Tetaplah Engkau Seperti Yang Dulu, Pak !
Oleh Azimah Rahayu
Laki-laki itu. Tak satu pun pedagang dan peminta sumbangan yang melewatkan mejanya. Karena jika mereka menghampirinya, pasti akan ada sesuatu yang mereka terima. Tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong. Seorang gadis kecil berjilbab, kulihat sering berkunjung dan keluar dari ruangannya menggenggam amplop.
Laki-laki itu. Adalah biasa baginya makan rujak dari bungkus yang sama dengan anak buahnya. Tak pernah menjadi masalah baginya bertanya,”Ada yang bawa kue/oleh-oleh, ya?“ dan kemudian mencomotnya. Sebagaimana tak masalah pula ketika para staf meminta dibelikan rujak atau makanan. Lembaran rupiah pun dengan ringan melayang.
Laki-laki itu. Ruang kerjanya terbuka untuk siapa saja. Tak ada istilah ruangannya adalah tempat istimewa yang tak boleh dijamah siapa pun. Tak ada kesan kebirokratisan sehingga anak buah dan rekan kerja menjadi sungkan. Hingga semua fasilitas di sana dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin oleh anak buah: komputer, telepon, internet, bahkan bangku tamu pun dapat dijadikan tempat rapat, atau sekedar istirahat.
Laki-laki itu. Berbincang dan bercanda adalah salah satu kebiasaannya. Bahkan saling ledek dengan staf pun sesuatu yang biasa. Baginya tak ada bos dan bawahan. Karena semua adalah tim kerja, jabatan hanyalah sarana untuk mencapai tujuan lembaga. Maka dirinya menjadi dekat dengan siapa saja -dari pejabat hingga office boy- tanpa harus kehilangan wibawa.
Laki-laki itu. Adalah kebetulan aku sedikit mengenal keluarganya. Dan karenanya aku tahu bagaimana rumahnya menjadi tempat berlabuh bagi banyak orang. Dan karenanya aku tahu, bahwa ia adalah seorang yang ringan tangan, ringan hati dan dermawan terhadap sesama. Pertama kali aku mengunjungi tempat tinggalnya, aku sempat terpana: rumah itu terlalu sederhana untuk seorang ia. Namun toh, rumah itu telah pernah menjadi tempat singgah begitu banyak jiwa.
Laki-laki itu. Berbincang dari hati ke hati dengannya bukan sekali dua kali saja kulakukan. Sejak pertama kali aku mengenalnya sekitar 6 tahun yang lalu, saat ia menjadi pejabat level paling bawah di kantorku, ia sudah menjadi seseorang yang cukup dekat denganku, termasuk dengan staf-staf lain tentunya. Kedekatan dan keakraban itu bahkan hingga taraf konsultasi kehidupan pribadi. Bahkan pernah ada saat-saat ia membuatku menangis dengan menanyakan hal-hal yang terkait dengan kehidupan pribadi. Dan sejak itu, ia terus menjadi salah satu bagian hidupku di dunia kantor.
Laki-laki itu. Postur tubuhnya ideal. Gerak geriknya gesit. Usianya belum lagi 40 tahun meski rambutnya nyaris telah memutih semua, (mungkin) karena banyak berpikir keras. Dalam 6 tahun itu, karirnya terus menanjak, sedang banyak orang lainnya masih tetap sama seperti sebelumnya, termasuk diriku. Dalam enam tahun itu, ia terus berkembang, dipercaya oleh banyak pihak dan kemudian menjadi seseorang yang terpercaya.
“Nduk! Piye kabarmu sak wise kawin?” Laki-laki itu dengan to the point menyampaikan pertanyaan itu begitu aku duduk di depan mejanya. Beberapa saat sebelumnya, ia melambaikan tangan memanggilku ketika aku lewat, meski aku bukan lagi anak buahnya. Panjang lebar, aku becerita tentang kondisi terakhirku setelah sebulan menikah. Dan dari lisannya kemudian mengalir nasehat-nasehat panjang tentang pernak-pernik pernikahan yang kudengar baik-baik meski sekali-kali kami timpali dengan canda. Itulah saat terakhir aku berbincang cukup banyak dengannya.
Kemarin, ia dilantik menjadi kepala di biro tempatku bekerja, hanya setingkat lebih rendah dari orang nomor satu di instansi kami. Syukur dan selamat tak lupa terlantun dari bibir ini. Namun dalam benak, terlintas tanya: Masihkah nanti ia akan melambaikan tangan menyuruhku masuk ke ruangannya dan berbincang panjang lebar tentang pekerjaan hingga permasalahan pribadi? Masihkah ia akan dengan santai makan kue bersama kami? Masihkah ia bercanda ceplas-ceplos bersama para anak buahnya?
Dan tulisan ini menjadi perantara pesan itu: tetaplah Engkau seperti yang dulu, Pak! Aku masih ingin melihatmu menerima gadis kecil itu. Aku masih ingin makan rujak bersamamu dari bungkus yang sama. Aku masih ingin engkau memanggilku dan bertanya: “Piye kabarmu, Nduk?” Aku masih ingin mendengar cerita tentang jagoan kecilmu yang makin pintar. Aku masih ingin....Engkau seperti yang dulu! Kami membutuhkan pemimpinmu, pak.
Sebuah parade ukhuwwah
Sebuah kisah nyata seperti yang di utarakan oleh Drs. Umar Ali Yahya dan Syarifuddin. Ukhuwah intinya 'MEMBERI'. Memberi tanpa mengharapkan kata terima kasih dan tidak mengharap balasan, artinya mengharap balasan hanya dari Allah SWT.
Ukhuwah dan keimanan seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, maka dari itu jika salah satu tidak ada maka yang lainnya pun sirna. Tingkat ukhuwah terendah ialah bersih hati dan berbaik sangka pada saudaranya sedangkan tingkat ukhuwah tertinggi ialah mendahulukan saudaranya daripada dirinya [Drs. Umar Ali Yahya].
Alkisah, disebuah Madrasah Tsanawiyah di daerah Bangka Jakarta Selatan, berkumpul sekelompok anak-anak sekolah yang sedang istirahat mengerumuni abang penjual rujak, rupanya siang itu anak-anak sedang membeli rujak. Diantara sekumpulan anak-anak tersebut terdapatlah seorang anak bernama Ubaidurrahman (Ubay) yang saat itu ingin sekali membeli rujak namun uangnya ketinggalan di kelas. Keinginan Ubay itu ditangkap oleh temannya Hamad tanpa terlewat sedikitpun. Saat itu Hamad pun sebetulnya ingin membeli rujak juga, namun uangnya tinggal seribu rupiah saja, dan itupun untuk ongkos pulang.
'Pake uangku saja dulu Ubay,' seru Hamad pada Ubay yang terlihat sangat ingin sekali membeli rujak. 'Terima kasih, nanti aku ganti uangnya di kelas ya,' jawab Ubay riang.
Begitulah, Hamad meminjamkan uangnya yang hanya tinggal seribu itu pada Ubay untuk membeli rujak dengan harapan nanti akan dibayar di kelas. Ketika sampai di kelas ternyata Ubay tidak membayar hutangnya karena ternyata uangnya sudah terpakai untuk yang lain.
'Masya Allah, Hamad aku lupa, uangnya tadi sudah dipakai, besok saja ya...' Hamad menatap Ubay sejenak dan kemudian mengangguk dengan senyum khasnya. Dalam keadaan tidak ada uang sepersen pun, bahkan untuk ongkos pulang sekalipun, Hamad masih tersenyum dan menjalani sisa harinya dengan kegembiraan.
Bel sekolah telah berbunyi, menandakan waktunya untuk pulang. Tidak terkecuali dengan Hamad, ia pun pulang meskipun tidak seperti hari-hari sebelumnya. Kali ini dia terlihat berjalan kaki, ya.. berjalan kaki dari sekolahnya di Bangka-JakSel sampai rumahnya di Jatibening-Bekasi, yang biasa memerlukan waktu 1 jam jika ditempuh dengan kendaraan.***
'Hamad kok belum pulang ya Bu? Aku mulai khawatir, coba telepon teman-temannya barangkali memang sedang ada acara di sekolahnya,' pinta Ust. Zufar pada istrinya.Ust. Zufar merupakan ayah dari Hamad. Beliau ialah sosok yang ramah, nama lengkapnya ialah Ust. Zufar Bawazier, Lc, dosen LIPIA dan juga pengurus sebuah Partai Islam di Indonesia.
Saya sempat mengenalnya ketika beliau mengisi sebuah seminar di Bandung dimana saya terlibat sebagai panitia. Saat itu, beliau kami sediakan tiket pulang dengan Kereta Api untuk jadwal kepergian jam 13.00. Betapa kagetnya saya ketika teman saya memberitahukan bahwa Ust. Zufar sedang berdiri menunggu angkutan umum yang saya yakin beliau tidak hafal rutenya, untuk menuju stasiun. Lebih parah lagi waktu telah menunjukan pukul 12.50, yang artinya hanya 10 menit lagi kereta akan segera pergi.
Saya segera mengambil motor untuk mengantarnya menuju stasiun, saya tidak habis fikir mengapa Ust. Zufar tidak memberi tahu panitia kalau keadaannya seperti ini, atau memang panitianya yang tidak memperhatikan, pikirku. Aku susuri jalanan kota Bandung dengan kecepatan tinggi, bahkan sempat melanggar beberapa rambu lalu lintas, aku tak peduli, saat itu fikiranku hanya mengantar Ust. Zufar agar tidak ketinggalan kereta menuju Jakarta.
Dan memang akhirnya Ust. Zufar bisa mendapatkan keretanya, walaupun harus dengan berlari setelah sebelumnya masih sempat menyalamiku sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih padaku. Itulah kenangan terakhir dan satu-satunya pertemuanku dengan Ust. Zufar. 'Kriiing...' telepon di rumah Pak Umar berdering. Telepon itu ternyata dari Ust. Zufar yang kemudian memberitahukan kepada Pak Umar selaku kepala sekolah madrasah, bahwa anaknya saat itu pulang malam sekali. Lalu Ust. Zufar pun menjelaskan penyebab anaknya pulang terlambat.
Esok harinya, Pak Umar memanggil Hamad dan Ubay ke Kantor. Tidak ditemukan wajah kesal atau kecut dari Hamad, suatu pancaran ketenangan jiwa dari seorang anak yang masih bersih hatinya. Lalu Pak Umar berkata pada Ubay, 'Lihatlah, sepatu temanmu rusak karena kamu menyia-nyiakan kebaikannya...' Pak Umar terkenal akan kebijaksanaannya, beliau digelari 'Pembina Sejati' oleh teman saya di Bandung yang pernah merasakan sentuhannya pula. Saya beruntung pernah menjadi binaanya selama setahun. Waktu yang cukup singkat untuk sebuah pembinaan yang bertajuk Ta'lim Rutin Kader Activis. Namun waktu yang singkat itu telah cukup baginya untuk meniup kuncup dalam diri ini sehingga mekar menjadi bunga.
Sepatu tua Hamad terlihat rusak, yang memang sebelumnya sudah lusuh. Ubay menangkap semua itu tanpa terlewat sedikitpun. 'Maafkan aku ya Hamad, ini pakai saja sepatuku, aku punya dua sepatu kok di rumah.' Begitulah kisah mereka berdua, parade ukhuwah mereka begitu mempesona setiap orang yang melihatnya.
Dostları ilə paylaş: |