Oleh Rubina Qurratu'ain Zalfa'
Belakangan ini, saya banyak merenungkan seberapa banyak waktu yang telah saya sia-siakan hanya untuk melakukan aktivitas yang sifatnya duniawi dan mengesampingkan aktivitas yang bisa menjadi bekal saya di akherat nanti. Salah satunya, belajar ilmu agama, yang sejak lahir saya anut hingga saat ini ketika usia saya sudah melewati kepala tiga.
Dari hasil perenungan itu, saya tersadar betapa minimnya pengetahuan agama saya, meski selama ini saya selalu melaksanakan kewajiban sholat lima waktu dan ibadah wajib lainnya, dan sesekali beramal dengan sedikit harta yang saya punya. Tapi entah kenapa, selama itu pula saya tidak pernah merasa tergerak untuk memperdalam ilmu agama. Saya lebih getol mengejar belajar ilmu umum yang saya minati, saya lebih tertarik membaca novel atau buku lainnya yang tidak bernafaskan agama. Untuk mengaji pun malas sekali. Tidak ada waktu dan lelah bekerja sepanjang hari, kerap menjadi alasan saya.
Meski Muslim sejak lahir, saya berfikir menjalankan ibadah yang wajib saja sudah cukup dan belajar agama, termasuk didalamnya belajar atau membaca Al-Quran, tidak terlalu penting. "Yang penting kenal huruf dan bisa baca sedikit-sedikit," kataku waktu itu.
Tetapi pemikiran saya itu berubah total setelah hampir dua tahun ini saya mulai mengikuti pengajian-pengajian. Ternyata, belajar membaca Al-Quran dengan benar itu sangat menyenangkan, belum lagi mengkaji kandungan-kandungannya. Ternyata, dari ceramah-ceramah para ustadz dan ustadzah di pengajian yang saya ikuti, saya mendapati bahwa belajar agama Islam itu mengasyikkan karena meliputi semua aspek kehidupan.
Dan sekarang, situasinya pun jadi berbalik. Saya mulai banyak membeli buku-buku keagamaan, mulai betah mendengarkan ceramah agama di televisi atau radio, dan rasa keingintahuan saya tentang Islam seolah tak pernah habis.
Perubahan itu tidak datang begitu saja. Perubahan itu terjadi karena saya menjumpai beberapa orang yang telah memberi inspirasi dan motivasi bagi saya untuk belajar dan menggali pengetahuan lebih banyak tentang agama saya.
Seorang mualaf, sebut saja namanya Lia, yang sekarang menjadi sahabat karib saya, adalah satu inspirasi besar bagi perubahan itu. Ketika mengenalnya, saya sudah kagum dengan semangatnya belajar membaca Al-Quran dan menggali ilmu agama Islam dengan banyak bertanya dan membaca buku. Saya sempat malu hati, ketika tahu bahwa Lia yang baru dua tahun menjadi mualaf, sudah banyak memahami tentang Islam, bahkan isi Al-Quran. Sementara saya, yang Muslim sejak kecil, sampai saat itu malah belum paham benar apa sebenarnya rukun Islam dan rukun iman-meski saya hapal urutannya-apa keutamaan sholat tahajud, bagaimana berwudhu yang benar, sampai hal-hal kecil yang jika saya tahu ilmunya, bisa menjadi tambahan amaliyah saya di dunia. Ketika itu saya hanya membatin,"Duh betapa meruginya saya."
Suatu saat, saya berkesempatan berkunjung ke tempat kos Lia. Di pintu lemari pakaiannya, saya melihat secara kerta yang ditempel berisi daftar surat-surat dalam Juz Amma. Beberapa surat mulai dari Al-Fatihah, terlihat ditandai dengan contrengan kecil. Aku bertanya, "Ini apa Li, koq dikasih tanda?"
"Oh, itu daftar surat yang sudah aku hapal," katanya sambil tersenyum.
Hapal ? tanyaku dalam hati. Aku hitung surat-surat yang sudah ditandai, jumlahnya 18 surat. Lagi-lagi aku malu hati. Lia yang baru mengenal Islam, sudah hapal 18 surat. Sementara saya, selama puluhan menjadi Muslim cuma hapal kurang dari lima surat dan tidak pernah punya keinginan untuk berusaha menghapal surat-surat Al-Quran yang lain. Malu rasanya.........
Sejak itu, diam-diam aku memperhatikan aktivitas Lia sehari-hari. Sampai aku tahu bahwa ia selalu menyempatkan diri membaca Al-Quran setiap hari meski cuma beberapa menit saja, termasuk menjalankan sholat dan puasa sunnah. Ah, Lia, selama ini ternyata aku sudah jauh tertinggal.....
Sejak itu, saya mulai mencontoh kebiasaan Lia. Pelan-pelan aku mulai menambah hapalan surat-surat Al-Quran, mulai belajar menjalankan ibadah sholat dan puasa sunnah, mulai membaca Al-Quran dengan rutin. Berat memang, kadang rasa malas amat menggoda.
Setelah Lia, aku banyak sekali bertemu dengan orang-orang yang memacu semangatku untuk mendalami Islam. Salah satunya adalah tetanggaku sendiri, aku biasa memanggilnya Kak Lili. Dia juga mualaf, ketika hendak menikah beberapa puluh tahu silam. Meski ketiga anak-anaknya sudah besar-besar dan usianya tidak lagi muda, ia selalu bersemangat mengikuti pengajian di mana-mana. Mencatat apa yang ia dapat di pengajian dalam buku khusus. Pengetahuannya tentang Islam dan sejarah Islam, sempat membuatku terperangah. Lagi-lagi saya malu hati. Saya tidak ada apa-apanya dibanding Kak Lili.
Selanjutnya, suatu kali dalam perjalanan menuju kantor, di bis yang aku tumpangi. Aku melihat bapak tua yang sedang membaca Juz Amma. Dari gerak-geriknya aku tahu ia sedang berusaha menghapal salah satu suratnya. Sayapun tersentuh melihat si Bapak tua tadi. Semangat belajarku terpompa kembali, "Saya belum terlambat untuk mulai belajar," gumamku dalam hati.
Kadang, saya merasa seperti seorang mualaf, karena banyak sekali hal yang belum saya ketahui dan harus saya pelajari. Namun saya bersyukur, karena Allah swt memberikan lingkungan dan teman-teman yang senantiasa menjadi penyemangat saya dalam belajar. Benarlah apa kata pepatah, tidak kenal maka tidak sayang. Makin banyak saya mengenal Islam, makin bertambah cinta saya pada Islam. Belakangan, saya benar-benar merasakan kebahagiaan karena terlahir sebagai Muslim. Semoga Allah swt selalu memberikan keteguhan iman dan kekuatan bagi kita untuk tetap istiqomah di jalanNya.
Mencintai Rasulullah
Oleh Rubina Qurratu'ain
Satu, satu, aku sayang Alloh
Dua, dua, sayang Rasulullah
Tiga, tiga, sayang Umi, Abi
Satu dua tiga sayang semuanya......
Lagu itu dinyanyikan dengan riang oleh dua anak, yang aku pikir masih usia TK. Dua anak bersama ibunya itu duduk persis di bangku sebelahku, di bis Patas AC yang aku tumpangi. Keduanya nampak menikmati perjalanan sambil terus mengulang-ulang lagu yang dulu biasa saya nyanyikan dengan syair; satu-satu aku sayang ibu, dua-dua aku sayang ayah.....
Aku tersenyum mendengar syair lagu yang diganti dengan kata aku sayang Alloh dan sayang Rasulullah. "Kreatif juga orang yang mengubah syair lagu itu. Maksudnya mungkin untuk menanamkan rasa cinta pada Alloh dan Rasulullah sejak dini. Ah, aku juga ingin mengajarkan lagu ini nanti pada ponakan-ponakanku di rumah," kataku dalam hati, supaya tertanama rasa sayang dan cinta pada Alloh Swt dan Rasulullah sejak mereka kecil.
Mendengar lagu itu, tiba-tiba saja aku jadi teringat peristiwa yang belakangan membuat heboh seluruh dunia. Umat Islam seolah dibangunkan dari tidurnya, akibat pembuatan dan publikasi kartun Nabi Muhammad Saw. Mereka berunjuk rasa, memprotes, bahkan melakukan boikot atas kartun-kartun yang menghinakan Nabi Muhammad Saw. Meski patut disayangkan, sejumlah aksi unjuk rasa berakhir anarkis, bahkan sampai menelan korban jiwa. Ujung-ujungnya, mereka yang membenci Islam, semakin memojokkan Islam dan umat Islam sebagai umat yang menyenangi kekerasan.
Kemarahan mereka memang bisa dipahami, karena gambar-gambar kartun itu sungguh melukai hati umat Islam. Betapa tidak, Nabi Muhammad Saw yang dikenal sebagai sosok yang penuh kasih sayang dan lembut hati, digambarkan seperti seorang teroris yang kejam dengan lilitan bom yang siap meledak di kepalanya. Sungguh sebuah penghinaan yang menyakitkan.
Sekarang, aksi-aksi protes itu memang sudah mereda. Tapi, apakah peristiwa ini meninggalkan bekas di hati kita, untuk lebih mencintai Rasulullah dan menghayati ajaran-ajarannya? Selama ini, kita mengenal sosok Rasulullah dari kisah-kisah seputar dirinya, sebagai sosok manusia istimewa, pemimpin umat, suami, ayah, kakek, bahkan pengusaha yang sungguh berakhlak mulia. Tetapi, sudahkah kita berusaha mengamalkan dan mencontoh sikap-sikapnya yang sangat terpuji, sehingga cinta kita pada Rasulullah bukan sekedar cinta buta, tapi cinta yang melahirkan ketaatan pada Allah Swt dan sikap mulia dalam kehidupan kita sehari-hari?
Mengingat ini, aku jadi malu sendiri. Selama ini aku merasa sudah sangat mencintai Rasulullah. Salam dan sholawat selalu aku panjatkan untuknya. Bahkan hatiku terasa teriris dan meneteskan air mata, ketika aku melihat gambar-gambar kartun itu. Namun semuanya itu, tiba-tiba menyentak kesadaranku, bahwa kecintaanku padanya selama ini belum banyak yang aku wujudkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Aku merenung, pantaskah aku mengatakan mencintai Rasulullah kalau dalam keseharianku, aku sering melanggar nasehat-nasehatnya ? Kadang karena pekerjaan yang menumpuk, aku sengaja mengulur-ulur waktu sholat, kadang aku malas banyak membaca Al-Quran dan sholat malam seperti yang dianjurkannya, malas diajak bersilatuhrahmi, malas berpuasa sunnah seperti yang diamalkannya, belum lagi sifatnya yang welas asih bahkan terhadap musuhnya, sabar, pemaaf, sederhana, jujur, amanah, adil dan gemar bersedekah meski dalam keadaan sulit sekalipun dan masih banyak hal-hal yang kelihatannya sepele tapi sebenarnya merefleksikan sejauh mana aku mengenal dan mencintai Rasulullah.
Aku kembali teringat sebuah buku yang pernah aku baca tentang keagungan Rasulullah. Dalam buku itu disebutkan bahwa kecintaan pada Rasulullah adalah cerminan kecintaan pada Alloh. Dan Alloh memperkuatnya dalam firman-firmannya;
"Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah... "(al-Hasyr: 7)
"Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling dari ketaatan itu, maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka." (an-Nisaa: 80)
"Sesungguhnya pada Rasulullah terdapat suri teladan yang baik bagimu, bagi orang-orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhirnya, serta mengingat Allah sebanyak-banyaknya." (al-Ahzab: 21)
Ah... ternyata kecintaanku pada Rasulullah selama ini cuma di permukaannya saja, tapi aku masih belum mampu memahami makna cinta itu. Aku belum bisa mengamalkan dan mencontoh perilakunya yang sangat mulia dalam kehidupan keseharianku. Ya... Alloh, ampunilah hambamu yang lemah dan hina ini. Beri hamba hidayah dan kemudahan untuk menjadi umatmu yang berakhlak mulia, semulia manusia pilihamu Muhammad Saw.
Bis patas AC yang aku tumpangi terus melaju di jalan tol yang licin. Gerimis kecil membasahi kaca jendela dan aku merasakan udara semakin dingin. Namun hatiku bersenandung kecil..... ungkapan cinta penyair Taufik Ismail terhadap Rasulullah Muhammad Saw;
Rindu kami padamu ya Rasul
Rindu tiada terperi,
Berabad jarak darimu ya Rasul
Serasa engkau di sini
Cinta ikhlasmu pada manusia
Bagai cahaya suarga
Dapatkah hamba membalas cintamu
Secara bersahaja.....
Mengapa Kita Tak Pandai Bersyukur?
Pagi hari, seperti biasa aku mengawali kegiatan dengan bebenah rumah. Cuci piring, menyapu lantai, cuci pakaian dan setumpuk pekerjaan rutin lainnya. Untuk menemaniku bekerja, kuambil sekeping kaset nasyid anak-anak, kumasukkan ke dalam tape recorder yang sudah butut, dan... klik:
Ajarilah, aku ya Allah
Mengenali, karunia-Mu
Begitu banyak yang, Kau beri
Begitu sedikit yang, kusadari
Ajarilah, aku ya Allah
Berterima kasih, pada-Mu
Supaya aku dapat slalu
Mensyukuri nikmat-Mu
Sayup-sayup kudengar alunan sebuah lagu, mengalun merdu dari bibir-bibir mungil anak-anak yang kira-kira masih berusia balita. Hatikupun bergetar, air mata menetes membasahi pipi, menyadari betapa pelitnya diri ini mengucap syukur atas segala karunia yang telah dilimpahkan oleh-Nya. Serta-merta, bibir ini berucap, "astaghfirullahal 'adziim" seraya menghapus air mata.
Sejurus kemudian hati ini berbicara, mencoba mengurai satu-persatu nikmat yang telah terkecap. Di pagi yang cerah, ketika sinar mentari menghangati tubuh, sungguh ada sebuah nikmat yang begitu indah terasa. Lalu, ketika kupandangi tubuh ini satu demi satu masih tetap utuh seperti sedia kala, mata yang mampu melihat dengan sempurna, tangan yang mampu memegang dan mengerjakan berbagai aktivitas, kaki yang bisa melangkah, kulit yang mampu merasakan sentuhan angin yang lembut, dan hidung yang mampu menghirup udara segar. Sungguh, inipun merupakan nikmat yang begitu besar.
Semakin lama kucoba mengurainya, semakin banyak nikmat yang kurasa. Demikian banyak, dan teramat banyak hingga aku tak mampu menghitung satu persatu, karena memang tak terhingga jumlahnya. Persis seperti yang Allah kabarkan dalam firman-Nya: "Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat lalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah) (QS. Ibrahim:31)". Astaghfirullahal 'adziim, lidahkupun menjadi kelu, tak sanggup lebih banyak berucap.
Segalanya Allah anugerahkan kepada diri ini dengan cuma-cuma. Tak serupiahpun Allah menetapkan tarifnya, tak secuilpun Allah mengharap imbalannya. Namun mengapakah aku tak pandai bersyukur? Padahal Allah SWT berjanji : "...la in syakartum la aziidannakum, wala in kafartum inna 'adzaabi lasyadiid (Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih)". Dan janji Allah selalu benar adanya, tak pernah salah dan tak pernah lupa.***
Akupun mencoba merenung, apakah gerangan yang membuat diri ini tak pandai bersyukur? Dalam pandangan masyarakat umum yang kufahami selama ini, segala sesuatu dianggap sebuah nikmat adalah ketika kita memperoleh sesuatu yang menyenangkan. Harta yang banyak, rumah yang indah, teman yang selalu setuju dan menyokong pendapat kita, sehingga kita dapat memenuhi segala keinginan yang ada dengan segala fasilitas yang mudah didapat tanpa harus bersusah payah bekerja.
Seringkali pula kita tidak menyadari bahwa, mata yang mampu melihat secara sempurna ini adalah nikmat, tangan yang mampu memegang dan melakukan segala aktivitas adalah nikmat, kaki yang mampu melangkah adalah nikmat, kesehatan kita adalah nikmat, oksigen yang melimpah ruah dan bebas kita hirup adalah nikmat, hidayah Islam yang mengalir dalam diri kita ini adalah nikmat yang teramat mahal harganya, kasih sayang orang tua yang mampu mengalahkan segalanya demi membimbing dan membesarkan kita adalah nikmat, dan entah berapa banyak kenikmatan yang lain yang tidak kita sadari. Padahal, kenikmatan yang Allah karuniakan kepada kita tak terhingga banyaknya. Masya Allah, astaghfirullahal 'adziim, semoga Allah berkenan mengampuni kita dan membimbing kita menjadi hamba-hamba yang pandai bersyukur.
Berikutnya, seringkali kita merasa iri dengan kesenangan/kenikmatan yang dimiliki oleh orang lain. Ketika kita melihat orang lain bahagia, bukannya kita ikut bersyukur atas kebahagiaannya. Sebaliknya, kita justru mencibirkan bibir dan menuduh yang tidak-tidak. Membuat berbagai analisa, darimanakah gerangan mereka memperoleh kesenangan. Berprasangka buruk dan menyebarkan bermacam berita, sehingga perilaku tersebut. Menjauhkan diri kita dari rasa syukur kepada Allah. Astaghfirullah wa na'udzubillahi min dzaalik.
Tak jarang pula, dalam diri kita terjangkit penyakit "wahn (terlalu cinta dunia, dan takut mati)", hanya kesenangan dan kesenangan yang ingin kita raih, tak sedikitpun ingin merasakan sebuah penderitaan. Sehingga ketika Allah berkenan memberikan sebuah cobaan, diri kita tak sanggup menanggung. Merasa diri menjadi orang yang paling sengsara di dunia, dan bahkan ada yang sampai berani menghujat dan menghakimi Allah sebagai penguasa yang tidak adil. Na'udzubillaahi min dzaalik, astaghfirullahal'adziim.
Disisi lain, Allah jua yang berkenan menciptakan kita sebagai makhluk yang senang berkeluh kesah. "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. (QS. Al Maariij: 19-21). Bila sifat ini tidak kita kelola dengan baik, maka tidak menutup kemungkinan bila pada akhirnya diri ini tumbuh menjadi makhluk yang tak pernah mampu bersyukur.***
Karenanya, amat baiklah sekiranya kita mampu melatih diri, mensyukuri apa saja yang ada pada diri kita. Apapun yang Allah berikan kepada kita, haruslah kita yakini bahwa itulah pilihan terbaik yang Allah kehendaki. Tak perlu iri dan dengki terhadap nikmat orang lain, hingga kita mampu menjadi seorang mu'min seperti yang digambarkan oleh Rasulullah Muhammad SAW: "Amat mengherankan terhadap urusan mu'min, seandainya baik hal itu tidak terdapat kecuali pada orang mu'min. Bila ditimpa musibah ia bersabar, dan bila diberi nikmat ia bersyukur" (HR. Muslim).
Terakhir, marilah senantiasa mengamalkan do'a Nabi Sulaiman as. dalam kehidupan kita. Agar kita senantiasa terbimbing, memperoleh ilham dari Allah SWT, sehingga kita menjadi makhluk yang pandai bersyukur pada-Nya. "Robbi awzi'nii an asykuroo ni'matakallatii an'amta 'alayya wa'alaa waalidayya wa an a'mala shoolihan tardhoohu wa ad khilnaa birohmatika fii 'ibaadikashshoolihiin".
Ya Robb kami, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, dan kepada dua orang ibu bapakku, dan untuk mengerjakan amal shaleh yang Engkau ridhoi; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh. (QS. An Naml : 19). Aamiin.
Ketika empati mati
eramuslim - Seorang anak penyapu gerbong berusia tak lebih dari sembilan tahun sempat membuat dua mahasiswi berteriak hingga mengalihkan perhatian hampir seluruh penumpang di gerbong tersebut. Mahasiswi itu merasa kaget karena anak itu manarik-narik bagian bawah celana jeans-nya untuk meminta uang. Serta merta seorang pria dewasa berbadan kekar yang tak jauh dari dua mahasiswi itu melayangkan punggung tangannya tepat di bagian belakang kepala anak itu. Tidak hanya sekali, tapi beberapa kali.
"Keluar kamu, kurang ajar!" tangannya terus melayang hinggap di kepala anak tersebut. Tidak cukup di situ, ditambah tendangan keras ke bagian tubuh anak yang tubuhnya hanya sebesar paha si penendang. Saya yang melihat kejadian itu langsung berteriak dan meminta pria itu menghentikan aksi kekerasannya.
"Dia ini kurang ajar pak, dari gerbong sebelah sudah kurang ajar." Ia membenarkan aksinya.
"Tapi dia juga kan manusia, apa pantas diperlakukan seperti itu?" tanya saya. "Dan apa tindakan bapak itu sebanding dengan kesalahannya? Tak perlu berlebihan seperti itu lah..."
Episode berakhir dengan turunnya anak tersebut di stasiun selanjutnya. Sementara pria berbadan tegap itu berdiri dekat pintu gerbong sambil berbincang dengan beberapa penumpang lainnya, lagi-lagi mencoba membenarkan tindakannya.
Tiga tahun lalu di Stasiun Kalibata, Jakarta, seorang pria setengah baya babak belur dihajar massa hingga koma. Kondisinya mengenaskan, wajahnya hancur, satu tangannya patah. Di sisa-sisa nafasnya yang tersengal satu persatu, saya menangkap rintihannya, "Saya bukan copet..."
Pria tersebut dijadikan tersangka pencopetan ketika seorang mahasiswi secara refleks berteriak "copet" saat tasnya tersenggol pria yang sudah nyaris mati tersebut. Secara serempak, dibarengi emosi yang tinggi puluhan pria langsung menggerebek dan mendaratkan kepalan tangan, juga ayunan kakinya berpuluh-puluh kali kepada pria tersebut. Padahal di belakang kerumunan tersebut, mahasiswi yang tadi refleks berteriak itu meminta orang-orang yang sudah terlanjur beringas itu menghentikan aksinya, karena ternyata, ia tak kehilangan satu apa pun dari dalam tasnya. Tak satu kata pun bisa keluar dari mulut saya menyaksikan peristiwa itu. Bagaimana dengan mereka yang telah terlanjur memukul ?
Orang bersalah memang harus dihukum, tapi terlalu sering seseorang mendapatkan hukuman yang tak setimpal. Kasus copet-copet yang dibakar misalnya, sebagian orang mudah saja berkata "Bakar saja, atau lempar dari kereta yang melaju cepat, biar jadi pelajaran bagi copet yang lain..."
Satu pertanyaan saja, bagaimana jika copet itu adik, kakak atau saudara Anda? Kalimat itu juga kah yang akan keluar dari mulut Anda? Atau bahkan bila copet itu Anda sendiri? Anda pasti meminta orang-orang menghukum Anda sewajarnya bukan? Anda bisa begitu mudah bertindak berlebihan menghukum atau memberikan balasan atas kesalahan orang lain. Bagaimana jika Anda yang berada pada posisi si bersalah? Relakah jika orang lain memperlakukan Anda secara tidak adil? Ya, begitu pula dengan orang-orang itu. Saya setuju mereka diberi hukuman atas kesalahannya, tapi memberikan hukuman lebih dari tingkat kesalahannya, jelas saya tidak setuju.
Seperti kejadian di kereta itu, saya harus berdebat dengan pria berbadan tegap itu dengan mengatakan bahwa tindakan kasarnya -menempeleng dan menendang- sangat tidak sebanding dengan kesalahan yang dilakukan anak itu. Saya juga tak mengerti kenapa nyaris semua orang di gerbong itu terdiam menyaksikan ketidakadilan berlaku di depan mata mereka? Sebagian besar orang yang ada di depan gerbong itu para karyawan, mahasiswa, orang-orang berpendidikan, tapi mengapa mereka hanya menutup mata? Bahkan seorang bapak di samping saya sempat berkata, "Anak itu juga seharusnya jangan kurang ajar..."
Saya katakan, cara anak itu meminta uang kepada penumpang (mungkin) memang salah. Tapi itu hanya tindakan kecil yang tak pantas dibalas dengan tempelengan dan tendangan keras berkali-kali ke tubuhnya. Kepada mereka yang terdiam dan tak berusaha melarang pria tegap itu melakukan aksi kekerasan, akankah Anda diam jika anak itu adalah anak, adik, keponakan, atau bahkan diri Anda sendiri ?
Contoh sederhana, kita sering berharap orang lain memberikan tempat duduknya untuk isteri kita yang tengah mengandung atau menggendong si kecil. Tapi nyaris setiap hari kita tak pernah tergerak untuk berdiri dan merelakan tempat duduk kita untuk mereka yang lebih berhak, kemudian berpura-pura tidur. Adilkah ? Mungkin empati sudah mati.***
Kekerdilan yang bermakna
Ketakutan memberi arti lain pada suasana jiwa. Menawarkan pilihan yang dilematis. Memilih dalam cengkraman rasa seperti ini bukanlah sesuatu yang mudah. Dilema inilah yang dialami Abdullah, wiraswasta dan kontraktor yang tinggal di Perumahan Ajun, Aceh Besar. Ketika gelombang Tsunami menghantam, ia tengah bersama orang-orang yang dicintainya, istri dan lima anaknya. Anaknya yang masih kecil berusaha dinaikkan ke atas kap mobil, menyusul yang lainnya. Namun malang bagi Kiki, ketika sang ayah berusaha menariknya ke atas mobil, sebatang kayu yang hanyut terbawa arus menghempas dan menjepitnya. Kiki meronta menahan sakit di antara pintu mobil dan kayu.
Melihat kedaan anaknya, nuraninya sebagai seorang ayah tersentak di tengah kepanikan dan derasnya gelombang yang mengamuk. Namun apa daya, genggamannya pada Kiki tiba-tiba terlepas. Sementara kakaknya masih terpegang oleh Abdullah. Kiki terdengar menjerit, "Ayah, kenapa saya dilepas?" Perihnya terasa dalam di lubuk hati sang ayah. Ia berupaya keras menarik Kiki, namun tiba-tiba air bah yang lebih kuat menghantamnya, memaksanya bercerai-berai dengan semua anaknya. Pusaran air menyeret, menenggelamkan mereka satu-per satu. Di benak Abdullah hanya terlintas kecemasan, apakah istri dan semua anaknya tidak mampu bertahan.
Semuanya hilang bersama derasnya air bercampur lumpur. Begitu tersadar, perasaan Abdullah terus berkecamuk. Sedih dan marah menjadi satu. "Saya serasa mau bunuh diri, karena tidak ada harapan, semuanya hilang." Namun begitulah Allah yang punya sifat Rahman atas hamba-Nya. "Kalau saya bunuh diri siapa yang akan mendo'akan mereka," kesadaran ini menguatkan Abdullah. Hingga akhirnya ia berhasil meraih sepotong kayu sepanjang empat meter. Berpegangan di kayu, ia terhantam air yang tiba-tiba menderas lagi. Badannya terseret hingga ke pagar mesjid, yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumahnya. Ia hanya bisa pasrah.
Tidak lama di pagar, karena beban yang menekan terlalu banyak, pagar ini pun jebol. Kayu yang menahan tubuh Abdullah ikut roboh dan terhempas bersamaan dengan tubuhnya. "Saya mencoba melongokkan kepala, yang teringat hanya istri dan anak saya." Perasaan ingin mati pun menyeruak kembali. Jika anak dan istrinya sudah tewas, untuk apa lagi ia hidup. "Tapi, lagi-lagi terpikir, siapa lagi yang akan mendo'akan mereka, agar amal mereka diterima dan dosa-dosanya terampuni. Dengan itu semangat hidup saya kembali lagi," ujar Abdullah terbata-bata. Dengan sisa tenaga yang ada, dikumpulkannya kayu kecil yang berserakan di kiri-kanannya, dijadikan pelampung. Hingga setelah beberapa jauh, ia pindah ke sebuah kusen besar dan kuat yang terombang-ambing.
Sejurus kemudian, tiba-tiba seorang ibu menjerit di dekatnya, "Nak, tolong Nak, bagi kayunya satu, kami akan tenggelam," sambil berenang ibu ini berusaha menangkap kaki Abdullah. Perempuan yang lain juga meraih kakinya. Karena tidak tega, kayu yang sebenarnya menjadi harapannya ia berikan pada mereka. Dengan tenaga yang ada Abdullah berusaha menepi dan meraih tembok. Di luar dugaannya, ia bisa memanjat tembok itu. Ia sedikit merasa lega. Namun setelah dilihat dari atas ternyata yang memegangnya tadi bukan hanya dua orang. Mereka berlima. Di kanan kiri sudah tidak ada lagi kayu. Ketika itu, sekali lagi Allah memperlihatkan kuasa-Nya. Secara tidak sengaja selang air lima meter terjulur mengambang dari sebuah rumah. Dengan selang air ini Abdullah menolong ketiga orang itu, seorang bapak bersama tiga anak gadisnya.
Setelah air berangsur surut, Abdullah turun dari tembok. Meski air masih sebatas badan, ia bergerak berusaha mencari mobil, dengan harapan bisa mencari istri, anak dan tetangganya. Paling tidak kalau pun mereka semuanya sudah meninggal, ia berharap bisa menemukan jasad mereka. Sambil berjalan, air matanya tek henti jatuh. "Mengapa saya bisa menyelamatkan orang lain, tapi tak bisa menyelamatkan keluarga," pikiran ini mengganggunya. "Saya marah pada diri saya, sama Tuhan. Ya Allah, maafkan saya."
Abdullah terus berjalan. Mobil sedan yang ditumpangi keluarga dan tetangganya ternyata sudah tidak ada. Yang ditemuinya justru seseorang yang juga sedang mencari keluarganya. "Saya habis Pak, keluarga saya lima orang meninggal di dalam mobil," katanya menangis pada Abdullah. Mendengar ini, pikirannya kembali menerawang. Terbayang wajah istrinya yang begitu panik ketakutan. Wajah kecil anaknya yang menangis minta jangan dilepas. Kiki yang terjepit meronta untuk diselamatkan.
Setelah berputar-putar selama satu jam, Abdullah menemukan mobilnya yang terlempar sampai beranda mesjid. Ketika ia membuka pintunya, matanya mesti menyaksikan pemandangan memilukan, istri dan anaknya berpelukan, kaku tanpa nyawa. Abdullah menarik dan meletakkan orang-orang yang dicintainya ini di atas rakit seadanya, yang dibuatnya dari drum. Jenazah-jenazah ini dibawanya ke mesjid.
Melihat mayat yang kebanyakan anak-anak, pikirannya menerawang kembali pada wajah polos anaknya. Sambil ikut mengevakuasi mayat-mayat ke mesjid, ia terus mencari dua anaknya yang hilang. Ia kembali ke jalan-jalan, mencari di antara tumpukan jasad.
Kakinya letih, seletih hatinya yang menangis tanpa suara. Ia terus mencari, semua sudut jalan dan gang tidak terlewatkan. Jika pun anaknya sudah tewas, ia ingin menyatukannya dengan jasad istrinya. Di tengah kegalauan, wajah istri dan anaknya yang sudah kaku memaksanya kembali ke mesjid. Barang kali orang lain sudah menemukan anaknya. Sesampai di mesjid, mayat-mayat makin banyak menumpuk, bahkan mayat istri dan anaknya yang ia tinggalkan tidak ia temukan. Yang ada hanya kabar terakhir, istri dan anaknya beserta mayat-mayat yang lain sudah di bawa ke Lambaro, Namun begitu dicari dan ditanyakan, semuanya menjawab, "Tidak ada. Semuanya akan dikuburkan di kuburan massal."
Sambil terus berharap, Abdullah bersama penduduk tidur di mesjid, ditemani mayat-mayat yang terus bertambah hingga beberapa hari. Hingga akhirnya ia ingat, lantai atas rumahnya tidak terkena banjir. Hari itu juga ia putuskan untuk kembali ke rumah. Ketika naik, kakinya tertahan. Dilihatnya halaman yang berubah menjadi bubur lumpur bercampur onggokan sampah. Di halaman itulah terlukis beribu kisah tentang anak dan istri tercintanya. "Saya hanya bisa menangis menelan ludah membasahi kerongkongan," lirih Abdullah.
Ia naik ke atas. Gagang pintu serasa ringan dan kosong saat dibuka. Di dalam rumah tak urung hatinya meratap. Semuanya sepi, hanya tampak baju anak-anaknya yang masih tergantung rapi di sisi pintu. "Saya tak tahan, saya seperti orang gila, keluar masuk kamar sambil berpura-pura cerita kepada istri saya," kenangnya. Begitu juga saat melongok lewat jendela, anak-anaknya seolah-olah berhamburan, lari minta digendong. "Wajah mereka terbayang terus, mata saya tak bisa dipejamkan, apalagi gempa datang terus," ujarnya.
Malam pertama di rumah bisunya diisi dengan sholat tahajud dan dzikir. Berharap mukjizat, berharap anaknya bisa ditemukan esok atau lusa. Mengembalikan semuanya kepada Allah, hanya itu bisa dilakukan sebagai penawar hati. Ketakutan yang menderanya saat dihempas gelombang, membuka hati Abdullah tentang kekerdilan seorang manusia. Sia-sialah manusia jika bersombong diri. Segala kesuksesan sebagai pengusaha ternyata menjadi tidak bernilai apa-apa. Kesadaran amat tinggi berdiam hatinya, mengakui kekerdilan di hadapan Allah yang maha Segalanya. "Saya betul-betul sadar sekarang, tak perlu ada yang disombongkan. Ketika segalanya telah ditakdirkan maka tak ada yang bisa mengelak. Kapan saja, di mana saja. Kita tak ada artinya sama sekali, jangan sampai lagi kita bersombong diri."
Manusia hanya mampu mengulang perkataan saat musibah menimpa, "(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun (sesungguhnya dari Allah kita datang, kepada-Nyalah kita kembali)" (QS. Al Baqarah : 156). Kata-kata itu sesungguhnya adalah obat. Penawar bagi kegalauan jiwa yang kehilangan belahannya. Maka, kembalikanlah semuanya kepada Yang Memilikinya.
Majalah Tarbawi, Edisi 100 Th. 6/Dzulhijjah 1425 H/ 20 Januari 2005 M
Dostları ilə paylaş: |