Pan Islamisme


Pan Islamisme di Indonesia



Yüklə 134,55 Kb.
səhifə2/3
tarix26.10.2017
ölçüsü134,55 Kb.
#14085
1   2   3

Pan Islamisme di Indonesia

Di Indonesia, hampir berbarengan dengan Gerakan Pan Islam berdiri perkumpulan Jamiatul Kheir di Pekojan, Batavia, pada 1901 sebagai organiasi sosial yang membawa semangat tolong menolong. Jamiatul Kheir dibentuk dengan tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern yang terbuka luas untuk umat Islam. Perkumpulan ini lebih menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.

Pramudya Ananta Toer dalam bukunya, Rumah Kaca, menyebut Jamiatul Kheir yang didirikan sejak 1901 merupakan organisasi politik yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan yang telah menginspirasi lahirnya Boedi Oetomo.Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama, tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung,sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengantar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda.Sedangkan pelajaran bahsa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.(Rahmat.M.I, 2005:24). Keberadaan Jamiatul Kheir yang kemudian disusul dengan Al-Irsyad, setidak-tidaknya sebagai penggerak dunia Islam baru yang pertama kali di Indonesia. Deliar Noer menulis, pentingnya Jamiat Kheir terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organiasi dalam bentuk modern dalam masyarakat Islam (dengan anggaran dasar, daftar anggota tercatat,rapat-rapat berkala), dan yang mendirikan sekolah dengan cara-cara yang banyak sedikitnya telah modern (kurikulum,kelas-kelas, dan pemakaian bangku-bangku,papan tulis dan sebagainya).Menurut H.Agus Salim banyak anggota Budi Utomo dan Sarikat Islam sebelumnya adalah anggota Jamiatul Khair.

Dalam kaitan dengan gerakan kemerdekaan,pada 4 Oktober 1934, pemuda keturunan Arab se Nusantara berkongres di Semarang, dipelopori oleh AR Baswedan, mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab: Indonesia adalah tanah airnya, bersumpah untuk turun kelas dari bangsa Timur asing menjadi pribumi. Kongres itu juga membentuk Persatuan Arab Indonesia (PAI), yang bertujuan meraih kemerdekaan Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, PAI membubarkan diri karena tujuannya telah tercapai. Seperti anak-anak bangsa lainnya mereka lalu menyebar dan aktif dalam berbagai bidang di masyarakat.

Organisasi Islam yang bergerak dengan semangat pembaruan adalah Muhammadyah yang berdiri pada tanggal 18 November 1912 dengan Pemimpinnya Kyai Ahmad Dahlan. Gerakan pembaharuan Muhammadyah memang seringkali dihubungkan dengan Gerakan islam di timur tengah, baik Muhammad Ibn Abdul Wahab yang kemudian dikenal dengan isltilah Wahabi. Tetapi ahmad dahlan tidak berhenti disitu, tetapi juga mempelajari karya Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abdu dan Rasyid Ridha malah pengaruh terbesar yang dirasakan ahmad Dahlan adalah dari Muhammad Abdu dan Rasyid Ridha. Sehingga gerakannya lebih bersifat apolitis dan sufisme yang mendasarkan reformasi Islam abad ke-20.(Qodir, 2010:48)

Hal yang paling berkesan dalam diri Ahmad Dahlan adalah ketika beliau bertemu secara langsung dengan Rasyid Ridha ketika pergi ke Mekkah untuk mendalami ilmu agama pada tahun 1902. Tafsir Al-Manar adalah tulisan Rasyid Ridha yang pernah dipelajari oleh Ahmad Dahlan.

Pengaruh Jamaluddin al-Afghani terhadap Ahmad Dahlan adalah langkah-langkah kembali pada pemahaman Islam yang benar dan menghilangkan taqlid, bid’ah, dan khurafat, mensucikan hati dengan mengembangkan akhlak al-karimah, dan mengembangkan musyawarah dengan berbagai kelompok dalam masyarakat. Begitupun dengan persatuan umat islam yang digagas Jamaluddin al-Afghani dengan Pan Islamismenya, karena menurut Jamaluddin sumber kelemahan dunia Islam adalah lemahnya solidaritas umat islam itu sendiri.oleh karena itu ia menekankan pentingnya dunia Islam bersatu padu melawan kekuatan asing dalam wadah Pan Islamisme.(Karimi, 2012:62)

Gerakan Islam radikal juga pernah terjadi di Indonesia paska kemerdekaan yakni gerakan Darul Islam(DI) yang dipimpin RM Kartosoewirjo. Gerakan ini tidak hanya menggagas dan menyebarakan Pan Islamisme, Persaudaraan muslim namun mendirikan Negara Islam. Akibat kurangnya dukungan dari mayoritas muslim di Indonesia, gerakan DI ini dicap sebagai pemberotak dan dapat ditumpas pada tahun 1962(INSEP, 2011)


Pan Islamisme adalah suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Islam di dunia.  Gerakan ini muncul awalnya di  Mesir yang dimotori oleh Syekh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani. Syek M. Abduh menghendaki perubahan mental secara berangsur-angsur, seperti pendidikan. Tokoh-tokoh yang berperan dalam penyebaran Pan Islamisme di Indonesia antara lain Syeikh Taher Jalaluddin, 3 Kaum muda di Sumatera, Syeikh Ahmad Soorkati, K.H.A Dahlan, Ahmad Hasan. Gerakan tersebut membangkitkan pergerakan nasional Indonesia, terutama organisasi Al-Jam’iyat Al-Khairiyah (1906), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912).


Kata Kunci: Pan Islamisme, Tokoh-tokoh Indonesia, Pengaruhnya di Indonesia.
Ilmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode  yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Maka dalam hal ini, manusia akan terus befikir untuk mencapai kesejahteraan yang di inginkannya maupun keinginan bersama. Munculnya berbagai paham-paham baru yang ada dinuia ini. Salah satunya adalah Pan Islamisme sebagai pembaharuan Islam di dunia, khususnya negara-negara Islam.

Diantara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:

·      Paham tauhid yang dianut kaum muslimim yang bercampur dengan kebiasaan yang dipengaruhi oleh kelompok-kelompok, pemujaan terhadap orang-orang suci dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.

·      Sifat jumud membuat umat islam berhenti berpikir dan berusaha. Umat islam maju dikarenakan pada saat itu mereka mementingkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu selama umat islam masih bersifat jumud dan tidak mau berpikir untuk berijtihad maka mereka tidak mungkin mengalami kemajuan. Untuk itu perlu diadakan pembaharuan yang berusaha memberantas kejumudan.

·      Umat Islam selalu berpecah belah, mereka tidak akan mengalami kemajuan apabila tidak adanya persatuan dan kesatuan yang diikat oleh tali ajaran islam. Karena itulah, bangkit suatu gerakan pembaharuan.

Menurut Setiawan (1990: 82), Pan Islamisme dalam pengertian yang luas adalah kesadaran kesatuan umat Islam yang diikat oleh kesamaan agama yang membentuk solidaritas sedunia. Sedangkan dalam pengertian khusus adalah gerakan mempersatukan umat Islam. Gerakan ini secara samar-samar pernah diutarakan oleh Al-Thah-Thawi dengan memakai istilah persaudaraan seagama, dan kemudian ditegaskan oleh Sayid Jamaluddin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh.

Korver (1986: 20) menyatakan bahwa, gerakan ini kemudian mempengaruhi bangkitnya pergerakan nasional Indonesia, karena dalam periode peralihan abad ke-20, Islam merupakan ciri utama kebudayaan Indonesia. Salah satu sisi dari gerakan reformasi itu ialah mengidentifikasikan Islam dengan bangsa dan dengan rasa yang semakin tidak sabar terhadap kedudukan sebagai bangsa yang terjajah. Pada masa peralihan abad ke-19 ke abad ke-20, Islam identik dengan kebangsaan (Noer, 1990: 8).
Berkembangnya Pan Islamisme sebagai Gerakan Pembaharuan Islam Didunia

Pan Islamisme adalah suatu paham yang bertujuan untuk mempersatukan seluruh umat Islam di dunia. Berkembangnya Pan Islamisme pada awalnya berasal dari gagasan Jamaluddin al-Afghani (1839-1897). Namun, ada pula yang berpendapat bahwa paham tersebut berasal dari pendapa at-Tahtawi (1801-1873) sorang tokoh pembaharuan Islam di Mesir. Perkembangan Pan Islamisme erat kaitannya dengan keadaan yang terjadi pada awal abad ke-20 akibat kemunduran dunia Islam. Sementara itu dunia Barat mengalami kemajuan yang sangat pesat dan menguasai negara-negara Islam. Bangsa-bangsa Barat terutama Inggris dan Amerika selalu mencampuri urusan dalam negeri negara-negara Islam. Campur tangan tersebut dirasakan oleh tokoh-tokoh Islam di Afghanistan, India, Mesir, Irak, dan Iran. Jamaluddin al-Afghani menyatakan bahwa dunia Islam sedang menjadi ajang permainan politik bangsa-bangsa Barat. Pemikiran inilah yang mendorong Jamaluddin al-Afgani menggalang semangat persatuan dunia Islam yang kemudia terkenal dengan nama Pan Islamisme. Gagasan Pan Islamisme tersebut memperoleh dukungan dari hampir seluruh pemipin golongan intelektual Islam

Menurut Maarif (1987: 4), Gerakan Pan Islam pada awalnya muncul sebagai gerakan Wahabi di Arab pada abad ke-18 dengan pelopornya Muhammad ibn Abdul Wahab (1703-1787) dengan menghidupkan himbauan Ibnu Taymiah untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Abdul Wahab bersekutu dengan Ibnu Saud kemudian menguasai kota suci Mekah dan Madinah sebagai langkah pertama menguasai dan mempersatukan dunia Islam seluruhnya. Pada tahun 1917, Sultan Turki Usmani merebut Mesir dan menggulingkan Khalifah Abbasiyah, kemudian mengangkat dirinya sebagai khalifah serta pelindung kota Mekah dan Madinah. Pada masa Usmani Muda, Turki berusaha menggunakan Pan Islam untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah kerajaan Usmani. Gerakan ini kemudian dimotori oleh Sayekh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afgani.

Pada tahun 1872 M, Syekh M. Abduh berhubungan dengan Jamaluddin al-Afgani, dan kemudian menjadi muridnya yang setia. Karena pengaruh gurunya tersebut, ia terjun kelapangan persurat kabaran pada tahun 1876. Pada tahun1880 Syekh M. Abduh dipanggil oleh kabinet partai Liberal untuk diserahi jabatan kepala redaksi surat kabar “al-Waqai’ul-Misriyah” dan karena pimpinannya yang baik dalam surat kabar tersebut menjadi terkenal. Meskipun tujuan Jamaluddin al-Afgani dan Syekh M. Abduh sama, yaitu pembaharuan masyarakat Islam namun cara untuk mencapai tujuan itu berbeda ( Hanafi, 1989:157).

Syek M. Abduh menghendaki perubahan mental secara berangsur-angsur, seperti pendidikan. Lain halnya dengan M. Abduh, Jamaluddin al-Afgani yang menghendaki jalan revolusi, yang lebih menekankan pada gerakan politik untuk menghadapi kolonialisme dan imperialisme Barat, dengan bercita-cita membentuk semacam konfederasi negara-negara Islam. Gerakan Pan Islamisme tersebut tidak berhasil menggalang kesatuan umat Islam. Tapi semangat Pan Islamisme tetap hidup sehingga membangkitkan berbagai organisasi Islam regional dan internasional, tak terkecuali Indonesia yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pergerakan tersebut. Isi gerakan Pan Islamisme dapat dilihat dari teori pembaharuan yang dikemukakan oleh Sayid Jamaluddin Al-Afgani dan Syekh Muhammad Abduh. Sayid Jamaluddin Al-Afgani mengungkapkan bahwa:


  1. Islam adalah agama yang sesuai untuk semua bangsa maupun zaman. Kalau kelihatan ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi perubahan zaman, maka penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi dan pengertian baru tentang ajaran itu.

  2. Kemunduran yang dialami oleh umat Islam tak lain karena telah meninggalkan ajaran Islam yang sesungguhnya.

  3. Pemahaman terhadap qadha dan qadar dirusak oleh sebagian ulama, menjadi fatalisme yang membawa umat Islam kepada keadaan statis.

  4. Pemahaman yang keliru terhadap hadits Nabi menyatakan bahwa umat Islam akan mengalami kemunduran di akhir zaman membuat umat Islam tidak merubah nasibnya.

  5. Jalan keluarnya adalah melenyapkan pengertian yang salah itu dan kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya (Sejarah dan Kebudayaan Indonesia Jilid III, 1982: 19).

Sementara Syekh Muhammad Abduh mengungkapkan teori pembaharuannya sebagai berikut:

  1. Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah dan orang menyembah selain Allah adalah musyrik dan ia harus dibunuh.

  2. Orang Islam yang minta pertolongan kepada Wali atau Syekh atau kekuatan lain selain Allah, termasuk dia menjadi musyrik.

  3. Menyebut nama Nabi, Syekh atau Malaikat dalam doa juga syirik.

  4. Meminta selain kepada Allah adalah syirik.

  5. Bernazar selain kepada Allah adalah syirik.

  6. Tidak percaya kepada Qadha dan Qadar Allah itu menyebabkan kekufuran.

  7. Jalan keluarnya adalah melepaskan umat dari kesesatan ini dan kembali kepada Islam yang asli (Ibid: 183).

Dengan demikian terlihat adanya perbedaan pandangan dan orientasi dari kedua tokoh di atas. Kalau Sayid Jamaluddin Al-Afgani menekankan pada politik, maka Syekh Muhammad Abduh lebih mengutamakan pembaharuan dalam pendidikan menurut alam pikiran modern dengan tujuan untuk membangkitkan semangat umat Islam.

Tokoh-tokoh Islam memahami pentingnya Pan Islamisme sebagai usaha untuk membangkitkan kembali sistem kekhalifahan. Bahkan ada pula yang mendukung sistem pemerintahan kesultanan, disamping pemerintahan ala Barat. Oleh karena itu dilingkungan pendukung Pan Islamisme  muncul gagasan untuk mengembalikan pemerintahan kekhalifahan tunggal sebagaimana yang pernah terjadi pada masa al-Khulafaur ar-Rasyiddin (Empat Khalifah Besar). Pada waktu itu semangat Pan Islamisme telah berkembang dalam berbagai bentuk dan gerakan Islam diseluruh negara Islam. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan Fundamentalis Islam.

Pengaruh Pan Islamisme ini kemudian meluas ke seluruh negara Islam di dunia. Terbentuknya Liga Dunia Islam (Muslim Word League atau Rabitah al-Alam al-Islam) pada 1962 merupakan bentuk nyata dari gerakan Pan Islamisme. Liga Dunia Islam yang didukung oleh 43 negara kemudian menyelanggarakan konferensi Islam dan berbagai kegiatan lainnya. Raja Faisal dan Shah Iran pada 1965 menyerukan pentingnya menyelenggrakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam bagi para negara muslim di Makkah. Gagasan tersebut sesungguhnya merupakan bagian dari usaha mewujudkan semangat Pan Islamisme.

Sebuah konferensi yang dilaksanakanlima tahun kemudian di Jeddah, dihadir oleh para menteri luar negeri negara-negara Islam berhasil memebentuk sebuah lembaga permanen yang permanen yang diberi nama Organization of Islamic Conference (OIC) atau Organisasi Konferensi Islam (OKI) yang berkedudukan di Jeddah. Organisasi tersebut  dipandang sebagai upaya maksimal untuk menampung aspirasi pembaharuan dan penyatuan Islam. Pada 1991, oragnisasi tersebut menyelenggarakan konferensi yang ke-6 di Dakkar.perkembangan Pan Islamisme sangat pesat dinegara-negara Islam, seperti Mesir, Libya, Iran, Irak, Pakistan, Afghanistan, Arab Saudi, dan Indonesia. Tokoh-tokoh pembaharuan Islam yang terkenal di dunia antara lain Jamaluddin al-Afgani (1839-1877 M), Muhammad Abduh (1849-1905 M), dan Rashid Ridha (1864-1935 M). Pemikiran mereka sangat mempengaruhi pemikiran umat Islam di Indonesia. Pembaharuan Islam di Indonesia tampak dari berkembangnya organisasi-organisasi Islam, seperti Muhammadiyah dan Persatuan Islam.



Tokoh-Tokoh yang Berperan dalam Penyebaran Pan Islamisme di Indonesia

Pelopor pertama Syeikh Taher Jalaludin

            Syeikh Taher Jalaluddin yang usianya pada waktu itu masih muda, masih sempat beliau berguru berhalakah kepada Syeikh Muhammad ‘Abduh. Yang terang ialah bahwa sejak majalah “Al-Manar” diterbitkan pada tahun 1315 H, sampai majalah itu berhenti terbit, Syeikh Taher Jalaluddin bersama-sama dengan tuan Syeikh Muhammad Al-Kalali, seorang keturunan Arab, menerbitkan majalah “Al-Imam” di Singapura, yang isinya telah jelas mengambil haluan “Al-Manar”. Dan sekali-kali telah disalin beberapa rencana yang telah ditulis oleh Sayid. Jadi Syeikh Taher Jalaluddin sejak masih muda telah berguru kepada para tokoh agama untuk mendapatkan ilmu-ilmu yang berbasis Agama Islam.

            Jamaludin Al-Afghany dan Syeikh Muhammad ‘Abduh didalam majalah “Al-Urwatul Wutsqa” kedalam bahasa Melayu dan dimuat dalam majalah itu. Pada tahun 1908 terpaksa pimpinan majalah yang dicintainya itu ditinggalkannya, karena Sultan negeri Perak memintanya dengan sungguh-sungguh supaya sudi menjabat pangkat Mufti dalam kerajaan Perak. Kawan-kawannya menganjurkan agar beliau menerima jabatan yang mulia itu, karena merasa besar harapan dapat melancarkan cita-cita perubahan dan kemajuan yang sangat bergelora dalam hati beliau. Maka beliau terimalah jabatan itu dan diserahkannyalah pimpinan majalah “Al-Imam” kepada Sayid Muhammad bin Aqil, dan beliaupun berangkatlah ke Perak. Tetapi jabatan yang tinggi itu tidaklah rupanya memuaskan hati beliau. Fatwa-fatwanya sudah jauh lebih maju daripada fatwa yang biasa diterima dari mufti yang sebelumnya. Sehingga walaupun Sultan menyokongnya, namun ‘ulama-‘ulama Kerajaan yang lain tidaklah selalu senang menerima fatwa itu, sehingga senantiasa tumbuh perselisihan. beliau mohonkan kepada Sultan agar beliau dibebaskan dari tugas. Terpaksalah Sultan mengabulkan dan beliaupun berhentilah. Lalu beliau berangkat pada tahun 1911 ke negeri Johordan disana beliau mengajar. Dan pada tahun itu pulalah ‘ulama-‘ulama yang sefaham dengan beliau, atau murid-muris beliau waktu di Makkah meneluarkan majalah Islam yang kedua buat Indonesia dan Tanah Melayu, atau yang pertama di Sumatera. Yaitu Majalah “Al-Munir” terbit di Padang,  Pidato Hamka sewaktu akan menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas AL-Azhar di Mesir.

            Beliau menjadi Ketua Sidang Pengarang dari majalah “Saudara” yang terbit di Pulau Pinang sampai tahun 1937. Oleh sebab itu maka dalam catatan sejarah persurat-kabaran di Tanah Melayu, Syeikh Taher disebut “Syekhnya kaum wartawan”. Jadi mampu untuk di tarik kesimpulan bahwa Syeikh Taher adalah seseorang yang mempunyai jiwa-jiwa pemimpin terbukti Syeikh Taher bisa menjadi seorang ketua dalam Pengarang dari majalah “Saudara”.


Kaum Muda di Sumatra

Ulama-ulama yang menerima gerak baru di Sumatera itu, yang paling terkemuka ialah 3 orang. Syeikh Muhammad Djamil Djambek (yang tertua diantara mereka), Syeikh ‘Abdullah Ahmad dan Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah.

Ø  Syeikh ‘Abdullah Ahmad menetap di kota Padang dan beliau sendirilah yang mengepalai penerbitan “Al-Munir”. Syeikh Abdullah Ahmad adalah seorang pengarang dan wartawan, yang dengan penanya dapat menyiarkan fahamnya, bukan saja kepada orang kampung, bahkan dalam kalangan orang-orang yang berpendidikan barat. Yang salah seorang peminatnya adalah Mohamad Hatta yang menjadi petinggi Negara.

Ø   Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah menetap di Padang Panjang. Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dan menyatakan dengan terang-terangan dalam satu bukunya bahwa beliau membantah faham yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader-kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum.

Ø  Syeikh Muhammad Djamil Djambek di Bukittinggi. Syeikh Djamil Djambek ahli falak dan beliaulah yang mula-mula menyatakan pendapat bahwa memulai dan menutup puasa Ramadhan boleh dengan memakai hisab dan beliau amat ahli memikat hati orang supaya kuat beribadah dan membantah keras kepercayaan-kepercayaan yang salah tentang tasawuf.  Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah ahli dalam hal Fiqh dan Ushulnya, dan menyatakan dengan terang-terangan dalam satu bukunya bahwa beliau membantah faham yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup. Beliau mendirikan sebuah madrasah di Padang Panjang, untuk membentuk kader-kader yang kemudian menyampaikan fahamnya kepada umum.

Didalam “Al-Munir” itulah Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah menjawab segala soal yang berkenaan dengan hukum-hukum agama dan menyatakan fatwanya yang mulai kelihatan perbedaannya dengan faham-faham yang biasa. Adapun kegoncangan yang pertama timbul ialah setelah keluar buku “Al-Fawaid Al-‘Aliyyah” yang dikhususkannya untuk menyatakan bahwa melafalkan niat “ushalli” dipermulaan sembahyang itu tidaklah berasal daripada Rasul, dan tidak diperbuat oleh sahabat-sahabatnya dan tidak pula oleh Imam-Imam madzhab yang empat. Dikemukakannya pendapat ‘ulama, ulama segala madzhab yang menguatkan pendapatnya itu, diantaranya ialah perkataan Ibnul Qayyim didalam kitabnya Zaadul Ma’ad, “Pidato Hamka” sewaktu akan menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas AL-Azhar di Mesir.

            Kegoncangan kedua ialah setelah keluar pula kitabnya yang bernama “Iqazun Niyam” yang menyatakan pula bid’ahnya berdiri ketika membaca Maulid Nabi Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Setelah itu keluar pulalah fatwanya menyerang habis-habisan nikah “Muhallil”, padahal cara yang buruk itu masih banyak dilakukan orang diwaktu itu dan didiamkan saja oleh ‘ulama-‘ulama, bahkan dibolehkan, sebab ada ‘ulama mutaakhirin Syari’iyyah yang membolehkan. Setelah itu mulailah dibatalkannya amalan kaum tasawuf, yaitu merabithahkan hati dengan guru ketika mengerjakan suluk, dan diberantasnya faham Wahdatul Wujud jadi meskipun ditimbulkan diatas nama Syeikh ‘Abdul Karim Amrullah, namun kedua temannya itu turut bersatu mempertahankan fatwa itu jadi mampu untuk di tarik kesimpulan bahwa dari ketiga tokoh tersebut saling berdiri teguh dengan fatwa-fatwa yang telah di miliki.

 Selain dari itu mulai pulalah mereka mengubah Khutbah Jum’at. Selama ini khutbah Jum’at hanya dalam bahasa ‘Arab saja. Yang lebih dahulu tidak faham adalah khatibnya sendiri sebelum orang yang mendengar. Mereka mengeluarkan fatwa bahwa boleh khutah dalam bahasa yang difaham oleh umat di tempat itu, dan kalau yang memakai bahasa ‘Arab juga cukuplah rukun-rukunya saja, supaya ada faedah bagi khutbah itu yang bermaksud memberi petunjuk dan ajaran kepada kaum Muslimin! Dihitung orang adalah 17 perkara banyaknya soal baru yang mereka timbulkan. Niscaya timbullah reaksi daripada `Ulama yang bertahan pada yang lama. Dan reaksi itu amat hebat. `Abdul Karim Amrullah dan kawan-kawannya dituduh telah keluar dari Mazhab, bahkan telah talfiq dalam mazhab, sebab memakai alasan dari kitab Zadul Ma`ad, karangan Ibnul Qayyim, yang bukan seorang `Ulama Mazhab Syafi'i, tetapi bermazhab Hanbali dan banyak pula fatwanya yang disalahkan oleh `Ulama dizamannya. Dan apabila telah talfiq dalam mazhab, niscaya keluarlah dia dari Mazhab Ahli Sunnah Wal Jama'ah. Untuk itu, mereka menerbitkan pula satu majalah bernama “Al-Mizan". Mereka menamakan diri mereka “Kaum Tua" yang setia memegang Mazhab.

            Banyak ‘ulama yang mengarang bantahan khusus terhadap fitnah Sayid Zaini Dahlan dan Syekh Yusuf Nabhani ini. Diantaranya oleh Sayid Mahmud Syukri Al Alusi dalam kitab Ghayah Al Amani fi Ar-Radd ‘ala An-Nabhani. dan menggelari 'Ulama Angkatan Baru itu “Kaum Muda" yang keluar dari Mazhab. Terjadilah pertukaran fikiran, kadang-kadang bagus dan indah dan kadang-kadang kasar dalam kedua majalah itu. Mungkin setengah daripada perkara itu di zaman sekarang boleh dipandang kecil, tetapi bagi masa itu adalah soal penting, karena itulah permulaan daripada pembahasan yang membuka fikiran, tandanya pintu ijtihad telah mulai terbuka. Dahulu pedoman hanya kitab “Tuhfah" dan “Nihayah", sekarang sudah naik kepada “Al-Uum" dan terus kepada Al Quran. Dalam hebatnya pertentangan-pertentangan itu tersiarlah buku-buku karangan Sayid Zaini Dahlan dan Syekh Yusuf Nabhani. Kedua beliau itu dalam karangan-karangannya mencela faham Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim dan mencela Wahhabi, karena perkara tawassul. Dan Syekh Yusuf Nabhani tidak lagi semata-mata mencela, tetapi memfitnah dan membusuk-busukkan Sayid Jamaluddin Al-Afghany dan Syekh Muhammad 'Abduh, melepaskan seluruh sakit hatinya dengan kata-kata yang rendah, yang tidak layak bagi seorang biasa, usahkan `Ulama. Sampai sekarang masih ada sisa-sisa pengaruh fitnah buku Nabhani itu di tempat-tempat yang tersembunyi yang tidak berani menentang cahaya Matahari Kebenaran.

            “Kaum Muda" itu dituduhlah keluar dari Mazhab, meniru kafir karena membolehkan memakai pantalon dan membolehkan belajar agama dengan memakai bangku dan papan-tulis. Tetapi semua celaan, tantangan dan serangan itu tidaklah sedikit jua menjebabkan mereka mundur setapak juapun daripada langkah mereka, bahkan menambah mereka lebih berani. Sebagaimana saja katakan tadi, Syekh `Abdul Karim Amrullah mengajar di Padang Panjang, maka banyaklah murid datang. Diantara murid itu ialah Zainuddin Labay El-Yunusy yang telah menterjemahkan Riwayat Perjuangan Mustafa Kamil kedalam bahasa Indonesia ditahun 1916. Dan beliau tidak pula lupa memikirkan pendidikan bagi anak-anak perempuan, lalu beliau dirikan pula Madrasah yang khusus buat mereka. Maka adalah Nyonya Rahmah El- Maka ditahun berikutnya Al-Azhar pun untuk pertama kalinya setelah 1000 tahun berdirinya mendirikan sekolah untuk perempuan. Pengembangan sekolah ini dengan bantuan dari Ny. Rahmah El-Yunusyah sehingga beliau digelari “Syaikhah” oleh Al-Azhar

            Yunusyah yang telah ziarah ke Mesir ini tahun yang lalu, murid yang utama diantara mereka. Dan Nyonya Rahmah sendiri kemudiannya meneruskan usaha itu, sehingga sekolahnya itu dizaman sekarang menjadi satu teladan didikan bagi anak perempuan dalam hal agama, sehingga menimbulkan niat pula bagi Syekh Jami' Al-Azhar Dr Syekh `Abdur Rahman Taj hendak mendirikan sekolah semacam itu sebagai bahagian dari Al-Azhar, sebab telah beliau lihat sendiri seketika beliau melawat kesana13. Satu contoh dari pada keberanian `Ulama itu ialah soal pakaian. Sudah menjadi adat `Ulama memakai jubah dan sorban dan beliau-beliaupun memakai jubah dan sorban. Tetapi beliau-beliau telah menyatakan fatwa bahwa memakai pakaian secara Barat dengan capiau dan dasi tidaklah haram, karena Islam tidaklah menentukan corak pakaian tertentu; serupa benar dengan fatwa Syekh Muhammad 'Abduh yang terkenal dengan “Fatwa Transval" itu. Tetapi oleh karena 'Ulama Kaum Tua mengatakan bahwa berpakaian demikian haram, maka Syekh 'Abdullah Achmad dan Syekh `Abdul Karim Amrullah telah sengaja memakai pantalon, capiau dan dasi beberapa tahun lamanya. Dan kemudian setelah hal itu tidak menjadi bincangan hangat lagi, beliau-beliaupun kembali memakai jubah dan sorbannya. Dan Syekh Muhammad Djamil Djambek sengaja membeli motorfiets dan menaikinya sendiri, dan membeli mobil dan memegang setirnya sendiri, suatu hal yang “ganjil" bagi `Ulama pada pandangan waktu itu. Beliau memakai kendaraan itu buat pergi ke kampung-kampung memberi ajaran dan fatwa kepada ummat.             `Ulama-‘ulama Tua itupun pernah meminta fatwa kepada 'Ulama' Makkah buat menjatuhkan mereka itu dan buat mencap mereka sesat lagi menyesatkan, karena 17 masalah yang mereka keluarkan itu. Fatwa itupun datang, meskipun `Ulama-‘ulama Makkah itu hanya mendengar keterangan dari sebelah pihak saja. Tetapi tidaklah ada bekasnya atas Ummat Minangkabau, melainkan sangat sedikit, sebab pengaruh mereka atas negerinya sudah lebih dari pada pengaruh 'Ulama Makkah yang jauh itu. Orang tidak mau taqlid lagi.
Beberapa `Ulama Lain Yang Sefaham

            Beberapa orang `Ulama yang lain di Sumatera Barat menjelaskan pendirian yang berpihak kepada beliau-beliau. Patutlah dicatat nama Syekh Muhammad Thaib Tanjung Sungayang, Syekh 'Abdullatif Rasyid dan saudaranya Syekh Daud Rasyid Balingka, Syekh 'Abbas 'Abdullah dan saudaranya Syekh Mustafa 'Abdullah Padang Japang, Syekh 'Abdurrasjid Maninjau, Tuanku Laut Lintau, Syekh Ibrahim bin Musa Parabek. Yang satu inilah yang sekarang masih hidup. Beliau-beliau itu menerima murid-murid belajar pada pondoknya masing-masing. Seluruh madrasah itu pada tahun 1918 digabungkan dalam satu organisasi bernama “Sumatera Thawalib". Dalam madrasah itu sejak tahun 1918 itu mulailah dikaji orang karangan-karangan Muhammad 'Abduh dan tafsirnya, buah tangan Sayid Rasyid Ridha dan lain-lain, sehingga keluar dari sana angkatan muda Islam mendapat semangat baru. Dan beberapa orang diantara mereka melanjutkan belajar ke Al-Azhar dan Daru'l Ulum di Mesir mampu untuk di tarik sebuah kesimpulan bahwa madrasah-madrsah yang berada di daerah Sumatra mmapu untuk melahirkan murid-murid yang berprestasi yang mampu untuk di banggakan.

Beberapa ulama di Jawa yang terpengaruh oleh fikiran Muhammad Abduh di Tanah Jawa adalah sebagai berikut :
Syekh Ahmad Soorkati.

Yang pertama ialah Syekh Ahmad Soorkati As-Sudani, Syekh Ahmad Soorkati berasal dari Sudan dan lama berdiam di Madinah Munawwarah. Sebagian orang mengatakan bahwa Syekh Ahmad Soorkati meninggalkan Sudan setelah pemberontakan Mahdi. Syekh Ahmad Soorkati berangkat .ke Indonesia atas undangan masyarakat Arab Hadramaut yang telah lebih dulu datang ke Indonesia sejak awal abad kesembilan belas, atau lama sebelum itu. Jasa mereka besar juga dalam penyebaran dan pengokohan Islam di Indonesia. Tetapi tidaklah dapat mereka melepaskan diri sama sekali daripada kebekuan berpikir dan khurafat yang telah mereka bawa dari negeri asal mereka.

Tetapi ada juga beberapa orang yang telah terbuka matanya dan dapat melepaskan dirinya dari silang sengketa itu, yang tidak sesuai lagi dengan suasana baru di Indonesia, lalu mereka berlangganan majalah “Al-`Urwatul Wustqa", sehingga cara berfikir mereka menjadi maju dan majalah itupun dilarang masuk ke Batavia pada masa itu. Tetapi mereka dapat menerima majalah itu dengan diselundupkan dari Tuban, sebuah pelabuhan kecil di Jawa Timur. Setelah itu mereka berlangganan dengan majalah “Al-Manar" dari Sayid Rasyid Ridha. Keduanya inilah yang membuka jalan bagi kedatangan Syekh Ahmad Soorkati.

Tersebarlah faham Sayid Jamaluddin Al-Afghany, Syekh Muhammad 'Abduh dan Sayid Rasjid Ridha dikalangan masyarakat Arab Indonesia. Maka Syekh Ahmad Soorkati menganjurkan untuk mendirikan perkumpulan “Al-Irsyad" atas sendi ajaran 'Abduh. Perkumpulan itu masih tetap berdiri dan teguh memegang pendiriannya sampai sekarang.

Sayid 'Abdur Rahman Baswedan yang mula-mula menyatakan dengan tegas, anak-anak Arab dari Ibu Indonesia tidaklah “orang-asing" dinegeri ini dan tidak pula “golongan kecil". Sebab itu dianjurkan kaumnya supaya meleburkan diri ke dalam masyarakat Indonesia, karena mereka tidak akan pulang ke Hadramaut. bagaimana pula tantangan yang diterima oleh Baswedan dari bapa-bapa mereka orang Hadramaut asli di Indonesia, karena masa itu ada perasaan sedikit-sedikit bahwa orang Arab lebih tinggi kedudukannya dari pada orang Islam Indonesia.

Maka seketika Pemerintah Republik Indonesia bermaksud mengadakan kursi di dalam Parlemen dan Konstituante untuk golongan kecil, Baswedan telah menentang dengan keras, dan dia berkata : “Kami bukanlah golongan kecil di negeri ini. Kami adalah anak Indonesia ! Kami lahir disini, kami makan dari hasil buminya dan minum akan airnya, dan kamipun akan meninggal disini, insya Allah ! Kami tidak merasa ada perbedaan kami dengan saudara kami bangsa Indonesia yang lain, apatah lagi agama kami satu !”.

Lantaran tantangan yang keras itu terpaksa Pemerintah tidak mengadakan kursi untuk golongan Arab, dan yang ada hanyalah anak Indonesia turunan Arab, duduk dalam Parlemen atau Konstituante mewakili partai politik yang ada. Diantaranya Sdr. A. Rahman Baswedan sendiri mewakili partai Masyumi sebagai temannya Omar Hobais, dan Hamid Al-Qaderi mewakili Partai Sosialis Indonesia dan lain-lain dari berbagai partai. Dan Baswedan sebagai juga Omar Hobais adalah pemuka-pemuka yang sangat giat dalam partai Masyumi.
K.H.A. Dahlan dan Muhammadiyah.

Kalau Syekh Ahmad Soorkati penyebar faham 'Abduh dalam kalangan Arab, maka adalah K.H.A. Dahlan penyiarnya dalam kalangan orang Indonesia. Beliaulah pendiri Perserikatan Muhammadiyah. K.H.A. Dahlan dilahirkan di Jogjakarta, Jawa Tengah, tempat kedudukan Sulthan Jawa. Beliau adalah dari keturunan orang-orang mulia dan nenek moyang beliau termasuk orang-orang besar disekeliling Raja, sehingga Sulthan telah memberikan kepadanya jabatan agama, yaitu menjadi Khathib dari Masjid Sulthan dan diberi gelar “Khathib Amin".

Setelah K.H.A. Dahlan berlangganan dengan majalah Al 'Urwatul Wustqa dan Al-Manar K.H.A. Dahlan mendapat fikiran baru tentang Islam, ditambah lagi dengan membaca Tafsir Muhammad 'Abduh dan kitab-kitab Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qayyim. Maka dengan berangsur-angsur K.H.A. Dahlan melepaskan diri dari ikatan jabatan dan mulailah beliau melihat dan memperhatikan nasib Umat Islam Jawa dari dekat. K.H.A. Dahlan melihat Islam di tanah Jawa dalam bahaya. K.H.A. Dahlan melihat bahwa tiga musuh besar bagi perkembangan jiwa bangsa telah menyerang Umat Islam, yaitu kebodohan, kemelaratan dan penderitaan, atau penyakit lahir dan bathin. Islam kian lama kian mundur dan seorang ulama pun tidak ada yang tampiuntuk memperbaiki adat istiadat dan pengaruh ajaran agama yang telah lebih dahulu dipeluk oleh bangsa Jawa, yaitu Buddha dan Hindu belum hilang sama sekali.

Oleh sebab itu haruslah ada satu gerakan agama yang lebih teratur yang dapat menandingi pula gerakan teratur dari pihak lawan. Maka beliau dirikanlah gerakan Muhammadiyah pada tahun 1912. Dan dimintanya pengakuan dari pihak kekuasaan Belanda.

Tujuan pergerakan itu ialah :

1. Memajukan dan menggembirakan pelajaran dan pengajaran Agama Islam.

2. Memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan Agama Islam bagi anggota-anggotanya.

Untuk mencapai tujuan itu hendaklah terlebih dahulu anggota Muhammadiyah memperbaiki aqidah-nya tentang Islam, dari pada khurafat dan bid'ah, bersendi kepada Al-Quran dan Sunnah. Dan hendaklah anggota itu mempertinggi mutu imannya dan membersihkan jiwanya daripada syirik, dan menghidupkan tolong menolong berbuat kebajikan dan taqwa, supaja menjadi Muslim sejati. Dan diwajibkannya anggota-anggota itu, atau muridnya mempelajari Al-Quran dan menyesuaikan hidup, setapak demi setapak dengan ajarannya, dan hendaklah dipelihara sungguh-sungguh ibadat kepada Tuhan sejak dari wajibnya sampai kepada sunnat.

Mula-mula beliau matangkan didikannya kepada murid-muridnya di sekeliling kampung Kauman Yogyakarta, yaitu kampung yang selalu terdapat di kota-kota ditanah Jawa, didekat masjid. Setelah jiwa muridnya itu berisi, disuruhlah mereka mempedomani Hadist Nabi : “Sampaikan dari padaku, walaupun satu ayat !" Lalu menyiarkan fahamnya itu ketempat-tempat lain, mula-mulanya di sekelilingnya, lalu lama-lama ke kota-kota yang lain. Dan didirikanlah cabang-cabang atau ranting Muhammadiyah di kota yang lain itu, dengan tujuan yang tidak berobah daripada di pusat.

Usahanya dan keteguhan hatinya didengar di seluruh Tanah Jawa. Bermacam-macam penerimaan masyarakat. Ada yang menentang dan ada yang menerimanya lalu berhubungan langsung dengan beliau. Ada pemuda-pemuda yang datang sendiri menziarahinya ke Yogya dan setelah K.H.A. Dahlan melihat bahwa pemuda itu dapat diajadikan harapan untuk menjadi penyebar fahamnya di tempat kediamannya, K.H.A. Dahlan pun datang sendiri ketempat pemuda itu.

Maka dengan tidak memperdulikan kesehatannya dan tidak memperdulikan harta bendanya, kerap kalilah beliau meninggalkan rumah tangganya. Pergi ke Solo, Surabaya, Madiun, Pekalongan, Bandung dan Jakarta. Sebagai saja katakan tadi pula, tidaklah saja hendak menerangkan bagaimana besar reaksi dari pembela faham lama terhadap K.H.A. Dahlan.

K.H.A. Dahlan pernah dituduh perusak agama, dan kata orang pernah beliau ditampar dalam satu majlis, sehingga terjatuh serbannya, dan itu diterimanya saja dengan lapang dada. Sebab telah ada pengobat hatinya, yaitu beberapa orang pemuda yang telah menyambut ajarannya dengan mendalam, Mansyur di Surabaya, `Abdul Mu'thi di Madiun, Muchtar Buchari di Solo, Kartosudarmo di Jakarta dan lain, yang kemudian menjadi pemimpin-pemimpin Muhammadiyah yang penting.

Cita-cita yang K.H.A. Dahlan tanamkan itu pun tumbuh, dan berdirilah cabang Muhammadiyah di Solo, Surabaya, Pekalongan, Garut dan Jakarta dan beberapa tempat lain, masing-masing dengan amalnya sendiri. Karena beliau membuat aturan yang masih dipakai sampai sekarang. Suatu cabang belum disahkan sebelum ada bekas amalnya.

Muhammadiyah telah berdiri teguh, meskipun baru sedikit, dan K.H.A. Dahlan yakin nanti akan tersebar lagi. Tetapi karena itu, harta bendanya telah habis dan kesehatannya telah sangat mundur. K.H.A. Dahlan wafat pada tahun 1923, setelah 11 tahun berjuang siang malam. K.H.A. Dahlan meninggal dalam hal keadaan miskin harta benda dan kaya dalam bekas amalan.

Setelah K.H.A. Dahlan meninggal, murid-murid dan pengikutnya telah menyebarkan Muhammadiyah keluar Jawa, ke Sulawesi, ke Kalimantan, ke Pulau Billiton dan ke Sumatera. Dan tersebarlah dengan amat pesatnya di Minangkabau setelah Syekh `Abdul Karim Amrullah pada ziarahnya yang kedua kali, datang pula ke Yogya dan mempelajari Anggaran Dasar Muhammadiyah, dan setelah Syekh `Abdul Karim Amrullah pulang, diajaknya murid-murid dan anak-anaknya mendirikan Pergerakan itu pula di Minangkabau. Maka masuklah orang berduyun-duyun dan berdirilah cabang-cabangnya disana, sampai sanggup mengadakan Kongres Besar Muhammadiyah seluruh Indonesia di Bukittinggi pada tahun 1930.

Pergerakan ini tidak mencampuri politik, meskipun K.H.A. Dahlan sendiri menjadi Penasehat dari Partai Syarikat Islam yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto. Dan Markas Besarnya sampai sekarang ialah kota Yogyakarta. Tetapi anggotanya bebas memasuki partai politik yang disukainya, yang dianjurkan kalau hendak berpolitik pilihlah yang bertujuan Islam. Oleh sebab itu sebahagian besar mereka masuk dalam Partai Politik Islam Masyumi, dan sedikit yang masuk yang lain, dan tidak ada yang masuk Partai Komunis.

Adapun anggota pergerakan ini tidaklah banyak, jika dibandingkan dengan bilangan orang Islam di Indonesia. Bangsa Indonesia menurut hitungan terakhir 80 juta, 75 juta beragama Islam, dan anggota Muhammadiyah setelah diadakan saringan hanya 200,000 orang. Sebabnya ialah karena menerima anggota tidaklah dipermudah. Yang diterima ialah orang yang baik akhlaknya dan baik ibadatnya, dan bagi barangsiapa yang belum lengkap syarat itu masih dibilangkan “kandidat anggota", atau penganut faham (simpatisan). Dan yang terpenting lagi ialah pengaruh anggota yang sedikit kepada masyarakat Islam yang banyak dan bekas amalnya. Semua beramal menurut bakatnya (kullun ya'malu 'ala syakilatih).
Ahmad Hasan

Nama Ahmad Hasan yang dikenal sebagai Hasan bandung walaupun telah bertahun-tahun tinggal di Bangil, Ahmad Hassan merupakan seorang ulama besar yang  lahir pada tahun1887 di Singapura. Ayahnya bernama Ahmad seorang pengarang dan wartawan yang terkenal di Singapura, yang menerbitkan beberapa surat kabar dalam bahasa Tamil. Ibunya bernama Haji Muznah berasal dari Palekat ( Madras ), tetapi kelahiran Surabaya, Ahmad dan Muznah menikah di Surabaya dan kemudian pindah ke Singapura.di sanalah lahir Ahmad Hassan bin Ahmad .

Pendidikan A. Hassan, pada usia 7 tahun A. Hassan Al-Qur’an dan agama kemudian masuk sekolah melayu, belajar bahasa Arab, Melayu, Tamil dan Inggris. Keahlian A. Hassan dalam agama ialah masalah Hadits, Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Ilmu Kalam dan Manthiq. Diluar waktu belajar, Ahmad Hassan juga mengasah bakatnya dalam bidang bertenun dan pertukangan kayu, dia juga sempat membantu ayahnya di percetakan, menjadi pelayan dan lain-lain. Setelah menyelesaikan proses belajar hingga tahun 1910, Hassan mengabdikan diri sebagai guru di Madrasah untuk orang-orang India di beberapa tempat, antaralain di Arab Street, Baghdad Street dan Geylang di Singapura.

Keinginan ayah Ahmad Hassan untuk melihat anaknya menjadi penulis membuahkan hasil, pada tahun 1912-1913 Ahmad Hassan membantu Utusan Melayu yang diterbitkan di Singapura pimpinan Inche Hamid. Ahmad Hassan   banyak menulis tentang nasehat, anjuran untuk berbuat baik, mencegah kejahatan, ia juga menyoroti berbagai masalah yang berkembang dalam bentuk syair, tulisannya banyak mengandung kritikan masyarakat untuk kemajuan Islam.

Salah  satu tulisannya yang dianggap kritis waktu itu ialah kritikannya terhadap Tuan Qadhi (Hakim Agama) yang memeriksa perkara dengan mencampurkan tempat duduk pria dan wanita. Saat itu merupakan tindakan yang luar biasa mengingat Hakim Agama memililki kedudukan yang tinggi sehingga tidak ada yang berani mengkritiknya. Dalam profesi Ahmad Hassan sebagai pengarang dan penulis, Hassan pernah membuat cerita humor dan diterbitkan dalam empat jilid.

 Pada tahun 1921 Ahmad Hassan pindah dari Singapura ke Surabaya, mula-mula Ahmad Hassan berdagang namun mengalami kerugian, sehingga Ahmad Hassan kembali bekerja sebagai vulkanisir ban mobil. Jiwa pejuangan dan pengetahuan agama yang menyebabkan Ahmad Hassan dalam waktu singkat berkenalan dengan para pemimpin Serikat Islam di Surabaya. Dia bersahabat baik dengan H.O.S Cokroaminoto, A.M Sangaji, H.A Salim Bakri Suratmaja dan lain-lain.

Ahmad Hassan pernah belajar tenun di Kediri, Tetapi Ahmad Hassan belum puas, lalu ia pergi ke Bandung dan mendapat ijazah di sana,.selama tinggal di Bandung Ahmad Hassan berkenalan dengan tokoh-tokoh Persis,antara lain Asyari, Tamim Zamzam dan lain-lain, kedatangan ke bandung pada tahun 1925, dua tahun setelah berdiri Persatuan Islam. Sering kali Ahmad Hassan mengajar di pengajian-pengajian Persis, Ahmad Hassan menetap di Bandung, menjadi guru Persis dan menjadi tokoh terkemuka di Persis

 Banyak pekerjaan yang dilakukan oleh Ahmad Hassan antara lain menjadi guru Persis, member kursus padaa pelajar-pelajar didikan barat, bertabligh setiap minggu, menyusun berbagaai karangan untuk mengissi majalah ataupun buku lainnya.

 Setelah tujuh belas tahun Ahmad Hassan tnggal di Bandung, pada tahun 1941 ia pindah ke bangil, bersama percetakannya sebagai bekal hidup, di Bangil ini Ahmad Hassan terus berdakwah dan menulis,  ia mencetaak dan menerbitkan sendiri kartanya. Di Bangil Ahmad Hassan mendirikan pesantren PERSIS di samping pesantren putri yang sampai kini dihuni oleh para santri dari berbagai tanah air.

  Sejak itulah, banyak organisasi Islam yang muncul. Persatuan Islam berdiri di Bandung pada 12 September 1923, Organisasi Persatuan Islam atau yang lebih dikenal dengan nama PERSIS merupakan organisasi sosial keagamaan yang proses berdirinya di awali dengan terbentuknya suatu kelompok tadarusan di Kota Bandung yang dipimpin oleh Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus. Keduanya merupakan keturunan dari tiga keluarga yang pindah dari Palembang pada abad 18 (Federspiel 1996:15)

  Pada dasarnya, perhatian Persis ditujukan terutama pada penyebaran paham Alquran dan sunah. Hal ini dilakukan melalui berbagai aktivitas, di antaranya dengan mengadakan pertemuan-pertemuan umum, tabligh, khutbah, kelompok studi, tadarus, pendirian sekolah-sekolah ( pesantren ), penerbitan majalah-majalah dan kitab-kitab, serta berbagai aktivitas keagamaan lainnya.

  Dalam bidang pendidikan, pada 1924 diselenggarakan kelas pendidikan akidah dan ibadah bagi orang dewasa. Pada 1927, didirikan lembaga pendidikan kanak-kanak dan Holland Inlandesch School ( HIS ) yang merupakan proyek lembaga Pendidikan Islam (Pendis) di bawah pimpinan Mohammad Natsir. Kemudian, pada 4 Maret 1936, secara resmi didirikan Pesantren Persis yang pertama dan diberi nomor satu di Bandung.

  Dalam bidang penerbitan ( publikasi ), Persis banyak menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah, di antaranya majalah Pembela Islam ( 1929 ), Al-Fatwa ( 1931 ), Al-Lissan ( 1935 ), At-Taqwa ( 1937 ), majalah berkala Al-Hikam ( 1939 ), Aliran Islam ( 1948 ), Risalah ( 1962 ), Pemuda Persis Tamaddun ( 1970 ), majalah berbahasa Sunda Iber ( 1967 ), dan berbagai majalah ataupun siaran publikasi yang diterbitkan oleh cabang-cabang Persis di berbagai tempat. Beberapa di antara majalah tersebut saat ini sudah tidak diterbitkan lagi (Republika,3 Oktober 2010).

            Sejak berdirinya pada 1923, Persis tetap konsisten berjuang menegakkan misi utama organisasi ini. Bahkan, Ahmad Hassan, sang guru utama Persis, harus berhadapan dengan sejumlah tokoh yang mendebatnya, karena dianggap pandangannya yang radikal. Namun, semua itu dibuktikan A Hassan dengan dasar-dasar yang konkret dalam Alquran. A Hassan menginginkan umat ini kembali mengkaji Al-Quran dan Sunnah, sebagai rujukan utama. Bila tidak ditemukan dasarnya dalam kedua sumber hukum Islam tersebut, maka perbuatan itu harus ditinggalkan (Republika, 3 Oktober 2010).


Pengaruh Gerakan Pembaharuan Pan Islamisme di Indonesia

Gerakan reformasi Islam di Timur Tengah berkembang sebagai reaksi terhadap imperialisme Eropa. Tokoh terkemuka dari gerakan tersebut adalah Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) dan Syekh Muhammad Abduh (1849-1905) serta muridnya, Muhammad Rasyid Ridha. Pada permulaan abad ke-20, gerakan reformasi tersebut turut mempengaruhi bangkitnya pergerakan nasional Indonesia. Menurut Noer (1990) bahwa gerakan pembaharuan di Indonesia tidak pernah lepas dari perkembangan dunia pada umumnya. Inspirasi dari luar, terutama datang dari Timur Tengah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Pieter Korver (1986) bahwa: “Pada tahun-tahun permulaan abad ini, suatu gerakan reformasi Islam yang berpengaruh mulai tumbuh di Indonesia, sebagai suatu bagian yang hakiki dari perjuangan pergerakan nasional kepulauan tersebut pada waktu itu. Diilhami oleh ahli fikir Islam yang berhaluan modern, seperti Muhammad Abduh (1849-1905) dan Jamaluddin Al-Afgani (1839-1897) di Timur Tengah.”

Zuhri (1981) menyatakan bahwa pergerakan yang terjadi di Mesir sangat diperhatikan oleh para pemimpin di Indonesia pada permulaan abad ke-20. Salah satu faktor ekstern yang mempengaruhi kebangkitan nasional Indonesia adalah pengaruh gerakan Pan Islam yang dipelopori oleh Sayid Jamaluddin Al-Afgani dengan target politiknya menghilangkan sebab-sebab yang memecah belah umat muslim, serta mempersatukan kaum muslim untuk mempertahankan iman. Sementara Syekh Muhammad Abduh yang bergerak di bidang agama dengan tujuan menuntut pemurnian kepercayaan dan amal keagamaan, kenaikan taraf kecerdasan dan modernisasi pendidikan.

Gerakan kedua tokoh tersebut membangkitkan pergerakan nasional Indonesia, terutama organisasi Al-Jam’iyat Al-Khairiyah (1906), Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912). Waktu itu Al-Jam’iyat Al-Khairiyah dan Muhammadiyah berorientasi pada pendidikan, sedangkan Sarekat Islam pada bidang politik. Aliran Muhammad Abduh yang gerakannya mengarah pada usaha pendidikan, membentuk generasi baru yang akan meneruskan perjuangan, telah mempengaruhi K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta dengan gerakan Muhammadiyah dan K.H. Hasyim Asy’ari di Jawa Timur dengan Nahdlatul Ulama.

Pengaruh Pan Islamisme ini, khususnya dalam bidang agama, menyatakan bahwa kitab tafsir “Al-Manar” karangan Muhammad Abduh yang diterbitkan oleh Muhammad Rasyid Ridha memperoleh tempat di hati para pemimpin masyarakat Islam di Indonesia sehingga gerakan pembaharu itu melahirkan Muhammadiyah pada tanggal 18 Nopember 1912. Tentang Al-Jam’iyat Al-Khairiyah sebagai organisasi berhaluan non politik (agama) banyak mendatangkan guru dari tanah Arab, seperti Syekh Muhammad Noer yang pernah belajar langsung pada Muhammad Abduh. Dalam mengembangkan pemikiran, murid-murid diberikan pengertian dalam daya kritik, bukan hafalan.

Pengaruh Pan Islamisme terhadap organisasi Sarekat Islam nampak terutama ketika organisasi tersebut dipimpin oleh H.O.S. Cokroaminoto yang mengikuti pemikiran politik Jamaluddin Al-Afgani dalam menentang kolonialisme dan imperialisme Barat. Dalam perkembangannya, Partai Sarekat Islam dan Muhammadiyah mendirikan All Islam Congress pada tahun 1924. Selain ketiga organisasi tersebut, Nahdlatul Ulama (1926) termasuk organisasi yang mendapat pengaruh atas perkembangan tersebut. Hal ini terlihat dalam reaksinya terhadap dihapuskannya kedudukan khalifah oleh Turki dan direbutnya kota Mekah. Pada bulan Februari 1926, NU mengirim suatu Komite (Komite Hijaz) ke Raja Ibnu Sa’ud, penguasa baru di Mekah beraliran Wahabi, agar memberikan keleluasaan pelaksanaan syariat atas dasar empat mazhab terhadap kegiatan ibadah di tanah suci, dan upaya Komite Hijaz ini berhasil. Dalam melaksanakan tugas kepemimpinan, NU menyadari bahwa masalah yang sedang dihadapi adalah mewujudkan cita-cita kejayaan Islam, kesejahteraan umat manusia, persatuan bangsa dan martabatnya, serta membina masa depan yang baik.




Yüklə 134,55 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin