Pusaka Madinah


Kodrat Kedudukan Perempuan



Yüklə 5,93 Mb.
səhifə47/92
tarix27.10.2017
ölçüsü5,93 Mb.
#16453
1   ...   43   44   45   46   47   48   49   50   ...   92

Kodrat Kedudukan Perempuan

Islam datang dengan cahayanya yang menerangi dunia. Kedzaliman terhadap perempuan pun terangkat. Islam menetapkan insaniyyah (kemanusiaan) seorang perempuan layaknya seorang lelaki, di mana Allâh berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى

Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan perempuan…” (QS al-Hujurât [49]: 13).

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيْرًا وَنِسَاءً

Wahai manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, kemudian Dia ciptakan dari jiwa yang satu itu pasangannya. Lalu dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.” (QS al-Nisâ` [4]: 1).

Sebagaimana perempuan berserikat dengan lelaki dalam memperoleh pahala dan hukuman atas amalan yang dilakukan. Allâh berfirman:

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُوْنَ

Siapa yang beramal shalih dari kalangan laki-laki ataupun perempuan sedangkan ia dalam keadaan beriman maka Kami akan menganugerahkan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang mereka amalkan.” (QS al-Nahl [16]: 97).

Dan Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ berfirman:

لِيُعَذِّبَ اللهُ الْمُنَافِقِيْنَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِيْنَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوْبَ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ

Agar Allâh mengazab orang-orang munafik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, dan orang-orang musyrik, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan. Dan agar Allâh mengampuni orang-orang yang beriman, baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan…” (QS al-Ahzâb [33]: 73).

Allâh mengharamkan perempuan dijadikan barang warisan sepeninggal suaminya.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا لاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا

Wahai orang-orang yang beriman tidak halal bagi kalian mewarisi para perempuan secara paksa.” (QS al-Nisâ`[4]: 19)

Bahkan perempuan dijadikan sebagai salah satu ahli waris dari harta kerabatnya yang meninggal. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

لِلرِّجَالِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيْبٌ مِمَّا تَرَكَ الْوَالِدَانِ وَاْلأَقْرَبُوْنَ مِمَّا قَلَّ مِنْهُ أَوْ كَثُرَ

Bagi para lelaki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya. Dan bagi para perempuan ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabat-kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (QS al-Nisâ` [4]: 7)

Dalam masalah pernikahan, Allâh membatasi laki-laki hanya boleh mengumpulkan empat istri, dengan syarat harus berlaku adil dengan sekuat kemampuannya di antara para istrinya. Dan Allâh wajibkan bagi suami untuk bergaul dengan ma’ruf terhadap istrinya. Firman Allâh:[17]

وَعَاشِرُوْهُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ

Dan bergaullah kalian dengan para istri dengan cara yang ma’ruf.” (QS al-Nisâ` [4]: 19).

Allâh Subhânahu wa Ta’âlâ menetapkan adanya mahar dalam pernikahan sebagai hak perempuan yang harus diberikan secara sempurna kecuali bila si perempuan merelakan dengan kelapangan hatinya. Dia Yang Maha Tinggi Sebutan-Nya berfirman:

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْئًا مَرِيْئًا

Dan berikanlah mahar kepada para perempuan yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari mahar tersebut dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu sebagai sesuatu yang baik.” (QS al-Nisâ` [4]: 4).



Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Rumah Tangga

Perempuan pun dijadikan sebagai penanggung jawab dalam rumah tangga suaminya, sebagai pemimpin atas anak-anaknya. Nabi SAW kabarkan hal ini dalam sabdanya:

الْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ

Perempuan adalah pemimpin atas rumah tangga suaminya dan anak suaminya, dan ia akan ditanya tentang mereka.” (HR Bukhari dan Muslim).

Diatas telah dijelaskan bahwa al-Qur’ân menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan pria dalam derajat kemanusiaan. Namun, berdasar pada kesadaran akan adanya perbedaan-perbedaan  keduanya baik yang menyangkut masalah fisik maupun psikis, Islam kemudian membedakan keduanya dalam berapa persoalan, terutama yang menyangkut fungsi dan peran masing-masing. Pembedaan ini dapat dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu dalam kehidupan keluarga dan kehidupan publik. Ayat yang sering kali dijadikan dasar untuk memandang kedudukan masing-masing laki-laki dan perempuan adalah Firman Allâh pada surat al-Nisâ’ [4]: 34, “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”

Semua ulama sepakat bahwa ayat ini punya daya berlaku dalam konteks keluarga. Perbedaan di antara mereka baru muncul ketika ayat ini dibawa untuk dijadikan legitimasi pembedaan laki-laki dan perempuan dalam kehidupan publik. Akan tetapi, kesepakatan mereka dalam mengakui berlakunya ayat ini dalam konteks keluarga tidak kemudian berarti mereka seragam juga dalam menafsirkannya. Para ahli tafsir mengajukan penjelasan yang sangat beraneka ragam terhadap ayat  tersebut.

Ibnu Jarîr Al-Thabâri menjelaskan maksud “qowwâmun” adalah penanggung jawab untuk mendidik dan membimbing istri agar mentaati kewajibannya kepada Allâh dan suami. Ibnu Abbas mengartikan kata “qowwâmun” sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan untuk mendidik perempuan. Dalam tafsir al-kasysyâf, al-Zamakhsyari menjelaskan bahwa kaum laki-laki berkewajiban melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar kepada perempuan sebagai mana penguasa pada rakyatnya.[18]

Apabila keanekaragaman penafrsiran tersebut kita cermati (baik yang dilakukan oleh mufassirin klasik maupun modern), maka akan kita dapatkan benang merah berupa kelebihan laki-laki atas perempuan dan posisi laki-laki yang berada di atas perempuan dalam kehidupan rumah tangga.

Kelebihan laki-laki atas perempuan terjadi karena beberapa faktor, diantaranya karena sifat hakikinya dan hukum syara’ yang menetapkan demikian. Sifat hakiki bersumber pada dua hal, yaitu pengetahuan dan kemampuan. Tidak diragukan lagi bahwa akal dan ilmu laki-laki lebih banyak dan kemampuan laki-laki untuk menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan  yang berat lebih sempurna. Karena dua hal inilah laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan dalam penalaran tekad yang kuat, kekuatan menulis  dan keberanian.

Karena laki-laki lebih potensial dari perempuan, maka dari laki-laki lah lahir para nabi, ulama, dan imam. Mereka berperan dalam jihad, adzan, khotbah, persaksian dalam hudûd dan qishâs. Mereka Juga menerima bagian lebih dalam waris, menjadi wali dalam nikah, menentukan talak, rujuk dan lain sebagainya.[19]

Kelebihan laki-laki atas perempuan karena dua sebab, yaitu fitri dan kasbi, laki-laki sejak penciptaannya sudah diberi kelebihan kekuatan dan kemampuan. Akibat kelebihan sejak penciptaannya, laki-laki mempunyai kesempurnaan akal dan kejernihan pandangan yang menyebabkan adanya kelebihan kasbi sehingga laki-laki mampu berusaha, berinovasi dan kebebasan bergerak. Adapun perempuan dilahirkan sejak penciptaannya diberi fitrah untuk mengandung (hamil), melahirkan dan mendidik anak. Sebab jika perempuan dapat menjalankan fungsinya seperti laki-laki sebagaimana pandangan pertama diatas, fitrah mereka tetap menghalanginya.[20]

Agaknya apa yang diungkapkan oleh para ulama tadi masih dapat kita rasakan relevansinya saat ini. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pemimpin, ilmuwan dan tokoh-tokoh masyarakat masih didominasi oleh kaum pria meskipun jumlah perempuan lebih banyak dari pria. Bahkan di negara-negara seperti Amerika dan Perancis di mana pria-perempuan diberi kesempatan yang sama dalam belajar maupun mengaktualisasikan dirinya pun demikian adanya. Oleh karena itu, anggapan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan dari perempuan hanya karena akibat dari konstruksi budaya yang memang masih mengkondisikan demikian menjadi tidak tepat.

Memang harus juga diakui bahwa ternyata ada beberapa perempuan yang punya kelebihan dari pria. Akan tetapi hal itu sangat bersifat kasuistik dan tidak bisa digeneralisir untuk kemudian ditarik darinya suatu hukum. Karena itulah, Islam menetapkan ketentuan berdasarkan pada lazimnya kenyataan yang terjadi dengan menempatkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dalam rumah tangga seperti dalam ayat tadi. Ketentuan ayat 34 surat al-Nisâ diperkuat oleh firman Allâh: “Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya”.

Karena perbedaan itulah maka al-Qur’ân memberi hak dan kewajiban masing-masing secara berbeda. Namun yang perlu ditekankan, pembedaan tersebut bukanlah diskriminasi dan wujud ketidakadilan, tetapi justru agar tercapai keseimbangan dan keharmonisan dalam menjalani bahtera rumah tangga. Dalam membedakan hak dan kewajibannya,[21] Islam tidak memihak pada pihak laki-laki dengan menekan pihak perempuan sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’ân: “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf”.

Sebagai yang dipimpin, perempuan wajib menaati pihak yang memimpinnya, yaitu laki-laki. Dia wajib patuh dalam segala hal selama bukan perintah yang sifatnya menyuruh terhadap kemaksiatan. Dia juga harus hormat, patuh, dan tunduk pada suaminya sebagaimana yang tercermin dari haditst nabi, seandainya aku memerintahkan seorang sujud pada orang lain, niscaya aku memerintahkan istri sujud pada suaminya (HR Tirmidzi dll). Laki-laki sebagai yang memimpin dan harus dipatuhi, dia tidak boleh menindas istrinya dan berbuat semena-mena, tetapi harus bersikap baik kepadanya. Allâh berfirman: “Dan gaulilah istri-istrimu dengan cara yang baik”

Dalam kehidupan rumah tangga, Islam sangat melindungi perempuan, hal ini dapat kita lihat misalnya dalam haditst nabi: “Sebaik-baik kamu adalah yang paling baik perlakuannya terhadap istri dan anak perempuan” (HR Baihaqi dari Abi Hurairah). Bahkan dengan tegas Nabi menyatakan bahwa suami yang semena-mena terhadap istrinya akan dibalas oleh  Allâh dengan siksa neraka. Nabi shallallâhu ‘alahi wa sallam, bersabda, “Ketahuilah, aku kabarkan kepada kalian tentang ahli neraka, yaitu laki-laki yang keras hati, kasar, sombong, suka menyakiti Istrinya, yang bakhil, yang terlalu banyak melakukan hubungan seks”.

Dalam masalah hak, perempuan juga sangat dimanjakan dan diperhatikan kesejahteraannya oleh al-Qur’ân. Dalam surat al-Baqarah [2] ayat 123 Allâh berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya.”

Ayat ini dengan jelas menunjukkan bahwa seorang ibu mempunyai hak-hak pribadi yang tidak berkaitan dengan statusnya sebagai istri.

Demikianlah, al-Qur’ân telah menempatkan posisi laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga serta menentukan hak dan kewajiban kepada masing-masing secara adil, proporsional dan seimbang meski tidak sama. Al-Qur’ân juga ternyata lebih dini dan lebih dulu dalam menghormati kedudukan perempuan bila dibandingkan dengan hukum-hukum lain di berbagai negara, terutama Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) dimuat ketentuan bahwa seorang perempuan yang telah mempunyai suami tidak boleh melakukan perjanjian tanpa izin suaminya.

Ketentuan ini sempat berlaku untuk waktu yang lama sampai pada tahun 1963, Mahkamah Agung mengeluarkan Surat  Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.03/1963. SEMA tersebut memfatwakan agar semua ketentuan KUHPer tentang kedudukan perempuan tidak diberlakukan lagi. Bandingkanlah dengan al-Qur’ân yang telah memberikan hak ini pada perempuan semenjak beberapa abad yang lalu dimana sama sekali belum ada yang namanya gerakan emansipasi perempuan.[22]



Kedudukan Perempuan dalam Kehidupan Publik

Al-Qur’ân dalam khitob-nya yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat secara umum dapat dikatakan telah menempatkan perempuan pada posisi yang seimbang dengan laki-laki. Tidak seperti pada kehidupan rumah tangga di mana hak dan kewajiban masing-masing dibedakan secara tajam, dalam kehidupan bermasyarakat hak dan kewajiban keduanya tidaklah begitu berbeda. Keduanya sama-sama dihormati kedudukannya oleh syara’, dilindungi, dan dibebani kewajiban yang sama.

Sebagaimana laki-laki, perempuan berhak untuk mendapatkan hasil usaha mereka, sesuai firman Allâh, “Bagi laki-laki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya dan bagi perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya”. (QS al-Nisâ [4]: 32).

Perempuan juga mempunyai kewajiban yang sama dengan laki-laki untuk mewujudkan kebaikan di masyarakat dengan cara amar ma’ruf nahi munkar, meski caranya berbeda. Dalam surat Ali-Imrân [3] ayat 110, “Kamu adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar”.

Jadi, al-Qur’ân pada dasarnya memandang laki-laki dan perempuan sebagai subyek hukum (penyandang hak dan kewajiban) dalam masyarakat pada posisi yang setara. Pembedaan keduanya baru terjadi ketika pembicaraan  mengenai hak dan kewajiban mereka menginjak pada tatanan bagaimana caranya masing-masing untuk mengaplikasikan dan mengaktualisasikannya

Al-Qur’ân menetapkan peraturan-peraturan yang membuat laki-laki lebih leluasa bergerak dan berekspresi dibanding perempuan. Pada saat berinteraksi dengan publik, perempuan lebih terikat oleh batasan-batasan syara’. Dalam surat al-Ahzâb [33] ayat 33 misalnya, Allâh berfirman, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu”.

Ayat ini sering kali dijadikan dasar pendapat pada ulama yang mengatakan bahwa kehidupan perempuan adalah pada wilayah domestik (keluarga) dan bukannya di wilayah publik (berinteraksi secara langsung dengan masyarakat umum). Al-Qurthubi  yang dikenal sebagai pakar tafsir  bidang hukum menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh tuntutan-tuntutan agar perempuan-perempuan tinggal di rumah, dan tidak keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn Al-‘Arabi dan Ibn Katsir meskipun Ibn Katsir sedikit lebih moderat, yaitu boleh keluar rumah jika ada kebutuhan yang dibenarkan oleh agama.

Untuk konteks saat ini, pendapat yang kiranya paling relevan adalah apa yang diungkapkan oleh Abu al-A’la al-Maudûdi. Perempuan boleh-boleh saja keluar rumah jika ada keperluan sepanjang memperhatikan kesucian diri dan memelihara rasa malu. Sayyid Quthb menyatakan bahwa perempuan tidak dilarang oleh Islam untuk bekerja hanya saja Islam tidak senang (mendorong) hal tersebut.

Berdasarkan ayat di atas dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan perempuan seperti ayat tentang aurat, gerak perempuan menjadi lebih terbatas bila dibanding pria. Apalagi kalau mengikuti pendapat sementara ulama yang mengatakan bahwa suara perempuan di depan publik adalah aurat, peran perempuan untuk tampil dalam kehidupan publik jelas sangat terbatasi.

Selain itu, masalah kepemimpinan perempuan sampai saat ini masih menjadi perdebatan terus menerus. Berkaitan dengan masalah ini, ulama terbagi kedalam tiga kelompok pendapat:



  1. Mereka yang tidak memperbolehkan peran perempuan dalam jabatan-jabatan publik apapun bentuknya. Hujjah yang mereka kemukakan adalah surat al-Nisâ [4]: 34, “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) antar sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian harta mereka”

Walaupun ayat ini diturunkan untuk konteks keluarga, namun mereka menarik pemberlakuan ayat ini ke wilayah publik berdasar qôidah mafhûm aulawiy. Dari situlah mereka lalu berkesimpulan: kalau untuk skala kecil (keluarga, rumah tangga) saja perempuan harus dipimpin laki-laki, apalagi untuk skala besar (urusan publik) yang mencakup wilayah tanggung jawab yang lebih besar. Lalu mereka memperkuat hujjah dengan haditst, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusannya pada perempuan”

Dalam menarik hukumnya, mereka tidak begitu mempertimbangkan asbabun nuzul ayat maupun asbabul wurud hadits di atas, karena mereka memakai kaidah ushul fiqh, “Penarikan hukum berdasarkan pada umumnya lafaz, bukan khususnya sebab”

Pendapat ini adalah pendapat para ulama seperti al-Qurthubî, al-Zamakhsyari, al-Râzi, Ibnu Katsîr, serta ulama-ulama salaf dan sampai saat ini masih menjadi pendapat jumhur ulama.


  1. Mereka yang memperbolehkan perempuan memegang jabatan publik tertentu asalkan bukan kepala negara. Hujjah mereka adalah surat al-Taubah [9] ayat 71: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain, mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf dan mencegah yang munkar”.

Amar ma’ruf nahi munkar adalah sesuatu  kewajiban yang mencakup berbagai cara perjuangan, diantaranya dengan terlibat dalam kehidupan politik masyarakat. Diantara ulama golongan kedua ini adalah Sa’id  Ramadhan al-Bûthi. Ulama yang dikenal serba bisa dan sangat teguh memegang ajaran salaf ini berpendapat bolehnya perempuan menjadi anggota legislatif, tetapi tidak boleh menjadi kepala negara (al-Imâmah al-Kubrô).

  1. Mereka yang membolehkan perempuan memegang jabatan publik apapun secara mutlak asalkan memenuhi kualifikasi dan mampu menjaga kehormatan. Diantara yang berpendapat seperti ini adalah Said ‘Aqil al-Munawar, Quraisy Shihab, Hussein Muhammad, dan semua pemikir-pemikir Islam Liberal.

Agaknya untuk saat ini pendapat yang paling kuat adalah pendapat  yang kedua, yaitu yang membolehkan perempuan memegang jabatan-jabatan publik tertentu, tetapi tidak menjadi kepala negara. Alasannya fakta di lapangan menunjukkan bahwa ternyata banyak para perempuan yang mempunyai kelebihan dalam bidang tertentu melebihi kaum laki-laki. Selain itu, bukti sejarah juga menunjukkan bahwa Umar bin Khaththâb pernah menugaskan seorang perempuan untuk menjadi bendahara pasar, sebagaimana dikatakan Ibn Hazm. Khusus untuk jabatan kepala negara perempuan tidak boleh memegangnya. Alasannya bukan hanya kerena hadits Nabi saja, akan tetapi didukung juga oleh analisis dari sudut pandang hukum dan psikologis.

Memang benar bahwa hampir di setiap negara modern saat ini kepala negara bukanlah penentu segalanya dan satu-satunya pembuat keputusan kenegaraan (decision maker). Kekuasaan dalam suatu negara telah dibagi-bagi menurut azas pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Yang perlu diingat, keadaan seperti ini hanya berlangsung pada saat negara dalam keadaan normal. Akan tetapi, apabila negara berada dalam keadaan yang sangat kritis, dan hal ini sangat mungkin terjadi kapanpun, maka berlakulah hukum darurat negara (staatsnood recht) yang membuat kepala negara akan meningkat perannya secara drastis. Pada saat itulah, kepala negara sebagai orang nomor satu di negara bersangkutan akan memiliki peran yang sangat vital dalam menentukan keselamatan negara. Apalagi di negara seperti Indonesia di mana Kepala Negaranya secara otomatis menjabat juga sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang (Pasal 10 Amandemen Keempat UUD 1945), peran Kepala Negara jelas sangat menentukan dalam menangani keadaan. Penanganan keadaan dalam kondisi yang seperti ini menuntut adanya kepala negara yang berjiwa besar, punya ketegasan, keberanian dan kondisi psikologis yang mantap serta stabil sehingga mampu berpikir jernih, cepat dan tepat serta akurat. Secara psikologis, perempuan tidak akan mampu menyelesaikan tugas berat itu dengan baik melihat kondisinya yang halus, lemah dan labil.

Begitulah, al-Qur’ân pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban pada perempuan dalam kapasitasnya sebagai anggota  masyarakat sama dengan apa yang diberikan  kepada laki-laki. Akan tetapi, karena perbedaan kondisi mereka, maka cara mewujudkannya ditentukan berbeda oleh Al-Qur’ân.

Oleh karena itu, perempuan tidak boleh untuk menarik diri, acuh dan tidak mau berinteraksi dalam kehidupan publik dengan alasan dirinya terikat oleh aturan-aturan. Dia tetap punya kedudukan sama dengan laki-laki meski cara aktualisasinya berbeda. Perempuan juga tetap wajib peduli, memikirkan dan respek dengan permasalahan sosial di sekitarnya. Hadits Nabi mengatakan: “Barang siapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan) kaum muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka”.

Haditst nabi ini tertuju untuk umum, laki-laki maupun perempuan, sehingga keduanya harus mau terlibat urusan-urusan yang publik. Selain itu, Al-Qur’ân juga mengajak agar umatnya selalu bermusyawarah dalam memutuskan segala sesuatu, melalui pujian Tuhan pada mereka: “Urusan mereka selalu diputuskan dengan musyawarah” (QS al-Syura [42]: 38).

Bukankah ayat ini ditujukan tidak hanya untuk golongan laki-laki saja, tetapi perempuan juga termasuk? Oleh karena itulah, perempuan jelas punya hak dan memang harus ikut memikirkan urusan-urusan publik.



Ikhtitâm

Al-Qur’ân dalam masalah derajat kemanusiaan telah mendudukkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Kedudukan, hak dan kewajibannya hampir bisa dikatakan sama. Namun karena keduanya diciptakan oleh Tuhan dengan karakter fisik dan psikis yang berbeda, al-Qur’ân kemudian membedakan fungsi, peran dan tugas masing-masing, baik dalam wilayah domestik maupun publik.

   Pembedaan ini dilakukan agar antara keduanya dapat bekerja sama, saling melengkapi satu sama lain dan tolong menolong demi terciptanya keharmonisan hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing sebagaimana telah ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi dan dan kemudian diartikan lebih mulianya salah satu dibanding yang lainnya. Bukankah Rasûlullâh sendiri dengan tegas menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan  dengan menyebut kaum perempuan sebagai Syaqâ’iq al-Rijâl (saudara sekandung kaum laki-laki).

   Jelaslah, al-Qur’ân ternyata sangat adil dalam memandang perempuan. Al-Qur’ân juga sangat bijak dalam menempatkan posisi perempuan sesuai tabiatnya dan sangat memanjakannya. Maka sangat tidak layak apabila masih ada perasaan iri antara satu sama lain. Allâh berfirman dalam surat al-Nisâ’ [4]: 32, “Dan janganlah kamu iri hari terhadap apa yang dikaruniakan Allâh kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian kamu lebih banyak dari sebagian mereka. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan dan bagi perempuan ada bagian dari apa yang mereka usahakan”.[]

 

Marâji’

Al-Zamakhsyari. Al-Kasysyâf ‘an Haqôiqi al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil. Teheran: Intisyarat Avetab, t.t.

Al-Baidlowi, Nashiruddin. 1996. Anwaru at-Tanzil waa Asraru at-Ta’wil. Beirut: Dâr Al-Fikr.

Al-Zuhaily, Wahbah. At-Tafsir Al-Munîr fi Al-’aqîdah wa As-Syarî’ah. Damaskus: Dâr Al-Fikr, t.t.

Al-Thabaththabâ’i, Muhammad Husain. Al-Mîzân fi Tafsîr Al-Qur’ân. Beirut: Dâr Al-Fikr, t,t.

Ridha, Muhammad Rayid. 1367 H. Tafsir Al-Manâr. Kairo: Dâr Al-Manar.

Al-Razy, al-Fakhr. 1990. Mafâtih al-Ghâib. Beirut: Dâr Al-Haya Al-Turâts Al-‘Arabi.

Qaththan, Manna’ Kholil. 1978. Mabâhits Fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut: Muassasah Al-Risalah.

Yasir, Ali. 2001. Al-Nashrâniyyatul Qur’aniyyah (Kristianologi Qur’ani), Yogyakarta: Ponpes UII.

Abdoerraoef. 1970. Al-Qur’ân dan Ilmu Hukum. Jakarta: Bulan Bintang.

Umar, Nasaruddin. 1999. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’ân. Jakarta: Paramadina.

Al-Fairuzabadiy, Abu Thahir. Tanwîrul Miqyâs min Tafsîri Ibn Al-Abbâs, Beirut: Dâr Al-Fikr, t.t.

Al-Hamadzaniy. Al-Farîd Fi I’rôbi al-Qur’ân al-Majîd. Qatar: Dâr al-Tsaqôfah, t.t.

Shihab, Quraisy. 2000. Wawasan Al-Qur’ân, Bandung: Mizan.

Al-Shâbûniy, Muhammad ‘Ali. 2001. Rawâi’ al-Bayân Tafsîru Âyât al-Ahkâm min al-Qur’ân. Jakarta: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah.

Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyyah. Mudzakkarât fî Nidzômi al-Hukmi fî al-Daulah al-Islamiyyah. Kairo: Mustasyar ‘Umar Syarif, t.t

Ath-Thabâriy, Ibnu Jarir. 1992. Jamî’ul-Bayan fî Tafsîr al-Qur’ân. Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyyah.

Jurnal Al-Mawarid Edisi Kelima Fakultas Syari’ah UII



                * Penulis adalah Dosen Universitas Negeri Semarang.

                [1] Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali, Al-Huqûq wal Wâjibât ‘ala al-Rijâl wa al-Nisâ` fil Islam, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996.

                [2]Mahmud Mahdi Al-Istambuli dan Musthafa Abu An-Nashr Asy-Syalabi,  Nisâ` Haular Rasûl, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996. Hlm 65.



[3] Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Taisîrul Karîmirrahmân, Damaskus: Dar Al-Fikr. Hlm. 845

[4]Hambali, Membina Keharmonisan Berumah Tangga Menurut Al Qur’an dan Sunnah dan Bahaya Emansipasi Wanit, Cahaya Tauhid Press, Malang, hlm  15-22

[5] Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Tanbîhat ala Ahkam Takhtashshu bil Mu`minat, Damaskus: Dar Al-Fikr. Hlm. 102

[6] Al-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ‘an Haqoiqi at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil, Teheran: Intisyarat Avetab,

                [7] Al-Baidlowi, Nashiruddin, Anwaru at-Tanzil waa Asraru at-Ta’wil, Beirut: Dar Al-Fikr, 1996



[8] Al-Razy, al-Fakhr, Mafatih al-Ghaib, Beirut: Dar Al-Haya Al-Turats Al-Arabi, 1990

[9] Al-Zuhaily, Wahbah, At-Tafsir Al-Munir fi Al-’aqidah wa As-Syari’ah, Damaskus: Dar Al-Fikr,

[10] Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Manar, Kairo: Dar Al-Manar, 1367 H

[11] ibid

                [12] Al-Thabariy, Ibnu Jarir, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’ân, Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1992

                [13] Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’ân, Jakarta: Paramasina, 1999

                [14] Yasir, Ali, An-Nashraniyyatul Qur’aniyyah (Kristianologi Qur’ani), Yogyakarta: PP. UII, 2001



[15] ibid

[16] Al-Shabûniy, Muhammad ‘Ali, Rawai’ al-Bayan Tafsiru Ayat al-Ahkam min al-Qur’ân, Jakarta: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 2001

[17] Al-Thabataba’i, Muhammad Husain, Al-Mizan fi Tafsir Al-Qur’ân, Beirut: Dar Al-Fikr

[18] Al-Fairuzabadiy, Abu Thahir, Tanwirul Miqyas min Tafsiri Ibn Al-Abbas, Beirut: Dar Al-Fikr

[19] Ma’had ad-Dirasat al-Islamiyyah, Mudzakkarat fi Nidzomi al-Hukmi fi al-Daulah al-Islamiyyah, Kairo: Mustasyar ‘Umar Syarif,

                [20] Shihab, Quraisy, Wawasan Al-Qur’ân, Bandung: Mizan, 2000

                [21] Abdoerraoef, Al-Qur’ân dan Ilmu Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1970

[22] Ibid.

01 Jul


Kisah Nabi Adam AS

Setelah Allah s.w.t.menciptakan bumi dengan gunung-gunungnya, laut-lautannya dan tumbuh - tumbuhannya, menciptakan langit dengan mataharinya, bulan dan bintang-bintangnya yang bergemerlapan menciptakan malaikat-malaikatnya ialah sejenis makhluk halus yangdiciptakan untuk beribadah menjadi perantara antara Zat Yang Maha Kuasa dengan hamba-hamba terutama para rasul dan nabinya maka tibalah kehendak Allah s.w.t. untuk menciptakan sejenis makhluk lain yang akan menghuni dan mengisi bumi memeliharanya menikmati tumbuh-tumbuhannya,mengelola kekayaan yang terpendam di dalamnya dan berkembang biak turun-temurun waris-mewarisi sepanjang masa yang telah ditakdirkan baginya.


Kekhawatiran Para Malaikat.
Para malaikat ketika diberitahukan oleh Allah s.w.t. akan kehendak-Nya menciptakan makhluk lain itu, mereka khuatir kalau-kalau kehendak Allah menciptakan makhluk yang lain itu,disebabkan kecuaian atau kelalaian mereka dalam ibadah dan menjalankan tugas atau karena pelanggaran yang mereka lakukan tanpa disadari. Berkata mereka kepada Allah s.w.t.: "Wahai Tuhan kami! Buat apa Tuhan menciptakan makhluk lain selain kami,padahal kami selalu bertasbih, bertahmid, melakukan ibadah dan mengagungkan nama-Mu tanpa henti-hentinya,sedang makhluk yang Tuhan akan ciptakan dan turunkan ke bumi itu,nescaya akan bertengkar satu dengan lain,akan saling bunuh-membunuh berebutan menguasai kekayaan alam yang terlihat diatasnya dan terpendam di dalamnya,sehingga akan terjadilah kerusakan dan kehancuran di atas bumi yang Tuhan ciptakan itu."
Allah berfirman, menghilangkan kekhuatiran para malaikat itu:
"Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui dan Aku sendirilah yang mengetahui hikmat

Setelah Allah s.w.t.menciptakan bumi dengan gunung-gunungnya, laut-lautannya dan tumbuh - tumbuhannya, menciptakan langit dengan mataharinya, bulan dan bintang-bintangnya yang bergemerlapan menciptakan malaikat-malaikatnya ialah sejenis makhluk halus yangdiciptakan untuk beribadah menjadi perantara antara Zat Yang Maha Kuasa dengan hamba-hamba terutama para rasul dan nabinya maka tibalah kehendak Allah s.w.t. untuk menciptakan sejenis makhluk lain yang akan menghuni dan mengisi bumi memeliharanya menikmati tumbuh-tumbuhannya,mengelola kekayaan yang terpendam di dalamnya dan berkembang biak turun-temurun waris-mewarisi sepanjang masa yang telah ditakdirkan baginya.


Kekhawatiran Para Malaikat.
Para malaikat ketika diberitahukan oleh Allah s.w.t. akan kehendak-Nya menciptakan makhluk lain itu, mereka khuatir kalau-kalau kehendak Allah menciptakan makhluk yang lain itu,disebabkan kecuaian atau kelalaian mereka dalam ibadah dan menjalankan tugas atau karena pelanggaran yang mereka lakukan tanpa disadari. Berkata mereka kepada Allah s.w.t.: "Wahai Tuhan kami! Buat apa Tuhan menciptakan makhluk lain selain kami,padahal kami selalu bertasbih, bertahmid, melakukan ibadah dan mengagungkan nama-Mu tanpa henti-hentinya,sedang makhluk yang Tuhan akan ciptakan dan turunkan ke bumi itu,nescaya akan bertengkar satu dengan lain,akan saling bunuh-membunuh berebutan menguasai kekayaan alam yang terlihat diatasnya dan terpendam di dalamnya,sehingga akan terjadilah kerusakan dan kehancuran di atas bumi yang Tuhan ciptakan itu."
Allah berfirman, menghilangkan kekhuatiran para malaikat itu:
"Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui dan Aku sendirilah yang men

Cinta sahabat Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra memang luar biasa indah, cinta yang selalu terjaga kerahasiaannya dalam sikap, kata, maupun expresi. Hingga konon karena saking teramat rahasianya setan saja tidak tahu urusan cinta diantara keduanya. Dan akhirnya Allah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan.


Sudah lama Ali terpesona dan jatuh hati pada Fatimah, ia pernah tertohok dua kali saat Abu Bakar dan Ummar melamar fatimah. Sementara dirinya belum siap untuk melakukannya.
Pada saat kaum muslimin hijrah ke madinah, Fathimah dan kakaknya Ummu Kulsum tetap tinggal di Makkah sampai Nabi mengutus orang untuk menjemputnya.Setelah Rasulullah SAW menikah dengan Aisyah binti Abu Bakar, para sahabat berusaha meminag Fathimah. Abu Bakar dan Umar maju lebih dahulu untuk meminang tapi nabi menolak dengan lemah lembut. Lalu Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah untuk melamar, lalu ketika nabi bertanya, “Apakah engkau mempunyai sesuatu ?”, Tidak ada ya Rasulullah,” jawabnya. “ Dimana pakaian perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu,” Tanya Rasullah SAW lagi.“ Masih ada padaku wahai Rasulullah,” jawab Ali. “Berikan itu kepadanya (Fatimah) sebagai mahar,”.kata beliau.
Lalu Ali bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affan seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan diserahkan kepada Bilal untuk membeli perlengkapan pengantin. Dan di sisi lain, Fatimah ternyata juga sudah lama memendam cintanya kepada Kaum muslim merasa gembira atas perkawinan Fathimah dan Ali bin Abi Thalib, setelah setahun menikah lalu dikaruniai anak bernama Hasan dan saat Hasan genap berusia 1 tahun lahirlah Husein pada bulan Sya’ban tahun ke 4 H.
Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari setelah keduanya menikah, Fatimah berkata kepada Ali:
Fatimah : “Wahai suamiku Ali, aku telah halal bagimu, aku pun sangat bersyukur kepada Allah karena ayahku memilihkan aku suami yang tampan, sholeh, cerdas dan baik sepertimu”.
Ali : “Aku pun begitu wahai Fatimahku sayang, aku sangat bersyukur kepada Allah akhirnya cintaku padamu yang telah lama kupendam telah menjadi halal dengan ikatansuci pernikahanku denganmu.”
Fatimah : (berkata dengan lembut) “Wahai suamiku, bolehkah aku berkata jujur padamu? karena aku ingin terjalin komunikasi yang baik diantara kita dan kelanjutan rumah tangga kita”.
Ali : “Tentu saja istriku, silahkan, aku akan mendengarkanmu…”.
Fatimah : “Wahai Ali suamiku, maafkan aku, tahukah engkau bahwa sesungguhnya sebelum aku menikah denganmu, aku telah lama mengagumi dan memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, dan aku merasa pemuda itu pun memendam rasa cintanya untukku. Namun akhirnya ayahku menikahkan aku denganmu. Sekarang aku adalah istrimu, kau adalah imamku maka aku pun ikhlas melayanimu, mendampingimu, mematuhimu dan menaatimu, marilah kita berdua bersama-sama membangun keluarga yang diridhoi Allah”
Sungguh bahagianya Ali mendengar pernyataan Fatimah yang siap mengarungi bahtera kehidupan bersama, suatu pernyataan yang sangat jujur dan tulus dari hati perempuan sholehah. Tapi Ali juga terkejut dan agak sedih ketika mengetahui bahwa sebelum menikah dengannya ternyata Fatimah telah memendam perasaan kepada seorang pemuda. Ali merasa agak sedih karena sepertinya Fatimah menikah dengannya karena permintaan Rasul yang tak lain adalah ayahnya Fatimah, Ali kagum dengan Fatimah yang mau merelakan perasaannya demi taat dan berbakti kepada orang tuanya yaitu Rasul dan mau menjadi istri Ali dengan ikhlas.
Namun Ali memang sungguh pemuda yang sangat baik hati, ia memang sangat bahagia sekali telah menjadi suami Fatimah, tapi karena rasa cintanya karena Allah yang sangat tulus kepada Fatimah, hati Ali pun merasa agak bersalah jika hati Fatimah terluka, karena Ali sangat tahu bagaimana rasanya menderita karena cinta. Dan sekarang Fatimah sedang merasakannya. Ali bingung ingin berkata apa, perasaan didalam hatinya bercampur aduk. Di satu sisi ia sangat bahagia telah menikah dengan Fatimah, dan Fatimah pun telah ikhlas menjadi istrinya. Tapi disisi lain Ali tahu bahwa hati Fatimah sedang terluka. Ali pun terdiam sejenak, ia tak menanggapi pernyataan Fatimah.
Fatimah pun lalu berkata, “Wahai Ali suamiku sayang, Astagfirullah maafkan aku. Aku tak ada maksud ingin menyakitimu, demi Allah aku hanya ingin jujur padamu, saat ini kaulah pemilik cintaku, raja yang menguasai hatiku.”.
Ali masih saja terdiam, bahkan Ali mengalihkan pandangannya dari wajah Fatimah yang cantik itu.
Melihat sikap Ali, Fatimah pun berkata sambil merayu Ali, “Wahai suamiku Ali, tak usah lah kau pikirkan kata-kataku itu, marilah kita berdua nikmati malam indah kita ini. Ayolah sayang, aku menantimu Ali”.
Ali tetap saja terdiam dan tidak terlalu menghiraukan rayuan Fatimah, tiba-tiba Ali pun berkata, “Fatimah, kau tahu bahwa aku sangat mencintaimu, kau pun tahu betapa aku berjuang memendam rasa cintaku demi untuk ikatan suci bersamamu, kau pun juga tahu betapa bahagianya kau telah menjadi istriku. Tapi Fatimah, tahukah engkau saat ini aku juga sedih karena mengetahui hatimu sedang terluka. Sungguh aku tak ingin orang yang kucintai tersakiti, aku bisa merasa bersalah jika seandainya kau menikahiku bukan karena kau sungguh-sungguh cinta kepadaku. Walupun aku tahu lambat laun pasti kau akan sangat sungguh-sungguh mencintaiku. Tapi aku tak ingin melihatmu sakit sampai akhirnya kau mencintaiku.”.
Fatimah pun tersenyum mendengar kata-kata Ali, Ali diam sesaat sambil merenung, tak terasa mata Ali pun mulai keluar air mata, lalu dengan sangat tulus Ali berkata lagi, “Wahai Fatimah, aku sudah menikahimu tapi aku belum menyentuh sedikit pun dari dirimu, kau masih suci. Aku rela menceraikanmu malam ini agar kau bisa menikah dengan pemuda yang kau cintai itu, aku akan ikhlas, lagi pula pemuda itu juga mencintaimu. Jadi aku tak akan khawatir ia akan menyakitimu. Aku tak ingin cintaku padamu hanya bertepuk sebelah tangan, sungguh aku sangat mencintaimu, demi Allah aku tak ingin kau terluka… Menikahlah dengannya, aku rela”.
Fatimah juga meneteskan airmata sambil tersenyum menatap Ali, Fatimah sangat kagum dengan ketulusan cinta Ali kepadanya, ketika itu juga Fatimah ingin berkata kepada Ali, tapi Ali memotong dan berkata, “Tapi Fatimah, sebelum aku menceraikanmu, bolehkah aku tahu siapa pemuda yang kau pendam rasa cintanya itu?, aku berjanji tak akan meminta apapun lagi darimu,namun izinkanlah aku mengetahui nama pemuda itu.”
Airmata Fatimah mengalir semakin deras, Fatimah tak kuat lagi membendung rasa bahagianya dan Fatimah langsung memeluk Ali dengan erat. Lalu Fatimah pun berkata dengan tersedu-sedu,“Wahai Ali, demi Allah aku sangat mencintaimu, sungguh aku sangat mencintaimu karena Allah."
Berkali-kali Fatimah mengulang kata-katanya. Setelah emosinya bisa terkontrol, Fatimah pun berkata kepada Ali, “Wahai Ali, Awalnya aku ingin tertawa dan menahan tawa sejak melihat sikapmu setelah aku mengatakan bahwa sebenarnya aku memendam rasa cinta kepada seorang pemuda sebelum menikah denganmu, aku hanya ingin menggodamu, sudah lama aku ingin bisa bercanda mesra bersamamu. Tapi kau malah membuatku menangis bahagia. Apakah kau tahu sebenarnya pemuda itu sudah menikah”.
Ali menjadi bingung, Ali pun berkata dengan selembut mungkin, walaupun ia kesal dengan ulah Fatimah kepadanya ”Apa maksudmu wahai Fatimah? Kau bilang padaku bahwa kau memendam rasa cinta kepada seorang pemuda, tapi kau malah kau bilang sangat mencintaiku, dan kau juga bilang ingin tertawa melihat sikapku, apakah kau ingin mempermainkan aku Fatimah?, sudahlah tolong sebut siapa nama pemuda itu? Mengapa kau mengharapkannya walaupun dia sudah menikah?”.
Fatimah pun kembali memeluk Ali dengan erat, tapi kali ini dengan dekapan yang mesra. Lalu menjawab pertanyaan Ali dengan manja, “Ali sayang, kau benar seperti yang kukatakan bahwa aku memang telah memendam rasa cintaku itu, aku memendamnya bertahun-tahun, sudah sejak lama aku ingin mengungkapkannya, tapi aku terlalu takut, aku tak ingin menodai anugerah cinta yang Allah berikan ini, aku pun tahu bagaimana beratnya memendam rasa cinta apalagi dahulu aku sering bertemu dengannya. Hatiku bergetar bila ku bertemu dengannya. Kau juga benar wahai Ali cintaku, ia memang sudah menikah. Tapi tahukah engkau wahai sayangku, pada malam pertama pernikahannya ia malah dibuat menangis dan kesal oleh perempuan yang baru dinikahinya”
Ali pun masih agak bingung, tapi Fatimah segera melanjutkan kata-katanya dengan nada yang semakin menggoda Ali, ”Kau ingin tahu siapa pemuda itu? Baiklah akan kuberi tahu. Sekarang ia berada disisiku, aku sedang memeluk mesra pemuda itu, tapi kok dia diam saja ya, padahal aku memeluknya sangat erat dan berkata-kata manja padanya, aku sangat mencintainya dan aku pun sangat bahagia ternyata memang dugaanku benar, ia juga sangat mencintaiku…”
Ali berkata kepada Fatimah, “Jadi maksudmu…???”
Fatimah pun berkata, “Ya wahai cintaku, kau benar, pemuda itu bernama Ali bin Abi Thalib sang pujaan hatiku”.
Subhanallah, Betapa Indahnya Kisah Cinta antara Ali Bin Abi Thalib Dan Fatimah Az-Zahra. Maha Suci Allah, Dialah yang mengatur segalanya. Dialah yang telah mengatur jodoh, rezeki, pertemuan, dan maut dari setiap insan di Dunia.

Dikirim pada 25 Februari 2014 di Kisah-kisah



1 Comment

23 Feb


Abu Bakar RA Bingung Rasulullah SAW Meninggalkannya

Suatu hari, Rosulullah saw bertamu ke rumah Abu Bakar. ketika sedang bercengkerama dg Nabi saw, tiba-tiba datang seorang arab badui menemui Abu Bakar dan langsung mencela Abu Bakar. makian, kata-kata kotor keluar dari mulut orang itu. namun Abu Bakar tidak menghiraukannya. Ia melanjutkan perbincangan dg Rosulullah. Malihat hal ini Rosulullah tersenyum.


Kemudian orang badui itu kembali memaki Abu Bakar. kali ini, makian dan hinaannya makin kasar. namun, dengan keimanan yg kokoh serta kesabarannya, Abu Bakar tetap membiarkan orang tersebut. Rosulullah kembali memberikan senyum.

Semakin marahlah orang badui ini. untuk ketiga kalinya, ia mencela Abu Bakar dg makian tg lebih menyakitkan. kali ini selaku manusia biasa yg memilii hawa nafsu, Abu Bakar tidak dapat menahan amarahnya. dibalasnya makian orang badui itu . terjadilah perang mulut. seketika itu, Rosulullah meninggalkan Abu Bakar tanpa mengucapknan salam.

Melihat hal ini, selaku tuan rumah, Abu Bakar tersadar dan menjadi bingung. dikejarnya Rosulullah yg sudah sampai halaman rumah. kemudian , Abu Bakar berkata, “Wahai Rosulullah, janganlah anda biarkan aku dalam kebingungan yg sangat. jika aku berbuat kesalahan, jelaskan kesalahanku”.

Rosulullah menjawab, “Sewaktu ada seorang arab badui datang lalu mencelamu, dan engkau tidak menanggapinya, aku tersenyum karena karena banyak malaikat disekelilingmu yg akan membelamu dihadapan ALLAH. begitupun yg kedua kali, ketika ia mencelamu dan engkau tetap membiarkannya, maka para malaikat semakin bertambah banyak jumlahnya. oleh sebab itu, aku tersenyum. namun, ketika kali ketiga ia mencelamu dan engkau menanggapinya dan membalasnya, maka seluruh malaikat pergi meninggalkanmu. hadirlah iblis disisimu. oleh karena itu, aku tidak ingin berdekatan dengannya, dan aku tidak memberikan salam kepadanya”..


Semoga menjadi pelajaran bagi kalian semua..
Sumber : renungan hikmah

Dikirim pada 23 Februari 2014 di Kisah-kisah



0 Comments

17 Agu


Kupinang Engkau Dengan Al-Qur`an

Bismillahir-Rahmaanir-Rahim...


Tepat adzan Isya aku sampai di halaman masjid di sebuah komplek perumahan. Usai memarkirkan sepeda motorku di halaman masjid itu, aku bergegas mengambil air wudhu lalu sholat berjama`ah. Selepas sholat isya dan ba`diyahnya, aku kembali menuju halaman masjid tempat aku memarkirkan sepeda motorku.
Ada rasa yang mulai tak menentu kala itu. Karena setelah ini aku akan mengunjungi rumah seseorang. Seseorang yang telah dipilihkan oleh murobbiku, Ustadz Utsman. Seseorang itu adalah Fathiyya. Seorang akhwat lugu nan mempesona serta baik akhlaqnya. Ia tak banyak bicara dan pandangannya tertunduk jika ada ikhwan disekitarnya. Pakaiannya sederhana, tetapi jilbabnya istimewa. Hampir separuh bagian atas tubuhnya tertutup oleh balutan jilbabnya.

Sebelum meninggalkan halaman masjid itu, aku menyapa seorang jama`ah masjid,


"Assalaamu`alaikum, pak.."
"Wa`alaikumsalaam warohmatulloh.." jawabnya fasih.
"Maaf pak...saya mau tanya, barangkali Bapak tahu rumahnya Fathiyya?"
"Fathiyya yah? Kamu tahu siapa orangtuanya?"
"Kalau tidak salah, nama bapaknya, Haji Nashiruddin.."
"Bukan Nashiruddin, tapi Nashruddin..." jelasnya.
"I..iya..maaf pak, itu yang saya maksud.."

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Catatan pertama,

Ketika walikota surabaya, Ibu Tri Rismaharani mendeklarasikan penutupan kampung zina terbesar di Indonesia, ribuan pasukan iblis pembela maksiat berusaha menghadang dengan berbagai makarnya. Anehnya, mereka tidak segan meminjam istilah islam sebagai nama kegiatan mereka, mulai dari pengajian akbar Pro Rakyat bersama Gus Gendheng, hingga Istighatsah kubro menolak penutupan lokalisasi. Penutupan lokalisasi tidak sejalan dengan prikemanusiaan.

Dari mana mereka bisa menggunakan istilah itu?

Tidak lain adalah wahyu iblis. Dia membisikkan kepada bala tentaranya berbagai alasan dan dalil untuk melestarikan kemaksiatan.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu setan dari jenis manusia dan jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). (QS. Al-An’am: 112)

Kenyataan ini memberi pelajaran bagi kita, apapun bentuk kejahatan, kemaksiatan, dan kesesatan, semuanya memiliki dalil dan alasan.

Ketika Iblis menolak untuk tunduk terhadap perintah Allah untuk sujud kepada ‎Adam, dia menggunakan dalil. Dalil yang digunakan iblis adalah dalil qiyas.,

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ‏

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu ‎aku menyuruhmu?” Iblis menjawab, “Saya lebih baik dari pada dia, Engkau ciptakan saya ‎dari api sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al-A’raf: 12)‎

Di ayat lain, Allah berfirman,‎

وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلَائِكَةِ اسْجُدُوا لِآدَمَ فَسَجَدُوا إِلَّا إِبْلِيسَ قَالَ أَأَسْجُدُ لِمَنْ خَلَقْتَ طِينًا

Ingatlah, tatkala Kami berfirman kepada Para Malaikat: “Sujudlah kamu semua kepada ‎Adam”, lalu mereka sujud kecuali iblis. Dia berkata: “Apakah aku akan sujud kepada ‎orang yang Engkau ciptakan dari tanah?” (QS. Al-Isra: 61)‎

Menurut iblis, api lebih mulia dari pada tanah. Dengan logika ini, dia beralasan, makhluk ‎yang lebih baik asal penciptaannya, tidak selayaknya memberikan hormat kepada ‎makhluk yang lebih rendah asal penciptaannya.

Semata berdalil, bukan jaminan itu benar. Namun perlu juga ditimbang dengan ‎keshahihan cara berdalil. Kenyataan ini menuntut kita untuk semakin cerdas memahami dalam memahami dalil.

Catatan kedua,

Kita yakin, para tokoh agama setempat tentu telah mengingatkan bahaya zina dan dampak buruk dosa zina. Karena hukum al-Quran yang berbicara masalah ini sudah sangat jelas.

Tapi mengapa penjelasan kiyai tentang hukum al-Quran tidak bisa mencegah mereka?

Tentu bukan kiyainya yang salah. Para kiyai telah menyampaikan peringatan kepada mereka.

Namun seperti inilah manusia. Banyak orang yang mereka tidak bisa dihentikan untuk maksiat dengan penjelasan al-Quran. Dan ketika itulah, Allah menunjuk penguasa untuk mencegah mereka.

Utsman bin Affan radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

إن الله يزع بالسلطان ما لا يزع بالقرآن

Sesungguhnya Allah mencegah maksiat dengan kekuasaan, yang tidak bisa dicegah dengan dakwah al-Quran. (Simak Tarikh al-Madinah, Ibnu Syabbah an-Numairi, 3/988).

Kita patut bersyukur, ketika Allah memberikan pemimpin yang berpihak terhadap kebenaran, mengawal langkah setahap terwujudnya aturan syariat.

Catatan ketiga,

Tempat lokalisasi terbesar di Indonesia itu telah bertahan 100 tahunan di tengah kerumunan masyarakat pengagung para wali. Kita yakin kesehariannya mereka adzan dan suara dzikiran di masjid. Dan tidak lupa, para kyai setempat pasti sudah sering mengingatkan bahaya zina.

Namun ketika amar makruf nahi munkar tidak ditegakkan secara penuh, di saat itulah kebatilan akan terus bertahan dan terus berdikari.

Di sinilah fungsi besar pihak yang berwenang sangat dibutuhkan, karena keterlibatan mereka dalam amar makruf nahi munkar, memberikan peran penting terhadap pendidikan masyarakat.

Seorang ulama menasehatkan,

الامر بالمعروف والنهي عن المنكر سفينة النجاة

Amar makruf nahi munkar adalah perahu keselamatan.

Keberadaan orang soleh tidak ada artinya ketika mereka hanya diam di hadapan kemaksiatan.

Ummu Salamah pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يَا رَسُولَ اللهِ أَنَهْلِكُ وَفِينَا الصَّالِحُونَ؟

“Ya Rasulullah, apakah kita akan binasa sementara banyak orang soleh di tengah kita?”

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

نَعَمْ، إِذَا كَثُرَ الْخَبَثُ

”Ya, jika maksiat merajalela.” (HR. Muslim 2880).

Siapa yang kuat, dia yang berkuasa. Orang baik namun lemah, hanya akan ditindas mereka yang jahat. Di saat itulah kemaksiatan menjadi pemenang.

Orang baik yang kuat, akan membuat kerdil ahli maksiat. Di saat itulah, kebenaran akan menjadi pemenang.

Dari Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji kedisplinan Umar dalam amar ma’ruf nahi munkar, hingga setanpun takut kepadanya.

يَا ابْنَ الخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا لَقِيَكَ الشَّيْطَانُ سَالِكًا فَجًّا قَطُّ، إِلَّا سَلَكَ فَجًّا غَيْرَ فَجِّكَ

”Hai Umar bin Khatab, demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, jika ada setan yang memergokikamu di satu jalan, maka dia akan mencari jalan yang lain selain jalan yang kamu lewati.” (HR. Bukhari 3683).

Selama kita mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar, jangan ditunda, sebelum ahli maksiat menjajah.

Allahu a’lam.

Sumber: konsultasi_syariah

Dikirim pada 19 Juni 2014 di Hikmah

0 Comments

15 Mei


Hubungan Antara Makhluk dan Kholiq (Akhlaq)


Yüklə 5,93 Mb.

Dostları ilə paylaş:
1   ...   43   44   45   46   47   48   49   50   ...   92




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin