TUGAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TOLERANSI UMAT BERAGAMA DALAM ISLAM
Dibuat untuk Memenuhi Tugas Pendidikan Agama Islam
Oleh :
Mohamad Aunurrohim (11401244031)
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini tepat pada waktunya yang berjudul “TOLERANSI ANTAR UMAT BERGAMA DALAM ISLAM”
Makalah ini berisikan informasi tentang pengertian dan perkembangan toleransi antar umat beragama. Lebih khususnya tentang bagaimana toleransi antar umat beragama dalam islam itu diterapkan. Diharapkan Makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang bagaimana toleransi antar umat beragama itu terjadi sehingga dapat menambah wawasan dan tingkah laku pembaca.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan kelancaran segala usaha kita.
Yogyakarta, Februari 2012
Penyusun
DAFTAR ISI
-
Kata Pengantar………………………………………………………2
-
Daftar Isi………………………………………………………….....3
-
BAB I Pendahuluan…………………………………………………4
-
A. Latar Belakang…………………………………………...4
-
B. Rumusan Masalah………………………………………..4
-
C. Maksud dan Tujuan………………………………………4
-
D. Metode Penulisan………………………………………...4
-
BAB II Pembahasan…………………………………………………5
-
BAB III Penutup…………………………………………………....12
-
Daftar Pustaka………………………………………………………13
BAB I
Pendahuluan
-
Latar belakang
Kita ketahui bersama bila dalam masyarakat yang majemuk ini banyak sekali perbedaan-perbedaan kepercayaan ataupun agama, untuk itu sangat diperlukan suatu sikap toleransi antar umat beragama, sikap toleransi ini sangat diperlukan untuk kehidupan manusia sehari-hari. Untuk itu kami menyajikan makalah ini sebagai sebuah tuntunan.
-
Rumusan Masalah
-
Apakah toleransi umat beragama itu?
-
Apa saja yang menjadi permasalahan dalam toleransi umat beragama?
-
Bagaimanakah menurut pandangan Islam tentang toleransi umat beragama?
-
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini supaya penyusun maupun pembaca dapat mengetahui tentang bagaimana seharusnya kita bertoleransi antar umat beragama. Terutama permasalahan tentang bagaimanakah toleransi umat beragama dalam islam. Serta bagaimana kita harus melaksanakannya dalam kehidupan kita sehari-hari.
-
Metode Penulisan
Penyusun makalah ini mempergunakan metode kepustakaan. Cara yang digunakan adalah studi pustaka membaca buku-buku yang berkaitan.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, Toleransi yang berasal dari kata “toleran” itu sendiri berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal, tasamuh” yang artinya sikap membiarkan, lapang dada (samuha-yasmuhu-samhan, wasimaahan, wasamaahatan) artinya: murah hati, suka berderma (kamus Al Muna-wir hal.702). Jadi, toleransi (tasamuh) beragama adalah menghargai dengan sabar, menghormati keyakinan atau kepercayaan seseorang atau kelompok lain.
Kesalahan memahami arti toleransi dapat mengakibatkan talbisul haqbil bathil (mencampuradukan antara hak dan bathil) yakni suatu sikap yang sangat terlarang dilakukan seorang muslim, seperti halnya nikah antar agama yang dijadikan alasan adalah toleransi padahal itu merupakan sikap sinkretisme yang dilarang oleh Islam. Sinkretisme adalah membenarkan semua agama.
Beberapa waktu lalu, wajah keberagaman kita tercoreng kembali setelah penyerangan terhadap jamaah Ahmadiyah di Pandeglang, Banten yang menjadi sasaran kekerasan orang – orang yang berbeda keyakinan. Tiga orang jemaah tewas, dan puluhan lainnya luka – luka, dan banyak bangunan rusak parah akibat amukan ribuan massa. Sungguh, kekerasan tak pernakl berujung solusi.
Mahatma Gandhi dengan Ahimasnya telah membuktikan, melawan dengan kekrasan tidak pernah berujung dengan perdamaian. Kekerasan yang mengatasnamakan agama tidak pernah lahir sebagai perintah dari langit. Ia muncul karena orang yang memeluk agama dikepung oleh kata benci terhadap kelompok lain, kepentingan mendominasi dan pahan teologis yang sempit tafsir.
Itulah yang menyumbat indahnya skap beragama dengan toleransi. Ada tiga pola dimensi beragama yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang. Pertama, supernatural dan transcendental. Pola ini adalah pola hubngan intim pemeluk agama dengan kekuatan suprastruktur diluar dirinya seperti meyakini sifat-sifat imajiner Tuhan, menginspirasi para Nabi, dan meneladani tokoh-tokoh spiritual yang dianggap berpengaruh dalam kehidupannya. Kedua, pola komunikasi internal. Pemeluk agama secara psikologis membangun keyakinan primordialnya dengan sesama yang memiliki keyakinan todak berbeda. Mereka saling meyakinkan, meneguhkan keimanan dan praktek kesolehan. Pola ini termasuk pola ketega gan, bahkan bahkan menumbuhkan kesejukan. Ketiga, pola komunikasi eksternal. Orang akan mudah bersikap represif karena bertemu dengan kelompok lain yang berbeda identitas dan keyakinan.
Dimensi ini sarat konflik dan ketegangan. Apalagi kepercayaan orang lain itu dianggap sebagai benalu keyakinannya. Dalam tiga aras dimensi beragama itulah, toleransi tersumbat. Satu tawaran dari buku ini untuk keluar dari tersumbatnya kehidupan beragama yang intoleran itu adalah dengan mengintegrasikan ketiga dimensi itu dalam satu terminology : teologi pluralisme.
Fanatisme beragama timbul karena selain latar belakang sosial, politik, ekonomi dan budaya, juga disebabkan oleh runtuhnya sikap saling menghargai. Dalam pluralisme teologis, keintiman berkomunikasi dengan Tuhan itu sinergis dengan keintiman komunikasi dengan sesama umat beragama (internal) dan antarumat beragama (eksternal).
Pluralisme seperti ini adalah sebuah kesadaran teologis yang menganggap sah setiap keyakinan kita, namun tetap ada kemungkinan mengandung kesalahan. Sebaliknya, keyakinan orang lain mungkin saja sah dianggap salah, tetapi ada kemungkinan terkandung kebenaran. Sesuatu yang dipegang bukan sah dan benar, melainkan Tuhan. Menyembah Tuhan adalah laku pluralisme. Pluralisme bukan “menyembah” fanatisme kebenaran.
Secara doktrinal, toleransi sepenuhnya diharuskan oleh Islam. Islam secara definisi adalah “damai”, “selamat” dan “menyerahkan diri”. Definisi Islam yang demikian sering dirumuskan dengan istilah “Islam agama rahmatal lil’ālamîn” (agama yang mengayomi seluruh alam). Ini berarti bahwa Islam bukan untuk menghapus semua agama yang sudah ada. Islam menawarkan dialog dan toleransi dalam bentuk saling menghormati. Islam menyadari bahwa keragaman umat manusia dalam agama dan keyakinan adalah kehendak Allah, karena itu tak mungkin disamakan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman yang artinya, ““dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanaya?
Di bagian lain Allah mengingatkan, yang artinya: “Sesungguhnya ini adalah umatmu semua (wahai para rasul), yaitu umat yang tunggal, dan aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah olehmu sekalian akan Daku (saja). Ayat ini menegaskan bahwa pada dasarnya umat manusia itu tunggal tapi kemudian mereka berpencar memilih keyakinannya masing-masing. Ini mengartikulasikan bahwa Islam memahami pilihan keyakinan mereka sekalipun Islam juga menjelaskan “sesungguhnya telah jelas antara yang benar dari yang bathil”.
Selanjutnya, di Surah Yunus Allah menandaskan lagi, yang artinya: “Katakan olehmu (ya Muhamad), ‘Wahai Ahli Kitab! Marilah menuju ke titik pertemuan (kalimatun sawā atau common values) antara kami dan kamu, yaitu bahwa kita tidak menyembah selain Allah dan tidak pula memperserikatkan-Nya kepada apa pun, dan bahwa sebagian dari kita tidak mengangkat sebagian yang lain sebagai “tuhan-tuhan” selain Allah!” Ayat ini mengajak umat beragama (terutama Yahudi, Kristiani, dan Islam) menekankan persamaan dan menghindari perbedaan demi merengkuh rasa saling menghargai dan menghormati. Ayat ini juga mengajak untuk sama-sama menjunjung tinggi tawhid, yaitu sikap tidak menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Jadi, ayat ini dengan amat jelas menyuguhkan suatu konsep toleransi antar-umat beragama yang didasari oleh kepentingan yang sama, yaitu ‘menjauhi konflik’.
Saling menghargai dalam iman dan keyakinan adalah konsep Islam yang amat komprehensif. Konsekuensi dari prinsip ini adalah lahirnya spirit taqwa dalam beragama. Karena taqwa kepada Allah melahirkan rasa persaudaraan universal di antara umat manusia. Abu Ju’la dengan amat menarik mengemukakan, “Al-khalqu kulluhum ‘iyālullāhi fa ahabbuhum ilahi anfa’uhum li’iyālihi” (“Semu makhluk adalah tanggungan Allah, dan yang paling dicintainya adalah yang paling bermanfaat bagi sesama tanggungannya”).
Selain itu, hadits Nabi tentang persaudaraan universal juga menyatakan, “irhamuu man fil ardhi yarhamukum man fil samā” (sayangilah orang yang ada di bumi maka akan sayang pula mereka yang di lanit kepadamu). Persaudaran universal adalah bentuk dari toleransi yang diajarkan Islam. Persaudaraan ini menyebabkan terlindunginya hak-hak orang lain dan diterimanya perbedaan dalam suatu masyarakat Islam. Dalam persaudaraan universal juga terlibat konsep keadilan, perdamaian, dan kerja sama yang saling menguntungkan serta menegasikan semua keburukan.
Fakta historis toleransi juga dapat ditunjukkan melalui Piagam Madinah. Piagam ini adalah satu contoh mengenai prinsip kemerdekaan beragama yang pernah dipraktikkan oleh Nabi Muhamad SAW di Madinah. Di antara butir-butir yang menegaskan toleransi beragama adalah sikap saling menghormati di antara agama yang ada dan tidak saling menyakiti serta saling melindungi anggota yang terikat dalam Piagam Madinah.
Sikap melindungi dan saling tolong-menolong tanpa mempersoalkan perbedaan keyakinan juga muncul dalam sejumlah Hadis dan praktik Nabi. Bahkan sikap ini dianggap sebagai bagian yang melibatkan Tuhan. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dalam Syu’ab al-Imam, karya seorang pemikir abad ke-11, al-Baihaqi, dikatakan: “Siapa yang membongkar aib orang lain di dunia ini, maka Allah (nanti) pasti akan membongkar aibnya di hari pembalasan”.
Di sini, saling tolong-menolong di antara sesama umat manusia muncul dari pemahaman bahwa umat manusia adalah satu badan, dan kehilangan sifat kemanusiaannya bila mereka menyakiti satu sama lain. Tolong-menolong, sebagai bagian dari inti toleransi, menajdi prinsip yang sangat kuat di dalam Islam.
Namun, prinsip yang mengakar paling kuat dalam pemikiran Islam yang mendukung sebuah teologi toleransi adalah keyakinan kepada sebuah agama fitrah, yang tertanam di dalam diri semua manusia, dan kebaikan manusia merupakan konsekuensi alamiah dari prinsip ini. Dalam hal ini, al-Qur’an menyatakan yang artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu ke arah agama menurut cara (Alla); yang alamiah sesuai dengan pola pemberian (fitrah) Allah, atas dasar mana Dia menciptakan manusia…”
Mufassir Baidhawi terhadap ayat di atas menegaskan bahwa kalimat itu merujuk pada perjanjian yang disepakati Adam dan keturunanya. Perjanjian ini dibuat dalam suatu keadaan, yang dianggap seluruh kaum Muslim sebagai suatu yang sentral dalam sejarah moral umat manusia, karena semua benih umat manusia berasal dari sulbi anak-anak Adam. Penegasan Baidhawi sangat relevan jika dikaitkan dengan hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Nabi ditanya: “Agama yang manakah yang paling dicintai Allah?’ Beliau menjawab “agama asal mula yang toleran (al-hanîfiyyatus samhah).
Dilihat dari argumen-argumen di atas, menunjukkan bahwa baik al-Qur’an maupun Sunnah Nabi secara otentik mengajarkan toleransi dalam artinya yang penuh. Ini jelas berbeda dengan gagasan dan praktik toleransi yang ada di barat. Toleransi di barat lahir karena perang-perang agama pada abad ke-17 telah mengoyak-ngoyak rasa kemanusiaan sehingga nyaris harga manusia jatuh ke titik nadir. Latar belakang itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan di bidang Toleransi Antar-agama yang kemudian meluas ke aspek-aspek kesetaraan manusia di depan hukum.
Dalam islam Indonesia sendiri juga sangat menjunjung timggi toleransi antar umat beragama, khususnya dalam pandangan islam sendiri caranya yaitu dengan gencarnya suara pembaruan pemikiran islam yang dicanangkan oleh para pembaru muslim dari berbagai negara Mesir, India, Turki sampai juga pembaruan itu ke Indonesia. Salah satu dampak dari “ suara pembaruan” itu adalah munculnya pembaruan di bidang pendidikan islam. Di awal abad kedua puluh muncullah ide-ide pembaruan pendidikan di Indonesia, terdapat beberapa sisi yang dapat diperbaharui pertama dari segi isi (materi), kedua dari segi metode, ketiga manajemen dan adsministrasi pendidikan.
Dari segi isi yang disampaikan sudah ada keinginan untuk memasukkan materi pengetahuan umum ke dalam isi pengajaran pada ketika itu. Dari vsegi metode tidak lagi hanya menggunakan metode sorogan, wetonan,hafalan, tetapi diinginkan adannya metode-metode baru yang sesuai dengan perkembangan zaman. Selanjutnya keinginan untuk memenaj lembaga pendidikan islsm, teleh muncul dengan diterapkannya sistem klasikal dan pemberlakuan administrasi pendidikan.
Ada dua hal yang melatarbelakangi hal tersebut, yang pertama daya dorong dari ajaran islam itu sendiri yang mendorong umat islam belakangi hal tersebut, yang pertama daya dorong dari ajaran islam itu sendiri yang mendorong umat islam belakangi hal tersebut, yang pertama daya dorong dari ajaran islam itu sendiri yang mendorong umat islam untuk memotivasi umatnya guna melakukan pembaruan (tadjid) dan juga keadaan umat islam Indonesia yang jauh tertinggal dalam bidang pendidikan. Kedua, daya dorong yang muncul dari para pembaru pemikiran islam yang diinspirasi dari berbagai tokoh-tokoh pembaru pemikiran islam pada masa itu.
Ide dan inti dari pembaruan itu adalah berupaya meninggalkan pola pemikiran lama yang tidak sesuaa lagi dengan kemajuan zaman dan berupaya meraih aspek-aspek yang menopang untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Degan daya dorong itulah maka mulai muncul ide untuk memasukkan mata pelajaran umum ke lembaga-lembaga pendidikan islam serta mengubah metode pengajaran lama kepada metode yang lebih adaptif dengan perkembangan zaman. Kemoderenan pembaruan pendidikaan islam dapat dilihat dari tiga segi yang pertama, mata pelejaran telah seimbang antara materi ilmu-ilmu agama dengan materi ilmu-ilmu umum.
Kedua, metode pengajaran telah bervariasi , tidak lagi semata-mata hanya memakai metode sorogan,wetonan dan hafalan. Ketiga, dikelola berdasarkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan. Lembaga pendidikan yang selanjutnya adalah sekolah, yang pada zaman kolonial Belanda di lembaga ini tidak dididik mata pelajaran agama, dan setelah Indonesia merdeka diaturlah kerjasama antara Departemen Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan untuk memasukkan mata pelajaran mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi.
Perjalanan sejarah pendidikan islam di Indonesia hingga saat ini telah melalui tiga periodesasi. Pertama, periode awal sejak kedatangan islam ke Indonesia sampai masuknya ide-ide pembaruan pemikiran islam awal abad ke duapuluh. Periode ini di tandai dengan pendidikan islam yang terkonsentrasi di pesantren,dayah, surau atau masjid dengan titik fokus adalah ilmu-ilmu agana yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Periode kedua, periode ini telah dimasuki oleh ide-ide pembaruan pemikiran islam pada awal anad kedua puluh. Periode ini ditandai dengan lahirnya madrasah.
Sebagian lembaga-lembaga pendidikan islam yang telah memasukkan mata pelajaran umum ke dalam program kurikulum mereka. Ketiga, pendidikan islam telah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan nasional sejak lahirnya
Undana-Undang Nomor 2 Tahun 1989 dilanjutkan dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2002.
BAB III
PENUTUP
-
Kesimpulan
Toleransi dalam Islam adalah otentik. Artinya tidak asing lagi dan bahkan mengeksistensi sejak Islam itu ada. Karena sifatnya yang organik, maka toleransi di dalam Islam hanyalah persoalan implementasi dan komitmen untuk mempraktikkannya secara konsisten.
Namun, toleransi beragama menurut Islam bukanlah untuk saling melebur dalam keyakinan. Bukan pula untuk saling bertukar keyakinan di antara kelompok-kelompok agama yang berbeda itu. Toleransi di sini adalah dalam pengertian mu’amalah (interaksi sosial). Jadi, ada batas-batas bersama yang boleh dan tak boleh dilanggar. Inilah esensi toleransi di mana masing-masing pihak untuk mengendalikan diri dan menyediakan ruang untuk saling menghormati keunikannya masing-masing tanpa merasa terancam keyakinan maupun hak-haknya.
Syari’ah telah menjamin bahwa tidak ada paksaan dalam agama. Karena pemaksaan kehendak kepada orang lain untuk mengikuti agama kita adalah sikap a historis, yang tidak ada dasar dan contohnya di dalam sejarah Islam awal. Justru dengan sikap toleran yang amat indah inilah, sejarah peradaban Islam telah menghasilkan kegemilangan sehingga dicatat dalam tinta emas oleh sejarah peradaban dunia hingga hari ini dan insyaallah di masa depan.
-
Saran
Penyusun menyarankan kepada para pembaca agar senantiasa untuk menghormati perbedaan diantara kita, terlebih perbedaan kepercayaan ataupun agama, karena sesungguhnya perbedaan itulah yang membuat negeri ini indah karena saling menghormati perbedaan dan memberikan toleransi antar umat beragama.
DAFTAR PUSTAKA
Marzuki dkk. 2008. Din Al- Islam Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum. Yogyakarta ; UNY press.
Daulay, Haidar Putra. 2007. Sejarah Perkembangan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia ; Kencana Prenada Media Group.
Peserta Sekolah Islam Angkatan V dan VI. 2010. Mencungkil Sumbatan Toleransi ; Kanisius dan Impuls Yogyakarta.
Natsir, Mohamad. 1970. Keragaman Hidup Antar Agama . Jakarta: Penerbit Hudaya.
[]
Dostları ilə paylaş: |