Ramadhan backpacker



Yüklə 309,96 Kb.
səhifə4/7
tarix26.07.2018
ölçüsü309,96 Kb.
#59533
1   2   3   4   5   6   7

Pattaya city

Bus yang menuju Pattaya tampak bagus dan mewah, kelas VIP. Harga tiketnya 113 baht. Kebetulan bus sudah mau berangkat, saya segera naik ke atas. Dengan perasaan lega saya duduk di dalam bus, nyaman dan tenang. Bus melaju kencang di atas jalan layang kearah Pattaya City. Ternyata dalam dua jam kami sudah memasuki kawasan Pattaya City. Di sepanjang jalan bertebaran hotel dan café dari yang mewah sampai yang sederhana. Laju kendaraan mulai dikurangi karena jalan raya yang menyempit. Kemudian bus masuk kedalam terminal Pattaya. Saya segera turun bersama penumpang lain.

Saat itu waktu telah menunjukkan pukul delapan malam. Berdasarkan informasi dari petugas, saya harus naik kendaraan berbentuk pick up terbuka yang dihiasi pernak-pernik. Kendaraan itulah yang memutari kawasan pantai. Saya lalu naik mobil tersebut dengan ongkos sebesar 20 baht. Pick up tersebut tidak menunggu penumpang sampai penuh. Saya melewati jalan-jalan sepanjang pantai Pattaya yang terkenal itu. Di sebelah kanan adalah pantai, sedangkan di sebelah kiri adalah deretan hotel dan night club. Pada malam hari, kafe-kafe dipenuhi oleh turis mancanegara, ramai dan meriah. Begitu pula dengan tenda-tenda di tepi pantai, mereka menikmati suasana pantai dimalam hari. Terlebih dalam cuaca yang cerah seperti itu, orang-orang lebih suka berhamburan ke pantai.

Ternyata pantai Pattaya tidak seluas yang saya kira, tahu-tahu mobil telah berbalik arah mau kembali ke terminal. Saya pun terpaksa turun dekat sebuah bank muslim. Saya mencari hotel yang bertarif murah. Tetapi kebanyakan hotel yang berada di tepi jalan memasang tarif yang cukup tinggi, di atas 750 baht semalam, dengan deposit menjadi dua kali lipat. Padahal uang yang saya kantongi, tidak sampai seribu baht. Setelah keluar masuk gang, saya menemukan hotel yang sudah agak tua yaitu Serene Hotel dengan tarif 700 baht dan tidak perlu memberikan deposit. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari pantai. Saya hanya memesan untuk satu malam saja. Toh saya tidak berniat untuk bersenang-senang di sini seperti turis-turis lain.

Kamar yang saya tempati berada di lantai lima, cukup luas dan lengkap. Tadinya saya minta ditempatkan di lantai dua, tetapi resepsionis laki-laki memberitahu kalau lantai dua tidak sesuai untuk saya. Televisi menyiarkan hiburan 24 jam. Kalau membuka jendela, tampak pantai di kejauhan. Ah lumayan, enak untuk istirahat. Ini adalah hotel paling nyaman yang saya dapati selama perjalanan. Setelah membereskan isi ransel, saya membersihkan diri. Sebelum istirahat, saya sempat turun untuk membeli beberapa jenis roti dan minuman. Ada mini mart, yang hanya beberapa puluh meter dari hotel. Banyak juga rumah makan di sekitar itu, tapi saya ragu akan kehalalannya.

Ketika melewati Bank Muslim, saya melongok ke dalam. Saya senang ternyata ada perempuan yang mengenakan jilbab di sana, sebab dari tadi yang saya lihat adalah turis-turis perempuan dengan pakaian minim. Kepada gadis berjilbab yang menjadi kasir, saya menanyakan lokasi masjid. Ia mengatakan ada sebuah masjid besar, kira-kira tiga kilometer dari tempat itu. gadis itu memberi penjelasan ke arah mana saya harus berjalan. Saya bermaksud ke masjid itu esok pagi, karena sekarang sudah kemalaman dan saya sudah kelelahan. Namun sebelum masuk hotel, saya sempat melihat-lihat kios cindera mata. Saya menawar sebuah kaos untuk salah satu keponakan saya yang menjaga rumah. Harga kaos itu 30 baht.

Pagi hari sekitar pukul tujuh, saya turun dari hotel untuk melihat-lihat pemandangan pantai. Saya sangat menyukai laut, sehingga tidak mungkin untuk melewatkan hamparan pasir dan debur ombak yang tidak begitu jauh dari tempat saya menginap. Saya menyusuri jalan menuju ke pantai sambil melihat-lihat deretan gedung-gedung di kanan kiri jalan. Hampir tak ada manusia lain yang berada di jalan selain saya. Rupanya memang begitu kebiasaan para turis, menghabiskan malam sampai larut dan baru bangun setelah matahari sepenggalah.

Saya terpana melihat beberapa reklame café yang menampilkan perempuan dan laki-laki yang nyaris telanjang. Saya baru sadar, kalau di sepanjang jalan ini penuh dengan night club yang menyajikan streeptease (tari telanjang). Jadi kawasan dimana hotel yang saya tempati adalah termasuk kawasan yang paling mesum! Pantas saja banyak laki-laki yang memperhatikan saya ketika mencari hotel tadi malam. Perempuan yang berjilbab seperti saya merupakan pemandangan langka. Yah, apa boleh buat. Karena semalam sudah tak sempat lagi memperhatikan keadaan sekitar, yang ada di pikiran adalah mencari penginapan yang murah. Saya baru tahu situasi sekitar setelah jalan-jalan pagi ini.

Di pantai juga masih sepi. Ada beberapa orang tukang perahu, atau orang yang menyewakan perahu boat, sedang mengatur perahu-perahunya. Jalan raya masih kotor dengan sampah dari wisatawan yang berhura-hura tadi malam. Petugas belum membersihkannya, mungkin masih tidur. Saya melepas sandal, merasakan butiran-butiran pasir di kaki dan air laut yang mendatangi perlahan. Pantai Pattaya tidak luas. Dalam hati saya bertanya, mengapa Pattaya begitu terkenal di mancanegara, padahal pantainya biasa saja, tidak ada sesuatu yang istimewa.

Lantas saya membandingkan dengan pantai-pantai di tanah air. Kita memiliki pantai yang jauh lebih indah dan menarik. Saya telah mengelilingi Indonesia dan sangat bangga dengan semua pantai yang kita miliki. Lagoi di Tanjung Pinang, pulau Bintan, Kepulauan Riau, mempunyai pantai yang lebih indah dari pantai Kuta dan Sanur. Pantai di Lombok atau di Ternate, indah dan sangat jernih sehingga kita bisa melihat apa yang ada di dasar laut. Pantai Pattaya ini, masih kalah dengan Parang Tritis di Yogyakarta. Apalagi jika dibandingkan dengan pantai-pantai lainnya. Saya bersyukur menjadi orang Indonesia. Kalau ada orang Indonesia yang memuji Pattaya. Mungkin dia tidak mengenal Indonesia atau dia adalah orang yang kufur, tidak menyukuri keindahan yang diberikan Allah kepada kita.

Hanya setengah jam berjalan kaki, pantai sudah habis di ujung jalan. Saya lalu berbalik kea rah semula, tetapi tidak lagi menyusuri pantai, tetapi di trotoar jalan. Kali ini saya memperhatikan jalan raya, sudah ada beberapa orang yang keluar dari ‘persembunyiannya’ masing-masing. Parahnya, saya melihat perempuan-perempuan lacur yang menjajakan diri di antara pohon-pohon palem. Eh, saya tidak melihat satu pun perempuan PSK yang muda dan cantik. Kalau saya taksir, usia mereka di atas 30 tahun. Atau mungkin mereka terlihat lebih tua karena pekerjaan haram yang mereka lakoni. Mereka mengandalkan tubuh seksi dengan pakaian minim. Laki-laki hidung belang, ada saja yang sudah menawar mereka. Transaksi dilakukan di bawah pohon palem, atau di dekat trotoar yang saya lewati. Perempuan-perempuan itu cukup agresif, selalu menguntit laki-laki yang lewat dan menawarkan pelayanannya. Saya memalingkan muka dari pemandangan transaksi seks tersebut dan berjalan lebih cepat. Lebih baik saya enyah dari jalan ini daripada nanti ada laki-laki iseng yang menggoda. Kemudian saya memotong jalan melalui gang yang berbeda. Saya ingin mencari masjid yang diinformasikan gadis tadi malam.

Menurut gadis pegawai bank muslim tadi malam, masjid besar jaraknya sekitar tiga kilometer. Saya hanya perlu berjalan lurus sampai menemui dua kali lampu merah, lalu belok ke kanan. Berdasarkan petunjuk itu saya mencari masjid tersebut. Kelihatannya simple untuk menemukan masjid itu, tapi ternyata tidak. Setelah berjalan kira-kira dua kilometer, baru melewati lampu merah yang kedua. Saya celingukan mencari tanda-tanda keberadaan masjid. Saya bertanya pada tukang-tukang ojek yang berderet di sana, malah mereka tidak tahu letak masjid. Saya berjalan lagi kea rah kanan, sampai keringat bercucuran belum berhasil menemukan tempat tersebut.

Karena sudah merasa kepanasan, saya menyetop sebuah ojek yang kebetulan melintas pelan. Alhamdulillah, ternyata dia mengatakan mengetahui letak sebuah masjid. Saya membonceng motornya. Dia membawa saya ke arah balik, Sukhomvit Road. Ketika motor tengah melaju, saya melihat sebuah menara masjid yang cukup tinggi. Saya menepuk pundak tukang ojek agar berhenti. Dia baru sendiri baru sadar bahwa ada masjid besar di jalan yang kami lewati. Padahal yang dimaksud tukang ojek tersebut adalah masjid lain yang lebih kecil. Saya lalu turun dan membayar tukang ojek tersebut sesuai kesepakatan sebesar 20 baht.

Masjid besar itu berdiri berdampingan dengan sebuah gereja yang juga cukup besar dan Montessori school. Namun kedua tempat ibadah itu dipisahkan sebuah tembok setinggi dua meter. Masjid itu bernama Darul Ibadah, .memiliki halaman yang cukup luas. Di samping kiri masjid ada sebuah pesantren dan sekolah Taman Kanan-Kanak. Setelah memperhatikan sekitar masjid, saya bertanya pada beberapa laki-laki yang sedang membereskan barang-barang. Salah seorang dari mereka menunjukkan kantor sekolah TPA dan TKA di samping masjid.

Kemudian saya menggeser pintu kaca kantor sekolah tersebut. seorang perempuan berjilbab menjawab salam saya dengan ramah. Beberapa perempuan lain, yang tampaknya adalah guru-guru muda, juga berada di dalam ruangan sambil merapikan buku-buku. Semula saya berbahasa inggris, tetapi ketika tahu saya berasal dari Indonesia, perempuan berjilbab hitam itu mengajak saya berbahasa melayu. Usianya saya taksir di bawah 40 an. Dari sikapnya saya tahu dia adalah perempuan yang paling senior di ruangan ini. Mendengar saya tertarik akan keberadaan masjid ini, ia lalu menelepon, memanggil Imam masjid yang sedang berada di rumah. Saya harus menunggu cukup lama karena sang Imam sedang mandi. Biasanya Imam kembali ke masjid sekitar pukul 10 00 pagi, sedangkan saat itu baru pukul 08 30.

Perempuan itu bernama Aminah. Ia bercerita bahwa sudah lebih dari lima belas tahun mengajar di TPA, TKA ini. Sebuah pengabdian yang luar biasa. pantaslah ia yang paling menguasai permasalahan di sekolah tersebut. Kehidupan Aminah sebagian besar dihabiskan untuk mengajar. Apalagi TPA/TKA ini nyaris full day school, dimulai pukul 08 00 pagi sampai pukul 15 00 sore. Jumlah guru cukup banyak, ada 18 orang, tetapi guru laki-laki hanya satu orang. Memang kebanyakan guru taman kanak-kanak adalah perempuan karena mereka lebih telaten dan sabar mengurus anak-anak kecil sesuai naluri keibuannya.

Berdasarkan keterangan Aminah, penduduk Pattaya yang menganut agama islam cukup banyak. Mereka berasal atau keturunan dari Pathoni, yang asal muasalnya adalah orang melayu, dari Malaysia atau Indonesia. Namun sangat disayangkan, para prianya sudah jarang yang taat beribadah, mungkin karena pengaruh negative Pattaya sebagai tempat wisata yang lebih kebarat-baratan dengan pergaulan bebasnya. Sebenarnya guru-guru muda itu ingin juga nimbrung ngobrol bersama kami, tetapi mereka malu karena tak bisa berbahasa inggris atau melayu. Hanya terlihat mata mereka yang menyorot penuh keingintahuan. Salah satunya bernama Hasnah, yang sering tersenyum kepada saya.

Imam datang juga setelah waktu menunjukkan pukul sepuluh lebih sedikit. Beliau datang dengan sebuah vespa tua yang masih tampak terawatt. Sang Imam ternyata sudah cukup tua, dengan rambut yang dipenuhi uban. Usianya mungkin sekitar tujuh puluhan. Wajahnya bersih bercahaya dengan sinar mata yang memancar ramah. Beliau tersenyum lebar melihat saya. Ia sangat bersemangat berkenalan dengan saya. Pak Imam, sebagaimana kebanyakan orang Thailand, kurang menguasai bahasa Inggris, hanya bisa berbahsa melayu sedikit-sedikit. Namun hal itu tak mengurangi antusiasnya dalam bercakap-cakap. Aminah membantu menerjemahkannya untuk saya.

Pak Imam menceritakan apa yang diketahuinya mengenai masjid Darul Ibadah Pattaya. Masjid ini dibangun sekitar tahun 1942. Semula, tempat ini masih berupa hutan, banyak binatang liar yang berkeliaran. Diantaranya adalah harimau, ular, kera dll. Penduduknya sangat jarang, dan mereka tinggal berjauhan. Datanglah Imam pertama dari Bangkok yang bernama Yusuf. Beliau lalu membuka lahan, membuat pertanian dan menanam umbi-umbian. Selain membangun rumah, Yusuf juga membangun sebuah masjid yang terbuat dari kayu. Waktu itu masih disebut balai, bukan masjid, tetapi khusus digunakan untuk sholat dan aktivitas ibadah lainnya. Pada akhir hidupnya, Imam Yusuf mewakafkan tanah seluas dua ekar termasuk masjid tersebut.

Sepuluh tahun kemudian, bangunan kayu itu dikembangkan menjadi masjid. Lalu sepuluh tahun berikutnya, masjid itu mengalami dua kali renovasi. Sepuluh tahun selanjutnya, masjid diperbesar lagi dan dijadikan dua tingkat, lantai bawah untuk pengajaran Al Quran dan lantai atas untuk sholat. Namun semuanya masih terbuat dari kayu. Karena itu sesudah lewat sepuluh tahun lagi, masjid kembali diperbesar, lantai bawah mulai menggunakan tembok. Selama dua puluh tahun terakhir, barulah masjid mengalami penyempurnaan. Apalagi jamaah yang datang semakin ramai. Masjid ini lalu menjadi masjid terbesar di Pattaya City. Lima tahun yang lalu, masjid selesai dipugar dengan bantuan donator dari berbagai Negara seperti Kuwait dan Turki, serta kaum muslim di seluruh Thailand.

Sejak berdirinya hingga sekarang, Masjid Darul Ibadah Pattaya mengalami tujuh kali kepemimpinan Imam. Pertama adalah Imam Yusuf Pianmana, kedua adalah Imam Salim Nutong, ketiga adalah Imam H. Daud Makutsa, keempat adalah Imam Abdullah Longsewan, kelima adalah Imam Muhammad Raksanga, keenam adalah Imam Ali Pradabyat dan ketujuh adalah Imam Umar Alimin. Imam Umar inilah yang berbincang-bincang kepada saya.

Kita tentu mengingat peristiwa tsunami yang meluluhlantakkan provinsi Aceh, di Indonesia. Bencana tersebut juga melanda wilayah Pattaya ini dan menimbulkan korban jiwa, terutama para turis yang sedang berwisata di pantai. Namun Alhamdulillah masjid Darul Ibadah ini sama sekali tidak tersentuh oleh tsunami. Karena itu tidak ada sedikitpun kerusakan yang dialami masjid ini. Bahkan halaman masjid menjadi tempat dimana para penduduk melarikan diri dan mencari perlindungan.

Pak Imam yang ramah ini dalam waktu singkat menjadi sangat akrab dengan saya. Malah ia meminta agar dipanggil Ayah. Tentu hal ini saya penuhi dengan senang hati. Siapa yang tidak bahagia mendapatkan seorang ayah di negeri rantau yang soleh dan bijaksana. Inilah salah satu karunia Allah yang saya dapatkan diperjalanan, mendapatkan persaudaraan karena kesamaan iman, baik di Singapura, Malaysia dan Thailand. Di sini, Aminah pun menjadi saudara perempuan bagi saya.

Ayah Imam menanyakan dimana saya menginap. Ia menyayangkan bahwa saya bermalam di hotel. Kalau sejak kemarin saya datang ke masjid, beliau tentu akan menyediakan rumahnya untuk tempat saya bermalam. Lain kali, kalau saya kembali ke Thailand, maka saya harus menghubungi Ayah Imam agar tidak mengalami kesulitan. Putranya yang telah menjadi dokter, tentu juga akan senang berkenalan dengan saya. Dalam hati saya berjanji suatu saat akan kembali ke Pattaya untuk mempererat tali persaudaraan.

Namun Ayah Imam sangat kaget ketika saya mengutarakan keinginan untuk melanjutkan perjalanan ke Kamboja. Beliau menegaskan tidak akan mengizinkan saya pergi ke negara itu melalui jalan darat. Menurut Ayah Imam, perjalanan melalui darat sangat berbahaya, terutama bagi perempuan. Ayah Imam sudah sepuluh kali melintas batas negara ke Kamboja dengan menggunakan bus. Beliau tahu persis bagaimana situasi dan kondisi negara tersebut. Saya memang sering mendengar bahwa sering terjadi perselisihan antara dua negara yang bersangkutan, yaitu Thailand dan Kamboja. Konflik dua negara tetangga ini sering menimbulkan korban jiwa, entah itu dari kalangan penduduk atau dari pihak militer yang berjaga-jaga di perbatasan.

Ayah Imam sangat wanti-wanti agar saya tidak nekad melanjutkan perjalanan ke Kamboja. Saya dipaksa untuk berjanji langsung pulang ke Indonesia, buka menyusup ke negara tersebut. Ayah Imam menekankan bahwa para pria di Kamboja berwatak jahat. Mereka tidak segan-segan menculik dan memerkosa perempuan, apalagi yang sedang bepergian sendirian tanpa penjagaan seorang laki-laki. Ayah Imam mengatakan, kalau saya perempuan yang berwajah jelek atau berkulit hitam, akan lebih aman. Mereka lebih tertarik pada perempuan yang cantik dan berkulit putih. Perempuan seperti saya pasti menjadi incaran mereka. Saya merasa ge-er juga dibilang cantik oleh Ayah Imam, sebab selama ini saya merasa biasa-biasa saja.

Saya tidak bisa menjelaskan bahwa orang seperti saya yang mantan wartawan, sudah terbiasa bepergian seorang diri. Dan agaknya percuma juga menerangkan bahwa saya memiliki ilmu bela diri. Saya tidak boleh menyombongkan hal-hal tersebut. Toh saya memang tidak tahu persis situasi yang akan saya jalani jika nekad ke Kamboja. Keyakinan Ayah Imam tentang bahaya tersebut harus saya hormati. Jika saya melanggar seorang tua yang baik seperti beliau, saya kuatir akan mendapat petaka. Karena itu saya memutuskan untuk mematuhi larangannya.

Bahkan untuk mencegah saya pergi ke Kamboja, Ayah Imam menawarkan untuk membawa saya keliling Thailand bersama putranya, asalkan saya tidak melanjutkan perjalanan ke Kamboja. Keseriusan beliau membuat saya terharu, betapa orang tua ini berusaha melindungi saya dari bahaya yang akan mengancam di negara tetangga. Beliau tampak lebih tenang ketika saya meyakinkan telah memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Saya tidak ingin mengecewakan orang tua ini. Malaikat pun pasti telah mencatat janji yang telah saya ucapkan.

Setelah puas berbincang-bincang, saya pamit akan kembali ke hotel karena harus check out siang ini untuk kembali ke Bangkok. Ayah Imam menawarkan untuk mengantar saya ke hotel dan mengambil barang. Saya tidak bisa menolak. Dengan vespa tuanya, kami menyusuri jalan-jalan di Pattaya. Ayah Imam tampaknya terperanjat melihat lokasi hotel yang saya tempati. Ia geleng-geleng kepala melihat deretan tempat-tempat mesum di sepanjang jalan. Saya berusaha menjelaskan bahwa semalam sangat sulit untuk memilih tempat penginapan. Beliau lagi-lagi menekankan, lain kali kalau datang ke Pattaya, harus menginap di rumahnya yang aman dari jebakan dosa. Saya hanya mengiyakan segala yang dikatakannya.

Saya bergegas masuk ke dalam hotel karena waktu telah menunjukkan dua belas kurang lima menit. Petugas resepsionis pria keheranan melihat ada seorang Imam yang menyertai saya. Namun saya tidak sempat memberi komentar. Saya langsung ke atas membereskan barang-barang sedangkan Ayah Imam menunggu di bawah. Setelah mengembalikan kunci kamar, saya kembali membonceng vespa bersama Ayah Imam menuju terminal Pattaya.

Sebetulnya saya tidak mengira bahwa Ayah Imam akan mengantar saya ke terminal. Rupanya orang tua itu ingin memastikan keamanan saya kembali ke Bangkok. Bahkan beliau tidak hanya mengantar ke pintu gerbang terminal, tetapi ikut masuk ke dalam. Saya sangat kaget ketika beliau membayarkan tiket bus ke Bangkok. Ayah Imam tidak mau uangnya dikembalikan. Bahkan beliau menawarkan untuk membeli makanan yang bisa dijadikan bekal. Saya tentu saja tidak mau. Sudah terlalu banyak kebaikan Ayah Imam, saya tidak ingin membebani lagi. Kemudian beliau menunggui saya sampai betul-betul naik dan duduk di dalam bus. Barulah Ayah Imam pergi, kembali ke masjid. Aduhai betapa baiknya orang tua ini. Dalam hati saya berdoa, semoga Allah memberikan pahala berlipat ganda kepadanya. Amien.

Sebagaimana sewaktu berangkat kemarin, dalam perjalalanan kembali ke Bangkok, saya tidak bisa tidur. Pikiran ini terlalu penuh sehingga malah tidak bisa berhenti berputar. Saya mengingat keinginan Ayah Imam untuk mengunjungi Indonesia. Beliau ingin melihat Masjid Istiqlal, karena selama ini hanya pernah mendengarnya saja. Menurut rencana Ayah Imam akan diantar putranya yang dokter itu. mudah-mudahan saja rencana tersebut dapat terealisasi.

Sesampai di terminal Eka Mai, Bangkok, hari sudah menjelang sore. Jalan raya tampak padat, bus pun beberapa kali terjebak kemacetan. Melihat itu, saya pikir akan lebih cepat dan fleksibel jika menggunakan kereta. Toh, stasiun Eka Mai hanya beberapa puluh meter dari terminal. Langit mendung, hujan rintik-rintik turun membasahi bumi. Saya bergegas menyandang ransel, berjalan cepat ke arah stasiun sebelum terguyur hujan deras. Betul saja, baru saja naik tangga escalator stasiun, air hujan tertumpah dari langit. Alhamdulillah, saya tidak basah kuyup.

Sebelum naik kereta, saya memperhatikan petunjuk-petunjuk perjalanan. Dengan kereta ini, saya bisa pergi ke kawasan Pratunam, tempat kami menginap kemarin. Syukurlah, perjalanan ini akan lebih simple, berarti saya tidak akan tersesat. Saya menyukai Pratunam karena letaknya yang strategis, bisa dicapai dari arah mana pun. Lagipula tempat ini memang fleksibel, mau naik kendaraan apa saja bisa, hotel bertebaran, lengkap dengan mal dan pasar tradisional.

Ketika turun di Pratunam, otomatis langkah saya kembali ke arah hotel kemarin. Namun saya tidak berniat untuk bergabung lagi dengan Bu Lena dan Alda, yang saya yakin masih berada di sana. Karena rencana mereka pulang baru esok lusa. Saya tidak ingin mengganggu mereka lagi. Bagaimana pun saya sudah cukup merepotkan mereka. Jadi kalau saya terpaksa menginap malam ini, saya hendak mencari hotel lain dengan tarif yang tidak jauh berbeda dengan hotel semula.

Sesuai dengan saran Ayah Imam yang menyuruh saya pulang ke Indonesia, maka saya mampir dulu ke biro wisata untuk menanyakan tiket pesawat ke Jakarta. Setelah ditelusuri, ternyata tak ada pesawat yang ke Indonesia pada sore atau malam hari ini. Paling cepat saya bisa berangkat esok dengan menggunakan pesawat Garuda. Harga tiketnya sebesar 8985 Baht. Sedangkan Air Asia, tiketnya seharga 7890 Baht. Sayangnya Air Asia baru ada lusa. Besok, hanya Garuda yang dapat menerbangkan saya kembali ke tanah air.

Saya memilih pesawat Garuda. Kalau membeli tiket Air Asia, saya harus menginap lagi dua malam. Nanti banyak lagi pengeluaran keuangan. Lebih baik saya pulang secepatnya. Pemesanan tiket on line tersebut dapat ditunggu kurang lebih satu jam. Resepsionis biro wisata yang ramah itu menyilahkan saya beristirahat dan memberi minum teh manis. Saya baru beranjak setelah tiket ada di tangan.

Selanjutnya, saya mencari penginapan untuk malam ini. Saya memasuki gang kecil yang belum sempat diperiksa kemarin. Ada sebuah plang hotel yang sudah agak kusam. Semula saya ragu, karena di hadapan saya adalah tempat parkir yang kotor. Namun setelah bertanya pada seseorang yang kebetulan naik tangga, ia menerangkan bahwa lobi hotel ada di lantai dua. Lantai yang ada di bawah ini, memang digunakan untuk lahan parkir kendaraan bermotor.

Saya naik tangga mengikuti pria tersebut. dia berkata benar, lobi hotel itu memang ada di lantai dua. Saya melihat ruang resepsionis yang dibatasi kaca. Melalui loket saya menanyakan kamar kosong. Alhamdulillah, ada komor kosong dengan tariff 450 Baht, lebih murah 50 Baht dari hotel kemarin. Wajarlah tarif sebesar itu karena kondisi hotel ini memang tak begitu bagus lagi. Hotel ini rupanya sudah cukup tua, dinding-dindingnya sudah kusam. Ketika masuk ke dalam kamar, sama sekali tidak ada jendela. Perabotannya juga ketinggalan zaman, tempat tidur lumayan besar dari kayu yang sudah pudar catnya, demikian pula lemari dan televise. Yang paling parah adalah kasurnya, ternyata sudah mengeras seperti kayu tempat tidur. Mungkin kapuknya sudah ‘mati’ alias lepek, tidak mengembang.

Apa boleh buat, saya harus menerima kondisi yang ada. Mencari hotel lain akan memakan waktu dan tenaga. Selain itu belum tentu pula mendapatkan harga yang sesuai. Saya akan kebingungan jika mendapat hotel yang lebih mahal, dan harus menggunakan deposit. Padahal uang hampir habis setelah membeli tiket pesawat. Mudah-mudahan dengan kasur keras ini saya masih bisa memejamkan mata.

Menjelang maghrib saya keluar mencari makanan. Saya melihat sebuah rumah makan bergaya Pakistan. Dugaan saya, rumah makan ini menyajikan makanan yang halal. Benar sajaa, pemilik restoran adalah seorang muslim. Pelayan-pelayannya juga beragama islam. Saya merasa tenang memesan makanan di tempat itu. Ternyata porsi makanan yang disuguhkan cukup besar. Nasi goreng yang saya pesan, diberikan dalam piring lebar dan menggunung. Wah, ini lebih cocok untuk porsi laki-laki. Namun saya tidak ingin menyia-nyiakan makanan, sungguh mubazir jika disisakan. Nasi goreng itu akhirnya saya santap sampai habis.

Malamnya, ketika akan tidur saya mendengar suara-suara berisik yang begitu jelas. Saya heran, lantas memeriksa dinding. Rupanya dinding bukan terbuat dari tembok atau bata, tetapi hanya dipisahkan oleh kayu lapis. Pantas saja suara dari kamar sebelah terdengar jelas. Ini adalah satu problem lagi, bagaimana saya bisa tidur dengan suara berisik, karena penghuni kamar sebelah bicara keras, bahkan menyetel musik. Yah, nasib. Saya hanya bisa membaringkan diri beberapa jam.

Esok pagi, saya sudah terbangun ketika orang lain masih tertidur. Hanya butuh waktu sebentar untuk membereskan perlengkapan ke dalam ransel. Waktu masih menunjukkan pukul sembilan. Padahal pesawat yang akan saya tumpangi baru akan take of sekitar pukul satu siang. Saya mencoba tidur tapi sulit sekali. Menunggu adalah pekerjaan yang sangat menyiksa, waktu terasa berjalan sangat lambat.

Dengan menggunakan taksi saya berangkat ke bandara Bangkok. Memang tidak ada pilihan lain karena tidak ada bus atau kereta yang langsung menuju bandara. Dari pada naik turun bus, dan resiko tersesat di jalan, saya menyetop taksi. Sopir taksi cukup ramah, apalagi dia bisa berbahasa Inggris. Sepanjang jalan ia memberi keterangan yang saya tanyakan. Sopir itu tampaknya sudah sering membawa turis yang ke Bangkok. Bahkan dia bilang pernah membawa beberapa orang dari Indonesia.

Saya tiba di bandara sekitar pukul dua belas siang. Salah satu kelebihan Thailand adalah memiliki bandara yang modern. Dari luar terlihat sebagai bangunan kaca yang ditopang dengan besi baja. Patutlah demikian, salah satu unsure yang menunjang pariwisata adalah bandara, karena sebagian besar turis mancanegara datang dan pergi melalui bandara, karena itu membutuhkan bandara yang mampu berfungsi optimal. Bandingkan dengan bandara Soekarno-Hatta yang telah ketinggalan zaman. Kita masih naik turun tangga menuju ke pesawat, sehingga menyulitkan para penumpang. Belum lagi persoalan delay. Semua pesawat di Indonesia selalu molor dari jadual keberangkatan. kita banyak membuang waktu di bandara.

Bandara di Indonesia yang lebih modern justru ada di Makassar. Bangunannya sekilas mirip bandara di Bangkok ini. Namun bandara Sultan Hassanudin di Makassar adalah hasil karya anak negri, pribumi asli. Ini berkat mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang memberi kesempatan kepada arsitek Indonesia untuk membangun bandara di Makassar. Ia menilai, apa pun hasilnya, putra bangsa harus diberi kesempatan membuktikan kemampuannya supaya semakin meningkat. Ini suatu sikap yang pantas dicontoh oleh pejabat-pejabat lainnya.

Nah, di bandara Bangkok ini, semuanya tampak rapi dan berjalan lancer. Hanya saja dalam pemeriksaan, satu botol hand and body lotion saya diambil dan dibuang petugas. Saya tidak jelas mengapa tidak boleh membawa botol itu. Namun tak ada waktu untuk berdebat, sebab antrian penumpang cukup panjang. Saya harus merelakan botol tersebut, toh nanti bisa beli lagi setelah sampai di tanah air. Di dalam bandara, saya melihat banyak orang Indonesia yang akan naik Garuda. Rupanya mereka baru saja melancong di Bangkok. Sebagian juga adalah pelajar atau mahasiswa yang memang mempunyai misi pendidikan di Thailand. Bahkan saya bertemu dengan satu rombongan kesenian, yang membawa peralatan lengkap musik tradisional, termasuk gamelan. Mereka menyeritakan bahwa sambutan masyarakat Thailand terhadap grup musik ini sangat antusias. Ketika mereka ‘manggung’ disambut tepuk tangan meriah dari para penonton yang terdiri dari penduduk asli dan turis asing. Tampak kebanggaan dan kepuasan di wajah para anggota rombongan. Salam hati, saya juga merasa bangga dengan mereka. Seharusnya pemerintah memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan-kegiatan seperti ini untuk sarana promosi pariwisata Indonesia.

Pesawat dipenuhi oleh para penumpang yang sebagian besar adalah orang Indonesia. Saya melihat beberapa orang ‘bule’ yang agaknya mau melancong ke Indonesia. Syukurlah, setidaknya masih ada wisatawan asing yang berminat datang ke negeri saya yang sebetulnya jauh lebih indah dari Thailand. Seperti biasa, saya sulit memejamkan mata. Perjalanan dari Bangkok ke Jakarta tidak memakan waktu yang lama, hanya sekitar dua jam saja. Jadi saya mencari bahan bacaan yang disediakan di pesawat, yaitu Koran dan majalah.

Dalam salah satu majalah pariwisata, saya menemukan sebuah artikel yang menarik perhatian. Dalam artikel tersebut, diuraikan bahwa Indonesia menjalin kerja sama dibidang perekonomian dengan Turki. Kerjasama tersebut mencakup perdagangan ekspor-impor dan sebagainya. Untuk itu, kedua Negara sepakat untuk menetapkan bebas visa bagi para penduduk yang ingin bepergian ke Turki atau Indonesia. Itu berarti, bagi orang Indonesia yang hendak pergi ke Turki, tidak perlu mengurus visa lagi di kedutaan, tapi bisa langsung datang ke bandara dengan passport dan tiket saja.

Bagi saya, artikel itu sangat menarik. Saya teringat sebuah berita di akhir tahun yang mengungkapkan bahwa fosil perahu Nabi Nuh telah ditemukan di Turki, dekat perbatasan Iran. 99 % ilmuwan dari seluruh dunia telah menyatakan keyakinannya bahwa fosil tersebut asli. Penelitian para arkeolog tersebut telah membuktikan kebenaran hal itu. Sebagai seorang muslim yang mempelajari kisah para nabi, timbul keinginan saya untuk melihat sendiri perahu Nabi Nuh yang heboh tersebut. Keinginan itu saya simpan di hati, tanpa tahu kapan bisa mewujudkannya. Membaca artikel itu telah membangkitkan keinginan saya yang terpendam berbulan-bulan. Tiba-tiba saja terbuka celah untuk menyaksikan salah satu bukti kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Saya bertekad untuk datang ke sana. Saya akan segera mencari informasi terkait dengan biro perjalanan yang ada di tanah air.

Saya tiba di bandara Soekarno-Hatta pada sore hari. Tanpa istirahat di bandara, saya langsung melanjutkan perjalanan pulang ke rumah dengan menggunakan bus Damri. Syukurlah, tidak butuh waktu yang lama untuk menunggu Damri yang menuju Pasar Minggu. Biasanya saya baru mendapatkan bus Damri setelah menunggu satu jam. Namun yang membuat kesal, jika bus Damri belum penuh, ia akan kembali berputar dari ujung. Bagi penumpang yang ingin segera pulang, tentu saja hal itu hanya membuang waktu, dan membuat kami bertambah lelah. Kita masih dihadapkan pula pada kemacetan kota Jakarta. Apalagi pada jam-jam sibuk orang pulang kantor atau bekerja. Jalan raya sangat padat dengan kendaraan.

Selama kepergian saya, kunci rumah saya titipkan pada keponakan. Saya lalu menghubungi dia agar stand by di rumah. Keponakan saya cukup rajin dan bisa dipercaya untuk menjaga rumah. Dia membersihkan rumah saya beberapa hari sekali. Saya tiba di rumah ketika hari sudah gelap. Alhamdulillah, saya selamat sampai di rumah. Allah telah memberikan perlindungan kepada saya sejak berangkat hingga tiba kembali di rumah ini. Keponakan saya pun gembira menyambut kedatangan saya. Ada beberapa cindera mata yang saya siapkan untuknya.

Beberapa hari di tanah air, saya manfaatkan untuk menyelesaikan urusan-urusan organisasi. Kebanyakan kegiatan organisasi juga tak lepas dari silaturahmi melalui buka puasa bersama. Di samping itu saya mendatangi biro perjalanan wisata untuk memesan tiket ke Turki. Pesawat ke Turki yang paling murah adalah Qatar Airways, yang berangkat pada Jumat dini hari, pukul 01.00 WIB. Tiket ini cukup mahal, apalagi dengan tujuan Istanbul, yang sudah merupakan ujung daratan Eropa. Tiket sekali jalan sekitar sembilan jutaan rupiah. Namun hal itu tidak menyurutkan langkah saya yang terobsesi untuk menemukan fosil perahu Nabi Nuh di Turki.

Selain memesan tiket pesawat ke Istanbul, saya juga menukar uang di money changer, yang kebetulan satu grup dengan agen perjalanan. Saya menukar uang rupiah dengan Euro, mata uang yang berlaku di Eropa. Saya memilih Euro daripada Dollar, dengan pertimbangan bahwa separuh kota Istanbul sudah merupakan daratan Eropa. Mata uang yang banyak berlaku di sana adalah Euro, bukan Dollar. Jumlah uang yang ingin saya bawa adalah 500 Euro saja. Nilai mata uang Euro terhadap Rupiah, kira-kira sebesar dua belas ribu rupiah.

Jumlah itu sangat sedikit mengingat biaya hidup yang tinggi di belahan Eropa. Apalagi saya belum tahu pasti berapa lama saya akan berada di Turki. Hal itu tergantung seberapa cepat saya mampu menemukan perahu Nabi Nuh. Namun jumlah itu adalah ‘plafon’ sementara agar saya bisa berhemat. Mudah-mudahan kelak di sana tidak perlu mengeluarkan banyak uang. Entah bagaimana caranya, saya harus mengetatkan ikat pinggang karena saya buta sama sekali mengenai negeri Ottoman tersebut.

BAB V


Turki
Malam Jumat, setelah menunaikan sholat Isya dan tarawih, saya berangkat lagi menuju bandara Soekarno Hatta. Kali ini keponakan saya mengantar dengan motornya sampai ke Pasar Minggu, lumayan hemat dan cepat. Sayangnya, bus Damri terakhir dari Pasar Minggu telah berangkat pukul 19.00. Karena tidak kebagian bus, berarti saya harus naik taksi. Pada jam seperti itu sulit pula mendapatkan taksi, karena rata-rata sudah terisi. Mungkin banyak orang pulang kantor yang menggunakan taksi.

Setelah cukup lama berdiri di pinggir jalan, akhirnya ada juga taksi yang kosong. Saya sudah tidak punya kesempatan untuk memilih jenis taksi. Setidaknya taksi ini bukan jenis yang suka menipu dengan argo kuda. Saya minta diantar langsung ke bandara Soekarno-Hatta. Sepanjang jalan saya berdoa agar tidak terjebak kemacetan yang berarti. Maklum jalur yang dilalui adalah jalan utama, walau masuk ke jalan tol, tidak banyak berpengaruh mengurangi kemacetan. Pukul sepuluh lebih dua puluh menit saya tiba bandara.

Pada waktu mau masuk ke konter check in, dalam antrian saya melihat rombongan ulama. Kami sempat berbincang-bincang sejenak sambil berdiri. Mereka hendak pergi ke Tunisia untuk menghadri perlombaan MTQ tingkat internasional. Pesawat yang akan membawa mereka dari Jakarta juga sama dengan pesawat yang saya tumpangi, tetapi nanti ketika transit di Doha, mereka akan dipisah menggunakan pesawat lain. Saya yakin tim Indonesia ini akan meraih kemenangan, sebab biasanya memang begitu. Sejak dahulu, Indonesia selalu mendominasi ajang MTQ internasional. Alhamdulillah, kemampuan Qory dan Qoriah tanah air memang sulit dicari tandingannya. Ini sebetulnya membutktikan bahwa Indonesia bisa menjadi leader Negara-negara Islam. Pesantren-pesantren Indonesia mencetak para penghafal Alquran.

Pemeriksaan di konter check in tak semudah yang disangka. Entah mengapa para petugas itu begitu ribet. Ada petugas perempuan bahkan menanyakan berapa uang saku yang saya bawa. Alasannya tidak boleh ada warga Negara Indonesia yang nantinya menggelandang di Eropa. Masya Allah, bagi saya alasan ini kurang logis, berapa pun uang saku yang saya bawa itu bukan menjadi patokan kesejahteraan orang yang bepergian. Bukankah orang yang akan bepergian sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya? Lagipula, masih ada pegangan kartu kredit yang bisa diambil sewaktu-waktu. Saya tidak suka dengan komentar petugas imigrasi yang mengatakan uang saku 500 Euro terlalu sedikit. Saya mendapat kesan bahwa wanita petugas tersebut sangat cerewet. Saya mencoba menyabarkan hati agar tidak marah karena kesal. Untunglah dalam pemeriksaan imigrasi sangat lancar, tak ada yang bertele-tele.

Gara-gara pemeriksaan tadi, saya jadi terhambat. Saya termasuk orang terakhir yang memasuki pesawat. Namun saya bersyukur akhirnya saya bisa berangkat juga. Pesawat tampak sangat penuh, semua tempat duduk terisi. Banyak orang yang bepergian ke luar negeri. Saya mendapat tempat duduk di tengah kabin, satu jejer denga sepasang suami istri bule, tetapi di samping kiri saya adalah laki-laki Indonesia. Kami berkenalan, ia akan ke Amerika Serikat. Laki-laki ini mengatakan bahwa ia sudah lama tinggal dan mengajar di sana. Luar biasa.

Agak sulit mengetahui waktu yang pasti di dalam pesawat. Saya hanya makan apa yang disodorkan pramugari sewaktu kami baru take off, dan itu sudah saya anggap sebagai sahur. Saya berkali-kali melihat monitor yang tergantung di dinding pesawat untuk menandai masuknya waktu shubuh. Memang dalam pesawat menunjukkan arah kiblat, tetapi sulit untuk sholat menghadap kiblat karena situasi dan kondisi di dalam pesawat. Seperti biasa, saya bertayamum dan sholat di kursi.

Pesawat transit di Doha, Qatar kira-kira pukul 05.20 pagi waktu setempat. Banyak penumpang yang akan berganti pesawat. Saya sudah tidak melihat lagi rombongan MTQ yang akan ke Tunisia. Bandara ini luar biasa modern, luas dan lengkap dengan segala fasilitas. Dari kejauhan kita bisa melihat hamparan padang pasir dan bebatuan. Maklum wilayah Timur Tengah didominasi oleh gurun-gurun pasir. Bandara ini jauh dari pemukiman atau pusat perbelanjaan, karena itu penumpang yang akan melanjutkan perjalanan lebih baik menunggu di dalam bandara. Di tengah-tengah bandara ada duty free yang menjajakan segala barang mewah. Bahkan ada mobil Ferrary yang dipajang di sana. Kalau melihat harganya, wow, membuat mata saya terbelalak. Di tempat ini mata uang yang berlaku adalah Dinar. Saya hanya menonton orang-orang berbelanja. Namun saya cukup puas juga bisa mencuci mata melihat barang-barang tersebut, walau tidak bisa memilikinya. Toh kalau saya punya uang, saya juga tidak ingin membelinya, lebih baik digunakan untuk sesuatu yang lebih bermanfaat.

Pukul 8.00 para penumpang yang ke Istanbul mulai boarding. Ada seorang pemuda Indonesia yang mengenakan seragam Qatar dan menyapa saya dengan ramah. Tanpa disengaja saya melihat seorang pria muda, yang menilik gayanya adalah seorang wartawan. Benar saja, ternyata Dharmawan ini adalah wartawan dari Koran Republika. Ia ke Istanbul atas undangan pemerintah setempat untuk meliput suasana Ramadhan di kota itu. Dalam pesawat yang sama juga ada seorang perempuan Indonesia dengan dua anak, satu laki-laki dan satu perempuan. Dia baru pulang kampung ke Indonesia dan kembali ke Istanbul karena bersuamikan orang Turki. Pantas saja kedua anaknya tampak sulit berbahasa Indonesia, karena mereka besar di Turki. Kami masuk ke pesawat yang jauh lebih kecil dibanding dengan pesawat semula. Meski begitu, tetap menjamin kenyamanan bagi para penumpang.


Yüklə 309,96 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin