, tentang apa yang telah saya perbuat di "rantau" ini.

Bekal saya belum seberapa. Entah dalam tingkatan yang mana derajat keimanan saya. Komitmen saya terhadap aturanNya belum bisa saya jadikan barometer untuk menjadikan saya tersenyum di hadapanNya. Apalagi merasa gembira.

Namun, walaupun demikian, mudah-mudahan kepulangan saya ke tanah air tercinta akan menjadi pelajaran besar untuk menyongsong kepulangan saya yang sebenarnya, yaitu pulang ke pangkuanNya. Sehingga ketika kalimat terindah dari Allah, yang dibawa malaikat penyabut nyawa,datang menyapa saya, mudah-mudahan saya bisa menyambutnya dengan senyum kegembiraan. Seperti senyumnya para kekasih Allah ketika dipanggil pulang menuju kampung abadi, kampung akhirat.



Duhai Istriku, Aku bangga kepadamu…

“Zakat penghasilan bulan ini sudah dikeluarkan, bang. Pasti belum dikeluarkan sama Abang kan?” Sebuah pesan pendek masuk ke telepon selular saya pagi ini. Biasa, isteri yang senantiasa mengingatkan urusan zakat penghasilan. Sejak menikah, saya yang tak pernah menutup-nutupi jumlah penghasilan sempat dibuat jengkel gara-gara isteri kerap menanyakan adakah penghasilan lain selain yang didapat setiap akhir bulan. Awalnya saya menganggap dia tak percaya dan curiga saya tak memberitahu penghasilan saya yang lain, padahal penghasilan saya memang cuma segitu-gitunya.

Setelah ia jelaskan maksudnya, barulah diri ini tersenyum sekaligus malu. Ia teramat perhatian untuk mengeluarkan zakat yang duasetengah persen dari setiap penghasilan yang kami terima, baik itu penghasilan bulanan maupun penghasilan dari hasil lainnya. Beruntunglah saya karena ada yang rajin mengingatkan.

“Diberikan ke siapa zakat kita dik,” tanya saya sekembalinya dari mengantar anak saya ke sekolah. “Baru separuhnya ke tukang sampah langganan, separuhnya lagi terserah Abang besok deh mau diberikan kemana,” jelasnya.

Cerita pun mengalir, tukang sampah langganan yang setiap 2 x sepekan mengangkut sampah di lingkungan tempat kami tinggal usai mengangkut sampah dari depan rumah. Isteri saya pun memanggilnya dan menawarkan dua buah sepeda bekas anak-anak saya yang mereka sudah enggan memakainya karena sudah ada yang baru. Tentu saja ia tak menampik tawaran isteri saya dan diangkutlah dua sepeda kecil itu. “Dijual harganya nggak seberapa, lebih baik diberikan kepada yang membutuhkan. Semoga lebih ada nilainya,” timbang isteri saya.

Belum beranjak tukang sampah itu dari rumah, isteri saya pun teringat bahwa kami belum mengeluarkan zakat penghasilan bulan ini. Maka ia pun memberikan sebagian dari yang seharusnya kami keluarkan kepada tukang sampah itu. Haru dan nyaris tak sanggup membendung bulir air yang siap tumpah dari pelupuk mata ketika isteri saya mendengar ungkapannya saat menerima uang buat sebagian orang itu tak seberapa nilainya, “Alhamdulillah, makan anak dan isteri dua jumat ke depan terjamin nih bu, terima kasih.”

Tak hanya isteri, saya yang tak mendengar langsung dari mulutnya pun merasakan getaran yang mengharukan. Betapa kecilnya uang yang kami berikan bisa membuat ia merasa ada jaminan makan selama dua jumat ke depan, lalu bagaimana dengan hari-hari sebelumnya ? Dan bagaimana dengan pekan-pekan yang akan dating ?

Jum’at yang berkah buat saya, semoga hari ini keberkahan juga tercurahkan atas ibu sekeluarga,” tak lupa ia meninggalkan doa untuk keluarga kami. Lega lah sudah, sebagian rezeki yang Allah titipkan sudah diberikan kepada yang berhak. Diam-diam isteri saya mengamini doa bapak tukang sampah, agar Sang Pemberi rezeki pun memberkahi setiap pemasukan dan pengeluaran kami. **

Sore harinya saya pergi ke Anjungan Tunai Mandiri (ATM) untuk mengambil sedikit dari tabungan kami guna keperluan belanja. Maha Suci Allah, puji syukur saya yang tiada bandingannya, ketika melihat saldo tabungan saya bertambah hampir enam kali dari yang pagi tadi dikeluarkan isteri saya. Rupanya Jum’at hari ini tidak hanya berkah bagi bapak tukang sampah itu, tapi juga bagi kami. “Mungkinkah Allah menjawab doa tukang sampah itu untuk kami? Hanya Allah yang tahu”.

Ketika saya menceritakan perihal ini kepada isteri, tak cukup kalimat syukur yang keluar dari mulutnya, tapi saya sudah bisa menebak apa yang ada di kepalanya. Saya yakin ia tengah menghitung lagi dua setengah persen yang harus dikeluarkan. Aih…



CINTA NABI

Setiap pohon yang tidak berbuah, seperti pohon pinus dan pohon cemara, tumbuh tinggi dan lurus, mengangkat kepalanya ke atas, dan semua cabangnya mengarah ke atas. Sedangkan semua pohonnya yang berbuah menundukkan kepala mereka, dan cabang-cabang mereka mengembang ke samping.

Rasulullah adalah orang yang paling rendah hati, meskipun dia memiliki segala kebajikan dan keutamaan orang-orang dahulu kala dan orang-orang sekarang, dia seperti sebuah pohon yang berbuah. Menurut sebuah riwayat, beliau bersabda, “Aku diperintahkan untuk menunjukkan perhatian kepada semua manusia, untuk bersikap baik hati kepada mereka. Tidak ada Nabi yang sedemikian diperlakukan dengan sewenang-wenang oleh manusia selain aku.”

Kita tahu bahwa beliau dilukai kepalanya, ditanggalkan giginya, lututnya berdarah karena lemparan batu, tubuhnya dilumuri kotoran, rumahnya dilempari kotoran ternak. Beliau di hina, dan di siksa dengan keji.

Saat beliau berdakwah di Thaif, tak ada yang didapatkannya kecuali hinaan dan pengusiran yang keji. Ketika Rasulullah menyadari usaha dakwahnya itu tidak berhasil, beliau memutuskan untuk meninggalkan Thaif. Tetapi penduduk Thaif tidak membiarkan beliau keluar dengan aman, mereka terus mengganggunya dengan melempari batu dan kata-kata penuh ejekan. Lemparan batu yang mengenai Nabi demikian hebat, sehingga tubuh beliau berlumuran darah.

Dalam perjalanan pulang, Rasulullah Saw. menjumpai suatu tempat yang dirasa aman dari gangguan orang-orang jahat tersebut. Di sana beliau berdoa begitu mengharukan dan menyayat hati. Demikian sedihnya doa yang dipanjatkan Nabi, sehingga Allah mengutus malaikat Jibril untuk menemuinya. Setibanya di hadapan Nabi, Jibril memberi salam seraya berkata, “Allah mengetahui apa yang telah terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.” Sambil berkata demikian, Jibril memperlihatkan para malaikat itu kepada Rasulullah Saw.


Kata malaikat itu, “Wahai Rasulullah, kami siap untuk menjalankan perintah tuan. Jika tuan mau, kami sanggup menjadikan gunung di sekitar kota itu berbenturan, sehingga penduduk yang ada di kedua belah gunung ini akan mati tertindih. Atau apa saja hukuman yang engkau inginkan, kami siap melaksanakannya.”

Mendengar tawaran malaikat, Rasulullah Saw. Dengan penuh kasih sayang berkata, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, saya berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat nanti akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”

Ketika Makkah berhasil ditaklukkan, beliau berkata kepada orang-orang yang pernah menyiksanya, “Bagaimanakah menurut kalian, apakah yang akan kulakukan terhadapmu?” Mereka menangis dan berkata, “Engkau adalah saudara yang mulia, putra saudara yang mulia.” Nabi Saw. bersabda, “Pergilah kalian! Kalian adalah orang-orang yang dibebaskan. Semoga Allah mengampuni kalian.” (HR. Thabari, Baihaqi, Ibnu Hibban, dan Syafi’i).

Abu Sufyan bin Harits, sepupu beliau, lari dengan membawa semua anak-anaknya karena pernah menyakiti Rasul Saw., maka Ali bin Abi Thalib Ra. bertanya kepadanya, “Hai Abu Sufyan, hendak pergi kemanakah kamu?” Ia menjawab, “Aku akan keluar ke padang sahara. Biarlah aku dan anak-anakku mati karena lapar, haus, dan tidak berpakaian.”

Ali bertanya, “Mengapa kamu lakukan itu?” Ia menjawab, “Jika Muhammad menangkapku, niscaya dia akan mencincangku dengan pedang menjadi potongan-potongan kecil.” Ali berkata, “Kembalilah kamu kepadanya dan ucapkan salam kepadanya dengan mengakui kenabiannya dan katakanlah kepadanya sebagaimana yang pernah dikatakan oleh saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf, ….Demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan kamu atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).

Abu Sufyan pun kembali kepada Nabi Saw. dan berdiri di dekat kepalanya, lalu mengucapkan salam kepada beliau seraya berkata, Wahai Rasulullah, demi Allah, sesungguhnya Allah telah melebihkan engkau atas kami dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa). (QS. Yusuf [12]: 91).

Rasulullah Saw. pun menengadahkan pandangannya, sedang air matanya membasahi pipinya yang indah hingga membasahi jenggotnya. Rasulullah menjawab dengan menyitir firman-Nya, …Pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu. Mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu) dan Dia adalah Maha Penyayang di antara para penyayang. (QS. Yusuf [12]: 92).

Imam Bukhari meriwayatkan hadits dari Abdullah bin Mas’ud bahwa Rasulullah Saw. bersabda kepadanya, “Bacakan al-Quran kepadaku.” Ibnu Mas’ud berkata, “Bagaimana aku membacakannya kepada Engkau, sementara al-Quran itu sendiri diturunkan kepada Engkau?”

“Aku ingin mendengarnya dari orang lain,” jawab beliau. Lalu Ibnu Mas’ud membaca surat an-Nisa hingga firman-Nya, Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu). (QS. an-Nisâ [4]: 41). Begitu bacaan tiba pada ayat ini, beliau bersabda, “Cukup.”
Ibnu Mas’ud melihat ke arah beliau, dan terlihatlah olehnya bahwa beliau sedang menangis.

Dalam kisah ini kita memperoleh pelajaran berharga, bahwa Rasulullah Saw. sangat mencintai umat manusia. Beliau sangat mengharapkan agar orang-orang kafir itu beriman. Karena balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala. Rasulullah sendiri pernah melihat neraka. Dia melihat sungguh mengerikan neraka itu. Hingga ketika menyadari hal itu, mengalirlah airmatanya dengan deras.

Abu Dzar Ra. meriwayatkan dari Nabi Saw., bahwa beliau mendirikan shalat malam, sambil menangis dengan membaca satu ayat yang diulang-ulangi, yaitu, Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau juga. (QS. al-Maidah [5]: 118).

Dan diriwayatkan saat hari kiamat tiba, beliaulah orang yang pertama kali dibangkitkan. Yang diucapkannya pertama kali adalah, “Mana umatku? Mana umatku? Mana umatku?” Beliau ingin masuk surga bersama-sama umatnya. Beliau kucurkan syafaat kepada umatnya sebagai tanda kecintaan beliau terhadap mereka. Beliau juga sering berdoa, Allahumma salimna ummati. Ya Allah selamatkan umatku.

Keadaan diri Nabi Muhammad Saw. digambarkan Allah Swt. dalam firman-Nya, Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. at-Taubah [9]: 129).

Alangkah buruknya akhlak kita bila tak mencintai Nabi, sebagaimana Nabi mencintai kita, berkorban untuk kita, dan meneteskan airmatanya untuk kita. Di sini, apakah kita hanya berdiam diri saat Nabi dihina, seolah kita bukan lagi umatnya. Apakah kita rela Nabi berdakwah seorang diri dan kemudian dilempari batu hingga berdarah-darah, sementara umatnya yang begitu banyak hanya bisa berdiam diri? Tangisan sang Nabi hendaknya menjadi pengingat kita, untuk lebih mencintainya, membelanya, bahkan berkorban nyawa untuknya, sebagaimana ia telah berkorban nyawa untuk kita agar kita selamat dari siksa neraka.



Curhat

Suatu saat, ketika saya bersilaturahmi dengan guru ngaji saya, nun jauh di kampung, beliau berpesan. Dan pesan beliau adalah, "Jika kamu sedang punya masalah, janganlah kau diamkan sendiri. Curahkanlah perasaan hatimu dengan orang yang paling dekat denganmu. Mungkin orang tuamu, kawanmu, saudaramu atau siapa saja. Jika semua itu meragukanmu atau kau kurang berani mengatakan sejujurnya, dengan guru ngajimu pun tidak apa-apa. Sebab dengan 'curhat', tidak jarang akan menemukan jalan keluar. Dan tentu saja itu akan melegakan kamu."

Pesan guru ngaji saya itu sering saya praktekan. Karena terus terang saja, sebagai manusia biasa, saya ini sering sekali mengalami kesukaran-kesukaran dalam menghadapi sesuatu hal atau masalah.

Maka beberapa waktu lalu, ketika himpitan masalah bertubi-tubi datang kepada saya, pada saat saya sedang merenda hari-hari di negeri orang, saya pun tak ragu-ragu untuk mencurahkan perasaan saya kepada sahabat-sahabat saya. Saya mencoba menuliskan permasalahan saya, dan saya kirimkan ke sebuah redaksi situs Islam. Dan beberapa hari kemudian redaksi situs tersebut memuatnya. Sejak itu, banyak nasehat, petuah, doa, saran, berdatangan di mailbox saya.

Ada yang mendoakan semoga saya tabah. Dan apa yang sedang menimpa saya menjadi jalan untuk mengugurkan dosa-dosa saya. Ada juga yang mendoakan, walaupun banyak masalah tapi istiqamah-lah dalam menjalankan syariat-Nya. Ada juga yang mengingatkan agar saya banyak-banyak mengingat Allah. Ada juga yang memberi saran, agar saya pulang saja ke Indonesia, walau bagaimanapun Indoneia masih menjajikan untuk para pencari rezeki.

Dan ada seorang yang sedang punya nasib sama dengan saya, yaitu seorang pekerja di Hongkong, memberi nasehat panjang lebar kepada saya dengan cara menuliskan perjalanan hidupnya. Perempuan muda asal Blitar, Jawa Timur itu menulis:


Saya memang sangat menikmati pekerjaan di Hongkong ini, Mas. Majikan saya sangat baik. Kalau pekerjaan saya sudah selesai, saya bisa melakanakan kegiatan apa saja. Bisa baca buku, browsing internet di rumah dan juga diberi keleluasaan beribadah, walaupun majikan saya sendiri tidak beragama.

Tapi, tahukah kamu dengan perjalanan hidup saya? Saya akan mencoba menceritakan padamu.


Saya asal Blitar, Jawa Timur. Bapak saya seorang buruh nelayan, yang tidak punya perahu sendiri. Ketika SD, guru-guru saya memuji bahwa saya adalah anak pandai di sekolah. Saya selalu menduduki ranking atas. Sehingga saya punya obsesi untuk melanjutkan sekolah setelah tamat SD. Tapi rupanya obsesi saya tidak seimbang dengan kemampuan orang tua saya. Saya baru merasa bahwa sekolah butuh biaya banyak.

Sambil bekerja di sebuah peternakan saya masuk SMP. Namun hanya bertahan setahun, karena kekurangan biaya. Memasuki kelas dua, saya keluar. Umur saya waktu itu empat belas tahun. Keluar dari sekolah, saya mencoba merantau ke Singapura. Sayang, di sana saya menemui majikan yang sangat tidak baik. Jangankan berhubungan dengan kawan, menerima surat dari Indonesia pun saya tidak boleh. Walaupun begitu, saya kuatkan sampai habis kontrak, yaitu selama dua tahun.

Setelah merantau ke Singapura, sebenarnya saya tidak ingin merantau ke luar negeri lagi. Kapok rasanya kerja di luar negeri. Tapi apa hendak dikata, saya tidak tahan melihat keadaan orang tua. Ahirnya saya memutuskan untuk merantau lagi. Kal ini saya mencoba merantau ke Hongkong.

Alhamdulillah proses ke sana agak mudah. Dan saya menemui majikan yang lain dengan yang di Singapura. Tahun pertama saya bisa membantu menyekolahkan adik saya sambil mondok di Jember. Dan saya juga bisa membelikan perahu sendiri untuk ayah. Alhamdulillah agak ada sedikit peningkatan dalam kehidupan keluarga saya.

Namun kesenangan saya tidak berumur lama. Tiba-tiba sebuah kejadian menimpa saya lagi. Awalnya saya menolong seorang teman yang sama-sama kerja di Hongkong. Dia butuh uang banyak. Karena saya tidak mempunyai uang sebanyak yang ia minta, ahirnya saya relakan dokumen paspor saya untuk meminjam uang di bank. Namun baru dua kali angsuran, dia dipulangkan dari Hongkong. Terpaksa sayalah yang harus mengangsur utang kawan saya tersebut. Padahal waktu itu saya sedang membantu orang tua saya dalam usaha pertanian. Akhirnya usaha tersebut menjadi kocar-kacir.

Cobaan dari Allah tidak hanya sampai di situ. Tiba-tiba di saat kekalutan belum pulih, orang tua saya mengabarkan bahwa, Blitar dilanda banjir besar. Rumah orang tua saya ikut terkena musibah itu. Sekarang hanya tinggal rumah kosong dan seonggok sampah yang dibawa banjir. Kesedihan saya terus bertambah. Namun saya akan meneruskan bekerja di Hongkong. Bagaimanapun juga saya harus melanjutkan usaha ini. Mas, sekarang saya sudah memasuki kontrak yang ke empat.

Saya diam sejenak membaca kisah sahabat saya ini. Saya mencoba mengulas perjalanan hidup saya sendiri. Dan mencoba membandingkannya dengan dia. Akhirnya tak terasa terlontar rintihan dari dalam diri saya. Ternyata saya tidak sendiri dalam menghadapi kesulitan hidup ini.

Kisah sahabat saya mengajari agar saya lebih banyak untuk menunduk. Menunduk dalam arti banyak-banyak memandang ke bawah. Ternyata pada saat kami mengalami masalah berat, ada kawan atau sahabat kita yang sedang mengalami yang lebih berat dari kami. Jadi, sebagai hamba Allah, memang tidak ada alasan apapun bagi kita untuk tidak bersyukur pada-Nya. Sebab nikmat Allah tidak harus seonggok rupiah, masih diberi kesempatan untuk hidup pun adalah nikmat terbesar yang Dia berikan pada kami.

Mungkin saya tidak akan menemui 'mutiara kehidupan' ini, seandainya saya tidak mencurahkan isi hati saya kepada orang lain. Mungkin saya akan selalu dalam kedaan beku pikiran dan larut dalam gelombang kesedihan. Dan benarlah kata guru ngaji saya, bahwa 'curhat' bisa menjembatani kami untuk mendobrak berbagai macam permasalahan.

DAHSYATNYA energi IBADAH
oleh Sus Woyo


"Om min dotter skulle ha dott, skulle jag nog inte be som han gjorde, tankte jag" (Saya fikir, jika anak saya harus meninggal, mungkin saya tidak akan beribadah sebagaimana ibadah yang dia lakukan)

eramuslim - Rabu malam tanggal 18 Nopember lalu, masyarakat Swedia dikejutkan dengan berita kematian atlit kebanggaan mereka, Mikael Ljungberg. Mikael Ljungberg, pegulat berusia 34 tahun, peraih mendali emas di Olimpiade dunia di Sydney tahun 2000 yang lalu telah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri di rumah sakit Molndal (di luar kota Gothenburg) tempat dia menjalani terapi depresi.

Tidak begitu jelas hal apa yang mendorongnya melakukan bunuh diri. Berbagai peristiwa sedih memang mendera sang jagoan olimpiade ini termasuk kematian ibunya dan perceraian dengan istrinya. Sungguh disayangkan, Mikael Ljungberg, pria yang pernah dijuluki manusia terkuat di dunia (karena telah berkali-kali meraih berbagai mendali pada olah raga gulat pada berbagai kejuaraan tingkat dunia), pria yang pernah menaklukkan seluruh pegulat-pegulat terbaik di dunia, ternyata tidak mampu menaklukkan dirinya sendiri.

Begitulah episode akhir dari jagon olimpiade yang telah kehilangan energi kehidupan. Sebagaimana yang ditulis Anawati beberapa waktu yang lalu di eramuslim tentang Energi Ambang, semua yang hidup, segala sesuatu yang bergerak, memerlukan energi. Bila energi terus menipis dan kemudian habis, benda yang tadinya bergerak, perlahan berhenti hingga akhirnya stop sama sekali. Energi yang paling hakiki bagi seorang manusia adalah motivasi hidupnya. Bila motivasi hilang, maka hilanglah pegangan hidup, lenyaplah energi dan berhentilah kehidupan itu sendiri.

Motivasi hidup seorang manusia adalah untuk beribadah kepada Allah. Ibadah inilah yang menjadi sumber energi bagi kehidupan, demikian hal yang pernah diungkap di salah satu edisi Majalah Tarbawi. Karena itulah kehidupan yang ditopang semata-mata oleh teori humanisme belaka, seperti laiknya masyarakat barat, hanya melahirkan sosok-sosok yang rentan dan labil, yang tidak mampu menahan badai kehidupan. Jadi jangan heran, orang-orang barat yang tubuhnya segar bugar, prianya tampan-tampan dan wanitanya cantik-cantik, ternyata kebanyakan mereka tidak ubahnya sosok-sosok lemah tanpa daya yang begitu mudah mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Misalnya di Swedia, manurut harian pagi terkemuka Goteborgs Posten, diantara jumlah penduduk Swedia yang hanya 9 juta orang itu, setiap enam jam ada satu orang yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Bahkan bunuh diri adalah penyebab kematian terbesar bagi golongan usia 15-44 tahun, usia muda dimana seseorang seharusnya mempunyai energi yang prima untuk berkarya.

Ibadah kepada Allah, adalah sumber energi kehidupan yang utama dan pertama. Energi sangat diperlukan, terlebih-lebih pada saat-saat krisis. Bahwa kehidupan di dunia tidaklah selalu diwarnai dengan bunga, pujian dan sanjungan. Bahwa onak dan duri kerap ditemukan dalam jalan kehidupan yang panjang ini. Bahwa badai, ombak dan gelombang bisa saja datang secara tiba-tiba, yang bila kita tidak mempunyai persediaan energi yang prima untuk berenang ke tepian, bisa saja gelombang tadi menyeret dan menenggelamkan kita ke dasar lautan, ke lembah neraka jahanam karena kita mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

"Sesunggunya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan sholat, yang mereka itu tetap mengerjakan sholatnya" (Qur'an, surah Al-Ma'aarij:19-23).

Di sinilah sholat, sebagai salah satu bentuk ibadah kepada Allah, mampu membentuk pribadi-pribadi tangguh, yang selalu mempunyai energi kehidupan sehingga tidak berkeluh kesah apalagi menyerah terhadap berbagai kesusahan dan kesedihan. Apalagi Allah telah menjanjikan bahwa sholat yang benar akan mampu mencegah manusia dari perbuatan keji dan mungkan termasuk bunuh diri.

Saya jadi teringat kisah Fredrik Dahlberg, pemuda asli Swedia kelahiran tahun 1974, yang kemudian menjadi muslim di tahun 1996. Istrinya, gadis asal Perancis, juga menjadi muslim pada tahun yang sama. Allahu Akbar. Sebelum mereka menjadi muslim, mereka pernah berkunjung ke Yaman. Suatu ketika mereka tidak menemukan hotel untuk bermalam hingga akhirnya datang seorang Yaman menawari mereka bermalam di tempat tinggalnya. Selain Fredrik dan istrinya, ada juga tiga orang Yaman lainnya, yang ketika itu tidak mempunyai tempat bermalam, juga ditawari bermalam di tempat tinggal orang tadi.

Lelaki Yaman tadi begitu ramah dan positif, tidak tampak raut kesedihan sama sekali, padahal anak gadis tercintanya yang berumur 1 tahun baru saja meninggal dunia sebulan yang lalu. Namun lelaki Yaman ini tetap memuliakan para tamunya (termasuk Fredrik dan istrinya) sebagaimana yang diperintahkan dalam Islam. Setelah semuanya selesai, malam itu laki-laki Yaman tadi bersama tiga orang Yaman lainya menunaikan sholat berjamaah. Menyaksikan laki-laki Yaman tadi begitu khusyuk dalam sholatnya (padahal anaknya baru saja meninggal dunia), Fredrik menulis dalam buku memoarnya, "Om min dotter skulle ha dott, skulle jag nog inte be som han gjorde, tankte jag" artinya "Saya fikir, jika anak saya harus meninggal, mungkin saya tidak akan beribadah sebagaimana ibadah yang dia (laki-laki Yaman itu) lakukan".

Lebih lanjut Fredrik menulis mengomentari pria Yaman tadi "Att vara positif, och be till Gud..." "Selalu bersikap positif dan beribadah pada Allah..." Sikap pria tadi yang begitu tegar dalam menghadapi musibah dan senantiasa berprasangka positif kepada Allah, memberikan kesan yang begitu kuat dan mendalam bagi Fredrik dan istrinya. Peristiwa ini adalah satu dari beberapa peristiwa lainnya, yang membuat Fredrik dan istrinya sangat kagum terhadap muslim hingga akhirnya mereka tertarik mempelajari Islam dan kemudian menjadi muslim.

Pria Yaman tadi adalah orang yang sangat sederhana, bukan orang ternama seperti Mikael Ljungberg. Pria Yaman ini juga bukanlah orang seperkasa Mikael Ljungberg yang mampu mengalahkan pegulat-pegulat kelas dunia. Namun Pria Yaman ini memiliki energi kehidupan yang tidak pernah habis, sebuah energi yang tidak dimiliki oleh Mikael Ljungberg. Mungkin inilah rahasia mengapa ibadah kepada Allah harus terus dilakukan dimana dan kapan saja serta dalam keadaan bagaimana pun juga, karena melalui ibadahlah kita mendapatkan energi kehidupan. Bila ibadah terhenti, energi menjadi lenyap, tubuh menjadi kaku maka di sinilah terminal kehidupan dunia kita berakhir ( menuju kehidupan akhirat yang kekal abadi ).



Entrepeneur Langit

Apakah Anda Sungguh Ingin Menjadi Pengusaha dan Kaya Raya? Ada jerih payah untuk mendapatkan kekayaan, ribuan kehati-hatian untuk mempertahankannya, dan ribuan kesedihan jika kehilangan - Thomas Draxe

Sebuah sub judul pada halaman awal sebuah buku pegangan bagi calon pengusaha sukses di tanganku. "Mmm ... pengusaha dan kaya raya, sebuah dua sisi mata uang, selalu berhubungan," pikirku. Sejak kecil impian untuk menjadi seorang pengusaha selalu terngiang. Aku masih teringat sewaktu di sekolah dasar di era 80-an, seringkali aku membawa sebuah kartu nama ayahku yang tertulis sebagai President Director di salah satu perusahaan. Sering kubawa kartu nama itu, sesekali kupamerkan kepada rekan-rekanku di sekolah. Dulu, aku begitu bangga dengan kartu nama tersebut.

Atau kadangkala aku buat sendiri sebuah kartu nama dari guntingan kertas karton yang kuberi logo dan warna sesuka hatiku, dan tak lupa menuliskan jabatan president director di bawah namaku dengan spidolku. Ehm ... senang hatiku melihatnya, dan sering pula kutunjukan pada kedua orang tuaku, atau siapa pun yang ingin aku pamerkan. Kartu itu kerap menghiasi dompet mungilku, dan aku berharap mudah-mudahan dewasa kelak bisa menjadi pengusaha sungguhan. Mimpiku.

Itu masa kecilku ... Ya, pengusaha. Yang dibayangkan oleh kebanyakan orang, menjadi pengusaha tentulah selalu dikelilingi oleh berbagai kekayaan dan kesenangan. Mudah untuk meraup uang, kepuasan materil tercukupi, dikelilingi kemewahan dan kenyamanan. Menjadi pengusaha yang kaya menjadi impian banyak orang. Kekayaan selalu menjadi tujuan utamanya. Ya, sekali lagi, kaya telah menjadi sesembahan baru di zaman ini.

Sungguh mengagetkan pendapat Robert T. Kiyosaki dalam menanggapi definisi "bagaimana mencapai level kaya". Dia mengatakan bahwa alasan kenapa banyak orang tidak bisa kaya adalah karena mereka tidak cukup atau kurang memberi kepada sesamanya. Atau dengan kalimat yang lebih sederhana adalah seseorang yang mempunyai manfaat atau nilai tambah bagi orang banyak, maka orang tersebut akan menjadi kaya raya. Aku pikir itu adalah prinsip yang sungguh Islami.

Aku teringat sebuah dialog dengan rekan seorang pengusaha yang sungguh menarik sekaligus memperkuat penjelasan di atas. Pada saat kutanya bagaimana caranya membangun bisnisnya, beliau mengatakan, "Yang terpenting dalam targetku adalah aku berbuat bisnis seperti ini bukan karena ingin memupuk kekayaan, sungguh sekali-kali tidak! Yang kuingin adalah aku punya sekumpulan pegawai laiknya kumpulan umat di bawah wilayah perusahaanku. Aku berharap dengan di bawah kepemimpinanku, tidak ada teriakan kata lapar lagi dari para pegawai maupun anak-anak mereka. Aku ingin menjadikan kantorku sebagai tempat perlindungan sekumpulan umat kecilku itu, aku sayang mereka, dan semakin sayang kepada mereka, dan juga kepada anak-anak mereka. Tidak pernah terpikir olehku berapa besar biaya yang akan dikeluarkan untuk merealisasikan hal ini. Aku bina perusahaan tersebut dengan landasan cinta dan kasih sayang laiknya seorang ayah. Aku berusaha keras sekuat tenagaku untuk menahkodai kapal bisnis ini untuk sampai di pantai kebahagiaan kelak secara bersama-sama. Dan selalu kulibatkan kehadiran Allah dalam setiap langkah kami. Kuingin suasana perjuangan selalu hadir, agar hati kami selalu hidup dan umatku merasa bahagia, dan aku berkeyakinan hal itu akan menjadi persembahan kami dalam meraih keberkahan dan akan menjadi bekal di akhirat kelak ...! Kami yakin pasti Allah akan selalu menolong kami."

Tak terasa mataku berkaca kaca dan keharuanku mengalir bersama dengan uraiannya.
Lain lagi Bob Galvin, bercerita tentang ayahnya, pendiri Motorola. Sewaktu dia mengamati deretan pekerja wanita dan dia termenung, "Mereka semua mirip dengan ibuku, mereka semua punya anak yang harus dicukupkan, rumah yang harus dirawat, dan orang-orang yang masih memerlukan mereka yang berada dibawah tanggungan mereka." Hal itulah, ujar Galvin, yang membuat ayahnya selalu termotivasi untuk bekerja lebih keras lagi agar tercipta kehidupan yang lebih baik bagi mereka karena ayahnya melihat sosok ibunya dalam diri semua pekerja itu. "Begitulah bisnis kami semuanya dimulai dengan rasa hormat yang mendalam," katanya.

Bahkan salah satu sosok kaum beriman, Umar bin Abdul Azis, karena rasa belas kasih dan rasa cintanya, dia selalu memberikan upah kepada pegawainya lebih besar dari apa yang ia terima. "Allahu akbar," gumamku, dan aku yakin bila hal ini kusampaikan kepada para pegawaiku, mereka semua akan tersenyum lebar dan berharap hal itu menjadi kenyataan setelah membaca ini.

Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat nabi juga telah mempraktekkan tentang bagaimana menggunakan kekayaanya. Dia seorang pengusaha yang sukses. Tetapi dia memandang kekayaannya hanyalah sebagai fasilitas untuk beramal saleh. Dia mencontohkan dalam kisahnya yang telah mensedekahkan separuh harta miliknya sebanyak 40.000 dinar pada Rasulullah saw, kemudian dia mensedekahkan lagi hartanya sebanyak 40.000 dinar, dan kembali bersedekah sebanyak 40.000 dinar. Semuanya itu berlangsung dalam jangka waktu yang berdekatan. Lalu dia menanggung 500 kuda untuk kepentingan fi sabillillah, dan setelah itu kembali menanggung 1.500 unta untuk kepentingan fi sabilillah. Sebagian besar harta milik Abdurrahman tersebut adalah yang dia peroleh murni dari hasil berbisnis.

Mereka melakukan semua itu, tidak lain karena mereka tidak menjadikan kekayaan sebagai hasil akhir yang ingin dicapai, melainkan mereka menggunakan kekayaan yang dimilikinya untuk meraih janji Tuhannya dengan mendapatkan ganjaran yang luar biasa yaitu surga-Nya.

Sesungguhnya Allah membeli dari orang orang mukmin, baik diri maupun harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka, maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan demikian itulah kemenangan yang agung." (At Taubah:111)

Said Nursi, ulama dari Turki, mengomentari ayat tersebut dan berkata, "Seandainya saya memiliki seribu nyawa, dengan senang hati saya akan mengorbankan semuanya demi kejayaan Islam. Bagaimana tidak? Karena sesungguhnya saya kini sedang menunggu di alam Barzakh (alam antara kematian dan kebangkitan), kereta yang akan membawa saya ke akhirat. Saya sudah ikhlas dan siap melakukan perjalanan ke dunia lain untuk bergabung bersama di tiang gantungan. Saya ingin sekali dan sudah tidak sabar untuk melihat akhirat. Cobalah Anda bayangkan keadaan pikiran seorang anak kampung dari sebuah dusun yang seumur hidupnya belum pernah melihat sebuah kota besar dengan berbagai kesenangan, kemewahan dan kemegahan. Maka anda akan tahu bagaimana ketidaksabaran saya untuk mencapai hari akhir itu."

Akhirnya, sudah siapkah kita menjadi enterpreuner langit seperti itu ?

Berawal Dari Mimpi
Kenyataan hari ini adalah impian hari kemarin
(Imam Asy Syahid Hasan Al Banna)

Sahabatku…


Jika engkau mau membaca sejarah biografi tokoh-tokoh ternama. Maka engkau akan temukan bahwa apa yang telah mereka ciptakan berawal dari mimpi.

Ketika aku mencari nama orang yang bisa mengenali dan menghidupkan impiannya, saya berpikir tentang visioner dan pioner mobil Henry Ford. Dia menyatakan, “Semua rahasia hidup yang berhasil adalah menemukan apa yang ditentukan nasib pada kita, dan kemudian melakukannya.”

Orang-orang lainnya berani bermimpi dan mereka sukses. Beethoven menyadarkan dunia akan kemampuan hebatnya dalam musik ketika dia membuat sejumlah simfoni, dan ini terjadi setelah dia kehilangan pendengarannya. Charles Dickens dulunya bermimpi untuk menjadi seorang penulis dan akhirnya dia menjadi novelis yang bukunya paling banyak dibaca orang di Inggris pada zaman Victoria - meskipun dia dilahirkan di keluarga miskin.

Thomas Edison melamunkan sebuah lampu yang bisa dihidupkan dengan listrik, memulai dari tempat ia berdiri untuk mengubah impiannya menjadi tindakan. Dan walaupun dia menemui lebih dari sepuluh ribu kegagalan, dia tetap memegang teguh impiannya sampai dia menjadikannya sebuah kenyataan fisik. Pemimpi praktis pantang menyerah!

Wright bersaudara memimpikan sebuah mesin yang bisa terbang di udara. Sekarang setiap orang bisa melihat bukti di seluruh dunia bahwa impian mereka menjadi kenyataan.

Marconi memimpikan satu sistem untuk mengendalikan kekuatan ether yang tidak kelihatan. Bukti bahwa impiannya tidak sia-sia bisa ditemukan pada setiap pesawat radio dan televisi di seluruh dunia. Mungkin Anda tertarik untuk mengetahui bahwa “teman-teman” Marconi menyuruh agar dia di kurung dan di periksa di sebuah rumah sakit jiwa ketika ia mengumumkan bahwa dia telah menemukan prinsip yang bisa digunakan untuk mengirim berita melalui udara tanpa bantuan kabel atau sarana fisik komunikasi langsung lainnya.

Menurut Jhon C. Maxwell sebuah impian bisa melakukan banyak hal kepada kita:
Pertama, impian menunjukkan arah kepada kita. Ia bisa berperan sebagai kompas, memberitahu kita arah mana yang harus ditempuh. Hingga kita mengenali arah yang benar itu, kita tidak akan pernah mengetahui apakah langkah kita benar-benar merupakan kemajuan. Langkah kita mungkin membawa kita ke belakang dan bukan ke depan. Jika engkau bergerak ke sembarang arah selain menuju impianmu, engkau akan kehilangan kesempatan-kesempatan yang diperlukan untuk mencapai kesuksesan.

Kedua, impian meningkatkan kekuatan kita. Tanpa impian, kita mungkin harus berjuang keras untuk melihat kekuatan yang ada dalam diri kita karena kita tidak bisa melihat situasi di luar keadaan kita saat ini. Akan tetapi dengan impian, kita mulai memandang diri kita dalam cahaya baru, karena mempunyai kekuatan yang lebih besar dan mampu merentangkan dan berkembang untuk mencapainya. Setiap kesempatan yang kita temui, setiap sumber yang kita dapatkan, setiap talenta yang kita kembangkan, menjadi bagian kekuatan kita untuk tumbuh ke arah impian itu. Semakin besar impian, semakin besar pula kekuatannya.

Ketiga, impian membantu kita menentukan prioritas. Impian memberi kita harapan untuk masa depan, dan ia juga memberi kita kekuasaan di saat ini. Impian membuat kita memprioritaskan segala sesuatu yang kita lakukan. Seseorang yang memiliki impian mengetahui apa yang akan atau harus dikorbankannya agar bisa maju. Dia mampu mengukur segala sesuatu yang dikerjakannya apakah membantu atau menghambat impian itu, memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang membawanya lebih dekat pada impian itu dan memberi sedikit perhatian pada hal-hal sebaliknya.

Keempat, impian menambah nilai pada pekerjaan kita. impian menempatkan segala yang kita lakukan ke dalam perspektif. Bahkan tugas-tugas yang tidak menyenangkan menambah nilai saat kita mengetahui hal itu memberi kontribusi pada pemenuhan impian. Setiap aktivitas menjadi bagian penting di dalam gambar yang lebih besar itu.

Kelima, impian meramal masa depan kita. ketika kita mempunyai impian, kita bukan hanya penonton yang duduk di belakang dan mengharapkan segala sesuatu berubah membaik. Kita harus aktif ikut serta dalam membentuk tujuan dan arti hidup kita. Angin perubahan tidak begitu saja meniup ke sini dan ke sana. Impian kita, ketika dilanjutkan, mungkin sekali merupakan peramal masa depan kita.

Sahabatku…


Ada perbedaan antara mengangankan suatu benda dan siap menerimanya. Tidak ada seorang pun siap untuk sesuatu sampai dia yakin akan memperolehnya. Keadaan pikiran harus penuh keyakinan bukan hanya berharap atau mengangankan. Keadaan pikiran yang terbuka sangat penting untuk keyakinan. Pikiran yang tertutup tidak mengilhamkan keyakinan keberanian, atau kepercayaan.



Yüklə 363,64 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7   8   9   10   ...   15




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin