Ramadhan backpacker



Yüklə 309,96 Kb.
səhifə3/7
tarix26.07.2018
ölçüsü309,96 Kb.
#59533
1   2   3   4   5   6   7

Bangkok

Kami memasuki kota Bangkok lewat dari jam sepuluh malam. Satu persatu penumpang turun, termasuk gadis Thailand yang baik itu. Ia turun sebelum masuk tengah kota. Saya tak lupa berterimakasih atas kebaikannya. Penumpang yang masih ada hanya kami bertiga, Bu Lena, Alda dan saya. Alda memberikan sebuah alamat penginapan murah yang dibacanya di internet. Tetapi sopir tersebut tidak paham dan tidak tahu persis alamat yang dituju.

Kemudian sopir mini bus itu menawarkan untuk mengantar kami mencari hotel yang murah. Tentu saja kami menyambut uluran tangannya. Dia membawa kami memasuki gang-gang yang tidak begitu besar di tengah kota, dimana bertebaran penginapan dengan berbagai tarif. Namun yang kami tidak duga, ternyata sopir itu meminta tambahan biaya untuk pencarian tersebut. Dengan berat hati kami memberi tambahan 300 baht yang diminta karena sudah terlanjur dibawa berputar-putar.

Saya tahu bahwa kawasan ini adalah kawasan yang strategis. Soalnya di sekeliling kawasan ini adalah jalan-jalan besar dan ada beberapa mal yang tak jauh dari deretan penginapan. Gedung yang paling menonjol adalah gedung BMW yang lumayan tinggi dan tertangkap mata dari jauh. Gang-gang disini mengingatkan saya pada jalan Jaksa dan Sabang di belakang gedung Sarinah, Jakarta Pusat. Belakangan saya tahu, nama kawasan ini adalah Pratunam.

Setelah meninjau beberapa penginapan, rata-rata tarifnya 1000 baht per malam. Bagi kami, tarif itu masih terlalu mahal. Kami tidak putus asa, terus berjalan untuk mencari penginapan yang lebih murah. Alhamdulillah, akhirnya kami mendapatkan sebuah hotel yang tarifnya 500 baht permalam. Memang ini bukan hotel mewah, hanya terdiri dari tiga lantai. Lantai paling bawah adalah ruang makan atau restoran yang terbuka untuk umum. Lantai kedua, adalah kamar-kamar yang disewakan. Di lantai tiga, selain kamar-kamar sewa, si pemilik hotel juga tinggal disana.

Untuk naik ke lantai dua dengan tangga tersendiri yang posisinya di pojok, lepas dari restoran dan langsung bisa dinaiki begitu kita masuk teras hotel. Karena itu untuk keamanannya, ada pintu besi dengan kunci bertanda khusus. Tamu hotel per kamar diberi satu kunci. Saya berpendapat ini hotel yang bersih dan aman. Pemilik hotel mengantar kami melihat kamar-kamar di lantai dua. Kondisinya lumayan, rapi dan agak modern. Ada televise yang cukup besar, kulkas kecil untuk menaruh makanan dan meja kecil serta lemari besar untuk meletakkan peralatan dan pakaian. Ac dan keran juga berfungsi normal. Kami berpikir tidak perlu menyewa dua kamar, tetapi bergabung saja bertiga. Ada dua tempat tidur ukuran no 3. . Bu Lena mengatakan dia dan Alda bisa dalam satu tempat tidur. Dan saya di tempat tidur satunya lagi. Rupanya pemilik hotel tidak menyukainya.

Alda mengakui saya sebagai tantenya, jadi kami tidak ingin berpisah kamar. Pemilik hotel bersikeras. Dia melarang ada tiga orang dalam satu kamar, kecuali jika kami membayar extra bed seharaga 300 baht. Jadi, sebetulnya pemilik hotel tidak mau rugi. Kalau kami bertiga bergabung tanpa menyewa extra bed, berarti tidak ada penambahan uang. Akhirnya kami terpaksa menyetujui peraturan tersebut, karena jika mengambil dua kamar, tetap lebih boros. Terutama bagi saya yang keuangannya terbatas. Lagipula, saya hanya berniat tinggal satu malam saja. Sedangkan Bu Lena dan putrinya masih akan tinggal selama dua hari. Malam itu juga, uang sewa kamar, termasuk deposit, dibayarkan dulu oleh Alda. Berarti saya berhutang padanya. Saya berniat akan membayarnya besok setelah mencairkan uang.

Kami sudah lelah dan tidak ingin menghabiskan energi hanya dengan meladeni kecerewetan pemilik hotel. Saya mandi bergantian dengan Bu Lena dan Alda. Ketika saya mandi, mereka berdua keluar mencari makanan. Ada beberapa pakaian kotor yang juga dicuci. Begitu extra bed dimasukkan, kami sudah siap tidur. Tetapi extra bed itu sama sekali tidak digunakan oleh saya. Bu Lena tetap mengambil keputusan untuk tidur satu ranjang dengan putrinya. Dan saya bisa tidur sendiri dengan nyaman. Extra bed justru digunakan untuk menjeber pakaian dan handuk!

Saat itu sudah pukul 24.30 malam atau 00 30 dini hari waktu Bangkok. Bu Lena dan putrinya segera tertidur pulas. Saya sebetulnya juga sudah sangat lelah dan mengantuk. Namun karena saya belum menunaikan ibadah sholat tarawih, saya berusaha bertahan. Sementara mereka berdua sudah mendengkur halus, saya melakukan sholat tarawih dan witir. Selesai sholat, hati saya merasa lega dan tenang. Kemudian saya naik ke tempat tidur dan mulai memejamkan mata.

Seperti biasa, saya tidak pernah tidur dengan nyenyak. Pada pukul empat pagi, saya terbangun untuk sahur. Tadi masih ada roti yang saya beli di pom bensin. Saya pun memakan roti tersebut dan minum sebotol kecil air mineral. Saya menunggu shubuh, lalu tidur kembali.

Kami tidak tergesa-gesa keluar hotel. Bu Lena dan Alda juga masih ingin beristirahat, tidur-tiduran saja di dalam kamar. Saya juga tidak suka keluar sebelum menunaikan sholat dhuha. Mereka berdua sarapan dengan makanan yang dibeli tadi malam. Kami mendiskusikan rencana selanjutnya. Bu Lena dan Alda akan bermalam lagi di hotel ini. Pada pukul 10 30, barulah kami keluar dari hotel untuk berjalan-jalan. Ternyata, di luar masih sangat sepi, pintu hotel masih tertutup rapat. Demikian pula penginapan-penginapan lain serta toko-toko yang ada di sekitarnya. Agaknya kehidupan disini dimulai menjelang siang. Pantaslah kami diberi kunci pintu hotel, supaya bisa keluar masuk sendiri.

Saya mencoba mencari money changer agar bisa menukar uang dan membayar hutang kepada Alda. Tetapi sama saja dengan yang lain, belum ada money changer yang buka. Kami iseng melihat-lihat penginapan lain sambi berjalan menuju jalan raya. Nyatanya, tidak ada yang semurah hotel yang kami tempati. Ada satu tempat yang lumayan, hanya 600 baht semalam, tetapi kondisinya di bawah hotel kami. Diam-diam kami bersyukur mendapat hotel tersebut.

Rencana kami adalah pergi ke pasar yang hanya buka pada week end saja yaitu pasar Chatu Cak. Pasar ini sangat terkenal bagi kalangan turis. Banyak jenis barang yang bisa dibeli sebagai souvenir atau kenang-kenangan dari Thailand. Tadinya kami mau naik kereta, karena melihat ada stasiun kereta tak begitu jauh dari penginapan. Tidak tahunya stasiun itu masih baru, belum dioperasionalkan. Pintu-pintunya masih tertutup rapat dengan cat yang masih berantakan. Kami mencoba bertanya pada dua orang yang berseragam, mungkin polisi atau security setempat. Sayang ia tidak mengerti apa yang kami maksud karena tidak bisa berbahasa Inggris.

Kami heran karena Bangkok adalah kota wisata yang sangat terkenal di dunia, tetapi sangat jarang orang yang bisa berbahasa Inggris. Padahal, petugas-petugas seperti polisi selayaknya menguasai bahasa internasional tersebut sehingga bisa menolong para turis yang kebingungan atau membutuhkan bantuan. Saya yakin bahwa para wisatawan yang datang ke Bangkok, terpaksa bernegosiasi dengan bahasa isyarat. Dalam hati saya bersyukur bahwa di Yogyakarta, tukang becak pun bisa berbahasa Inggris. Sri Sultan Hamengkubuwono X yang sangat peduli pada wilayahnya, memberikan pendidikan gratis bahasa inggris kepada tukang becak atau sopir delman agar dapat melayani wisatawan manca Negara dengan baik.

Tidak bisa naik kereta berarti kami harus mencari kendaraan lain. Lalu di jalan raya kami melihat banyak tuk-tuk yang lewat. Tuk-tuk adalah kendaraan yang menjadi ciri khas Bangkok sebagai kota wisata. Bentuknya cukup unik, seperti bajaj tetapi lebih besar dan terbuka, dengan ornamen yang menarik. Saya mengetahuinya dari acara travel di televisi. Kami sepakat untuk mencobanya. Alda lalu menyetop sebuah tuk-tuk yang dikemudikan oleh seorang anak muda. Alhamdulillah sopir tuk-tuk ini bisa berbahasa inggris dengan lancar. Kami pun menanyakan tarif tuk-tuk ke pasar Chatu cak.

Anak muda itu mau mengantar kami ke pasar Chatu cak dengan tarif 30 baht. Kami lalu menawarnya menjadi 20 baht, dan dia setuju sambil tersenyum-senyum. Agaknya dia memaklumi kepolosan kami sebagai turis. Tapi dia mengajukan satu syarat, yaitu agar kami mau diajak ke satu toko yang menjual souvenir untuk wisatawan. Dia mengatakan, kalau mengantar turis ke toko itu, ia akan mendapat poin untuk bensin gratis. Ok, kami sepakat menerima tawarannya. Toh, datang ke toko itu bukan berarti harus membeli sesuatu di sana. Itu terserah kami.

Dia membawa kami ke sebuah toko dan tempat produksi perhiasan dan permata Thailand yang juga sangat dipromosikan kepada wisatawan. Tempat itu sangat menarik. Mereka memperlihatkan bagaimana mendisain sebuah perhiasan, sungguh cantik-cantik. Hati perempuan mana yang tidak tergetar melihat begitu banyak perhiasan yang indah. Namun otak kami masih waras, teringat bahwa kami harus berhemat. Kami bertahan tidak membeli perhiasan, tetapi hanya souvenir murah yang terbuat dari kayu seperti gantungan kunci dan pajangan. Saya membeli gantungan kunci berbentuk gajah seharga 100 baht dan berbentuk kipas 50 baht, masing-masing berisi lima buah. Niatnya adalah untuk dibagikan kepada para keponakan saya di rumah.

Setelah puas melihat-lihat, kami lalu melanjutkan perjalanan ke pasar Chatu Chak. Di dalam perjalanan kami sempat berfoto, mengabadikan pengalaman naik tuk-tuk yang unik ini. Sopir tuk-tuk membantu mengambil gambar, selagi tuk-tuk berhenti di lampu merah. Kami menyukai sopir ini. Ia seorang pemuda yang baik, ramah dan bisa berbahasa inggris. Alda meminta no hp pemuda tersebut agar sewaktu-waktu bisa dihubungi untuk membawa kami mengelilingi kota Bangkok.

Kami diturunkan di depan pasar Chatu Chak. Pasar dapat diamsuki dari berbagai arah dan memiliki banyak lorong-lorong. Kalau pertama kali masuk, memang agak membingungkan. Apalagi Chatu Chak terdiri dari beberapa blok. Sebenarnya pasar ini mengingatkan saya pada pasar tanah abang dan mayestik. Barang-barang yang dijual memang beraneka ragam, terutama yang dapat dijadikan souvernir para wisatawan. Saya melihat baju-baju kaos, yang mutunya sama dengan produk tanah air, tetapi disini harganya tentu saja lebih mahal.

Kalau di Yogyakarta, padanannya adalah pasar Beringharjo yang menjual barang khas kota budaya tersebut. Selain itu kita juga mengetahui pasar Sukowati di Bali yang menwarkan barang-barang kerajinan dari Bali. Kedua pasar tersebut selalu dibanjiri turis asing. Demikian pula dengan pasar Chatu Chak ini, penuh dengan wisatawan. Apalagi karena hanya buka pada week end saja yaitu hari sabtu dan minggu. Namun pasar Chatu Chak ini lebih luas dan besar. Kelebihan kota Bangkok, ia lebih dikenal di dunia karena sangat sering dipromosikan.

Sementara Bu Lena dan putrinya masih menyusuri pasar untuk mencari barang-barang menarik, saya menggunakan kesempatan untuk mendatangi money changer di sekitar pasar. Sungguh mengecewakan, karena tak ada money changer yang mau menukar uang rupiah. Begitu pula dengan bank, kebanyakan mereka tidak menyediakan jasa penukaran rupiah, yang diterima hanya uang dollar Singapura dan Ringgit Malaysia. Masya Allah, apa ada diskriminasi untuk Negara kita? Apadahal Indonesia adalah Negara terbesar di Asean, mengapa mata uangnya tidak diminati? Saya agak tersinggung menerima perlakuan tersebut.

Saya memikirkan hal tersebut sambil mencari masjid atau mushola. Saya menanyakan keberadaan tempat ibadah pada pos jaga yang ada di tengah-tengah pasar. Saya mengira akan menemukan masjid yang cukup besar, tetapi ternyata yang saya dapati hanya sebuah mushola denga ukuran sekitar lima kali empat meter. Ruangan sholat cukup bersih. Yah setidaknya masih ada tempat untuk menunaikan ibadah sholat bagi yang beragama islam. Selepas dari mushola, saya bergabung kembali dengan Bu Lena dan Alda, lalu melanjutkan pencarian bank yang dapat menukar rupiah dengan baht.

Setelah bertanya kesana kemari, akhirnya ada yang meberi petunjuk bahwa salah satu cabang bank swasta yang berada di dalam mall, menerima penukaran rupiah dengan baht. Dengan harapan tipis, kami mencari bank tersebut. Di dalam gedung JJ mall saya menemukan bank yang dimaksud. Memang bank itu mau menerima rupiah, tapi nilainya menjadi lebih rendah. Uang sebesar Rp 500 000,- hanya mendapatkan 1000 baht. Padahal harga normalnya, 1000 baht adalah Rp 300 000,-. Namun saya tidak mempunyai pilihan lain alias kepepet.

Saya membutuhkan uang baht untuk membayar hutang pada Alda. Tidak enak jika bergantung pada mereka berdua. Bu Lena dan Alda juga tidak mempunyai cadangan uang baht yang cukup. Kami masih harus mempunyai uang baht untuk keperluan sehari-hari dan membeli tiket pesawat. Karena itu bu Lena juga menukar uang rupiah di tempat yang sama. Dalam hati saya menyesal tidak menukar banyak baht dari tanah air, kami dirugikan oleh kurs di Bangkok.

Dengan bekal uang baht hasil penukaran di bank swasta tersebut, kami kembali ke pasar. Bu Lena dan putrinya belum menemukan barang-barang yang dicarinya. Saya tertarik untuk membeli sebuah selendang rajutan. Selendang itu memiliki warna dan motif yang unik, jarang saya temui di pasaran. Pedagang menawarkan harga selendang itu sebesar 150 baht. Saya iseng menawar 70 baht, tidak tahunya pedagang itu langsung setuju dan memberikan selendang itu. Ah lumayan, saya mendapat sebuah benda kenangan yang tidak mahal.Alda melihat-lihat assesoris wanita yang banyak dijual di pasar Chatu Chak. Harganya terhitung murah, apalagi jika kita membeli dalam hitungan lusin. Alda membeli beberapa buah anting-anting yang unik. Dia gadis manis yang modis, sangat sesuai menggunakan assesoris.

Di pasar Chatu Chak ini juga bertebaran pedangang makanan. Ada semcam soto atau sop daging. Bu Lena dan Alda merasa lapar, maklum mengelilingi pasar cukup menguras energi. Mereka berdua makan di warung tenda, dimana para turis lain juga duduk mencicipi makanan yang dijajakan sepanjang jalan. Saya mengambil beberapa foto dari sudut jalan untuk mengenang suasana di pasar Chatu Chak ini.

Pukul empat sore, kami bermaksud keluar pasar Chatuchak dan melihat-lihat tempat lain. Kami melihat ada sebuah stasiun kereta di samping pasar Chatu Chak. Para penumpang yang ingin naik kereta, harus masuk lorong stasiun yang ada di bawah tanah. Tapi kereta yang melewati stasiun itu, tidak ada yang menuju tempat penginapan kami. Akhirnya kami hanya istirahat di dalam stasiun bawah tanah itu. Lantainya yang terbuat dari marmer terasa dingin karena AC, berbeda dengan suasana di atas pasar yang panas. Kami duduk-duduk di lantai bersama turis-turis lain yang juga beristirahat di sana. Kami mendiskusikan rencana selanjutnya.

Kami sepakat untuk berpisah. Bu Lena dan Alda masih ingin mencari pusat pereblanjaan lain. Sedangkan saya masu mencari masjid yang ada di Bangkok ini. Nanti kami akan bertemu langsung di penginapan. Kemudian kami naik ke atas, mencari kendaraan di tepi jalan. Bu Lena dan Alda bertanya pada tuk-tuk yang banyak parker di sana. Kami kaget ketika mendengar tarifnya minimal 200 baht. Lho, kok tadi waktu berangkat kami naik tuk-tuk dengan tariff hanya 20 baht? Apa kami salah dengar? Karena penasaran, Alda juga bertanya pada beberapa tuk-tuk yang lain, jawabannya sama, minimal 200 baht. Kami jadi semakin heran.

Kami baru yakin setelah ada petugas pasar yang menerangkan bahwa tariff tuk-tuk memang sebesar itu. Ia malah menyarankan untuk naik taksi, lebih murah karena menggunakan argometer, sesuai dengan jarak tempuh. Berdasarkan keterangan tersebut, kami batal naik tuk-tuk lagi. Alda dan ibunya naik taksi mencari pasar lain, yaitu Indra Square. Sementara saya mempertimbangkan naik bus kota.

Tadi sewaktu berada di mushola, saya bertemu dengan seorang pemuda Thailand yang juga seorang muslim. Selagi dia memakai sepatu, saya mengajak berkenalan. Kebetulan dia bisa berbahasa inggris. Ia memberitahu bahwa ada sebuah masjid besar di sekitar Bangka Pi. Untuk menuju kesana bisa menggunakan bus no 145, 112 atau 96. berdasarkan petunjuk pemuda tersebut, saya menanti bus di halte terdekat dari pasar.

Bus-bus di sini tidak berhenti sembarangan. Mereka tertib menaikkan dan menurunkan penumpang di halte. Hal ini patut dijadikan contoh. Sopir-sopir buk kota di Jakarta tidak mengenal disiplin, berhenti seenaknya, tak peduli meski berada d tengah jalan dan membahayakan orang lain.Saya menyetop bus no 145 dan duduk dengan nyaman. Walau busnya sudah agak tua, tapi kondisinya bersih dan ber-AC. Kondektur yang menagih ongkos adalah perempuan, sayangnya tidak bisa berbahasa inggris. Dia hanya geleng-geleng kepala sewaktu saya menanyakan alamat masjid yang saya cari.

Ongkos bus hanya 10 baht. Uniknya kondektur dilengkapi sebuah tabung yang di satu sisi mengeluarkan karcis kertas, di sisi lain berlubang untuk uang receh. Saya mengikuti jalannya bus samapai beberapa lama sesuai dengan petunjuk pemuda tadi. Ketika sudah melewati beberapa belokan, saya belum juga melihat adanya tanda-tanda sebuah masjid. Apakah pemuda itu tidak salah, ataukah saya yang terlalu linglung dengan keadaan kota Bangkok yang tidak saya kenal?

Dalam perjalanan saya melihat sebuah gereja. Ada gedung lain di sampingnya. Apakah itu sebuah masjid? Dalam kebingungan saya minta kepasa sopir untuk diturunkan di sana. Ternyata saya salah, gedung itu bukanlah masjid. Seharusnya saya tahu karena tidak ada menara adzan yang menjadi cirri khas masjid. Saya sudah terlanjur salah turun. Mungkin alamat yang saya cari masih jauh. Saya kurang sabar menjalaninya.

Saya mencoba bertanya pada orang-orang yang ada di tepi jalan. Baik itu security gedung, pedagang atau sopir angkot. Tapi demi Allah, tak satu pun dari mereka bisa berbahasa Inggris. Mereka hanya cengar cengir tidak karuan. Aduhai, saya merasa tersesat di negeri antah berantah. Apa yang bisa saya lakukan? Saya berpikir terus sambil menyusuri jalan raya. Tidak ada petunjuk yang memberi arah adanya sebuah masjid. Bus-bus yang lewat pun, tidak ada yang mencantumkan kawasan yang saya tuju. Langit mulai gelap. Saya sadar bahwa sebentar lagi akan tiba waktunya untuk maghrib, saatnya berbuka puasa.

Setengah putus asa saya menawar sebuah tuk-tuk yang sedang parker di tepi jalan. Sopir tuk-tuk juga tidak mengerti bahasa inggris. Untung ada seorang wanita penjual makanan yang mengerti bahasa inggris dan datang membantu saya. Ongkos tuk-tuk masih terlalu mahal, tidak mau di bawah 150 baht. Atas saran wanita tersebut, saya menyetop sebuah taksi dan menyebut alamat penginapan kepada sopirnya. Lebih nyaman dan murah menggunakan taksi. Baru beberapa lama berjalan, mata saya menangkap sebuah kubah dan menara masjid berwarna keemasan. Dengan serta merta saya meminta kepada sopir untuk berbelok dan berhenti di depan masjid tersebut. Alhamdulillah, akhirnya saya menemukan sebuah masjid.

Masjid itu tidak begitu besar, tetapi cukup menarik. Di halaman masjid ada beberapa deret rumah makan untuk kaum muslim. Orang-orang di sana, antara lain pengurus masjid dan para pedagang tengah mempersiapkan buka puasa dalam sebuah meja panjang. Dengan mengucap salam, saya mendatangi mereka dan mengajak berbincang-bincang. Saya mendapat keterangan bahwa Masjid yang diberi nama Muhajirin itu telah dibangun sekitar 50 tahun yang lalu. Sayang tidak ada yang tahu persis sejarah pembangunan masjid tersebut. Mereka mempersilahkan saya melihat-lihat sisi dalam masjid, yang mempunyai arsitektur yang apik.

Karena maghrib menjelang, mereka mengajak saya berbuka puasa bersama. Saya menyukai keramahan mereka dan menerima tawaran tersebut. Makanan yang disediakan tidak berlebihan, tetapi cukup lengkap. Ada sepiring sosis, ada sepiring makanan kecil campur-campur yang bernama timtam (?), ada sepiring besar aneka buah-buahan yang terdiri dari rambutan, duku dan potongan buah naga serta minuman. Begitu adzan maghrib berkumandang, kami makan apa yang terhidang bersama-sama. Saya sungguh menikmati acara buka puasa bersama mereka.

Pulang dari masjid, saya harus naik taksi lagi karena saya tidak melihat adanya kendaraan lain. Taksi segera melaju ke kawasan Pratunam, dimana hotel tempat saya, Bu Lena dan Alda menginap. Memasuki kawasan Pratunam, jalanan mulai macet, dipadati oleh berbagai kendaraan. Walau macet, argometer taksi berjalan terus. Saya agak cemas, ini berarti ongkos taksi bakal lebih mahal. Argo telah menunjukkan angka 65. Saya membayar dengan uang 80 baht karena tidak mempunyai receh. Sopir taksi memberi kembalian yang saya nilai tidak cukup. Ia beralasan tidak mempunyai receh lagi.

Ternyata saya turun tidak tepat di jalan yang menuju hotel. Saya jadi agak bingung, jangan-jangan saya tersesat. Banyak gang yang mirip. Namun bertolak pada gedung BMW yang tinggi itu, akhirnya saya menemukan hotel tersebut. Saya menarik nafas lega karena tubuh saya sudah terasa lelah. Saya tiba di depan hotel, terlambat beberapa menit dari perjanjian dengan Bu Lena dan Alda, karena kunci hanya satu, dan dipegang Alda. Saya melihat sosok Alda yang sedang menaiki tangga. Saya panggil-panggil namanya tetapi dia tidak menoleh, mungkin karena posisi saya masih di jalan, dia tidak mendengar. Begitu saya naik tangga, pintu besi sudah dalam keadaan terkunci. Alda dan ibunya sudah tidak kelihatan, masuk ke dalam kamar. Aduuh, padahal saya kan tidak mempunyai kunci.

Saya lalu turun lagi, minta tolong kepada resepsionis untuk membuka pintu besi dengan kunci cadangan. Untung dia mau mengerti, dan membukakan pintu untuk saya. Bu Lena dan Alda belum tidur ketika saya mengetuk pintu kamar. Bu Lena masih sempat menyeritakan bahwa di Indra Square, mereka juga tidak mendapatkan hasil apa pun. Jadi mereka kembali dengan tangan hampa. Sedangkan saya menyeritakan pengalaman saya ketika mencari masjid tadi.

Esok harinya, saya menetapkan diri untuk check out lebih dahulu. Saya masih ingin melanjutkan perjalanan, meski saya senang bersama Bu Lena dan Alda. Namun kami sepakat melewati hari itu bersama-sama. Pertama, berkunjung ke kedutaan RI di Bangkok, kedua, melancong ke istana Raja Thailand yang terkenal dengan sebutan Grand Palace. Tidak sah rasanya datang ke Bangkok tanpa mengunjungi istana tersebut. Setelah itu baru kemudian kami akan berpisah berpisah. Saya mempunyai rencana akan ke Pattaya, yang terkenal dengan pantainya. Sementara Bu Lena dan putrinya masih akan berada di Bangkok, mereka akan kembali ke Indonesia hari lusa. Alda mencoba menghubungi sopir tuk-tuk kemarin dengan nomor yang diberikan, tapi tidak pernah diangkat. Kami menjadi heran.

Dari hotel kami berjalan kami mencari kedutaan besar Republik Indonesia. Saya sudah menyandang ransel karena tidak akan balik lagi ke penginapan. Sesudah bertanya beberapa kali, kami mendapat arah yang tepat untuk ke gedung kedutaan. Ternyata tidak jauh dari kawasan Pratunam. Sekitar 30 menit kemudian, kami berhasil menemukan kedutaan besar RI. Kami menanyakan kepada petugas apakah bisa bertemu dengan Duta Besar RI untuk Thailand. Petugas memeriksa identitas kami, lalu menelepon ke dalam gedung. Kami disuruh menunggu di ruang tunggu di samping pos jaga. Hampir satu jam berlalu, jawaban yang kami dapatkan, yang Mulia Duta Besar sedang sibuk dan tak dapat menemui kami. Petugas mungkin melihat kekecewaan yang tergambar di wajah kami, sehingga menelepon lagi ke dalam. Akhirnya kami dipersilahkan masuk ke ruang staf kedutaan, ke bagian humas yang mengetahui serba-serbi kedutaan RI.

Gedung yang kami masuki bukanlah gedung utama Kedutaan, melainkan semacam pavilion berlantai dua. Kami diarahkan untuk langsung naik ke lantai dua dengan tangga yang ada di depan gedung. Di sana ada beberapa orang staf humas yang kelihatannya agak sibuk. Ada seorang perempuan Thailand yang rupanya menjadi staf humas, ia fasih berbahasa Indonesia dan menyambut kami dengan ramah. Sayangnya dia tidak mengerti apa yang saya maksud. Dia tidak bisa menjelaskan bagaimana koordinasi kedutaan dengan orang-orang Indonesia yang ada di Thailand.

Akhirnya perempuan itu malah mengalihkan kami kepada staf yang lain. Seorang bapak yang bernama Suwargana memang mau meladeni kami, tapi juga tidak tahu banyak dengan apa yang kami tanyakan. Padahal saya telah menjelaskan bahwa saya seorang penulis yang membutuhkan data-data akurat. Demikian pula ibu-ibu yang ada di sana, lebih banyak mondar-mandir dengan alasan sibuk karena sedang mengatur acara ulang tahun kemerdekaan RI 17 Agustus yang jatuh esok hari. Selain mengadakan upacara bendera, pada sore hari juga akan diselenggarakan resepsi. Semua orang yang kebetulan ada di Bangkok, boleh datang asalkan mengenakan pakaian resmi. Kami tidak berminat atas tawaran tersebut. Pertama, kami tidak membawa pakaian resmi. Kedua, kami datang kesini untuk mengajukan pertanyaan. Ketiga, saya akan melanjutkan perjalanan sore nanti.

Alhasil, kami ‘dicuekin’ saja oleh para staf kedutaan tersebut. Bu Lena sangat kesal, karena ada beberapa hal yang ingin dia tanyakan. Kami berpikir, bagaimana jika ada orang Indonesia yang membutuhkan pertolongan tetapi diabaikan oleh staf kedutaan? Sesibuk apa pun, seharusnya tetap ada orang yang dapat melayani warga Negara Indonesia di tempat itu. Fungsi kedutaan kan harusnya sebagai wakil pemerintah, tidak hanya menjalin hubungan dengan Negara yang bersangkutan, tetapi juga mengayomi warga RI yang berada di Negara tersebut.

Bu Lena mengambil kesimpulan, barangkali memang begini kapasitas dan kualitas SDM kedutaan kita di luar negeri. Pantaslah jika banyak orang Indonesia yang mendapat masalah di perantauan, karena kedutaan tidak mau mengulurkan tangan. Bu Lena menyeritakan, bahwa etos kerja kedutaan RI di Singapura pun buruk. Jika ada orang Indonesia yang mendapat masalah dan datang ke kedutaan untuk mencari bantuan, tidak akan diladeni, kecuali jika menyodorkan sejumlah uang! Masya Allah. Saya tidak heran jika para TKI yang teraniaya di negeri orang tidak kunjung mendapat pertolongan, karena kinerja kedutaan yang korup dan tidak bertanggung jawab.Karena kesal, kami memutuskan untuk meninggalkan gedung kedutaan.

Sebelum melanjutkan perjalanan ke istana Raja, saya menemani Bu Lena dan Alda makan siang di sebuah warung yang tak jauh dari kedutaan. Makanannya khas Bangkok tapi sesuai dengan lidah orang Indonesia, yaitu sup ikan. Makanan lainnya sejenis dim sum. Di depan warung tersebut ada sebuah tuk-tuk yang sedang parkir. Sopirnya seorang anak muda yang ternyata adalah anak pemilik warung. Dia membujuk kami untuk naik tuk-tuk dan bersedia mengantar kami ke istana raja dengan ongkos 30 baht saja. Namun dia mengajukan syarat, agar kami mau melihat-lihat toko perhiasan dan souvenir milik raja.

Oh ini rahasia kenapa ada tuk-tuk yang murah dan ada yang mahal. Kami baru mengerti sekarang. Tuk-tuk yang mengenakan tarif murah karena ada kerjasama dengan toko-toko perhiasan. mereka merupakan bagian dari jaringan promosi. Ada toko yang memberi imbalan bensin kepada sopir tuk-tuk yang membawa wisatawan yang membeli perhiasan, seperti tuk-tuk yang kami naiki kemarin. Sedangkan tuk-tuk yang ini, akan mendapat sebuah cap atau stempel di sebuah kartu miliknya jika turis yang dibawanya membeli perhiasan. Kalau terkumpul dua puluh stempel, ia bisa mendapatkan seragam mahasiswa gratis dan potongan uang sekolah untuk anaknya. Sopir ini menyeritakan bahwa ia masih mahasiswa di sebuah universitas, tapi telah menikah dan mempunyai dua orang anak, karena itu ia harus bekerja keras. Dia mengungkapkan, diakhir tahun, ketika Raja berulang tahun, akan diadakan undian bagi para supir tuk-tuk yang banyak membawa wisatawan ke toko milik Raja. Kalau menang akan diberi sebuah tuk-tuk gratis yang bagus dan baru. Hadiah ini sangat menarik bagi para supir tuk-tuk, karena kebanyakan mereka mengendarai tuk-tuk milik orang lain dengan sistem setoran. Mereka bisa mendapatkan penghasilan yang lebih besar dengan memiliki tuk-tuk sendiri.

Kami pun dibawa ke toko perhiasan milik Raja, yang jauh lebih besar dan lebih lengkap dari toko kemarin. Saya terpana melihat berbagai macam perhiasan yang indah-indah, terutama jenis-jenis batu permata. Saya memang menyukai batu permata dan memiliki beberapa jenis. Memang harga yang ditawarkan tidak begitu mahal, karena konon Raja lebih mengutamakannya sebagai bagian dari promosi Bangkok ke dunia. Tadinya saya tidak ingin membeli apa pun mengingat saya harus berhemat. Namun saya tersentuh dengan cerita si sopir tuk-tuk tentang potongan uang sekolah untuk anaknya jika kami membeli perhiasan. tadi dia telah memperlihatkan foto kedua anaknya. Dengan mempertimbangkan hal itu, saya memutuskan membeli sebuah cincin perak bermata batu topaz seharga 2200 baht. Sopir tuk-tuk akan mendapat satu cap di kartunya.

Karena saya tidak membawa uang banyak, saya lalu mengambil tunai dari ATM yang ada di depan toko perhiasan. Yah, namanya juga milik keluarga Raja, maka toko ini dilengkapi ATM yang bisa mengakomodir berbagai kartu yang berlogo Visa atau master card. Setelah membayar, kami kembali naik tuk-tuk. Sopir itu tampak senang karena saya membeli perhiasan. Tetapi ia bertanya pada Bu Lena kenapa tidak membeli apa pun. Rupanya ia berharap mendapat dua cap sekaligus agar kartunya cepat penuh.

Sopir tuk-tuk membujuk kami untuk mengunjungi satu toko lagi. Kami terpaksa mengikuti kemauannnya supaya dia senang. Namun di toko ini kami hanya sebentar saja melihat-lihat barang. Toko ini tidak memiliki koleksi sebanyak toko perhiasan milik Raja dan harganya lebih mahal. Keluar dari toko tersebut, barulah sopir tuk-tuk membawa kami ke istana Raja yang terkenal itu. Jaraknya memang lumayan jauh, hampir melintasi setengah kota Bangkok. Saya menikmati perjalanan itu karena di sepanjang jalan, banyak gedung yang berarsitektur bagus dan indah dipandang. Bahkan kami juga melewati istana Raja yang menjadi rumah tinggal sekarang. Sedangkan istana yang akan kami datangi, Grand Palace dijadikan untuk semata-mata tujuan wisata, kalau pun ada kegiatan yang diselenggarakan di sana hanya yang bersifat ritual keagaamaan.

Dari jauh, kompleks istana Raja terlihat berkilau keemasan. Apalagi tertimpa sinar matahari. Kompleks istana itu dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Namun bangunan kuno yang menyerupai stupa dan kuil itu tetap tampak mencuat keluar. Beribu orang menyemut masuk dan keluar area kompleks istana. Kami diturunkan di depan pintu gerbang. Ongkos 30 baht dibayar dengan patungan. Lalu kami ikut antri di depan loket. Tiket masuk ke istana lumayan mahal, seharga 350 baht.

Setelah masuk ke dalam kompleks, agak bingung juga menentukan mau kemana dulu, karena banyak bertebaran bangunan-bangunan. Banyak wisawatan yang memulai kunjungannya dengan memperhatikan mural yang dipahat di tembok sekeliling kompleks. Mural itu menyeritakan kisah Ramayana secara lengkap, bersambung dari dinding ke dinding. Kami lebih suka melihat-lihat stupa dan bangunan lain. Di salah satu bangunan terbesar, yaitu istana tempat Raja dulu bersemayam, penuh dengan pernak-pernik keemasan, yang entah butuh berapa lama untuk menempelnya di seluruh bangunan.

Kami harus melepas alas kaki sebelum masuk ke ruang tempat Raja menyembah sang Budha. Dalam ruang itu ada patung Budha berukuran raksasa, juga keemasan. Di sekelilingnya adalah tempat sesajen. Ruangan ini sangat indah, di tembok dan langit-langit penuh dengan lukisan tentang Budha dan kehidupan masyarakat pada masa lampau. Saya takjub juga melihat keindahan tempat itu. Kami dilarang mengambil foto di dalam ruangan. Ada petugas yang menjaga dengan ketat. Bahkan pengunjung tidak boleh bersuara dengan keras. Suasananya terasa sangat khidmat. Sebagian turis, yang juga beragama Budha, sekalian melakukan penyembahyangan di sana. Mereka juga menjadi tontonan tersendiri.

Di teras istana ada sebuah jambangan raksasa yang berisi air ditaburi bunga warna-warni dan berbau harum. Konon air itu dapat membawa berkah. Kalau ada yang meminta rejeki, mengucuri air itu di kepalanya oleh penjaga istana. Begitu pula yang ingin minta jodoh, mengusapkan air kembang itu membasahi rambutnya. Saya hanya tersenyum geli menyaksikan turis-turis yang meminta air tersebut, baik karena percaya atau pun hanya iseng. Saya pribadi, hanya akan meminta pada Allah SWT dan tidak menyukai hal-hal yang musyrik seperti itu.

Saya terpisah dengan Bu Lena dan Alda. Mereka entah kemana. Mungkin kami memasuki bangunan yang berbeda. Biarlah, karena kami lambat atau cepat memang harus berpisah. Sore ini saya akan melanjutkan perjalanan ke Pattaya. Saya merasa lelah juga membawa ransel yang kian terasa berat berkeliling kompleks istana. Akhirnya saya duduk istirahat di salah satu pendopo yang ada di halaman. Butuh lebih dari satu jam mengelilingi istana ini, terutama jika mempelajari mural di sepanjang dinding. Punggung saya terasa sangat pegal. Jangan-jangan saya terkena penyakit masuk angin. Biasanya kalau bahu dan punggung sudah nyeri, berarti masuk angin. Obat paling mujarab adalah kerokan. Mungkin nanti kalau sudah tiba di Pattaya saya bisa mengeroki diri sendiri dengan balsam yang saya bawa.

Saya keluar dari istana menjelang penutupan. Istana ini ditutup tepat pukul empat sore. Semua turis, mau tidak mau atau selesai tidak selesai, harus keluar dari kompleks istana ini. Ada petugas yang dengan tegas berkeliling untuk memperhatikan para wisawatan. Saya pun keluar sebelum digiring petugas keamanan istana. Sekali-sekali saya memperhatikan orang-orang, barangkali diantaranya ada Bu Lena dan Alda. Tetapi rupanya mereka telah keluar lebih dahulu. Mungkin karena mereka tahu saya akan langsung menuju Pattaya, atau mereka akan melihat-lihat tempat lainnya. Saya merasa kurang enak karena belum berpamitan secara resmi.

Karena banyaknya turis yang berhamburan keluar, otomatis banyak kendaraan yang dibutuhkan. Taksi dan tuk-tuk laris manis, orang-orang berebut menaikinya. Mereka sudah tak peduli lagi dengan besarnya ongkos yang dikeluarkan. . Saya teringat petunjuk Pak Suwargana, staf kedutaan yang memberitahu bahwa untuk menuju Pattaya, saya harus ke sebuah terminal bus Bangkok Eastern yang disebut Eka mai.Saya mencoba menawar tuk-tuk untuk ke terminal tersebut. Sudah bisa diduga, sopir tuk-tuk minta ongkos sebesar 300 baht. Ketika saya beralih ke taksi, sopir taksi tidak mau menggunakan argometer, tarif yang ditawarkan juga tak kurang dari 200 baht. Bahkan saat saya juga iseng menanyakan ongkos ojek berseragam yang ada di sekeliling taman. Mereka juga tak mau dengan tarif dibawah 200 baht. Itu berarti terminal Eka Mai, memang jauh!

.Saya menyeberang ke taman kota, di sana ada sebuah pusat informasi untuk turis untuk menanyakan bagaimana cara yang tepat untuk pergi ke Pattaya. Petugas yang menunggui pos tersebut adalah seorang perempuan muda. Ia berbahasa inggris dengan fasih, sungguh sesuai untuk memberikan penerangan kepada wisatawan. Ia memberitahu bahwa saya bisa naik bus no 508 yang melewati Eka Mai. Akhirnya saya duduk di halte dengan sabar, menanti bus yang bisa membawa saya kearah terminal tersebut.

Bus yang saya tunggu sangat jarang. Eh, sekalinya ada, tidak mau berhenti di halte yang saya tempati. Saya jadi bingung. Apa yang salah? Saya periksa plang di halte, ternyata bus no 508 tidak tercantum di plang. Berarti bus itu memang tidak boleh berhenti di sini. Peraturan di Bangkok, tiap bus ditentukan haltenya. Kalau berhenti di lain halte, mereka terkena denda atau tilang. Wah, bagaimana saya bisa mendapatkan bus tersebut, sedangkan saya tidak melihat halte lain dalam jarak dekat. Selagi termangu-mangu, mendadak ada bus 508 lagi yang lewat. Saya mencoba menyetop. Alhamdulillah, yang ini mau berhenti meski hanya sekejab. Pintunya terbuka secara otomatis. Saya tidak butuh waktu lama untuk melompat ke dalam bus.

Rata-rata bus menggunakan pintu otomatis yang dikendalikan sopir. Dalam keadaan berjalan, sudah pasti tertutup. Karena itu calon penumpang tidak bisa sembarangan melompat ke dalam bus. Di Jakarta, walau dalam bus AC ada pintu yang bisa dikendalikan sopir, tetapi sang kenek akan selalu membuka pintu untuk memanggil penumpang. Memang di tanah air, menaikkan dan menurunkan penumpang bisa di sembarang tempat, tak ada halte khusus.

Saya duduk di deretan bangku paling belakang. Sesekali celingukan karena saya masih belum pasti letak terminal Eka Mai. Kondekturnya perempuan, mendatangi saya dan menagih ongkos. Saya menyebutkan Eka Mai dan memberikan uang 20 baht yang dikembalikan 5 baht. Ongkos ini lebih besar daripada kemarin, menandakan jarak Eka Mai cukup jauh. Saya merasa capek dan mengantuk tetapi tidak berani tidur, kuatir kebablasan dan tidak tahu jika sudah sampai di Eka Mai.

Setelah lebih dari 30 menit bus belum juga menampakkan tanda-tanda melewati sebuah terminal. Saya pindah ke bangku di deretan tengah, di belakang seorang gadis yang tampaknya masih mahasiswa. Ia membawa sejumlah buku di tangannya. Saya bertanya padanya mengenai lokasi Eka Mai. Beruntung dia bisa berbahasa inggris. Gadis itu mengatakan bahwa terminal tersebut masih jauh. Hati saya merasa lega. Saya pesan kepadanya agar memberitahu saya jika sudah dekat.

Perjalanan bus cukup lama, sudah lebih dari satu jam. Apalagi sore dalam keadaan macet, banyak orang yang pulang kantor atau kuliah. Saya terkejut ketika mahasiswa tadi berdiri, mau turun. Loh, padahal saya mengandalkan dia untuk memberitahu saya dimana Eka Mai. Dia lalu tersenyum, mengatakan pada saya agar menunggu bus melewati dua halte lagi, barulah akan sampai di terminal itu. Apa boleh buat, dengan was-was saya melihat gadis itu turun dari bus.

Saya menghitung halte. Tak dinyana sesudah melewati dua halte, kondektur perempuan itu mendekati saya dan memberitahu bahwa sebentar lagi akan melewati Eka Mai. Bus tidak masuk terminal tersebut. Dalam hati saya bersyukur karena kondektur itu ingat tujuan saya. Mungkin ia menandai saya sebagai turis yang sedang kebingungan. Saya pun diturunkan di sebuah halte. Untuk memasuki terminal, saya harus menyeberang jalan terlebih dahulu.


Yüklə 309,96 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin