Pemilihan presiden secara bertahap



Yüklə 14,95 Kb.
tarix26.10.2017
ölçüsü14,95 Kb.
#14091

PEMILIHAN PRESIDEN SECARA BERTAHAP
oleh : Rhiza S. Sadjad

Penulis bukan seorang pakar dalam bidang politik atau pun tata-negara, bukan pula seorang pengamat serius dalam bidang ini. Sebagai seorang warga-negara yang baik, penulis merasa terdorong untuk ikut urun-rembug dalam masalah pemilihan Presiden Republik ini, karena rasa prihatin mengamati polemik yang berkembang sejauh ini. Elit politik dan para pakar kelihatannya lebih memperhatikan masalah figur calon-calon Presiden ketimbang proses pemilihannya sendiri. Padahal, menurut hemat penulis, selain figur-figur itu sendiri, proses teknis pemilihannya juga sangat menentukan sehingga kelak dapat diperoleh seorang Presiden yang mendapat dukungan masyarakat luas. Perlu diingat bahwa ada kemungkinan pemilihan Presiden tahun 1999 ini merupakan kesempatan terakhir dilaksanakan secara tidak langsung melalui MPR. Kalau usul pemilihan langsung diterima oleh MPR melalui amandemen UUD’45 atau Tap MPR, maka untuk selanjutnya rakyat Indonesia akan memilih langsung Presidennya. Oleh sebab itu, penulis berpendapat bahwa pemilihan Presiden kali ini harus bisa dilaksanakan secara cermat dan seksama prosesnya sehingga bisa berlangsung “jurdil” juga seperti PEMILU. Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi bekal masukan bagi para caleg jadi, utusan daerah dan utusan golongan yang nanti akan duduk di kursi MPR beberapa bulan lagi, Insya Allah.


Penulis berpendapat bahwa terpilihnya Presiden dan Wakil Presiden yang didukung oleh sebagian besar rakyat Indonesia hanya mungkin terjadi jika pada tahap final pemilihan di MPR hanya ada 2 (dua) pasang Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres). Seyogyanyalah memang Capres dan Cawapres merupakan pasangan yang diajukan dalam satu paket, tidak dipilih sendiri-sendiri. Jika hanya ada 2 (dua) pasang calon ini, maka kemungkinan “dead-lock” kecil sekali, yaitu hanya mungkin terjadi bila masing-masing calon mendapatkan hasil seri 350 suara dari 700 anggota MPR, atau bila banyak anggota MPR yang abstain. Oleh sebab itu, pentahapan pencalonan Capres dan Cawapres yang penulis usulkan dalam tulisan ini diarahkan sedemikian rupa sehingga pada akhirnya hanya akan keluar 2 (dua) pasang Capres dan Cawapres.
Pada tahap awal, pencalonan harus dilaksanakan secara terbuka seluas-luasnya. Pada dasarnya persyaratan Capres dan Cawapres menurut UUD’45 hanyalah orang Indonesia asli. Oleh sebab itu, suatu Panitia intern MPR yang menangani proses pemilihan ini, harus secara terbuka menerima pencalonan dari siapa pun yang menyertakan bukti “keaslian” dirinya (misalnya dengan akte kelahiran atau tanda kenal lahir) dan berminat untuk menjadi Capres. Proses ini agak mirip dengan proses pendaftaran Partai-Partai Politik tempo hari. Mungkin sebagai pelengkap, bisa juga disertakan tanda kenal diri yang syah dan selembar-dua bio-data ringkas. Penulis berkeyakinan – kalau mengingat masa kampanye Partai-Partai yang lalu - bahwa dengan keterbukaan semacam ini, jumlah pendaftar Capres akan melebihi 5 (lima) orang. Tugas anggota MPR yang pertama adalah menyeleksi para Capres tersebut hingga diperoleh 5 (lima) Capres yang mendapat dukungan terbanyak dari 700 anggota MPR. Yang paling praktis untuk menelorkan 5 (lima) Capres ini adalah dengan cara “one-man-one-vote” secara tertutup dan rahasia. Kalau ada lebih dari 5 (lima) Capres yang mendapat suara terbanyak, karena satu atau beberapa Capres mendapat jumlah suara sama, maka dilakukan voting lagi khusus untuk yang sama itu saja. Bisa saja dilakukan voting berulang-ulang, sampai betul-betul diperoleh 5 (lima) orang semifinalis yang didukung oleh sebagian besar anggota MPR.
Pada tahap selanjutnya, kelima orang semifinalis tersebut diwajibkan untuk menentukan Cawapres-nya masing-masing. Ini bakalan seru, karena sudah pasti para semifinalis itu akan bersaing mendapatkan Cawapres dari mantan Capres yang tidak masuk lima besar, yang masih mendapatkan dukungan suara juga dari anggota MPR. Atau antar para semifinalis sendiri bisa saja terjadi “baku-tunjuk” Cawapres. Ini semua dalam rangka upaya untuk lolos ke babak final, menjadi dua besar. Mungkin harus dibuat aturan bahwa tidak boleh ada Cawapres yang bermitra dengan dua atau lebih Capres. Setelah kelima semifinalis menetapkan Cawapres-nya masing-masing, maka dijadwalkanlah dengar pendapat terbuka (public-hearing) dengan anggota MPR disaksikan oleh seluruh rakyat melalui liputan Radio dan Televisi. Inilah kesempatan bagi kelima pasang Capres dan Cawapres untuk memperlihatkan segenap potensinya di hadapan seluruh rakyat dan wakil-wakil mereka. Selesai acara ini, maka MPR pun reses selama misalnya seminggu. Selama waktu reses ini, para anggota MPR yang terhormat ini diharapkan kembali ke konstituen-nya masing-masing untuk menyerap aspirasi dari rakyat yang mereka wakili tentang kelima pasang semifinalis itu. Anggota MPR yang terpilih langsung melalui PEMILU kembali ke daerah pemilihan (DT II)-nya masing-masing, wakil TNI/POLRI kembali ke kesatuannya masing-masing, demikian juga para utusan daerah dan utusan golongan.
Masa reses ini merupakan ujian pertama bagi efektivitas “sistem distrik” yang dicita-citakan oleh banyak pengamat dan pakar politik. Selain itu, saat inilah diuji kemampuan para wakil rakyat itu dalam menyerap aspirasi dari bawah. Teknis penyerapannya diserahkan pada masing-masing individu wakil rakyat. Tujuannya adalah mencari siapa dua pasangan Capres dan Cawapres dari kelima semifinalis itu yang dianggap oleh rakyat konstituen paling layak masuk final dua besar. Waktu kembali ke Senayan, setiap anggota MPR yang 700 orang itu masing-masing harus sudah mengantongi dua pasang nama Capres dan Cawapres yang diamanahkan oleh konstituen-nya masing-masing. Langsung kedua pasang nama itu diserahkan kepada Panitia secara tertutup atau terbuka (tidak ada masalah, karena konstituen masing-masing bisa mengontrol, apakah terjadi penyalah-gunaan amanah atau tidak oleh wakilnya di MPR), dan tanpa menunda-nunda lagi langsung dihitung. Kalau ternyata ada satu pasang Capres dan Cawapres yang memperoleh suara terbanyak, sedangkan runner-up-nya ada lebih dari satu, maka voting diulang hanya untuk menentukan runner-up-nya saja. Pendeknya harus dihasilkan dua pasang finalis Capres dan Cawapres. Tidak lebih dan tidak kurang!
Acara berikutnya adalah debat terbuka dua pasang finalis ini di hadapan sidang pleno MPR dan diliput secara luas oleh media-massa cetak dan elektronik. Issue-issue yang dibahas dalam debat terbuka ini harus dipersiapkan baik-baik oleh Panitia, sehingga debat yang terjadi benar-benar debat yang bermutu serta dapat menggali seluruh kemampuan, wawasan dan potensi calon-calon pemimpin tertinggi bangsa ini.
Setelah debat terbuka ini, barulah pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sesungguhnya akan dilaksanakan oleh MPR sebagaimana diamanatkan oleh UUD’45 yang masih berlaku hingga saat itu, kecuali kalau sebelum itu telah dilakukan amandemen terlebih dahulu. Pemilihan ini hendaknya kembali dilakukan secara “one-man-one-vote” dan secara tertutup. Harapan sangat besar bahwa siapa pun yang terpilih nantinya, tentunya akan didukung oleh sebagian besar anggota MPR, yang berarti juga didukung oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Kalau pun terjadi “dead-lock” sebagaimana diterangkan pada awal tulisan ini, maka masih ada jalan terakhir, yaitu dilakukan pemilihan langsung. Artinya anggota MPR bisa dianggap tidak berhasil memutuskan siapa di antara kedua pasang Capres dan Cawapres yang sungguh-sungguh layak terpilih. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain, kedua pasang calon pemimpin bangsa itu dilemparkan kembali kepada seluruh rakyat untuk dipilih langsung.
Saya yakin, jika proses seperti di atas dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan jurdil, maka siapa pun yang kelak terpilih, Insya Allah akan didukung oleh seluruh rakyat, karena rakyat akan merasa puas telah mendapatkan siapa yang benar-benar terbaik. Mungkin juga bisa disepakati sebelumnya, bahwa pasangan pecundang dari proses pemilihan final itu, secara otomatis mantan Capres-nya menjadi Ketua MPR, sedangkan mantan Cawapres-nya menjadi Ketua DPR, atau masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua MPR/DPR. Dengan begitu, maka pada masa pemerintahan Republik Indonesia periode 1999-2004, diharapkan akan terjadi hubungan “check and balance” yang baik antara lembaga eksekutif dan legislatif, karena pimpinan kedua lembaga ini merupakan “mantan seteru” dalam pemilihan Presiden. Selain itu, rakyat tentu akan merasa “legowo”, karena pemimpin bangsa ini adalah orang-orang terpilih yang muncul dari suatu proses pemilihan yang ketat dan berliku-liku. Sebuah tradisi baru memilih pemimpin yang benar-benar demokratis akan lahir di bumi pertiwi tercinta ini. Amien.
* Penulis adalah dosen Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin Ujungpandang.





Yüklə 14,95 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin