Potensi dasar rohani manusia dan implikasinya terhadap pendidikan islam



Yüklə 116,51 Kb.
tarix27.07.2018
ölçüsü116,51 Kb.
#60130


BAB III

POTENSI DASAR ROHANI MANUSIA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM


  1. Pengertian Rohani

Berkali-kali Allah SWT mengingatkan kepada manusia agar mengenal diri sendiri karena dengan mengenal dirinya manusia dapat mengetahui subtansinya. Pengetahuan subtansi manusia dapat dilihat dari potensi ruhaninya, yang terdiri dari empat unsure pokok yaitu : Ruh, qolbu, aqlu dan nafsu. Kempat unsure rohani itulah yang dapat menent5ukan subtansi manusia.

  1. Pengertian ruh

Ruh adalah nyawa atau sumber hidup. Bangsa mesir purba memandang Ruh sebagai inti kepercayaan. Orang Israel melihat manusia sebagai jalinan badan dan Ruh, setelah meninggal badan kembali ke tanahsdangkan Ruh kem bali ke Tuhan untuk memperoleh balasan. Agama zoroates “aliran upanisad wedatan” menyatakan bahwa Ruh manusia merupakan pancaran dari Ruh semesta, setelah manusia lepas dari reingkarnasi, Ruh tersebut beresatu kembali dengan Tuhan. Sebaliknya, berbeda ”aliran upnisad samkhnya” memandang adanya dua unsur asal manusia, yaitu Ruh dan zat, seirama Ruh itu ditawan oleh dzat, selama itu pula kelahiran dan apabila ada perpisahan antara keduanya akan menyebakan kematian. Aliran filsafat serba dzat menganggap bahwa Ruh itu pancaran dari dzat,sedang aliran filsafat serba Ruh menganggap bahwa Ruhlah yang hakikat, sedang merupakan pancaran laka. Bagi Aliran Filsafat serba dua seperti filsafat Stoa, Aristoteles, berpendapat bahwa Ruh dan dzat adlah hakikat.1

Sedangkan masalah ruh, karena itu adalah masalah yang bersoifat ghoib, dan tidak mudah bagi seseorang yang belum cukup memiliki ilmu ketuhanan dan hakekat akan dapat menerima penjelasan. Allah yang memangmereka belummengalami dan meyakini haqqul yaqin tentang kebesaran dan kekuasan-Nya yang Maha Suci lagi Maha luas. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk menyatakan “Ruh adalah urusan Tuhan-ku, sedangkan kalian tidak diberi ilmu tentang itu melainkan hanya sedikit”.(Al-Qur’an,17 :85). Kemungkinan,andai kata yang bertanya bukanlah mereka, melainkan sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Dan orang-orang yang memperkaya keiman, makrifat dan tauhid mereka kepada Allah, tentu konteksnya menjadi lain.2

Kata ruh yang dikaitkan dengan manusia juga dalam konteks yang bermacam-macam, ada yang hanya dianugrahkan Allah kepada manusia pilihan-nya (QS Al Mu’min(40):15) yang dpahami oleh sementara pakar sebagai wahyu yang dibawa malaikat jibril, ada juga yang dianugrahkanyakepada orang –orang mukmin(QS Al-Mujadalah (58) : 22) dan disini dipahami sebagai dukungan dan peneguhan hati atau kekuatan batin: dan ada juga yang dianugrahkannya kepada seluruh manusia.

Apakah disini dia berarti nyawa? Ada yang berpendapat demikian, ada juga yang menolak pendapat ini, karena dalam surat Al-Mu’minun dijelaskan bahwa dengan ditiupkanya ruh maka menjadilah makhluk ini khalq akhar (makhluk yang urak), yang berbeda dari makhluk lain. Sedangkan nyawa juga dimiliki oleh orang utan misalnya. Kalau demikian nyawa bukan unsure yang menjadikan manusia makhluk yang unik.

Demikian terlihat Al-Qur’an berbicara tentang ruh dalam makna yang beraneka ragam. Sehingga senguh sulit untuk menetapkan maknanya apalagi beerbicara tentang subtansinya.3


  1. Pengertian Qalb

Kalbu (Al-Qalb) merupakan salah satu daya Nafsani. Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan maknanya. Sebagian ada yang mengasumsikan sebagai materi organik (Al-Adhum Al-Madi) sedangkan sebagian yang lain menyebut sebagai sistem kognisi (Jihaz ma’rifi) yang berdaya emosi (Al-Syu’ur). Dalam psikologi kontenporer, kata kalbu kata kalbu umumnya digunakan untuk makna al-Syu’ur (emosi) yaitu perasaan yang diketahui.dan di dasari.

Secara bahasa asal kata “Qalb” bermakna membalikkan memalingkan atau menjadikan yang di atas ke bawah ke luar. Qalbu dalm bentuk masdar atau kata benda mengandung arti lubuk hati, akal, kekuatan, semangat dan keberanian.

Pengertian Qalb disini arti rohaniyah dan ia tidak dapat dilihat dengan mata kepala kecuali dengan penglihatan batiniyah (mukasyafah). Ia merupakan tempat menerima perasaan kasih sayang, pengajaran, pengetahuan, berita, kekuatan, keimanan, keIslaman, keihsanan, dan ketauhidan.

Penting untuk dicatat bahwa qalbu adalah komponen sentral manusia. Sedemikian pentingnya dan sentralnya peranan kalbu bagi manusia, ia di anggap sebagai penentu baik buruk manusia.

Al-Qur’an termasuk rahasia manusia,yang merupakan anugrah Allah SWT yang paling mulia. Hal ini karena dengan qalb ini, manusia mampu beraktifitas sesuai dengan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah. Qolb berperan sebagai sentral kebaikan dan kejahatan manusia, walaupun pada hakikatnya cendrung pada kebaikan.4


  1. Akal

Kata akal sudah menjadi kata Indonesia, bersal dari kata Arab al-a’ql (العقل) yang dalam bentuk kata benda, barlainan dengan akal al-wahy (الوحي), tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya membawa bentuk kata kerjanya ‘aqaluh (عقلوه) dalam 1 ayat ta’qilun (تعغلها) 1 ayat dan ya’qilun (يعقلو ن) 22 ayat kata-kata itu datang dalm arti faham dan mengerti.

Arti asli dari aqala kelihatnnya adalah mengikat menahan dan orang yang aqli dizaman jahiliyah, yang dikenal dengan hamiyyah (حمية) atau darah panasnya, adalah orang yang dapat menahan amarahnya dan oleh karena dapat mengambil sikap dan tindakan yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Dalam pemahaman Profesor Izulzu, kata aql di zaman jahiyah dipakai dalam arti kecerdasan praktis (practica inteligene) yang dalam istilah psikologi modern disebut kecakapan memecahkan masalah (problem-solving capacity). Orang berakal, menurut pendapatnya adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk menyelesaikan masalah, setiap ia dihadapkan dengan problema dan selanjutnya dapat melepaskan diri dari ia hadapi. Kebijaksanaan praktis serupa in amat dihargai oleh orang Arab zaman jahiliyah.5
Manusia mempunyai kemampuan kognitif yang sangat luar biasa yaitu berfikir. Meskipun manusia bukanlah satu-satunya mahluk yang berfikir, tetapi tidak dapat disangkal bahwa manusia yang merupakan mahluk pemikir (hanyawanun natiq). 6

Dalam mendefiniskan soal berfikir ini terdapat adanya perbedaan macam pendapat, diantaranya ada yang menganggap berfikir sebagai suatu proses asosiasi saja, ada pula yang memandang berfikir sebagai proses penguatan hubungan antara stimulus dan respon ada yang mengemukakan bahwa berfikir itu merupakan suatu kegiatan untuk mencari hubungan antara dua objek atau lebih, bahkan adapula yang mengatakan bahwa berfikir merupakan kegiatan kognitif tingkat tinggi (higher level cognitive), sering pula dikemukakan bahwa berfikir itu merupakan aktifitas psikis yang intensional. 7

Raghib al-Isfahani kendatipun menampilkan beragam muatan daya mufakkara (berfikir), yakni natiqa (rasio) , akal, hikma (bijaksana), rawiya (berpendapat), tadbir (berfikir konsekuans, muhinna (berfikir intuitif), ra’yu (analisis), dan musyawwara (mencari kesesuaian pendapat), namun dari semua itu, akal memeainkan peranan yang amat penting, bahkan peranan semua mutan yang ada pada daya ini dan daya-daya ruhaniah laianya, ditumpukakanya pada akal. Sedemikian rupa dapat dikatakan bahwa akal merupakan pusat aktifitas (berfikir).

Secara umum akal dimakanai oleh Raghib al-insani dengan kemamapuan menetapakan sesuatu menurut ukuran-ukurannya, baik dlam bentuk perkataan mauapun dalam bentuk perbuatan. Kemamapuan akal seperti ini adalah dalam bentuk kemampuan melihat konsekuensi-konsekuensi.8

Dalam pemikiran filsafat moral Raghib al-Isfahani, eksistensi akal sebagai daya mufakkara (berpikir) benar-benar ditampilkan untuk mengatur dan mengendalikan dua daya lainnya. Bahkan terhadap daya shahwiya (syahwat), akal ditempatkan pada bentuk yang bertentangan sebagaimana yang lazim dilakukan oleh para filsuf Muslim lainnya pada masa itu. Akal sebagai daya mufakkara (berpikir) penuh dengan muatan moral, sehingga dengan daya ini pula manusia tidak saja berbeda dengan binatang dan tumbuh-tumbuhan, akan tetapi juga berbeda dengan sesama manusia. Dengan daya ini pula manusia dapat mencapai tingkat malakiyan rabbaniyan sebagai tingkat tertinngi dalam kehidupan manusia. Akal dengan segala potensinya yang dapat membawa manusia pada tingkat kehidupan terbaik secara niscaya dapat sirna apabila daya shahwijaya (syahwat) telah menguasai daya-daya jiwa lainnya termasuk akal. 9

Akal juga diartikan sebagai energi yang mampu memproleh, menyimpan, mengeluarkan pengetahuan. Akal mampu menghantarkan manusia pada esensi kemanusiaan pada (haqiqah insaniyah). Akal merupakan kesehatan fitrah yang memiliki daya-daya pembeda antara hal-hal yang baik dan yang buruk, yang berguna dan yang membahayakan. Pengertian di atas dapat dipahami bahwa akal merupakan daya berfikir manusia untuk memproleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan hakikatnya.

Al-Ghazali mengunakan empat pengertian pada akal, yaitu:


  1. Sebutan yang membedakan antara manusia dan hewan

  2. Ilmu yang lahir disaat anak mencapai usia akil baligh, sehingga mampu membedakan perbuatan yang baik dan yang buruk;

  3. Ilmu yang didapat dari pengalaman, sehingga dapat dikatakan “siapa yang banyak pengalaman maka dialah yang berakal”;

  4. Kekuatan yang dapat menghentikan keinginan yang bersifat naluriah untuk menerawang jauah ke angkasa, mengekang dan menundukan syahwat yang selalu mengginkan kenikmatan.10

Akal merupakan lawan dar tabiat (al-thab’u) dan kalbu (al-qalb). akal mampu memperoleh pengetahuan melalui daya nalar (al-nazhar), sedangkan tabiat memproleh pengetahuan melalui daya naluriah atau daya alamiah (al-dharuriyah) akan mampu memproleh pengetahuan melalui daya argumentasi (al-istiatahyah), sedsangakan kalbu mampu memproleh pengtahuan melalui daya cita-rasa (al-dzawqiyyah) danintuitif (al-hadsiyah). Akal juga menunjukan substansi berfikir, aku-nya pribadi, mampu berpendapat, memahami, menghapal, menemukan, danmengucapakan sesuatu. Karena itulah maka natur akal adalah kemanusiaan (insaniyyah), sehingga ia disebut juga fitrah insaniyah.

Akal secara psikologis memiliki fungsi kognisi (daya cipta). Kognisi adalah suatu konsep umum yang mencapai semua bentuk pengenalan yang mencakup mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, pendapat, menagsumsikan, memprediksikan, berfikir, mempertimbangkan, menduga, dan menilai.

Akal yang berpusat di otak (al-dimagh), adalah komponen yang ada dalam diri manusia yang memiliki kemampuan memperoleh pengtahuan secara nalar. Hal ini berbeda dengan qalbu yang memproleh pengetahuan melalui daya cita-rasa (al-zawqiyah). Setalah memproleh sesuatu akal menyimpan pengetahuan. Kemampuan memproleh maupun menyimpan berbeda-beda antara satu orang dengan lain, bergantung kepada wadah kognitif yang dimiliki seseorang. Digambarkan secara simple oleh ahli psikologi Seto Mulyadi bahwa:

Ada manusia yang berwadah kognitif sebesar gelas kecil, ada yang sebesar gelas besar, ada pula yang sampai sebesar danau. Semakin besar wadah kognitif, semakin banyak pengetahuan yang dapat diserap dan disimpan dalam wadah kognitif orang tersebut.

Akal juga mampu menyimpan hal yang tidak diketahui melalui yang diketahui melalui yang diketahui. Socrates misalnya menyatakan ”Setiap manusia akam mati.” Ini ketentuan akal berupa kemampuan mengadakan penalaran rasional-logis.

Selain itu, akal juga punya kemampuan untuk menggabungkan berbagai informasi menjadi informasi yang baru. Setelah melihat bagaimana proses perjalanan sperma (punya kepala, mesin, ekor) menuju mulut rahim, para ahli terinspirasi untuk membuat pesawat luar angkasa. Karena kemampuan memproleh, menyimpan, dan mengoalah pengetahuan, maka Allah Azza wa jalla memrintahkan manusia untuk mempergunakan akalnya.

Penggunaan akal untuk berfikir akan mengantarkan individu dan masyarakat menjadi pribadi atau masyarakat yang unngul.

Satu hal yang penting untuk dijadikan catatan bahwa bila qalbu dan aqal bekerja secara optimal, maka produk yang dikeluarkan dari orang yang bersangkutan adalh produk yang optimal. Sebagai contoh, pemikiran yang memadukan antara akal dan qalbu, sebagaimana ditujukan oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali berupa buku ahya ‘Ulumuddin adalah pemikiran yang luar biasa, yang dapat dalam tempo 1000 tahun. Dalam kasus yang lebih kecil, adanya perpaduan qalbu dan akal akan menghasilkan adanya penjelasan yang memercik (orisinal) yang dapat dijelaskan secara rasional.11

Jika bidayat al-qhariziyat dan hidayat at bissiyat dimilki oleh setiap mahluk hidup baik manusia maupun hewan, maka hidayat al-aqliyat hanya dianugrahkan Allah kepada manusia. Adapun potensi ini menyebabkan manusia dapat meningktkan dirinya melebihi mahluk-mahluk lain ciptaan Allah.

Potensi akal memberi kemampuan kepada manusia untuk memahami simbol-simbol. Hal-hal yang abstrak, menganalisa, membandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memihak antara yang benar dari yang salah. Lingkungan, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, serta aman dan nyaman.12

Dibalik itu semua, semua sebenarnya akal manusia disertai untuk merenung, berfikir, mengambil pelajaran, meningkatkan kemampuan teknik serta menyesuaikan dengan dunia batin (hati) dan alam realitas untuk menempati problematika yang sesuai denga perseps universal.

Tidak ada agama yang mengapresiasi dan menyadarkan pengetahuan manusia, mengevaluasi metode dalam beropservasi, menganjurkan amal usaha, membebaskan diri dari prasangka, takhayul, tenung, dan praduga bersalah; juga dalam waktu bersamaan memlihara diri dari perpecahan, kehancuran, dan kesombongan. Tidak ada agama yang mampu berbuat demikian selain Islam.13



4. Nafsu

Kata Nafs dalam Al-Qur’an mempunyai aneka makna, ada yang diartikan sebagai totalitas manusia, ada pula yang mengartikan sebagai tingkah laku yang ada dalam diri manusia (Q.S al-Ra’d [13]: 11) ”Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu masyarakat, sehingga mereka mengubah apa yang terdapat dalam diri mereka”. Kata Nafs juga digunakan untuk menunjuk kepada diri Tuhan (Q.S al-An’am [6]: 12) “Allah mewajibkan pada diri-Nya menganugrahkan Rahma”.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Nafs dalam konteks pembicaraan tentang manusia, merujuk pada sisi diri manusia yang berpotensi baik dan buruk.

Al-Qur’an menegaskan bahwa Nafs dapat berpotensi positif dan negatifl. Pada hakikatnya potensi negatifnya, hanya dapat daya tarik keburukannya lebih kuat dari pada daya tarik kebaikannya.

Al-Qur’an juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkat-peringatnya, secara eksplisit yang terdiri dari nafs Al-lawamah, Amarah, dan Mutmainah.

Qalb amat berpotensi unuk tidak konsisten. Al-Qur’an pun menggambarkan demikian, ada yang baik ada pula sebaliknya.

Kalbu adalah wadah dari pengajaran, kasih saying, takut dan keimanan. Dari sini dapatlah dipahami bahwa kalbu memang manampung hal-hal yang disadari oleh pemiliknya. Ini merupakan salah satu perbedaan antara ”qalb dan nafs”. Bukanlah dinyatakan sebelumnya bahwa nafs menampung apa yang ada di bawah sadar, dan atau sesuatu yang tak diingat lagi. Dengan demikian dapatlah dipahami pula mengapa dituntut untuk dipertanggungjawabkan hanya isi kalbu bukan isi nafs, sebagiaman tersurat dalam (Q.S. al-Baqarah [2]: 225) “Allah menunutut tanggung jawab kamu menyangkut apa yang dilakukan kalbumu”



Nafs adalah “sisi dalam diri”, kalbu pun demikian hanya saja ia dapat diisi dan atau diambil isinya, hal ini dinyatakan oleh Allah dalan Q.S al-Hij: 47 yang berbunyi:

$oYôãt“tRur $tB ’Îû NÏd͑r߉߹ ô`ÏiB @e@Ïî $ºRºuq÷zÎ) 4’n?tã 9‘ãß™ tû,Î#Î7»s)tG•B ÇÍÐÈ

Artinya: dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.14

Bahkan Al-Qur’an menggambarkan bahwa ada kalbu yang disegel: “Allah mengunci mati kalbu mereka” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 7), sehingga wajar jika Al-Qur’an menyatakan bahwa ada kunci-kunci penutup kalbu.15

Dalam literature Tasawuf, nafs dikenal memilki delapan kata ganti, dari kecendrungan yang paling dekat pada tindakan buruk sampai ketingkat kedekatan kepada kelembutan Ilahi, yakni:


  1. Nafsu Ammarah Bissu, yaitu kekuatan pendorong naluri sejalan dengan nafsu yang cendrung kepad keburukan sebagaimana firman-Nya16:

!$tBur ä—Ìht/é& ûÓŤøÿtR 4 ¨bÎ) }§øÿ¨Z9$# 8ou‘$¨BV{ Ïäþq¡9$$Î/ žwÎ) $tB zOÏmu‘ þ’În1u‘ 4 ¨bÎ) ’În1u‘ ֑qàÿxî ×LìÏm§‘ ÇÎÌÈ

Artinya:dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.17




  1. Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang telah mempunyai rasa insaf dan menyesal sesuadah melakukan pelanggaran. Ia tidak berani melakuakan pelanggaran secara terang-terangan dan tidak mencari-cari secara gelap untuk melakukan sesuatu, karena ia telah menayadari akibat-akibat dari perbauatannya, namun ia belum mamapu mengekangkangnya.18

Iwur ãNÅ¡ø%é& ħøÿ¨Z9$$Î/ ÏptB#§q¯=9$# ÇËÈ

Artinya: dan aku bersumpah dengan jiwa yang Amat menyesali (dirinya sendiri).19



  1. Nafsu Musawwalamah, yaitu nafsu yang telah dapat membedakan mana yang lebih baik dan mana yang buruk, tetapi ia lebih memilih yang buruk dan belum mampu memilih yang baik, bahkan mencampur adukan antara yang baik dan yang buruk, sebagaiman firman-Nya:20

tA$s% ö@t/ ôMs9§qy™ öNä3s9 öNä3Ý¡àÿRr& #XöDr& ( ׎ö9|Ásù î@ŠÏHsd (

Artinya: Ya'qub berkata: "Hanya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu. Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku).21

Ÿwur (#qÝ¡Î6ù=s?  Yysø9$# È@ÏÜ»t7ø9$$Î/ (#qãKçGõ3s?ur ¨,ysø9$# öNçFRr&ur tbqçHs>÷ès? ÇÍËÈ

Artinya: “Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui. Di antara yang mereka sembunyikan itu Ialah: Tuhan akan mengutus seorang Nabi dari keturunan Ismail yang akan membangun umat yang besar di belakang hari, Yaitu Nabi Muhammad s.a.w”. 22




  1. Nafsu Mulhamah, yaitu nafsu yang memproleh ilhan dari Allah SWT, dikarunia ilmu pengatahuan. Ia telah dihiasi akhlak mahmudah (akhlak yang terpuji), dan ia merupakan sumber kesabaran, ketabahan, dan keuletan,23 sebagaimana firman-Nya:

<§øÿtRur $tBur $yg1§qy™ ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù $ydu‘qègéú $yg1uqø)s?ur ÇÑÈ ô‰s% yxn=øùr& `tB $yg8©.y— ÇÒÈ ô‰s%ur z>%s{ `tB $yg9¢™yŠ ÇÊÉÈ

Artinya: “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.24




  1. Nafsu Muthammainah, yaitu nafsu yang telah mendapat tuntunan dan pemeliharaan yang baik sehingga jiwa menjadi tentram, bersikap baik, dapat menolak perbuatan jahat dan keji serta dapat menjauhkan diri dari godaan manusia, syetan, jin maupun iblis; dan dapat mendorong untuk melakukan kebajikan dan mencegah kejahatan. Kondisi jiwa yang tenang itu dapat dipahami sebagaimana firman Allah Ta’ala:25

tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ’ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ɋÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ɋÎ/ «!$# ’ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.26


  1. Nafsu Radhiyah, yaitu nafsu yang redha kepada Allah, yang mempunyai peranan yang penting dalam meewujudkan kesejahtraan.27

Firman-Nya:

zÓÅ̧‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ztã 4 y7Ï9ºsŒ ã—öqxÿø9$# ãLìÏàyèø9$# ÇÊÊÒÈ

Artinya: Allah telah meredhoi mereka dan mereka pun telah meredhai-Nya; itulah kebeuntungan yang benar”.28
š_ÅÌu‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ytã 4 y7Í´¯»s9'ré& Ü>÷“Ïm «!$# 4 Iwr& ¨bÎ) z>÷“Ïm «!$# ãNèd .bqßsÎ=øÿçRùQ$#

Artinya:Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. mereka Itulah golongan Allah. ketahuilah, bahwa Sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.29


ôÓÅ̧‘ ª!$# öNåk÷]tã (#qàÊu‘ur çm÷Ztã 4 y7Ï9ºsŒ ô`yJÏ9 zÓÅ´yz ¼çm­/u‘ ÇÑÈ

Artinya: Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.30


  1. Nafsu Mardhiyah, yaitu nafsu yang telah mencapai redha kapada Allah SWT. Kerendahaan tersebut terlihat pada anugrah yang telah diberian-Nya berupa: senantiasa dapat dengan tulus melakukan dzikir, mendapatkan kemuliaan, serta akhlak yang mulia dan agung.31 Firman Allah Ta’ala:

$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ߧøÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö‘$# 4’n<Î) Å7În/u‘ ZpuŠÅÊ#u‘ Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ ’Í?ä{÷Š$$sù ’Îû “ω»t6Ïã ÇËÒÈ ’Í?ä{÷Š$#ur ÓÉL¨Zy_ ÇÌÉÈ

Artinya: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.32




  1. Nafsu Kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna bentuk dan dasarnya, sudah dianggap cukup untuk mengajarkan irsyad (petunjuk) dan menyempurnakan penghambaan diri kepada Allah SWT. Orang ini dapat disebut sebagai mursyid dan mukammil ( orang yang menyempurnakan atau Insan Kamil. Dalam taraf ini jiwa orang itu telah demikian dekat dengan Allah SWT, bahkan merasa sudah merasakan diri menyatu dengan-Nya, seperti yang telah dialami oleh Al-Hallaj, Rabiah Al Adawiyah, Syeikh Siti Jenar dari Tanah Jawa dan Syeikh Abdul Hamid Al Banjari dari Kalimantan Selatan.33

Potensi Nafs Ilahiyah adalah nafs Kamilah, yaitu menyatukan nafs Muthmainnah, radhiyah dan Mardhiyah secara sempurna. Jiwa dan nafsu yang telah mengerakkan seluruh aktifitas jasmaniyah dan rohaniah dalam bimbingan dan pimpinan Allah karena ia telah fana (lebur) dalam af’al (perbuatan-perbuatan), asma’ (nama-nama) sifat dan dzat-Nya. Perkataan, tingakah laku, sikap dan gerak-geraknya dalam mengaplikasikan setiap perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya dan ridho menerima ujian-Nya semuanya senantiasa berada dalam habitat ketuhanan dan esensi kebenaran. Ia dapat hak-hak-Nya dan iapun dijaga oleh Allah hak-hak-Nya.

Setiap nafs atau jiwa kamilah ini terdapat dalam diri Rasulullah SAW, para Rasul, Nabi dan Ahli Waris mereka yang bertitel Auliya, Ulama billah dan orang-orang yang sangat shalih di hadapan-Nya. Mereka dijaga dan terjaga dari perbuatan-perbuatan yang mengandung kedurhakaan , kejahatan dan dosa terhadap Allah dan Mahluk-Nya.

Apa yang adadalam nafs juga muncul dalam mimpi yang oleh Al-Qur’an pada garis besarnya dibagi dalam dua bagian pokok. Pertama dinamainya ru’ya dan kedua dinamainya adhghatsu aslam. Yang pertama dipahami sebagai gambaran atau symbol dari peristiwa yang telah, sedang, atau akan di alami, dan yang belum atau telintas dalam benak yang memikirkannya. Yang kedua lahir dari keresahan atau penantian manusia terhadap sesuatu dan hal-hal yang telah berada dalam sadarnya.34

Perlu ditambahkan bahwa Al-Qur’an sesuai dengan kaidah bahasa Arab-seringkali menggunakan bagian-bagiannya, seperti menggunakn kata sujud dalam arti shalat yang mecakup berdiri, rukuk, dan lain-lain. al-Qur’an juga bias menyebut sesuatu yang menggambarkan keseluruhan bagian-bagian, tetapi yang dimaksud hanyalah salah satu bagiannya seperti firmannya-Nya” mereka memasukkan jari-jari mereka ke dalam telinganya” (Q.S Al-Baqarah [2]: 19) dalam arti jung jari-jari. Al-Qur’an terkadang mennguanakan kata nafs dalam arti kalbu. Biasa juga menyebut tempat sesutu tetapi yang dimaksud adalah isinya, seperti “tanyakanlah kampong” (Q.S Yusuf [12]: 82), yang dimaksud adalah penghuninya, demikian seterusnya.

Kata dada dalam ayat di atas adalah tempat-tempat kalbu sebagaimana ditegaskan 35
ó$pk¨XÎ*sù Ÿw ‘yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur ‘yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# ’Îû ͑r߉Á9$# ÇÍÏÈ

Artinya: karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.36




  1. Pengambangan Potensi Ruhani Manusia Sebagai Wujud Implikasinya Terhadap Pendidikan Islam.

Agama memberikan penjelasan bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki potensi untuk berkhlak baik (taqwa) atau buruk, jujur. Potensi jujur akan senantiasa eksis dalam diri manusia, karena terkait dengan naluri makan minum-minum, seks berkuasa dan rasa aman. Apabila potensi taqwa seseorang lemah, karena tak terkembangkan (melalui pendidikan mak prilaku manusia dalam hidupnya tidak akan berbeda dengan hewan, karena didominasi oleh potensi fujurnya yang bersifat intrinktif atau implusif (seperti berzina, membunuh, mencuri, meminum-minuman keras atau menggunakan narkoba dan main judi).37 Hati kita adalah sebuah perhiasan yang amat berharga dan teramat mahal yang tidak dapat terukur oleh materi semata. Hati membutuhkan sebuah perawatan agar selau bersih dan bercahaya. Karena Hati adalah sebuah perhiasan dari diri kita yang paling suci dan harus di jaga betul.
Seperti yang di jelaskan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyah : “Barang siapa yang menginginkan hati yang bersih, hendaklah ia lebih mendahulukan Tuhannya ketimbang syahwatnya. Karena hati yang 'terpaut ' oleh syahwat tertutup dari Allah sesuai dengan kadar 'Keterpautannya' dengan syahwat itu. Hati adalah ' wadah' Allah di atas bumi-Nya. Maka hati yang paling di cintainya adalah yang lebih 'tinggi' ( kadar kesuciannya) lebih keras ( kuat ) dan lebih bersih. Jika hati itu di beri makan dengan ' dzikir' , di siram dengan tafakkur dan di bersihkan dari cela , ia akan ( mampu ) melihat berbagai keajaiban dan akan diilhamiolehhikmah“

Tiga Kunci dalam membersihkan hati, adalah:



  1. Dzikir

Satu hal yang sangat penting bagi umat manusia untuk selalu Berdzikir. Yaitu mengingat selalu keutamaan Allah S.W.T yang maha mengetahui danMahabijaksana.
Fungsi berzikir kita di sini hanyalah memberikan aktifitas pelayanan agar karunia dari sang Ilahi dapat terjolok oleh kita, berdasarkan firman allah dalamAl-Qur'an: :
Berdzikirlah engkau akan aku, niscaya aku berdzikir akan kamu ( QS.2 Al-Baqarah152) )
Dzikir Dari Allah s.Q.T inilah sebagai karunia-nYa yang kita harapkan untuk menentukan Nilai dari Dzikir sehingga berkualitas dzikir yagn positif yang dengan itu Faktor ke-Tuhanan berlaku sesuai dengan hukum-Nya dan keinginan-Nya.

Hal yang perlu kita pelihara adalah dengan berdzikir dan beribadah dengan ikhlas. Tidak ada selalu yang kita harapkan kecuali Keridhaan dariAllahS.W.T sendiri.

Inilah Objek daripada Berdzikir yaitu segala sesuatu adalah Kehendak-Nya yang datang daripada-Nya. Sedangkan pelaksanaan Dzikrullah sendiri terdapat syarat serta rukun yang wajib hukumnya sesuai dengan firmanAllahdalamAl-Qur'an :
“Dan berdzikirlah dalam hatimu degnan merendah diri dan takut dan tidak bersuara pada waktu pagi dan petang ... “ ( QS 7 Al-A'raf 205 )
Dzikrullah yang di laksanakan degnan syarat darn rukkunnya akan berfungsi sebagai penjolok karunia . Pertolongan Tuhan sebagai pembersihan hati. Bahkan syaikh Abdul Qadir Al-Jaelany mengatakan bahwa perbakan hati hanya dapat terjadi karena taqwa

Menurut Syaikh Junayd Al-Baghdadi :

“ Mensucikan hati dari penyesuaian dengan makhluk, Memisahkan hati dari akhlak alami, menekan sifat-sifat insani, Menjauhkan diri dari pengaruh nafsu, Masuk pada sifat-sifat rohani. Berpedoman pada ilmu-ilmu hakikat. Menggunakan yang terbaik untuk kekekalan. Memberi petunjuk ( nasehat ) pada semua umat. Percaya sepenuhnya kepada Tuhan dan mengikuti seluruh syari'atyangdiajarkanRasullullahS.A.W.
Dalam pernyataan tersebut tampak jelas bahwa ketakwaan adalah sebuah karunia dari Allah S.W.T yang menjadi syarat agar di peroleh pembersihan Hati. Dalah Hal tersebut Rasullullah S.A.W memohon dalam do'anya : Ya Allah sesungguhnya aku mohon kepada-Mu bimbingan, taqwa, perlindungan dari perbuatan haram dan kecukupan”.38

Agar hawa nafsu itu terkendalikan (dalam arti pemenuhannya sesuai dengan ajaran agama), maka potensi taqwa itu harus dikendalikan, yaitu melalui pendidikan agama dari usia dini. Apabila nilai-nilai agama terinternalisasi dalam diri seseorang, maka dia akan mampu mengembangkan dirinya sebagai manusia yang bertaqwa, yang salah satu karakteristiknya adalah mampu mengendalikan diri (sel control) dari pemuasan hawa nafsu yang tidak sesuai dengan ajaran agama.39

Dengan menganut agama Islam, sesorang akan memilki kesadaran untuk mengendalikan diri perbuatan yang diharapkan Allah, Kesadaran ini berkembangkan atas dasar keyakinannya akan ayat” wanahannafsa ‘anil hawa fainal jannata hiyal mawa” (dan bagi orang mampu merendahkan dirinya dari doronag hawa nafsu maka surgalah tempat kembalinya).40

Pada dasarnya manusia akan mampu mengatasi konflik antara mengikuti hawa nafsu fisik atau tunduk mengikuti petunjuk Allah untuk memenuhi dorongan spiritualnya, jika ia menggunakan dan mengembangkan potensi yang telah Allah berikan padanya sesuai dengan petunjuk-Nya. Potensi yang dimaksud meliputi:



  1. Potensi fisik/raga,

  2. Potensi nafs/jiwa yang fitrah dan

  3. Potensi system nafs yang meliputi:

  1. Qalb (hati)

  2. al-‘Aql (akal)

  3. Roh (jiwa, nyata, nafas, wahyu, perintah, dan rahmat), dan

  4. Bashirah (hati nurani) .

Adapun sebagai alat untuk mengembangkan potensi tersebut Allah memberikan juga manusia potensi tersebut untuk memberikan juga manusia pendengaran, penglihatan, dan hati, sebagai alat kerja nafs. Jika nafs tetap fitrah maka pendengaran, penglihatan, dan hati akan difungsikan untuk pemenuhan kebutuhan spiritualnya dan tunduk pada Allah. Sebaliknya bila nafsnya tidak lagi suci, apalagi berpenyakit maka pendengaran, penglihatan, hati akan tunduk pada hawa nafsu, dan tidak lagi mampu mendengar, melihat, dan menghayati kekuasaan dan kebesaran Allah, baik yang ada dalam Al-Qur’an maupun alam semesta ini. 41

Allah berfirman (dalam Q.S al-Balad [90]:10):

Dan kami telah menunjukan kepadanya dua jalan” kemudian pada (Q.S al-Insan [76]: 3)” sesungguhnya kami telah menunjukan jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir”.42

Berdasarkan isi dari ayat tersebut jelaslah bahwa dalam diri manusia ada kesiapan untuk melakukan kebaikan dan kesiapan untuk keburukan. Manusia siap mengikuti kebenaran dan petunjuk Allah, dapat mencapai keutamaan, ketakwaan dengan amal shaleh dan memproleh kentraman psikis serta kebahagiaan spiritual. Sebaliknya manusia siap juga untuk tunduk mengikuti hawa nafsu fisiknya, tenggelam dalam kenikmatan indrawinya dan berbagai keinginan duniawinya. Dari kedua ini menurut M. Utsman Najadi (1985)

“Dalam diri manusia ada kemungkinan terjadi konflik antara kebaikan dan kejahatan, keutamaan dan kehinaan, dan ketaatan kepada Allah dan pengikaran akan Allah”.

Ujian sebenarnya buat manusia di dunia ini ialah dalam menentukan plihan jalan hidup apakah ia akan menurut pilihan jalan hidup. Apakah ia akan menuruti hawa nafsunya, menikmati kehidupan duniawi lalai akan Allah, lupa akan hari akhir, ataukah ia akan mengendalikan hawa nafsunya dan merealisasikan keseimbangan antara tuntunan fisik dan tuntunan spiritualnya. 43

Allah SWT memperingatkan jika manusia memilih mengikuti hawa nafsunya untuk menikmati kelezatan duniawi, dan lalai akan perintah Allah, serta lupa hari akhir, maka ia bagaikan hewan, dan malah lebih sesat lagi. Manusia yang begini tidak menggunakan akalnya sebagai pembeda dirinya dengan hewan.44

Salah satu tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membangun manusia. Karena, sebuah keyakinan yang memiliki tujaun-tujuan yang pasti dan ketentuan-ketentuan yang mencakup bidang hukum, ekonomi, dan politik, tidak mungkin tidak mempunyai sitem pendidikan. Ini berarti bahwa sebuah keyakinan yang hendak menerapkan rangcangan-rancangan moral dan perekonomian tentu dikalangan manusia, tentunya menginginkan hal itu bagi manusia, baik itu individu ataupun masyarakat.

Jika yang menjadi sasaran masyarakat, maka kita harus bersandar kepada sekelompok individu di dalam usaha menerapkan rancangan-rancangan di atas. Untuk itu, kita harus mendidik dan mengajar mereka sehingga mampu menerapkan rancangan-rancangan tersebut di masyarakat. Sebaliknya, jika sasarannya adalah individu, maka tentunya hanya individu itulah menjadi sasaran pendidika dan pengajaran

Di dalam Islam, kesejatian individu masyaraka dijaga dan dihormati. Oleh na karena itu, harus ada metodologi dan program pembinaan individu dengan kedudukannya sebagai pengantar pembinaan masyarakat dan umat.

Dipandang dari sisi sebagai sasaran utama pendidikan maupun dari sisi sebagai kerangka pengantar pembentukan masyarakat yang baik, membentuk kepribadian seseorang sangatlah penting.

Berdasarkan dari kenyataan di atas perlu diketahui dasar-dasar pendidikan dan pengajaran Islam. Apakah Islam memberikan perhatian khusus terhadap pembelajaran dalam rangka mendidik dan menyadarkan atau tidak? Dengaan kata lain, apakah Islam memperhatikan pengembangan nalar manusia atau tidak? Persoalan ini sebenarnya telah dikaji oleh para ulama sejak dahulu seperti Al-Ghazali dan lainya. Titik persoalannya terletak kepada apakah Islam menyeru kepada ilmu pengetahuan? Ilmu-ilmu yang bagaimana yang diserukan Islam? 45

Dalam persepektif poendidikan dan pengajaran, ketentuan-ketentuan akhlak Islam di tujukan untuk mendidik manusia agar sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam.

Pengembangan Potensi Akal

Terdapat dua persoalan dalam pengembangan potensi akal dan berfikir kreatif. Kedua adalah tentang pengembangan kajian keilmuwan. Kajian keilmuan identik dengan pembelajaran secara definitif merupakan proses penyebaran ilmu pengetahuan dalam bentuk informasi, dimana posisi pelajar berperan sebagai objek pembelajaran.

Secara anatomis otak merupakan media penyimpan transformasi, sedang pendidik ilmu otak para pelajar, dalam rangka membantuk dan mengembangkan potensi berfikir kreatif pada diri mereka serta membekali mereka dengan semangat kemerdekaan dalam proses pengembangan berpikir juga merupakan tugas pendidik.

Proses pendidikan serta pemberian informasi kepada pelajar ibarat dengan proses memasak, bila jarak antara api dengan kuali berajauhan, maka proses masaknya akan sangat lambat.46


  1. Mengatur Pola Makan

Yang terbaik adalah prinsip makanan yang datang dari ajaran Islam yaitu balalan thayibah (halal lai baik). Prisip makanan ini adalah yang terbaik yang dibutuhkan oleh tubuh manusia, karena memerhatikan aspek lahiriah maupun ruhaniyah.

Dan, yang dimaksud halal zat dan cara memprolehnya serta halal dalm penggunaannya. Sedangkan yang dimaksud dengan baik adalah makanan tersebut tidak membahayakn dan bermanfaat bagi tubuh itu sendiri.47



  1. Belajar dengan Cara yang Benar.

Sesungguhnya langkah yang salah akan berakhir dengan penyesalan. Sementara langkah yang benar akan mendatangkan kesudahan yang baik, waluapun mungkin jalan yang dilaluinya itu penuh dengan cara yang benar akan mampu mengasah otak menjadi cerdas, menjadi lebih paham terhadap apa yang dipelajari.48

Dari penjelasan diatas telah jelas bawasannya potensi rohaniah manusia dapat dikembangkan secara optimal apabila dikembangkan dengan cara yang benar.



.


1Abd.Aziz, Filsafat Pendidikan Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam (Surabaya: Elkaf, 2006), hal. 33-34

2Ahmad Norma Permata,Konseling dan Spikoterpi Islam (Yogyakarta: Al-Manar 2008), hal 30-3

3M. Quraissh Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Mizan: Bandung 2007), hal 292-293

4Abd Aziz, Filsafat Pendidikan Islam…, hal 36

5Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, (Jakarta: UI. Press, 1986), hal. 6

6Abdul Rahman Shaleh dan Muhhib Abdul Wahab, Psikologi Suatu Pengantar Dalam Persepektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 227

7Ibid., hal. 228

8Amril, Etika Islam Telaah Pemikiran Filsafat Moral Islam Raghib Al-Isfahani,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,2002),ha146-147

9Ibid., hal. 153-154

10Fuad Nashori, Potensi-Potensi Manusia Seri Psikologi Islami (Yokyakarta: Pustaka Pelajar 2005), hal. 119.

11Ibid., hal. 119-120

12Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2003), hal. 35

13Muhammad Abdullah asy-Syarqawi, Ash-Syufiyah al-Aql: Dirasah Tahliliyyah Muqaramah li al-Ghazali wa Ibn Rusyd wa Ibn Arabi,(Sufisme dan Akal), Terj. Halid alkaf, (Bandung: Pustaka hidayah 2003), hal. 61



14Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: CV Jaya Sakti 2000), hal.394

15Abdul rahman Shaleh dan Muhbid Abdul Wahab, Psikologi Suatu Penganar Dalam Persepktif Islam, (Jakarta: Prenada Media 2004), hal.55-57

16Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi Islam , (Yokjakarta: Al-Manar 2004), hal. 42

17Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, hal . 357

18Hamdani Bakrana dz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi…, hal 42

19Depertemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 998

20Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi…, hal. 43

21Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 362

22Ibid., hal. 16

23Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi…, hal. 43

24Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 1064

25Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi…, hal 44

26Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 373

27Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi…, hal 44

28Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 184

29Ibid., hal. 913

30Ibid., hal. 1085

31Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi…, hal . 44

32Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 1057

33Hamdani Bakran adz-Dzakaria, Konseling dan Psikologi Islam , (Yokjakarta: Al-Manar 2004), hal. 45

34Ibid., hal 45-47

35Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an Atas Berbagai Persoalan Umat, ( Bandung: Mizan 2007), hal. 287-291

36Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 519

37Syamsul Yusuf L.N, Psikologi Belajar Agama, (Bandung; Pustaka Bani Quraisy, 2005), hal. 19


38Dalam htttp://www.facebook.com/pages/Bojonegoro-Indonesia/Lembaga-P-Potensi-Pemuda-Islam/ diakses 04 -2010

39Syamsul Yusuf L.N, Psikologi Belajar Agama, ..., hal.19 -20

40Ibid., hal. 20

41Erhamwilda, Konseling Islami, (Yokyakarta: Graha Ilmu 2009), hal. 29-30

42Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an…, hal. 1061

43Erhamwilda, Konseling Islami…, hal. 30-31

44Ibid., hal. 32

45Murtadha Muthahhari, Konsep Pendidikan Islami, (jakarta: Iqra Kurnia Gemilang 2005), hal. 16-17

46Ibid., hal. 19

47Ibid., hal. 20

48Ibid., hal. 21

54

Yüklə 116,51 Kb.

Dostları ilə paylaş:




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin