Negeri Johor
Pak Ali berbaik hati mengantar saya ke masjid antik dan sangat terkenal di Johor yaitu masjid Sultan Abu Bakar. Kami berdua naik taksi, yang dibayar oleh Pak Ali sendiri. Kami meneruskan perbincangan di taksi. Ia mengatakan sangat senang dengan penulis seperti saya dan kelak ingin melihat buku saya.. Pak Ali berharap, kalau saya ke Singapura lagi, segera menghubungi beliau. Ia menjamin akan memberikan tempat yang gratis dan aman. Saya bersyukur dalam hati. Dalam perjalanan ini saya memperoleh seorang saudara seiman yang bisa diajak bertukar pikiran dan menyambung tali silaturahmi.
Hujan deras mengguyur negeri Johor. Walau begitu, di sela- sela kabut hujan saya masih bisa menikmati pemandangan. Kami menyusuri jalan di sepanjang pantai. Pelabuhan tampak sangat jelas di semenanjung Johor, tampak rapid an cukup ramai. Beberapa saat kemudian saya melihat sebuah masjid yang indah dengan arsitektur klasik. Letaknya di sudut jalan agak ke bukit menghadap pantai. Halamannya begitu luas, ada beberapa pohon rindang dan taman yang tertata indah. Inilah rupanya masjid Sultan Abu Bakar yang tersohor itu.
Taksi memasuki halaman masjid. Hujan belum juga mereda. Saya berpisah dengan Pak Ali di depan pintu masjid. Kami memang mau sholat dulu di masjid itu. Tetapi karena tempat perempuan dan laki-laki di pisah, maka kami tidak lagi bisa bersama. Saya merasa harus mengucapkan selamat berpisah di sini dan berterima kasih atas bantuannya. Saya ke lantai dua, tempat perempuan sholat. Ada beberapa perempuan lain di sana. Tetapi mereka sedang asyik ngobrol, jadi saya diamkan saja.
Selesai sholat lohor dan berzikir, hujan ternyata belum juga berhenti. Saya pun turun ke dalam masjid untuk melihat-lihat. Sungguh menyenangkan memperhatikan desain interior antik dari bangunan yang usianya lebih dari satu abad. Sejarah masjid ini tertulis dalam bingkai yang digantung di dinding masjid. Saya melongok ke tempat sholat laki-laki, tak tampak adanya Pak Ali. Mungkin ia telah melanjutkan perjalanan dengan taksi lain. Ya sudahlah, bantuannya sudah cukup bagi saya. Allah yang akan membalas kebaikannya.
Ketika hujan sedikit mereda, saya mengambil kesempatan untuk melihat sekeliling halaman masjid. Sungguh indah pemandangan dari pintu masjid yang menghadap pantai. Kita bisa melihat kapal laut yang berlalu lalang di sana. Beberapa foto saya ambil untuk mengabadikan masjid ini. Saya berharap suatu saat saya akan kembali ke sana. Tak puas dengan membaca sejarah di dinding, saya menemui pengurus masjid. Alhamdulillah dua orang pemuda yang menjaga sekretariat bersedia membantu saya. Mereka pun memberi keterangan yang saya inginkan.
Masjid Sultan Abu Bakar, diberi nama demikian karena pada saat itu Sultan Abu Bakar lah yang memerintahkan untuk membangun masjid ini, kira-kira pada tanggal 1 Muharram 1310 H (26 Juli 1892) dengan arsitek Batuaf Haji Mahmud Arif bin Punak.. Pendanaan masjid waktu itu menghabiskan biaya sekitar 400 ringgit. Masjid ini mulai digunakan pada tanggal 1 syawal 1317 H ( 2 Februari 1900). Namun yang meresmikan adalah putranya yaitu Sultan Ibrahim bin Abu Bakar, yang ditandai dengan 21 dentuman meriam.
Masjid indah ini sengaja dibangun di atas bukit yang terletak di teluk Tabran. Kita bisa melihat pelabuhan Singapura juga dari sini. Ada empat buah menara adzan melengkapi masjid di setiap sudutnya, suara adzan akan terdengar hingga berkilo-kilo meter jauhnya. Lantai masjid terbuat dari marmer Italia, sedangkan barang-barang hiasan berasal dari Cina. Dengan luasnya masjid, mampu menampung lebih dari 3000 orang jamaah.. Tempat wudhu ada di bawah (bisa disebut bawah tanah) tetapi tetap di dalam masjid. Ini untuk menjaga kebersihan tempat sholat. Saya melihat ada kursi-kursi panjang dekat tempat berwudhu, yang memungkinkan seseorang untuk istirahat sejenak.
Hujan justru turun kembali dengan deras. Saya belum bisa melanjutkan perjalanan. Karena itu saya harus menunggu waktu ashar tiba, masih cukup lama. Saya mencoba tidur seperti perempuan-perempuan lain, tetapi tidak bisa. Saya memang tidak pernah bisa tidur nyenyak, apalagi jika masih ada suara di sekitar saya. Masih ada dua orang gadis yang asyik ngobrol. Saya kemudian bangun, kembali menyucikan diri dan membaca Alquran sampai adzan Ashar berkumandang.
Alhamdulillah, setelah sholat Ashar hujan mereda. Saya segera menyandang ransel keluar dari masjid. Tetapi menurut pengurus masjid, tidak ada bus yang lewat di sini. Maka saya harus menggunakan taksi. Ah ini sebetulnya tidak saya harapkan. Namun apa boleh buat, saya toh tidak boleh tertahan di satu tempat. Saya kemudian naik taksi yang kebetulan lewat. Pada supir taksi saya menanyakan masjid besar lain yang cukup terkenal di Johor. Ia lalu mengantar saya ke wilayah Kampung Melayu. Ada sebuah masjid bernama Mujidee yang dibangun sekitar tahun 1960-an. Masjid ini mengalami renovasi dan diperbesar pada tahun 1980.
Supir taksi yang mengantar saya sungguh ramah dan baik hati. Ia menuliskan nama-nama masjid lain yang bisa saya datangi, tetapi tidak ada yang sebesar masjid Abu Bakar atau masjid Kampung Melayu ini. Ia bahkan mengurangi ongkos taksi yang harus saya bayar. Argo menunjukkan 12.50 ringgit, tetapi ia hanya minta 11 ringgit. Ia sangat senang bisa berkenalan dengan saya. Bagi saya ini berkah tersendiri.
Karena masih banyak waktu sebelum maghrib, saya mencoba menghubungi saudara yang berada di Johor, tapi entah mengapa dari tiga nomor yang saya hubungi, tidak ada yang nyambung. Padahal tadinya saya berniat bermalam di rumah mereka. Agaknya saya harus mencari penginapan. Terpikir oleh saya untuk menghubungi Pak Ali dan menerima tawaran rumahnya. Ah, tapi saya tidak ingin merepokan beliau lagi.
Pengurus masjid membantu saya mencari orang yang mengerti tentang sejarah masjid di Kampung Melayu ini. Orang tersebut kebetulan masih berada di rumah, jadi saya harus menunggu. Saya melihat-lihat di dalam masjid. Di suatu sudut ada dua orang pengikut tarekat dengan pakaian gamis putih yang agak kumal. Menurut pengurus masjid, mereka adalah penganut tasawuf yang akan berada di masjid itu selama bulan ramadhan. Pengurus masjid lainnya sedang menyiapkan peralatan untuk berbuka puasa. Saya ikut membantu menata piring dan gelas yang akan digunakan untuk jamuan.
Adzan maghrib di sini jatuh pada pukul 19.17, cukup lama juga. Menjelang maghrib ada sekelompok ibu-ibu berjumlah sekitar 10 orang berdatangan memasuki masjid. Rupanya mereka mau berbuka puasa di sini. Di antara mereka ada yang membawa bekal makanan dan dibagi rata kepada setiap orang, termasuk saya. Mereka pun ramah kepada saya meski melihat saya dengan sorot mata ingin tahu. Pengurus masjid menghidangkan makanan yang datang dari donatur. Macam-macam isinya, ada kue-kue, nasi, sampai mie goreng. Semua ditaruh dalam wadah nampan. Dan kami mengambilnya sejumput-sejumput supaya rata.
Buka puasa ditandai dengan sirene panjang. Setelah itu baru adzan maghrib dikumandangkan. Kami makan beramai-ramai, saling mencicipi makanan yang disodorkan. Berhubung saya tamu asing, saya hanya mengikuti apa yang mereka sarankan. Ibu-ibu itu makan dengan cepat dan lahap, sedangkan saya hanya makan sekedarnya. Apalagi ada masakan yang terasa aneh di lidah saya, mungkin bumbu yang tidak biasa digunakan di Indonesia. Setelah makan, saya pun kemudian sholat berjamaah bersama yang lain. Namun setelah sholat maghrib, ternyata ibu-ibu itu mengantongi makanan sisa, yang buru-buru dimasukkan ke dalam tas. Wah, ini mah kebiasaan yang sama dengan ibu-ibu di Indonesia, paling rajin membersihkan makanan. Malah sebagian ada yang melanjutkan santapan ngemilnya sambil mojok di salah satu sudut masjid.
Saya menunggu adzan Isya sambil meneruskan bacaan Quran. Bagi saya, kebiasaan mengkhatamkan Al Quran tidak akan tertinggal walau saya di perjalanan sekali pun. Tidak ada waktu yang tersia-sia. Ketika tarawih berjamaah, saya mengambil barisan terdepan. Di belakang saya begitu banyak jamaah yang datang memenuhi masjid. Bahkan ada perempuan tua yang sudah terbungkuk-bungkuk ikut sholat berjamaah. Dalam hati saya mengaguminya, hebat sekali dia, sudah begitu tua tapi masih mau ke masjid. Di tanah air, saya sering melihat perempuan muda dan sehat malas datang ke masjid dengan berbagai alasan.
Ternyata sholat tarawih di sini cukup melelahkan. Bacaannya ayatnya panjang-panjang sehingga kaki terasa pegal. Maklum boleh dikatakan saya belum beristirahat. Saya hanya berdoa dalam hati agar kuat mengikuti tarawih ini. Rakaat di sini juga sampai 23. Namun tidak ada ceramah yang dilakukan setelah sholat Isya sebagaimana lazimnya di Indonesia. Saat sholat saya diserang rasa kantuk, saya berusaha menahannya setengah mati. Saya jadi teringat almarhum Bapak, kalau menjadi imam tarawih di masjid tak pernah membaca surat yang panjang. Ini sesuai dengan sunnah Rasulullah, karena harus diingat bahwa dalam jamaah, ada orang-orang yang sudah tua, ibu-ibu yang menyusui dan para musafir seperti saya.
Benar saja, sesudah tarawih delapan rakaat, mulai ada yang keluar mengundurkan diri, terutama jamaah perempuan. Setelah sepuluh rakaat, jamaah perempuan yang keluar sudah sepertiganya. Sampai tarawih berakhir, yang bertahan tinggal beberapa baris, termasuk saya. Saya memaklumi karena tarawih ini benar-benar melelahkan. Belakangan saya baru tahu kalau di masjid ini memang biasa membaca minimal satu jus dalam satu malam tarawih.
Bubar tarawih, saya masih menunggu pengurus masjid. Bapak pengurus itu tadi menawarkan untuk tinggal di rumahnya. Namun ia harus menanyakan kesediaan istrinya apakah mau menerima saya sebagai tamu. Tentu saja, bagaimana mungkin seorang laki-laki menerima tamu asing berjenis kelamin perempuan tanpa persetujuan istrinya. Tapi tunggu punya tunggu, pengurus masjid itu tidak tampak lagi batang hidungnya. Mungkin istrinya tidak bersedia menampung musafir perempuan. Padahal masjid sudah sangat sepi, lampu-lampu mulai dimatikan. Tanda-tandanya saya harus mencari penginapan sendiri.
Saya bingung mau kemana. Ada dua alternatif, mencari hotel murah atau langsung menuju Kuala Lumpur dengan mneggunakan bus malam. Saya mencari keterangan pada tukang rokok di seberang masjid. Hotel paling murah sekitar 60 ringgit sampai 100 ringgit. Ah, saya berpikir betapa sayang kalau harus membuang duit untuk menginap di hotel. Akan lebih efisien jika tidur di dalam bus malam yang menuju Kuala Lumpur saja. Namun untuk menuju terminal selarut itu, tidak ada kendaraan umum lain kecuali taksi. Saya lalu menyetop taksi agar bisa ke terminal Larkin sesuai dengan petunjuk tukang rokok. Ongkos taksi kira-kira 5.10 ringgit. Sopir taksinya hanya mau dibayar 5 ringgit saja, yang 10 sen digratiskan. Saya jadi berpikir sopir taksi di sini baik-baik semua, tidak ada yang nakal.
Bus-bus malam di sini tampak keren-keren semua, tinngi, gagah dan mengkilat. Semua menggunakan plang bus ekspress sehingga saya berpikir, ini bus-bus yang serba cepat. Tetapi dugaan saya salah, tidak tahunya, ngetemnya lama bukan main. Saya sudah duduk di dalam bus lebih dari satu jam tapi belum juga berangkat. Aduh, saya jadi tambah capek, karena sejak tadi tidak bisa beristirahat. Rasa lelah memacu emosi, mulai naik ke kepala. Saya mencoba menegur kondektur agar segera berangkat. Eh dia malah balik memarahi saya. Aduhai, mengingat ini bulan ramadhan, saya mencoba menyabarkan hati. Kalau begini saya lebih baik memilih bus di terminal Pulo Gadung atau Kampung Rambutan, ada timer yang mengatur keberangkatan, bus bisa saja jelek, tapi cepat berangkat sesuai waktu yang ditetapkan.
Mendekati pukul satu dini hari bus belum juga beranjak, malah cuma pindah ke dekat pintu gerbang depan untuk ngetem lagi. Setelah lebih dari pukul satu dini, barulah bus itu bergerak keluar terminal. Saya menghembuskan nafas lega dan mencoba untuk tidur. Tapi kondektur cerewet itu terlalu banyak omong sehingga telinga saya keberisikan. Lagi-lagi saya tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Padahal penumpang sebelah saya dan di belakang saya sudah mengeluarkan dengkuran.
Melewati perjalanan di malam hari memang tak ada pemandangan yang bisa dinikmati. Jalan-jalan yang melewati perkebunan terlihat gelap, saya tidak bisa melihat apa-apa. Di tengah jalan, bus juga menurunkan dan menaikkan penumpang. Rupanya ada saja orang yang bepergian di malam hari. Apalagi ke ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Mungkin mereka adalah orang-orang yang mempunyai bisnis. Bus sempat berhenti di sebuah rumah makan, tapi tak banyak yang turun. Saya juga memilih tetap berada di dalam bus.
Kuala Lumpur
Pukul empat pagi, bus memasuki kota Kuala Lumpur, ibukota Malaysia. Bus menurunkan penumpang di terminal Bukit Jalil. Ada pasar dan stadion olahraga di sana, tapi tentu saja masih sangat sepi. Penumpang-penumpang lain dijemput kerabatnya masing-masing. Saya bingung juga, mau kemana karena tak ada angkutan umum yang fleksibel. Saya hanya melihat taksi dan ojek. Rencana mau mencari mushola atau masjid terdekat di tempat itu. Saya lalu menanyakan pada pedagang asongan di sana, tetapi katanya masjidnya memang ada, tapi kalau jam empat biasanya belum buka. Aduuh.
Saya mengikuti penumpang lain yang masih menunggu jemputan, duduk saja di samping pedagang asongan. Kebetulan saya belum sahur, saya mau cari makanan dulu. Ada juga pedagang makanan di sana, nasi dengan lauk pauknya, tapi saya tidak berselera melihat jenis-jenis makanannya. Akhirnya saya hanya memesan sejenis sandwich dengan sebotol air mineral. Sudahlah, yang penting perut terisi. Selesai santap sahur, eh orang-orang sudah semakin berkurang. Nah, saya terpaksa harus melanjutkan perjalanan, jangan sampai berada di jalan ketika shubuh tiba. Saya menanyakan alamat sebuah hotel murah yang pernah saya baca di internet kepada tukang ojek, sayangnya tidak ada yang tahu alamat tersebut.
Sekali lagi saya terpaksa naik taksi, ini sungguh pemborosan. Masalahnya saya tidak melihat ada alternatif lain, tidak ada kendaraan umum lain yang tampak. Sedangkan saya sudah tertinggal seorang diri dan satu-satunya perempuan di sana. Bagaimana pun juga saya harus menjaga diri, mencegah segala sesuatu yang buruk. Saya lalu menumpang taksi dan menunjukkan alamat ke sopir. Dia tidak tahu nama hotelnya tapi tahu nama jalannya.
Sesampai di jalan yang dimaksud, argo menunjukkan 12,5 ringgit. Namun sopir taksi meminta 25 rinnggit. Saya jadi kaget. Dia bilang tarif midnight biasa dua kali lipat. Lho, sudah hampir shubuh masih dihitung midnight? Dan baru kali ini saya mengetahui ada istilah seperti Saya baru tahu kalau ada tarif midnight. Maklum di Indonesia tidak ada istilah seperti itu, yang ada adalah pakai argo atau tidak. Kalau tidak memakai argometer, masih bisa tawar menawar. Sopir taksi itu bersikeras bahwa hal ini sudah biasa berlaku di Kuala Lumpur. Saya terpaksa membayar 25 ringgit seperti yang dia minta. Rupanya lain Johor, lain pula Kuala Lumpur. Di Johor sopir taksi yang saya temui selalu jujur dan baik hati.
Saya menyusuri jalan di kawasan Bukit Bintang untuk mencari hotel yang murah, tapi tidak ketemu. Kawasan ini adalah kawasan yang strategis dan banyak diincar para turis. Rata-rata kamar hotel bertarif 100 ringgit keatas per malamnya. Saya menemukan hotel yang paling murah seharga 75 ringgit, tapi sayang harus menggunakan deposit untuk dua malam. Gara-gara taksi tadi, uang saya tidak cukup untuk deposit. Hotel itu tidak mau menerima kekurangan uang untuk deposit satu ringgit pun. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan uang adalah mencari money changer. Pada jam seperti itu, belum ada money changer yang buka. Saya sudah berkeliling sampai kaki pegal dan kebingungan sendiri.
Di pojok jalan raya Bukit Bintang ada pos polisi, saya lalu meminta keterangan di sana. Ia menjelaskan money changer buka sekitar jam delapan pagi. Nah, kalau begitu saya tidak akan mendapatkan hotel lebih cepat. Pupus sudah harapan untuk segera mandi dan istirahat. Jadi saya putuskan untuk mencari masjid lagi. Menurut polisi, tidak ada masjid yang dekat yang bisa dicapai dengan jalan kaki. Masjid terdekat ada Masjid di jalan Hang Tuah. Untuk menuju ke sana harus dengan menumpang kendaraan monorel. Okelah kalau begitu, saya akan ke masjid itu, kebetulan stasiun monorel tak jauh dari situ.
Untunglah kereta monorel sudah beroperasional pada pagi hari.Ongkos monorel ke jalan Hang Tuah hanya 80 sen, murah dan cepat. Turun dari monorel saya menyeberang dan berjalan kaki sekitar 200 meter. Saya melihat menara masjid yang putih tampak bersinar dalam kegelapan. Dengan rasa syukur saya menginjakkan kaki di halaman masjid itu. Setidaknya saya mendapatkan rumah Allah untuk beristirahat sementara. Saya naik ke atas, ke lantai dua tempat untuk perempuan. Masjid ini indah dan bersih, saya menyukainya.
Setelah sholat shubuh dan membaca alquran, saya membaringkan diri untuk istirahat. Saya tidak sendirian, ada dua orang perempuan, ibu dan anak yang juga tiduran. Mereka sepertinya bukan asli melayu, karena menggunakan bahasa yang tidak saya mengerti. Saya ajak berbahasa inggis juga tidak bisa, maka kami hanya bisa menggunakan isyarat. Daripada bercakap tak tentu arah, kami sama-sama memejamkan mata dan tidur sejenak.
Saya terbangun karena mendengar kedatangan orang lain. Ada seorang laki-laki yang masuk ke tempat perempuan. Rupanya dia adalah salah seorang pengurus masjid. Laki-laki itu membawa mesin penyedot debu untuk karpet dan mulai menyalakan mesin. Ini berarti habis sudah saat beristirahat. Saya lalu mengemasi barang bawaan dan turun ke bawah. Kedua perempuan tadi juga segera turun. Eh ternyata ada pria yang menjemput mereka, sepertinya suami dari si anak perempuan . Mereka kemudian naik mobil dan pulang, meninggalkan saya termangu di depan pintu masjid.
Saya tidak segera pergi, tapi berniat mau melihat-lihat sekeliling masjid. Saya mengambil beberapa gambar dengan kamera. Beberapa orang laki-laki di teras masjid memperhatikan saya. Masjid yang indah ini pasti punya sejarah, saya bermaksud menanyakannya pada salah satu pengurus masjid. Ketika saya ke belakang menemui petugas kebersihan tadi, ia menyarankan agar saya berbincang dengan Pak Abdulmanan, yang kebetulan sudah berada di sana. Saya lalu melepas sepatu dan masuk kembali ke dalam masjid mencari Pak AbdulManan.
H. Abdulmanan ini adalah pengurus masjid senior, orangnya tinggi langsing dan berjenggot agak panjang. Usianya sekitar 60 dan cukup ramah. Ia senang mengetahui bahwa saya orang Indonesia. Selidik punya selidik, ternyata dia juga berasal dari Indonesia, dari kota Magelang. Wah ini namanya ketemu tetangga, karena saya berasal dari Yogyakarta. Kami lalu ngobrol-ngobrol, berdiskusi tentang masalah agama dan sebagainya. Kami berbincang sambil sesekali Pak Abdulmanan menerima zakat fitrah dari orang yang datang.
Masjid-masjid di Malaysia ini tidak seperti di Indonesia yang membuka penerimaan zakat fitrah sepuluh hari sebelum ramadhan. Justru masjid seperti Hang Tuah ini menerima pembayaran zakat fitrah semenjak awal ramadhan. Katanya untuk mencegah orang menjadi malas dan lupa, dan menghindari timbulnya antrian kalau waktunya sudah mepet. Yah terserahlah, tidak ada larangan membayar zakat fitrah pada awal ramadhan. Kalau orang Indonesia kan mengarah agar mendapat pahalanya di malam lebaran.
Sholat Tarawih di masjid Hang Tuah ini sama dengan masjid di Malaysia lainnya, yaitu 20 rakaat, ditambah witir mrnjadi 23 rakaat. Sayangnya di sini tidak akan ada itikaf untuk perempuan. Hal itu dimaksudkan agar tidak timubul fitnah, karena laki-laki bisa tergoda melihat ada perempuan. Ini sebetulnya tidak adil, Rasulullah saja mengijinkan Aisyah dan yang lainnya untuk itikaf, masa di sini tidak boleh. Padahal ruangan kan sudah terpisah, bukan hanya dibatasi pintu tapi juga oleh horden tebal. Begitu pula kamar mandi, tempat berwudhu dan peralatan perempuan lain jauh dari tempat laki-laki. Bagi saya ini sungguh diskriminatif.
Matahari telah sepenggalah ketika saya mau pamit sama Pak Abdulmanan. Saya lalu mengambil tas ransel dan berjalan ke tempat saya tadi meletakkan sepatu. Tapi, Masya Allah, sepatu saya sudah tidak ada di tempatnya! Saya mencoba mencarinya lagi ke semua rak sepatu dan sandal, tapi tidak ketemu juga. Kemudian saya menanyakan kepada pengurus masjid kalau-kalau ada yang melihat sepatu saya dengan memberi detil yang jelas. Ternyata tak seorang pun yang tahu dimana sepatu saya. Mereka bahkan sudah ikut berputar-putar sampai ke dapur, tapi benda itu sama sekali tidak tampak. Berarti ada orang yang mengambil sepatu saya!
Memang selama saya berbincang-bincang dengan Pak Abdulmanan, ada seorang lelaki lusuh dan perempuan yang agak kumal duduk-duduk di dekat rerumputan parkir. Menurut pengurus masjid yang menjadi petugas kebersihan, perempuan itu agak tidak waras, ia kerap datang nyelonong masuk begitu saja, tidak sholat tapi tahu-tahu masuk ke dapur atau ke tempat penyimpanan barang-barang. Ia sempat mengawasi perempuan itu yang masuk ke dalam ruang sekretariat masjid tanpa permisi. Namun si pengurus masjid itu tidak sempat mengawasi lelaki lusuh yang menemani perempuan tadi. Ia menduga bahwa lelaki tadi berkomplot dengan si perempuan. Pak Abdulmanan juga mengatakan bahwa di masjid itu memang sering terjadi kehilangan sandal atau sepatu. Ah, kok sama dengan masjid-masjid di Indonesia, banyak malingnya.
Aduh, saya tidak punya sepatu lagi. Saya hanya membawa satu pasang sepatu, yang saya pakai selama perjalanan. Tidak terpikir untuk membawa sepatu cadangan. Sedikit pun tidak pernah terlintas bahwa saya akan kehilangan sepatu. Ini bukan masalah harga, sepatu yang saya pakai adalah sepatu semi kulit yang nyaman dipakai berjalan oleh backpacker seperti saya. Kalau tak punya alas kaki, bagaimana saya melanjutkan perjalanan? Setidaknya harus ada yang bisa digunakan untuk sementara. Akhirnya pengurus masjid memberi saya sebuah sandal jepit yang sudah agak butut. Tak apalah, daripada nyeker. Saya bisa pakai sandal ini sampai menemukan toko sepatu yang murah. Agak risih juga memakai sandal jepit butut, untung belum banyak orang yang beraktivitas jadi tidak ada yang memperhatikan saya.
Saya kembali ke kawasan Bukit Bintang dengan menggunakan monorel. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh waktu Kuala Lumpur. Untung money changer sudah buka, saya segera menukar rupiah dengan ringgit di sana. Banyak toko dan mall yang sudah buka juga tetapi ketika saya menanyakan harga sepatu, rata-rata di sana cukup mahal, di atas seratus ringgit. Saya batal beli sepatu di mall. Saya juga tidak jadi mencari penginapan di kawasan itu, saya bermaksud mencari hotel yang murah di tempat lain. Kebetulan ada seorang petugas hotel yang merangkap cleaning service, memberitahu bahwa penginapan di kawasan Chowkit jauh lebih murah. Tempat itu bisa dicapai pula dengan monorel. Harga tiketnya pun sama, 1.6 ringgit.
Berdasarkan keterangan itu, saya pergi ke kawasan Chowkit. Memang benar apa yang dikatakan petugas hotel tadi, banyak penginapan murah. Di depan stasiun monorel saja ada yang bertarif cuma 60 ringgit.dengan kondisi hotel yang lumayan. Sayangnya belum ada kamar kosong, saya harus menunggu beberapa jam lagi. Ah, saya ingin cepat istirahat, lebih baik saya mencari lagi. Saya mencoba menyusur ke belakang, ternyata masih banyak yang lebih murah. Saya mengambil penginapan dengan tarif 50 ringgit semalam. Enaknya, disini tidak perlu pakai deposit, tinggal bayar semalam saja juga tidak apa-apa. Apalagi resepsionisnya, seorang ibu berjilbab dan putranya yang berasal dari Indonesia. Dia bahkan masih bisa berbahasa Jawa walau telah lama tinggal di Kuala Lumpur.
Kamar yang saya tempati memang jauh dari mewah, boleh dibilang sangat sederhana. Semua perabotannya sudah sangat tua, dari tempat tidur, kursi atau buffet televise, tampaknya sudah berusia belasan tahun. Bahkan seprei dan sarung bantalnya sudah kusam. Di pojokan selimut ada tambalannya. Tapi setidaknya kamar ini bersih dan masih ada AC yang bisa dinyalakan. Saya menyegarkan diri dengan mandi sepuasnya dan mencuci pakaian yang sudah kotor. Kemudian tidur dengan nyenyak sampai waktu sholat tiba.
Sore hari saya keluar dari penginapan untuk berjalan-jalan. Suasana di sini mengingatkan saya pada pasar Glodok di Jakarta. Ini wilayah pecinan di Kuala Lumpur. Kebanyaan pertokoan dan penginapan di sini sudah tua. Dari jauh gedung-gedungnya terlihat suram, dan ada pula gedung yang sudah tampak kumuh. Saya melihat banyak toko obral yang menjual barang murah, harganya jauh di bawah harga barang di mal kawasan Bukit Bintang. Karena itu saya langsung mencari sepatu untuk menggantikan sepatu saya yang hilang. Namun setelah beberapa toko saya telusuri, susah mencari nomor sepatu yang besar seperti ukuran kaki saya yang cukup panjang bagi kebanyakan perempuan.
Setelah beberapa ratus meter berkeliling, saya melihat sebuah toko di gang yang agak sepi. Saya pun memasuki toko itu. Barang-barang yang dijual merupakan produk Cina seperti yang tengah membanjiri Indonesia. Saya menemukan sepatu yang cukup nyaman dipakai berjalan dengan harga 15 ringgit. Alhamdulillah, saya berhasil membeli sepatu murah. Saya senang tidak perlu mengeluarkan banyak uang untuk membeli sepatu.
Saya meletakkan belanjaan di kamar. Namun setelah itu keluar lagi untuk mencari makanan berbuka puasa. Di beberapa gang, para pedagang makanan sudah melimpah ruah. Wah semua makanan ada di sini, tampaknya sih cukup menarik, tapi saya belum tahu bagaimana soal rasanya. Saya melihat-lihat dulu sampai puas. Percuma toh kalau membeli banyak makanan, belum tentu termakan. Biasanya memang kita tergoda untuk dengan rupa makanan yang beraneka ragam, tetapi ketika sudah berbuka puasa, selera makan menjadi hilang. Itulah godaan orang berpuasa.
Makanan yang saya beli sekaligus untuk sahur. Soalnya saya tak yakin apakah saya akan menemukan makanan pada saat sahur nanti. Jadi saya langsung membeli dua porsi. Nasi dengan lauk dagingn ayam seharga 4 ringgit dikalikan dua, jadi 8 ringgit. Sedangkan minumnya saya membeli cendol seharga 1 ringgit dan kue puding tiga macam satu ringgit. Saya terpaksa membeli pasta gigi 2.5 ringgit dan shampoo sebotol 4.9 ringgit. Ini satu kelalaian, lupa membawa benda-benda tersebut.
Menjelang maghrib, hujan deras turun. Saya berlari-lari kembali ke penginapan. Saya berbuka puasa di dalam kamar sambil nonton televisi. Rasa cendolnya kurang pas, tidak lezat seperti di Indonesia. Tapi masakannya lumayan. Saya menghabiskan nasi dan lauknya. Alhamdulillah saya bisa menikmati berbuka puasa. Setelah sholat maghrib, saya mencoba turun. Ternyata hujan masih deras. Si resepsionis menjelaskan kalau masjid letaknya agak jauh, sekitar satu kilometer. Dan masjid terdekat itu, milik orang Pakistan dimana perempuan tidak boleh ikut sholat di sana. Yah, saya tidak bisa sholat tarawih di masjid.
Saya pinjam alat charger kepada resepsionis karena kabel yang saya bawa tidak cocok untuk colokan di sini yang menggunakan kaki tiga. Saya kembali ke kamar dan menghabiskan malam sendirian. Sholat tarawih pun saya lakukan di dalam kamar. Hujan masih belum berhenti. Acara televisi tidak ada yang menarik, terlalu monoton, jadi saya kemudian tidur lagi sampai sahur.
Setelah sahur dan sholat shubuh, saya tidur lagi sampai saatnya sholat dhuha, sekitar pukul 8.30. Pagi ini saya berencana pergi ke melihat menara kembar Petronas yang menjadi lambang Malaysia seperti Monas. Sepertinya tidak sah jika mengunjungi Kuala Lumpur tanpa melihat menara tersebut. Saya turun dan langsung ke stasiun, naik monorel ke Bukit Bintang. Rasanya kemarin saya melihat puncak Menara kembar tak jauh dari kawasan itu. Tidak tahunya perkiraan saya salah. Seorang polisi memberitahu bahwa menara kembar lebih dekat dijangkau dari stasiun Raja Chulan. Saya balik lagi ke stasiun membeli tiket untuk ke Raja Chulan. Eh, uang receh saya nggak cukup untuk beli tiket, saya sodorkan 5 ringgit, malah si petugas loket tidak mempunyai uang kembalian. Beruntung ada seorang pemuda yang berbaik hati memberi kekurangan uang receh pada saya.
Sampai di Raja Chulan, saya bertanya pada security gedung Genting. Ia memberi petunjuk arah yang cukup jelas. Saya hanya tinggal mengikuti sebuah jalan yang agak berkelok. Jarak perjalanan yang harus saya tempuh adalah sekitar satu mil. Lumayan, anggap saja berolahraga pagi. Saya pun menyusuri jalan menuju menara kembar Petronas. Jalan raya belum ramai karena masih pagi terhitung pagi, jadi udara masih cukup menyegarkan. Sesekali saya berpapasan dengan turis lain, yang agaknya juga telah melihat-lihat Petronas.
Setelah melalui jalan yang menikung, saya tiba di menara kembar Petronas yang sangat dibanggakan Malaysia ini. Terus terang saya tertarik kemari karena menara ini pernah digunakan dalam film James Bond, yang menjadi salah satu film favorit saya. Menara ini memang menarik, dengan taman dan kolam yang rapi. Saya numpang foto juga di sana. Namun karena sendirian, saya minta tolong seorang turis bule mengambil foto saya. Setidaknya ada kenang-kenangan berada di sini. Turis-turis lain belum banyak berkeliaran, saya duduk-duduk sebentar di pinggir kolam berbentuk segi empat.
Saya tidak tertarik untuk naik ke dalam menara kembar. Menara kembar ini adalah gedung modern, bisa ditebak bagaimana isi dalamnya. Saya mencoba memotret puncak menara dari halaman gedung lain. Susahnya mengambil foto secara utuh, karena menara kembar ini dikelilingi gedung-gedung lain yang jaraknya berdekatan. Foto utuh menara Petronas hanya bisa diambil dari atas gedung lain atau dari udara melalui helikopter. Saya mendapat keterangan bahwa tak lama lagi pemerintah Malaysia akan membangun gedung lain yang lebih tinggi dari menara kembar Petronas. Wah hebat juga ambisinya. Malaysia mungkin tidak punya perlambang yang cukup untuk menjadi ciri khas negerinya.
Puas melihat-lihat Petronas, saya kembali berjalan kaki menuju stasiun. Bolak balik berarti dua mil, mudah-mudahan membuat saya menjadi langsing. Dari stasiun monorel, saya langsung kembali ke penginapan. Menurut rencana saya akan check out siang ini dan melanjutkan perjalanan. Berkat AC, baju yang saya cuci sudah lumayan kering, jadi bisa dimasukkan ke dalam ransel.
Keluar dari penginapan, saya menanyakan arah jalan ke Masjid nasional Malaysia. Ternyata lokasi masjid itu cukup jauh dari Chowkit. Saya harus naik kereta dulu, bukan monorel. Sayangnya stasiun kereta juga agak jauh, satu mil juga dari Chowkit, tidak ada kendaraan yang persis ke sana. Kalau pun naik bis, harus jalan kaki lagi. Lebih baik full jalan kaki. Wah, hari ini saya berolahraga terus. Alhamdulillah tidak ada rasa haus dan lapar, semua saya jalani dengan riang. Dengan beberapa kali bertanya, saya menemukan stasiun kereta.
Stasiun itu cukup tinggi, karena keretanya juga menggunakan jalan layang. Sampai di stasiun, saya membeli tiket, lalu menunggu beberapa menit dulu, sebelum kereta yang saya inginkan datang. Saya turun di stasiun Masjid Jamek sesuai petunjuk penjual karcis. Di bawah stasiun, banyak orang tunanetra yang berjualan tissue. Kita mau membeli tissue atau mau sedekah langsung juga tak mengapa. Stasiun ini persis di depan Masjid Jamek yang antik. Sementara itu masjid Negara Malaysia yang saya cari, bisa dijangkau dengan berjalan kaki 500 m. Ada pula masjid milik komunitas India yang tak begitu jauh dari Masjid Jamek. Tapi kebanyakan orang lebih memilih sholat di masjid Jamek ini.
Berhubung hari ini hari jumat, halaman masjid melimpah ruah dengan jamaah. Saya lalu menunggu di gedung seberang masjid, yaitu gedung OCBD di jalan Tun Perak. Banyak yang ikut duduk, sebagian karyawan keluar untuk makan siang. Orang yang tidak puasa tanpa malu-malu makan seenaknya. Rasanya lebih sopan di Indonesia, masih ada rasa sungkan kepada yang berpuasa. Di kawasan ini memang dipenuhi berbagai macam manusia dari berbagai kebangsaan. Dari warga keturunan yang berpakaian minim sampai perempuan yang mengenakan hijab. Banyak laki-laki pula berlalu lalang tanpa sholat, tidak tahu apakah agama mereka islam atau tidak, meski sebagian bertampang melayu.
Menurut keterangan yang saya dapat, masjid Jamek dibangun pada tahun 1908 dan baru direnovasi tahun 2008 lalu. Arsitektur masjid ini begitu cantik, saya menyukainya. Tak sabar rasanya ingin segera masuk dan melihat-lihat di dalamnya. Namun begitu banyak orang yang shalat jumat di sini. Ketika sholat selesai, sepertinya tak ada habis-habisnya orang yang keluar dari masjid, mengalir seperti air.
Halaman masjid di luar pagar, penuh bertebaran dengan para pedagang asongan. Ini sama saja dengan masjid-masjid Indonesia, punya pasar kaget pada saat jumatan. Bubar sholat, banyak yang menyempatkan diri melihat-lihat barang dagangan. Saya mencoba masuk ke halaman masjid, tetapi dilarang oleh petugas keamanan, katanya perempuan belum boleh masuk. Loh padahal saya mau melaksanakan sholat, kok tidak boleh masuk ke masjid. Saya tidak suka menunda sholat. Di Indonesia saja, kalau sholat jumat sudah bubar, perempuan boleh segera masuk untuk sholat. Alasan petugas tadi, selama masih ada laki-laki, perempuan tidak boleh masuk ke masjid itu. Ini menggelikan, soalnya bagaimana mungkin menunggu sampai semua laki-laki pergi? Bahkan sebagian laki-laki tidur di dalam masjid. Saya menganggap masjid ini tidak ramah perempuan. Masa perempuan tidak boleh masuk untuk sholat.
Dengan hati mendongkol saya keluar masjid. Ya sudahlah saya nanti sholat di masjid nasional saja. Saya kemudian berjalan kaki sampai di jalan raya, mengikuti petun juk arah lalu lintas. Karena ini termasuk pusat kota, banyak gedung antik bertebaran di sini. Saya melewati gedung Kementrian Komunikasi dan Kebudayaan, gedung perpustakaan nasional dan di hadapan saya adalah taman atau alun-alun yang luas. Ada beberapa bus turis sedang parkir. Saya ambil beberapa foto sambil berjalan menuju masjid Negara Malaysia.
Sesampai di masjid nasional. Saya istirahat sebentar di bangku taman. Keringat mengucur di sekujur tubuh karena udara cukup panas. Saya masuk ke dalam lingkungan masjid dan mencari tempat berwudhu. Toilet dan kamar mandi perempuan, cuma ada di satu lokasi saja. Di masjid ini disediakan kerudung dan abaya unutk turis perempuan yang tidak mengenakan pakaian muslim.Tempat perempuan sholat ada di lantai atas, jadi saya naik ke sana. Masih ada satu perempuan yang mengaji di sana. Setelah sholat, saya juga meneruskan bacaan saya. Setelah itu berbaring untuk melepaskan kepenatan karena banyak berjalan kaki.
Saya tertidur sebentar. Ketika mendengar ada langkah kaki, saya terbangun. Ternyata perempuan yang membaca Quran tadi sudah tidak ada. Justru sekarang masuk seorang perempuan yang agaknya petugas masjid. Dia mulai merapikan mukena dan alat-alat sholat lain, dimasukkan ke dalam lemari. Saya pun turun dengan membawa ransel. Di bawah, saya melihat-lihat isi masjid. Ah masjid ini tidak seberapa dibandingkan dengan Istiqlal yang besar dan megah. Saya jadi bangga memiliki Istiqlal. Sebetulnya ada banyak hal yang patut kita syukuri, selain lebih banyak masjid di Indonesia. Sikap Indonesia juga lebih moderat, tidak mendiskriminasi perempuan yang mau ke masjid.
Namun walau tidak begitu besar, soal kebersihan sangat terjaga. Karpetnya dibersihkan dengan penyedot debu dua kali sehari. Petugas-petugasnya pun ramah, meski tak banyak yang tahu perihal masjid ini.Saya membaca keterangan plat peresmian di dinding masjid. Masjid Nasional Malaysia atau lazim disebut masjid Negara ini dibangun pada tahun 1963-1954 oleh seorang arsitek bernama Dato’ Baharuddin. Sedangkan peresmian masjid ini dilakukan oleh Baginda Tuanku Syed Putra Ibnu Al Markam.
Saya berkenalan dengan petugas keamanan atau security perempuan yang berseragam abaya hitam. Ini mengingatkan saya pada petugas keamanan perempuan di Masjidil Haram, Mekah yang juga berseragam hitam. Ia bernama Robana dan sangat ramah kepada saya. Kami langsung merasa seperti saudara. Ia menemani saya terus di sela-sela tugasnya. Sebagai musafir, saya mendapat rezeki sekantung kurma. Robana memberikannya kepada saya lebih dahulu. Saya terkesan dengan keramahannya sehingga betah tinggal di sana. Setelah sholat ashar, kami berdua masih berbincang-bincang.
Ada kreativitas yang menarik di sini. Salah seorang pengurus masjid sangat rajin membuat brosur tentang masjid atau tentang ajaran islam dalam bahasa inggris sehingga turis-turis dapat mengambil brosur dan membacanya sendiri. Terutama mengenai pengenalan agama islam. Saya rasa ini patut ditiru untuk masjid-masjid di Indonesia. Saya bertemu dengan pengurus masjid itu, yang wajahnya menunjukkan ia masih keturunan Arab, muda dan tampan. Kami pun terlibat pembicaraan yang menyenangkan, berdiskusi mengenai perkembangan agama islam. Ia bahkan mengajak saya ke kantornya, yang tadinya sudah dikunci. Saya mendorong dia untuk menulis buku agar dakwahnya bisa lebih tersebar. Ia memperlihatkan apa yang sedang dilakukannya, termasuk tulisan-tulisan dia mengenai agama. Kami ngobrol sampai menjelang maghrib. Sayang pembicaraan kami harus terputus karena ia kedatangan tamu di rumah sehingga harus pulang lebih dahulu. Tapi saya melihat bahwa pengurus masjid ini enggan pulang dan ingin terus meneruskan pembicaraan dengan saya.
Saya melihat truis-turis bule yang berdatangan dengan bus. Para pengurus masjid menyambut dengan ramah. Tetapi mereka yang bukan islam, tidak boleh masuk ke tempat sholat. Mereka juga dilarang mengambil foto di ruang sholat. Kalau mau mengambil gambar, bisa dari ujung pintunya saja. Saya juga hanya bisa ambil foto dari ambang pintu. Meski saya sudah akrab dengan Robbana, saya menghormati larangan dan tugas yang disandangnya.
Di luar hujan mengguyur deras disertai petir menyambar-nyambar. Air seperti tertumpah dari langit. Memang sudah takdir bahwa saya harus berbuka puasa di sini. Saya mengintip makanan yang disediakan, cukup bervariasi dan mengundang selera. Untuk berbuka puasa, kami makan korma, sepotong kue dan segelas teh manis. Kemudian makanan harus ditinggal untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah. Sesudah sholat, barulah kami mendapat makan besar. Nasi ditemani lauk pauk yang lengkap, ada ayam, ada ikan, sayur dan buah-buahan. Para pengunjung yang berbuka puasa duduk berjalur memanjang. Robbana duduk dan makan di samping saya. Kami seperti sahabat karib. Ia menyelipkan beberapa makanan untuk bekal saya di perjalanan, termasuk satu mangkuk kecil sup yang tidak sempat saya makan.
Sayangnya saya dan Robana harus berpisah. Tugas Robbana selesai sebelum tarawih, dan akan digantikan dengan orang lain. Kami berpelukan sebelum berpisah. Saya berjanji di dalam hati, kalau Allah memperkenankan saya kemari lagi, kami bisa bertemu sebagai saudara.
Saya mengikuti sholat tarawih di masjid nasional ini. Jamaah yang datang tidak begitu penuh, mungkin karena hujan deras menghalangi kedatangan jamaah. Kebanyakan yang mengikuti sholat adalah orang yang menggunakan mobil pribadi atau orang yang kebetulan lewat, sekalian berteduh di masjid ini. Setelah melaksanakan tarawih, saya menunggu hujan reda agar dapat melanjutkan perjalanan.
Hujan berhenti lama kemudian. Wah padahal semakin malam semakin sulit untuk mendapatkan kendaraan umum. Saya yakin di atas jam sepuluh malam, bus-bus dalam kota sudah tidak beroperasi. Hati saya mulai resah juga. Saya belum tahu bagaimana caranya menuju terminal bus yang menuju Thailand. Kebetulan ketika sedang menunggu hujan, ada dua anak muda yang tampaknya juga pengurus masjid, soalnya mereka mengenakan pakaian koko yang nyaris sama. Lalu saya mencoba bertanya kepada mereka. Salah satu dari mereka memberitahu bahwa saya harus mencari bus di terminal Bukit Kayu Hitam.
Saya keluar dari masjid, suasana di luar begitu gelap gulita. Bukan karena tidak ada lampu jalan raya, tetapi karena langit yang masih mendung tebal dan pepohonan rimbun di sekitar masjid dan pinggir jalan. Tidak banyak lagi mobil yang berlalu-lalang. Saya berjalan sekitar dua ratus meter menuju sebuah halte kecil yang sepi untuk menunggu angkutan. Saat itu sekitar pukul 22 30 waktu Kuala Lumpur. Sesuai dugaan saya, hanya ada satu dua bus yang lewat, itu pun dalam keadaan kosong dan tidak menarik penumpang lagi. Ada pula yang masih mengambil penumpang, tetapi sayangnya bukan jurusan yang saya butuhkan. Rupanya saya harus menggunakan taksi. Mobil-mobil lain justru melaju dengan kencang, seakan sudah tidak perduli lagi dengan keadaan sekitar. Begitu pula dengan taksi-taksi, yang melintas begitu cepat, sehingga saya sulit untuk menyetopnya.
Tadinya saya menunggu di halte seorang diri. Keadaan sekitar yang gelap membuat saya berpikiran yang tidak-tidak. Kalau ada orang jahat tiba-tiba menodong atau bertindak criminal, maka sulit untuk mencari pertolongan. Kalau pun berteriak, siapa yang bisa mendengar? Untunglah kemudian ada seorang bapak dengan putranya yang kemudian datang dari arah seberang dan berdiri tak jauh dari saya. Namun, ketika kami sama-sama melambai kepada taksi yang lewat, bapak itu dengan sigap masuk ke dalam taksi yang berhenti. Tinggallah saya melongo karena tak mendapat taksi, dan kembali berdiri seorang diri. Aduuh, dasar nasib.
Saya berdoa dalam hati agar Allah mengirimkan sebuah taksi yang bisa saya tumpangi menuju terminal. Alhamdulillah, tak berapa lama kemudian, ada sebuah taksi yang berjalan tidak begitu kencang dan melihat saya melambaikan tangan. Taksi itu lalu berhenti di depan saya. Meski kelihatan garang, sopir taksi itu menyapa saya dengan ramah sehingga saya yakin bahwa ia adalah sopir yang baik. Saya lalu segera naik dan menyebut terminal tujuan. Dari wajahnya, saya tahu bahwa sopir itu keturunan dari bangsa India, yang merupakan salah satu penduduk terbanyak di Malaysia setelah suku melayu. Kulitnya hitam dengan hidung mancung dan mata hitam yang besar. Sedangkan tubuhnya lumayan agak gemuk, sesuai dengan usianya yang saya perkirakan antara 35-40 tahun.
Sopir taksi itu ternyata senang ngobrol. Ia tahu saya berasal dari Indonesia. Saya heran ketika ia bisa menyebut beberapa kata dalam bahasa Jawa. Ternyata ia pernah beberapa kali ke Indonesia. Istrinya adalah orang Indonesia asli! Sopir taksi itu bertambah gembira ketika tahu saya adalah orang Yogyakarta. Karena hal itu berarti tak jauh dengan kampung istrinya di Sleman. Ia lalu bercerita panjang lebar tentang keluarganya, termasuk anak-anak yang disayangi dan dibanggakannya. Laki-laki India itu berpendapat bahwa istri sebaiknya di rumah agar dapat mengurus anak dengan baik. Sebagai suami, ia yang bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sambil menyetir pun ia teringat pada anak-anaknya. Sopir ini bahkan mencemaskan dirinya yang belum sempat membelikan mainan yang dipesan anak lelakinya. Ia berharap masih ada toko mainan yang buka agar bisa mencari mainan untuk si anak.
Ongkos taksi ternyata tidak begitu mahal, hanya menghabiskan 8 RM, termasuk jalan tol. Terminal itu memang tidak begitu jauh, saya baru menyadarinya. Untung sopir ini jujur, sehingga saya tidak disesatkan atau dibawa berputar-putar. Ia bahkan menunjukkan bus mana yang dapat saya gunakan menuju Thailand. Seperti dua orang kawan karib, saya dan sopir taksi saling mengucapkan perpisahan dalam bahasa Jawa. Ia melambaikan tangan ketika taksi meninggalkan terminal.
Ketika saya masuk lokasi terminal, di sebelah kiri ada puluhan kios-kios yang menjual tiket bus untuk berbagai jurusan. Saya mencari loket dengan plang yang menunjukkan tujuan ke Thailand. Kebetulan sekali ada di loket yang dekat, di salah satu pojokan terminal. Saya lalu menanyakan harga tiket dengan tujuan yang saya maksud. Namun saya kaget ternyata bus yang menuju Negara gajah putih itu kebanyakan sudah penuh. Saya baru tahu kalau kebanyakan penumpang telah memesan tiket beberapa jam sebelum keberangkatan. Sedangkan saya yang datang mendadak, sangat sulit mendapatkan tempat duduk. Di Malaysia, boleh dikatakan tidak ada penumpang yang berdiri. Bus hanya mengangkut penumpang sesuai dengan jumlah tempat duduk, sehingga penumpang merasa nyaman sepanjang perjalanan. Tidak seperti di Indonesia, walau patas ber-AC, tetap saja dijejali dengan penumpang sebanyak-banyaknya.
Saya belum putus harapan, saya minta kepada salah satu petugas agar memeriksa bus-bus itu, barangkali masih ada bus yang belum terlalu penuh. Ada seorang laki-laki, yang sepertinya salah satu dari kru agen perjalanan, yang kemudian berkeliling dan mendapatkan informasi bahwa salah satu bus masih ada tempat duduk yang kosong. Alhamdulillah, jadi juga saya berangkat menuju Thailand malam ini. Harga tiket 50 RM, lumayan juga. Tapi mengingat ini bus antar Negara, wajarlah harga tiket itu. Saya sudah melihat pada kios-kios agen perjalanan, tarifnya memang sekitar itu.
Bus baru berjalan setengah jam setelah saya berada di dalam, menunggu penumpang yang belum datang. Perjalanan tengah malam memang sangt lancar, jalan raya sangat sepi, apalagi yang menuju luar kota atau lintas Negara. Walau gelap, saya masih suka melihat pemandangan dari jendela kaca. Kami masih melewati hutan-hutan kecil yang rimbun dan desa-desa yang tenang. Tidak tampak ada kegiatan lain, kecuali kendaraan yang melintas seperti bus yang saya tumpangi ini.
Mendekati perbatasan, bus berhenti di sebuah restoran sekitar pukul 4. 30 pagi. Saya lalu makan sahur sekedarnya. Sup yang saya bawa dari masjid ternyata tumpah dan membasahi pakaian, baunya pun tidak enak. Di perbatasan, terjadi antrian panjang. Semua kendaraan yang hendak memasuki wilayah Thailand harus menunggu dibukanya pintu gerbang pada pukul 6.00. Saya lalu mencari toilet dan bersuci karena shubuh hamper tiba. Tapi saya tidak berhasil menemukan sebuah mushola di perbatasan itu. Rupanya saya harus sholat di dalam bus. Untunglah para penumpang lain sedang tertidur dengan nyenyak. Saya melaksanakan ibadah sholat shubuh dengan tenang, tanpa ada yang mengganggu atau memperhatikan.
Pukul 6.00 pintu gerbang dibuka. Pemeriksaan di pintu gerbang perbatasan antar Negara ini memakan waktu kira-kira satu jam. Seperti biasa, penumpang harus turun untuk pemeriksaan passport dan barang-barang. Selesai sekitar pukul 07.00 pagi waktu Thailand. Pada jam seperti itu, di sini langit masih gelap, sinar matahari baru mulai mau muncul dengan sedikit kemerahan. Bus lalu melanjutkan perjalanan.
BAB IV
Thailand
Bus yang saya tumpangi berhenti di sebuah toko bebas bea (duty free). Banyak penumpang yang turun untuk berbelanja, terutama makanan ringan. Saya hanya sekedar melihat-lihat tanpa berniat membeli. Saya kan harus berhemat, lagipula tidak ada barang yang saya butuhkan lagi. Bus berjalan lagi. Tidak lama kemudian kami tiba di kota Patyin. Di sini lah semua bus dari Kuala Lumpur menghentikan perjalanan. Sedangkan bagi orang yang mau ke Bangkok, ibukota Thailand, harus menggunakan kendaraan lain seperti travel.
Saya naik ojek ke tempat travel biro berdasarkan petunjuk seorang preman melayu yang mengerti bahasa Indonesia sedikit-sedikit. Di kantor travel itu saya harus membeli tiket untuk ke Bangkok. Setelah saya tanya, ternyata ongkos ke Bangkok sekitar 1100 baht. Padahal saya hanya mempunyai uang 500 baht saja. Saya bingung kemana harus menukar uang rupiah. Sudah beberapa money changer didatangi, ternyata mereka hanya menerima ringgit atau dollar. Si gadis manis pegawai travel menanyakan apakah saya memiliki uang dollar Singapura, untung saya masih memiliki 30 $ Singapura. Dia bersedia menerima uang itu, ditambah 100 uang ringgit, dan disesuaikan dengan kurs Thailand. 30$ Singapura = 500 baht dan 100 RM = 900 baht, dengan begitu terbayarlah 1100 baht ongkos tersebut. Saya bisa sampai ke Bangkok.
Untungnya, saya bisa mengisi waktu dengan mengobrol. Ada seorang gadis manis, yang agaknya asli daeri daerah itu. Ia tidak bisa berbahasa Inggris tetapi bisa bercakap melayu walau tidak tahu terlalu banyak. Dengan ramah ia menanyakan tujuan saya. Gadis ini mau ke Bangkok untuk urusan bisnis keluarga.
Bus yang ke Bangkok baru datang jam 8 30 pagi. Saya menunggu lebih dari satu jam. Saya mengira bakal menaiki bus besar lagi, nyatanya hanya sebuah mini bus, tak beda dengan kendaraan operasional Baraya Travel atau Cipaganti yang ke Bandung. Dan yang membuat kesal, mini bus itu tidak langsung berangkat ke Bangkok. Sopir hanya membawanya berputar-putar mengambil penumpang lain, setelah itu ngetem lagi di sebuah terminal.
Saya baru tahu kalau di Patyin ini ada terminal cukup besar, karena tadi bus dari Kuala Lumpur menurunkan penumpang di pinggir jalan. Saya pikir, mungkin saya salah telah terjebak preman melayu yang menyuruh saya naik ojek ke biro travel. Mereka tentu sudah komplotan, bekerja sama untuk menyalurkan penumpang. Yah apa boleh buat, saya sudah terlanjur membayar ongkosnya. Saya merasa bodoh. Terutama karena di sini nyaris tidak ada orang yang mengerti bahasa Inggris. Bahkan jarang pula yang berbahasa melayu, agak susah payah jika menanyakan suatu informasi.
Di terminal ini saya harus menunggu lagi sampai bosan. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 tapi belum juga ada tanda-tanda keberangkatan. saya mulai merasa kesal, rasanya terlalu banyak membuang waktu. Ruang tunggunya saja tidak nyaman, duduk kursi butut tanpa AC. Saya menjadi bertambah penat dengan udara yang panas. Padahal, plang yang tertulis di atas mini bus itu adalah VIP, seharusnya pelayanan bagus, mobul berangkat cepat dan tepat. Sekali lagi saya memuji travel di Indonesia yang selalu berusaha on time, tidak mengulur-ulur waktu atau menunggu penumpang sampai penuh. Gadis manis yang menemani saya berusaha menghibur. Sebagai orang Thailand, dia sudah terbiasa dengan transportasi seperti ini.
Sudah menunggu begitu lama, agen perjalanan kemudian memberitahu kalau mini bus itu tidak jadi berangkat. Para penumpang dialihkan ke mini bus yang lain. Tiket yang diberikan dicoret dengan nama agen lain. Duh, bikin stress saja. Rupanya begini praktek angkutan di kota ini, menyulitkan penumpang, terutama turis yang tidak banyak mengerti persoalan transportasi. Kami dioper-oper seenaknya.
Ketika hendak menaiki mini bus pengganti, saya melihat dua orang perempuan bertampang Indonesia. Satu orang ibu dengan putrinya. Si anak perempuan mengungkapkan kekesalannya dengan bahasa Inggris yang fasih kepada sopir mini bus. Agaknya ia juga sangat kesal diperlakukan semena-mena. Namun agak berbeda persoalannya, ia memesan tempat di depan, di samping sopir untuk mereka berdua. Tetapi si kondektur menempatkan mereka di tengah, di bangku belakang sopir. Ibunya yang cukup sabar, menyarankan pada putrinya agar mengalah dan menerima saja apa tempat duduk yang diberikan. Sedangkan saya berada di belakang mereka bersama gadis Thailand yang sejak tadi menemani saya dari biro travel yang pertama. Kursinya kurang nyaman karena jarak kursi terlalu dekat, terlalu sempit untuk ukuran kaki saya yang cukup panjang. Apa boleh buat, tidak ada pilihan lain.
Akhirnya mini bus itu berangkat juga. Saya menarik nafas lega. Dalam perjalanan saya bertegur sapa dengan dua perempuan tadi. Betul dugaan saya bahwa mereka adalah orang Indonesia. Ibu dan anak ini juga melakukan perjalanan dari Singapura dan Malaysia seperti saya. Karena rasa lelah, saya mulai mengantuk. AC mobil sudah terasa di kulit. Gadis teman saya menyarankan agar saya menutup horden jendela kaca. Saya menurutinya. Kami lalu tidur. Sebagian besar penumpang juga tidur, karena rata-rata mereka berangkat dari temapt asalnya pagi-pagi buta. Sesekali saya terbangun karena rasa sakit di kaki yang tertekan kursi. Kaki harus pindah-pindah posisi, untuk mengurangi sakit walau tidak bisa selonjor. Bus mini melewati kota-kota kecil, banyak pura bertebaran di sepanjang jalan. Buah-buahan (yang ini asli Thailand) terpajang di kios-kios sederhana di pinggir jalan milik para penduduk. Duren, yang jelas bukan barang asing di sini.
Pada tengah hari, antara pukul satu dan pukul dua siang, bus mini berhenti di sebuah pom bensin. Para penumpang bisa turun untuk ke toilet atau makan siang di kedai-kedai yang ada di sekeliling pom bensin. Saya masih puasa, dan satu-satunya orang yang menjalankan ibadah puasa di mobil ini, jadi hanya ikut duduk memperhatikan orang lain yang sedang makan. Si ibu dan putrinya juga makan siang. Sambil makan siang kami ngobrol sedikit. Si ibu mengerti saya berpuasa. Sedangkan mereka berdua beragama katolik.
Saya duduk bersama gadis Thailand itu. Ada seorang polisi Thailand yang mencoba mengajak saya bercakap-cakap. Sayangnya saya tidak bisa berbahasa Thailand dan dia tidak bisa berbahasa Inggris. Si gadis teman saya mencoba menerjemahkan. Ia menjelaskan bahwa saya berasal dari Indonesia dan beragama islam, sehingga tidak ikut makan bersama penumpang lain.
Sementara para penumpang lain masih makan, saya membeli roti dan minuman di mini mart pom bensin untuk berbuka puasa. Setelah itu saya memutuskan untuk sholat di dalam mobil. Sebab sejak tadi saya tidak melihat adanya mushola, dan saya juga tidak yakin akan menemukannya dalam waktu dekat. Jadi mumpung mobil dalam keadaan kosong, saya menjalankan ibadah sholat cara jamak qoshor. Kali ini saya menggunakan ‘fasilitas’ yang diberikan Allah kepada musafir, meringkas jumlah rakat dengan qoshor. Alhamdulillah, tidak ada ibadah yang tertinggal.
Bus mini berangkat lagi. Tadinya saya mengira jarak antara Patyin ke Bangkok hanya sekitar enam jam saja. Ternyata butuh sepuluh jam untuk mencapai Bangkok. Hamper sama dengan waktu yang dibutuhkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Ini perjalanan yang cukup melelahkan, apalagi kondisi kursi yang kurang nyaman membuat tubuh terasa sakit dan pegal, terutama kaki saya. Sesekali saya ngobrol dengan kedua perempuan Indonesia tersebut. Si ibu bernama Lena Bangun, sedangkan putrinya adalah Alda. Sebetulnya mereka gambaran ibu dan anak yang saling menyayangi, patut ditiru oleh keluarga lain di Indonesia. Alda telah bekerja di sebuah perusahaan, dan ia mengambil cuti agar bisa berjalan-jalan dengan ibunya. Kami lalu sepakat untuk mencari penginapan bersama-sama. Saya bersyukur mendapat teman yang menyenangkan dari negeri sendiri.
Dostları ilə paylaş: |