Istanbul
Tengah hari, hampir pukul satu siang ketika pesawat mendarat di bandara Ataturk Havalimani, Istanbul. Tadinya saya ingin sekali bersama-sama wartawan Republika tersebut. Namun ia sudah dijemput oleh perwakilan pemerintahan setempat. Sedangkan saya, harus mengantri dulu membayar visa sebesar 25 dollar. Saya tidak mengantongi uang dollar dan petugas tidak menerima uang Euro. Saya terpaksa keluar dari antrian, mengambil uang dari ATM, minimal 50 dollar, lalu kembali mengantri dari awal. Duh, sungguh membuang waktu karena antriannya panjang, capek juga. Setelah itu barulah saya memasuki antrian pemeriksaan imigrasi dengan menunjukkan passport.
Ketika saya melihat sekeliling, suasana sudah mulai sepi. Saya bingung juga kemana harus melangkah dalam perantauan ini. Saya belum tahu apa-apa mengenai Turki. Lantas saya teringat percakapan dengan perempuan yang bersuamikan laki-laki Turki tadi, bahwa kawasan yang paling strategis adalah di Taksim. Dia bilang, Taksim sangat fleksibel bagi para turis. Saya keluar dari bandara, sama sekali tidak melihat adanya bus atau angkutan umum kecuali taksi. Daripada berputar-putar di wilayah yang tidak dikenal, saya lalu memilih salah satu taksi dan mengatakan tujuan saya ke Taksim. Saya memilih taksi ini karena ada gantungan Asma Allah di kaca spion dan berharao sopirnya yang masih muda adalah orang yang jujur dan baik hati.
Taksi melaju dengan kecepatan tinggi. Sopir taksi begitu lihai mengemudikan mobil sehingga saya agak was-was juga saat dia menyalip mobil lainnnya. Namun rupanya kebiasaan mengendarai di sini memang begitu, soalnya saya perhatikan sepanjang jalan tidak ada mobil yang berjalan lambat. Bahkan masih ada mobil-mobil lain yang jauh lebih cepat dan dengan tenangnya menguasai jalan raya. Sopir taksi tidak bisa berbahasa Inggris mau pun Arab, bagi saya tidak terlalu menjadi masalah, yang penting dia jujur. Masalahnya sudah banyak saya dengar cerita tentang laki-laki Turki yang agresif. Bahkan konon ada yang menjebak dengan menaikkan beberapa penumpang lain di tengah jalan.
Dari bandara ke Taksim cukup jauh juga, melewati jalan yang panjang. Ada pemandangan laut dan deretan-deretan bangunan kuno. Saya menunjukkan nama dan alamat sebuah hotel backpacker yang saya dapat di internet. Hotel itu ada di salah satu jalan yang ada di kawasan Taksim. Kami tiba di bundaran Taksim. Boleh dikatakan, inilah jantungnya Istanbul. Sopir itu menyusuri jalan sesuai dengan permintaan saya. Sayangnya hotel itu tidak juga kunjung ditemukan, mungkin sudah tidak ada atau berganti nama. Akhirnya saya memutuskan untuk turun dari taksi karena kalau terlalu lama, hanya akan menghabiskan uang saja. Argometer telah menunjukkan angka 40 lira atau 20 Euro. Setelah membayar ongkos taksi, saya termangu-mangu di jalanan memandangi turis yang berlalu lalang.
Taksim dilengkapi dengan beberapa akses perjalanan, ada terminal bus, ada trem dan kereta bawah tanah yang kondisinya bagus-bagus, cepat dan murah. Patung Ataturk ada di suatu sudut. Banyak orang yang berfoto di bawahnya. Taman-taman kecil di sekelilingnya tampak bersih dan terawat. Ada sebuah beberapa hotel bagus di seberang jalan, yang tampak megah dan mewah. Salah satunya bernama hotel Marmara, yang saya duga, tarifnya bisa menguras kantong (belakangan saya tahu hotel ini sangat terkenal dan tamu-tamu elite sering menginap di sini). Saya takkan sanggup tinggal di sana. Namun di antara hotel-hotel itu ada jalan-jalan kecil menurun dimana juga bertebaran hotel-hotel yang jauh lebih kecil. Saya mencoba menyusuri jalan-jalan tersebut.
Setelah naik turun gang, saya belum menemukan tariff yang murah. Tidak ada dari hotel-hotel tersebut yang menawarkan tarif di bawah 100 lira. Saya kembali ke atas, ke bundaran utama dengan kaki yang pegal. Kota Istanbul ini berbukit-bukit, jadi banyak tanjakan dan turunan. Hanya bundaran Taksimnya saja yang cukup rata, seolah diciptakan untuk berkumpulnya para wisatawan. Setelah menarik nafas sejenak, saya melanjutkan pencaharian ke jalan lain, kira-kira 100 meter dari jalan utama. Di sebuah jalanan menurun saya melihat plang sebuah hotel bergaya Amerika, saya lalu ke sana. Hotel Dallas mematok tariff 30 euro atau 60 lira untuk single room. Nah, ini lebih murah dari hotel-hotel tadi. Saya memesan kamar hanya untuk satu malam. Besok saya akan melanjutkan perjalanan atau mencari tempat lain yang lebih murah. Satu hal yang saya pertimbangkan, dua puluh meter ke bawah, ada sebuah masjid.
Hotel ini termasuk hotel tua, kamar saya yang ada di lantai tiga dilengkapi dengan perabot kayu yang sudah kuno. Tapi yang penting adalah kamar mandinya berfungsi dengan baik. Kamar ini menghadap jalan raya, jadi saya bisa melongok keluar dari jendela. Ciri khas hotel-hotel di sini, mempunyai jendela-jendela kaca yang lebar dan dapat dibuka. Demi keamanan, jendela saya kunci dari dalam dan menutup horden. Saya amati kamar ini mudah dilihat juga dari hotel-hotel di seberangnya. Setelah merapikan isi tas, saya turun dari kamar. Saya ingin pergi ke masjid.
Saat itu pukul empat sore waktu setempat, ternyata belum waktunya sholat ashar. Menurut salah seorang laki-laki yang duduk di depan masjid, waktu ashar di sini sekitar setengah lima sore. Saya tetap masuk ke dalam masjid. Di kaki mimbar ada seorang ustadz atau imam yang sedang mengajar tadarus melalui mikrofon. Sedangkan jamaah yang bertadarus adalah beberapa perempuan yang mengikuti dari lantai dua, khusus perempuan. Imam tersebut tidak bisa berbahasa Inggris, tetapi memberi isyarat agar saya bergabung dengan perempuan-perempuan lainnya.
Menunggu datangnya maghrib terasa sangat lama. Adzan maghrib baru terdengar kira-kira pukul 19 45. Sinar matahari memang masih benderang walau waktu telah menunjukkan pukul tujuh sore. Saya membeli burger di kios jalanan yang harganya berkisar 1 atau 2 lira. Sedangkan air putih mineral ukuran sedang atau 500 ml, hanya 50 sen, cukup murah. Setelah sholat, saya jalan-jalan ke alun-alun Taksim yang sedang ramai karena adanya festival Ramadhan. di tempat ini digelar bazaar yang menjual beraneka macam barang, dari souvenir hingga makanan. Di tengah-tengah berdiri sebuah panggung yang cukup besar untuk live music ramadhan.
Saya kembali ke hotel ketika adzan isya. Saying tak ada perempuan yang melaksanakan ibadah shalat tarawih di masjid. Rupanya di sini tidak lazim jika perempuan ikut tarawih berjamaah. Jangankan perempuan, laki-laki yang mengikuti sholat saja tidak banyak, hanya tiga shaf. Saya merasa heran, apakah orang-orang Turki memang sudah tidak taat beribadah, padahal negara ini dikenal sebagai negara muslim. Penduduk yang beragama islam, sekitar 70 persen. Orang-orang justru memerhatikan saya dengan aneh. entah karena wajah saya yang berbeda atau karena saya adalah perempuan yang menjalankan sholat di masjid.
Sebagai pendatang, saya ingin juga menikmati suasana seperti para wisatawan lain. Semakin malam semakin ramai. Jalan-jalan dipadati oleh para turis asing. Rupanya mereka baru keluar pada malam hari, entah karena bulan ramadhan atau karena cuaca di siang hari sangat panas bagi mereka. Saya merasa pendek dibandingkan dengan turis-turis bule. Padahal untuk ukuran orang Indonesia, saya termasuk perempuan yang cukup tinggi . Saya melihat-lihat bazaar dan tertarik dengan segala pernak pernik yang dapat dijadikan souvenir. Ada berbagai macam perhiasan, syal atau selendang. Bahkan ada gantungan kunci atau boneka yang berpakaian tradisional Turki. Saya membeli seperangkat gelang untuk keponakan-keponakan perempuan.
Setelah puas melihat-lihat bazaar, saya duduk-duduk di susunan tangga alun-alun. Tempat ini memang paling enak untuk nongkrong. Para wisatawan berjejer menikmati suasana sambil memakan sesuatu atau sibuk mengambil gambar dengan kamera. Kali ini saya juga membawa handy cam kecil yang digunakan untuk merekam perjalanan. Apa pun yang kita lakukan, tidak ada yang akan peduli. Karena semua turis bisa saja berlaku macam-macam. Ada yang menari dan berjingkrak-jingkrak di tepi jalan mengikuti irama musik dari sebuah panggung kecil. Ada pula yang asyik bergerombol menggoda gadis-gadis cantik yang lewat. Pada pukul sebelas malam, saya meninggalkan bundaran Taksim. Sebelum kembali ke hotel, saya membeli dua buah burger dan air mineral untuk sahur nanti. Namun saya baru tertidur di atas jam dua belas malam. Saya bangun untuk sahur pada pukul 03.40 dini hari.
Saya tidur lagi ba’da shubuh sampai saatnya sholat dhuha. Saya juga menunaikan sholat istiqoroh untuk meminta petunjuk Allah, apa yang bisa saya lakukan pada hari ini. Terutama bagaimana caranya menemukan petunjuk yang dapat mengarahkan saya ke tempat perahu nabi Nuh. Saya telah mencoba mencari keterangan pada resepsionis hotel mau pun orang-orang sekitar, tetapi tak ada satu pun yang dapat memberi keterangan yang saya butuhkan. Jadi tidak ada harapan kecuali meminta pertolongan Allah yang Maha mengetahui. Sebab Dia lah yang telah menuntun saya datang ke negeri ini.
Istanbul masih sangat sepi pada pukul sembilan pagi. Kehidupan di sini, sebagaimana negara Eropa lainnya baru berdenyut pada pukul sepuluh. Jadi saya menyusuri jalan dengan tenang sambil melantunkan zikir Asmaul Husna agar memperoleh petunjuk yang benar. Saya memutari sebuah taman yang cukup luas, di belakang alun-alun. Tidak banyak bunga yang ada di taman ini, mungkin jenis tanaman bunga memang kurang tersedia di Negara ini. Hanya ada beberapa kolam, dimana burung-burung kecil mandi dan bermain air. Keluar dari taman, di sisi jalan yang belum saya lewati kemarin. Sebuah toko yang menjual majalah dan Koran sudah buka. Saya melihat ada peta Istanbul dan peta Turki yang dijual. Saya lalu membelinya. Buku peta memang merupakan bekal yang cukup penting bagi seorang turis.
Saya bermaksud kembali ke hotel. Namun ketika melewati patung Ataturk, saya melihat sekelompok anak muda. Menilik wajah mereka, kok seperti orang-orang Indonesia. Saya menyapa mereka. Betul saja, mereka adalah anak-anak muda yang masih menjadi mahasiswa di Istanbul. Dua orang adalah mahasiswa yang sudah lama tinggal di Istanbul dan fasih berbahasa Turki, yaitu Yan dan Medi. Yan adalah mahasiswa pasca sarjana, sedangkan Medi, baru menginjak tahun kedua di ITU (Istanbul Technology Universite). Walau begitu, Medi sangat menguasai kota ini karena tinggal di Istanbul sejak masih sekolah SMA.
Dua orang lainnya, adalah Bayu dan Puput, yang mengikuti program kuliah musim panas selama dua bulan di Ankara. Mereka datang ke Istanbul setelah kuliah musim panas tersebut selesai dan ingin memanfaatkan waktu yang tersisa dengan berwisata ke kota ini. Kota Istanbul memang merupakan kota wisata utama di Turki, lebih terkenal dari Ankara yang menjadi ibukota. Karena itu, sungguh sayang jika datang ke negara ini tanpa singgah di Istanbul. Di Ankara, Puput dan Bayu telah belajar bahasa Turki.
Sedangkan tiga mahasiswa lainnya yaitu Rani, Nikita dan Romel baru datang dari Indonesia untuk mengikuti program exchange selama satu semester di Universitas Sabanci. Universitas ini adalah perguruan tinggi swasta yang paling bergengsi di Istanbul. Pemiliknya adalah seorang konglomerat yang mempunyai gurita bisnis dalam berbagai bidang, termasuk super market dan transportasi. Mereka bertemu di tugu Ataturk dengan pengarahan Yan, sebagai mahasiswa paling senior. Yan dan Medi mencarikan penginapan sementara untuk adik-adik yuniornya sebelum membawa mereka berjalan-jalan untuk mengenal kota Istanbul.
Bertemu dengan mereka, merupakan jawaban atas doa saya. Yan adalah orang yang saya butuhkan. Ia banyak tahu tentang berbagai tempat di Turki ini. Saya lalu memutuskan untuk bergabung dengan mereka. Saya minta mereka menunggu sementara saya mengambil ransel dari hotel tempat saya menginap. Bergegas saya merapikan barang-barang, mengembalikan kunci kamar pada resepsionis dan kembali ke patung Ataturk. Mereka masih berada di sana. Senangnya saya, berkumpul dengan anak-anak Indonesia yang baik dan sholeh. Mereka juga sedang berpuasa, kecuali Romel yang beragama nasrani.
Yan dan Medi membawa kami menyusuri jalan Istiklal atau dalam bahasa Turki adalah Istiklal Caddesi. Jalan ini adalah jalan utama bagi para turis. Hotel-hotel, rumah makan dan toko-toko berderet di sepanjang jalan. Kemarin saya belum menjelajahi jalan ini karena berpikir, tarif hotelnya pasti mahal. Tapi saya memang melihat kebanyakan turis lewat dan keluar dari jalan ini. Menurut Yan, kalau yang di pinggir jalan tariff kamarnya mahal. Namun banyak hotel kecil di gang-gang yang masuk ke dalam, termasuk penginapan untuk para backpackers. Semula kami memasuki sebuah hotel backpacker di sudut gang yang dikelilingi kafe-kafe. Sayang kondisinya sangat mencemaskan, kelihatan kumuh dan kotor. Kami melihat kamar mandinya jorok, jarang dibersihkan. Selain itu bau minuman keras juga terasa menyengat. Yan lalu mengajak kami mencari penginapan lain.
Cukup lama juga Yan dan Medi membawa kami keluar masuk gang. Akhirnya ada juga sebuah hostel khusus backpacker yang lumayan murah. Plang nama hostel sangat menyolok karena dihiasi lampu warna-warni, yaitu Chillhout Hostel. Satu kamar ada yang berempat, berenam atau berdelapan. Penginapan backpacker, tidak memedulikan jenis kelamin, laki-laki dan perempuan bisa dicampur dalam satu kamar, tidak dibeda-bedakan. Toilet pun ada di luar, hanya satu di tiap lantai. Sedangkan kamar mandi, hanya ada satu di lantai empat! Jadi harus bergantian jika ingin membersihkan diri. Namun kondisi hostel ini lumayan bersih. Yan menyarankan agar kami mengambil tempat di sana. Kami memesan kamar untuk berempat. Biayanya 13 TL untuk satu orang per malam. Kami tidak bisa langsung masuk kamar, karena masih ada penghuninya. Sambil terkantuk-kantuk di café milik hostel tersebut, kami menanti dengan sabar. Setelah penghuni lama check out dan kamar dibersihkan, barulah kami dapat masuk ke dalam kamar yang ada di lantai dua tersebut. Sebetulnya ada kamar yang kosong di lantai lima, tetapi kami tak sanggup jika harus naik turun dengan tangga, capek. Hostel ini tidak memasang lift.
Lantai kamar terbuat dari kayu. Kalau di musim dingin, kamar seperti ini lebih hangat. Sekarang sedang musim panas, tanpa AC, udara di dalam kamar cukup pengap. Karena itu jendela kamar dibuka lebar-lebar agar angin bisa masuk. Di dalam kamar tersedia dua ranjang susun untuk empat orang. Saya mengambil tempat di bawah dan di atas saya adalah Puput. Sedangkan ranjang satu lagi diisi Yan dan Bayu. Saya pikir, tak apa bercampur dengan lain jenis, toh kami saling menjaga diri. Saya dan Puput tetap mengenakan jilbab meski tidur. Yan dan Bayu adalah anak-anak yang sopan. Anak-anak lain seperti Rani, Nikita dan Romel, diantar Medi ke kampus Sabanci yang terletak di seberang, yaitu daratan Asia. Kampus itu sangat ketat, tidak sembarang orang bisa masuk ke sana.
Kami istirahat saja sore itu. Bayu sempat tertidur pulas, begitu pula dengan Yan. Udara panas membuat saya lebih banyak berbaring tanpa bisa memejamkan mata. Saya hanya menunggu matahari bergulir. Sholat dhuhur dan ashar dilakukan di dalam kamar. Setidaknya cukup tempat sisa untuk menggelar sajadah di lantai kayu itu. Menurut rencana, kami akan berbuka puasa di halaman Masjid Sultan Ahmet yang terkenal dengan julukan Blue Mosque. Di sana nanti kami juga akan bertemu dengan mahasiswa-mahasiwa Indonesia lainnya.
Pada musim panas, matahari memang bersinar lebih lama di daratan Eropa. Karena itu adzan maghrib baru akan berkumandang pukul 19 45. Kami baru keluar dari hostel pukul 18.30, suasana di luar masih cukup terang dengan matahari senja. Sebelum menuju masjid Sultan Ahmet, kami membeli bekal makanan dulu untuk berbuka puasa. Di masjd itu tidak banyak yang menjajakan makanan seperti halnya di masjid Istiqlal Jakarta. Yan menyarankan kami membeli sejenis kebab dan beberapa botol minuman di salah satu kedai yang ada di Istiklal Caddesi. Kebab di sini berukuran besar, karena selera makan orang Turki jauh lebih besar daripada orang Indonesia.
Dari bundaran Taksim, kami turun ke bawah tanah untuk naik trem. Stasiun trem dan kereta memang ada di bawah tanah. Trem itu sangat modern dan nyaman, saya suka menaikinya. Kami tidak perlu beli tiket karena Yan memiliki kartu bermagnet / tiket khusus untuk naik trem yang dapat dibeli satu bulan sekali (semacam abunemen). Dalam waktu hanya 10 menit kami tiba di stasiun tujuan yaitu Kabatas. Setelah naik ke atas, dari stasiun Kabatas, kami lanjutkan dengan menggunakan tramway menuju Sultan Ahmet.
Baru saja kami melangkah memasuki taman di sekitar Sutan Ahmet ketika adzan maghrib terdengar. Kami segera mengambil tempat di salah satu sudut taman dan membuka bekal yang dibawa. Saya memperhatikan sekeliling. Masya Allah, begitu banyak orang yang berada di sini. Saya taksir jumlahnya mungkin ribuan orang, karena taman ini sangat luas. Memang tidak semua orang berbuka puasa, karena ada turis-turis lain yang berbeda agama. Rupanya banyak orang yang memanfaatkan momentum berbuka puasa dengan berpiknik di halaman Sultan Ahmet. Buktinya, banyak orang yang menggelar tikar di rerumputan. Hampir tidak ada tempat yang kosong, semua terisi oleh para pendatang.
Di satu sisi, saya menyayangkan Masjid yang sekaligus obyek wisata terkenal ini. Banyaknya turis sangat campur aduk, ada yang berpakaian minim sampai yang menggunakan cadar. Sangat sulit untuk memantau dan mengendalikan mereka. Di masjid Istiqlal, jika mengenakan pakaian yang tidak sopan pasti akan ditegur, meski masih di halaman. Sedangkan di sini turis yang terbuka auratnya dibiarkan saja berkeliaran di halaman masjid. Mereka tanpa sungkan-sungkan berfoto di dekat masjid dengan pakaian seadanya.
Kaum perempuan agak sulit mengambil air wudhu untuk sholat. Toilet dan tempat berwudhu yang disediakan ada di sisi lain masjid dan akan memakan waktu jika ke sana, karena harus mengambil jalan memutar, belum lagi jika harus mengantri. Saya mengikuti beberapa perempuan lain yang mengambil air wudhu di bawah tangga atau lorong masjid, yang banyak berderet. Biasanya hanya untuk laki-laki, karena cukup terbuka. Dalam kegelapan malam dan dinaungi rimbunya dedaunan, cukup melindungi perempuan yang bersuci di sana. Ba’da sholat maghrib, ada khotib yang berceramah di mimbar. Sayang jamaah yang mendengarkan sangat sedikit, kebanyakan keluar lagi untuk bersantai di halaman masjid.
Satu hal yang membuat saya heran, kebiasaan yang ada di masjid Sultan Ahmet ini. Ketika adzan isya berkumandang, sang penceramah sama sekali tidak menghentikan ceramhanya. Ia terus saja berbicara panjang lebar. Sehingga suaranya yang menggunakan mikrofon, bersaing dengan suara adzan. Aneh sekali! Menurut Yan, di sini memang begitu, penceramah tidak peduli dengan waktu adzan, kalau masih mau berbicara, dia tidak mau menghentikan ceramahnya. Lho, padahal kita diajarkan untuk menghentikan kegiatan saat mulai terdengar adzan dan bersiap-siap untuk melaksanakan badah sholat. Saya jadi merasa kurang sreg berada di masjid ini.
Yan menyeritakan bahwa penduduk muslim di sini sangat jarang yang mempelajari atau mendalami agama. Islam ini akibat kepemimpinan Ataturk di masa lalu yang sangat berkiblat pada Eropa Barat. Sendi-sendi kehidupan Islam diabaikan, hanya menyentuh permukaan saja. Bahkan pada masa itu, sholat bukan merupakan kewajiban. Ada persepsi yang ditanamkan bahwa sholat hanya perlu dilakukan oleh orang miskin! Masya Allah, pantas saya melihat masjid-masjid begitu sepi dari jamaah. Hal yang menyimpang lainnya, muslimah dilarang menggunakan jilbab. Kalau ada yang berani berhijab, akan ditangkap oleh petugas. Peraturan ini baru dilonggarkan setelah tahun 1998. Namun masih banyak para pengikut Ataturk yang mempertahankan kebiasaannya, termasuk para tentara.
Masih banyak hal-hal yang mengandung bid’ah yang terus berlangsung dalam kehidupan masyarakat Turki. Mereka menganggap minum minuman keras seperti anggur adalah syah dan halal. Sungguh miris mengetahui bahwa bermabuk-mabukan di halaman masjid adalah sesuatu yang lazim terjadi di Istanbul. Di bulan ramadhan pun banyak orang islam yang tidak menjalankan ibadah puasa. Aduhai, saya berseru dalam hati. Betapa negara ini membutuhkan sentuhan dakwah para ulama dan cendekiawan dari Indonesia! Saya berharap nantinya akan ada para habaib yang datang khusus ke sini untuk menegakkan agama islam sehingga bisa mencapai kejayaan seperti di masa Ottoman atau zaman Utsmaniyah dahulu. Saya sedih jika Sultan Ahmet, masjid yang megah ini hanya sebagai simbol masa lalu, hanya sekedar tempat wisata, bukan pusat kegiatan umat islam.
Selesai sholat, kami tidak langsung kembali ke hotel, tetapi bertemu teman-teman Indonesia lainnya di dekat air mancur. Kolam air mancur ini di malam hari sangat indah karena bisa berubah-rubah warnanya. Kami sempat berfoto-foto dengan latar belakang air mancur, dengan memilih warna yang kita inginkan. Sayangnya, pencahayaan kamera kurang kuat sehingga hasilnya kurang memuaskan. Setelah puas berkeliling, kami lalu kembali ke Taksim. Sebelum ke hostel,kami membeli makanan dahulu untuk sahur.
Pada waktu sahur, sulit sekali membangunkan anak-anak itu, terutama anak laki-laki. Saya jadi berfungsi sebagai orang tua di sini. Kalau Puput lebih mudah dibangunkan, tetapi Yan dan Bayu harus diguncang-guncang tubuhnya. Setelah berhasil melek, mereka langsung menyantap makanan tanpa cuci mulut lebih dahulu. Dasar jorok, makanannya diberi bumbu iler deh. Saya hanya tersenyum geli menyaksikan mereka makan. Saya dan Puput mandi sebelum shubuh dengan pertimbangan selagi kamar mandi kosong. Kalau mentari sudah terang, tentu penghuni lain juga akan berebut kamar mandi yang cuma ada satu di lantai empat. Jadi kami berdua sudah tenang, bisa tidur nyenyak setelah sholat shubuh.
Seperti biasa, saya terbangun untuk sholat dhuha. Namun ketiga anak itu sama sekali tidak bergeming. Mereka baru mulai menggeliat menjelang jam dua belas siang. Bangun tidur, Yan dan Bayu mandi bergantian. Untung antriannya tidak banyak lagi. Setelah bebenah dan berganti baju, kami kembali pergi ke kawasan masjid Sultan Ahmet. Setelah itu mengunjungi Hagia Sophia, yang boleh dikatakan letaknya tak jauh dari Sultan Ahmet. Harga tiket masuk sebesar 20 lira. Saya berhutang dulu pada Puput karena uang lira saya habis. Sedangkan bagi para mahasiswa, mendapat potongan khusus dengan menunjukkan identitas mahasiswa.
Hagia Sophia, semula adalah sebuah gereja besar dan diubah menjadi masjid oleh Sultan Ahmet. Uniknya, pemugarannya tidak sampai tuntas sehingga masih ada gambar Yesus dan Bunda Maria di dinding dan di langit-langit gedung. Padahal, sudah digantungkan Asma Allah dengan ukuran besar, sepasang dengan nama nabi Muhammad SAW. Begitu pula di sekeliling putaran dinding, sudah bertuliskan Asmaul Husna yang lain. Sisa-sisa peninggalan kejayaan nasrani dapat terlihat di lantai dua, yang masih menyimpan ornament dan lukisan-lukisan yang menggambarkan kehidupan Yesus serta kekaisaran di masa lalu.
Sebagaimana turis yang lain, saya takjub dan kagum pada bangunan itu. saya mengamati dengan cermat berbagai keterangan yang ada, baik di lantai satu mau pun balkon lantai dua. Sangat menarik untuk mengambil gambar-gambar di sini. Puput dan Bayu begitu rajin memainkan kamera. Tampaknya Bayu sangat hobi dengan fotografi. Ia mengambil gambar dari berbagai sudut. Menurut penuturan Yan (yang juga berfungsi sebagai guide kami bertiga), pemugaran Hagia Sophia tidak diselesaikan karena Sultan Ahmet telah memerintahkan untuk membuat masjid yang baru, yaitu masjid yang sekarang bernama masjid Sultan Ahmet atau Blue Mosque.
Keluar dari Hagia Sophia, kami menunaikan sholat dhuhur di masjid Sultan Ahmet. Para turis asing yang beragama lain diperbolehkan masuk ke dalam masjid dengan kerudung dan rok lebar yang dipinjamkan petugas. Mukena yang saya kenakan sempat menjadi pusat perhatian. Di Turki memang tidak ada mukena atau rukuh, kaum perempuan sholat hanya dengan mengenakan rok lebar panjang dengan pakaian biasa asal tidak terbuka. Karena itu mukena dipandang sebagai sesuatu yang aneh dan langka. Mereka mengira itu semacam seragam untuk sholat. Namun mereka menilai bahwa mukena saya indah.
Usai sholat, kami melanjutkan kunjungan ke istana Topkapi. Istana ini dulu menjadi tempat tinggal para sultan yang berkuasa. Letaknya dekat saja, ada di sebelah kanan belakang Hagia Sophia. Memasuki gerbang istana, ada pemeriksaan yang cukup ketat, tas harus dibuka dan diperlihatkan isinya. Ternyata istana ini mempunyai halaman yang sangat luas. Di salah satu sisinya adalah pemandangan laut Marmara yang indah. Sedangkan pohon-pohon begitu rindang menaungi jalan yang menuju pusat istana. Banyak turis yang duduk-duduk dulu di rerumputan sebelum masuk ke dalam gedung. Kami juga begitu sambil mengabadikan diri dalam jepretan kamera.
Tiket masuk ke dalam istana, sama dengan Hagia Sophia yaitu sebesar 20 lira. Saya iri pada Yan, yang dengan kartu mahasiswanya hanya membayar murah. Lagi-lagi saya meminjam uang kepada Puput agar bisa masuk ke dalam Topkapi. Wah saya ketularan pemerintah yang suka berhutang nih. Setelah menjalani pemeriksaan, kami memasuki gedung utama. Ternyata tiap ruangan menyimpan barang yang berbeda. Ada ruangan khusus pakaian, ada ruangan khusus perhiasan, dan ruang khusus senjata kerajaan, serta dilengkapi pula dengan ruang pertemuan-pertemuan. Setiap ruangan dijaga oleh satu orang petugas keamanan yang dengan cermat memperhatikan para pengunjung. Bahkan petugas itu ikut berputar seiring dengan putaran wisatawan yang mengelilingi ruangan.
Beberapa kali kami bertemu dengan orang Indonesia yang kebetulan memang berwisata ke Turki. Ada yang mengikuti paket wisata, ada ada yang mandiri. Ada seorang perempuan yang begitu gembira melihat kami, seakan-akan melihat saudara yang hilang. Mereka tampak iri kepada kami yang tampak lebih bebas melihat-lihat tanpa harus dipandu oleh orang lain. Berkat Yan yang sudah demikian hapal dengan situasi istana, kami jadi lebih banyak tahu ketimbang turis lainnya.
Ada satu teras di sudut istana yang menghadap kelaut. Istana ini berdiri di atas tebing, sehingga pemandangan yang terbentang tampak begitu indah. Semua turis memanfaatkan pemandangan itu sebagai latar belakang foto mereka. Demikian pula kami yang bergantian memegang kamera. Saya membayangkan jika tinggal di sini, kalau pagi atau petang, bisa minum kopi sambil menikmati kapal-kapal laut yang menyusuri selat Bosphorus. Saya akan betah berlama-lama di teras ini, apalagi jika dilayani oleh para dayang-dayang….
Butuh waktu kurang lebih dua jam jika ingin benar-benar melihat seluruh koleksi musiun istana Topkapi ini. Bayu berbakat menjadi peneliti, setiap benda yang dilihatnya diperhatikan dengan seksama. Sedangkan Yan, karena sudah berkali-kali memandu adik-adik mahasiswa, merasa bosan, ia lebih suka menunggu di luar, duduk di bawah pohon. Saya juga mulai merasa pegal karena berdiri dan berjalan terus menerus. Karena itu ada beberapa ruangan yang tidak saya masuki, toh koleksi yang dipajang tampaknya kurang menarik. Saya lantas mengikuti Yan, duduk sambil melonjorkan kaki untuk istirahat sejenak. Kami tinggal menunggu saja Puput dan Bayu yang masih asyik di dalam gedung.
Ruangan terakhir yang akan kami masuki, adalah ruangan yang sudah mendekati pintu keluar. Justru ruangan ini kelihatan penuh sesak sampai antrian membludak keluar. Saya penasaran, apa sih yang dipamerkan di dalamnya sehingga banyak orang berjejal berusaha masuk lebih dahulu. Saya menyelipkan diri di antara mereka, tanpa menunggu Puput dan Bayu. Setelah berada di antrian ebebrapa menit, baru bisa masuk perlahan-lahan ke dalam ruangan. Antrian berjalan sangat pelan. Sepertinya orang-orang memandangi barang-barang pajangan selama mungkin. Saya menjadi bertambah penasaran.
Akhirnya saya tiba juga di deretan etalase kaca yang menyimpan benda-benda pusaka. Subhanallah. Pantas saja orang berlama-lama di sini, sebab yang dipamerkan adalah barang-barang peninggalan Rasulullah Nabi Muhammad SAW! Ada sandal bekas, ada pedang yang dipakai untuk berperang, ada jubah dan pakaian sehari-hari bersama kotak penyimpannya, ada bekas tapak kaki di atas batu. Bahkan ada sejumput rambut Rasulullah yang konon dibagikan kepada para sahabat setelah Rasulullah memotong rambut. Entah bagaimana dikumpulkan kembali oleh kesultanan Ottoman. Saya merinding, jantung saya berdebar keras. Saya merasakan aura kehadiran Nabi Muhammad di dalam ruangan ini. Tanpa sadar setitik air mata jatuh dari sudut mata, terharu menyaksikan semua ini.
Di samping benda-benda milik Nabi Muhammad, ada pula peninggalan tongkat Nabi Musa. Selain itu, benda yang masih terpelihara dengan baik adalah mushaf Alquran, yang dahulu kala ditulis dengan tangan. Ada pula pedang para sahabat seperti Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib dsb. Sungguh luar biasa Sultan Ahmet bisa mengumpulkan semua ini. Kalau tak salah, saya pernah mendengar benda-benda ini dipamerkan di Indonesia, dengan kerjasama kebudayaan antara Turki-Indonesia. Namun saya luput untuk melihatnya.
Di salah satu etalase kaca deretan terakhir, saya melihat sebuah sajadah, karpet dan jubah perempuan yang lusuh compang-camping, banyak tambalan. Saat saya membaca keterangan yang tertera di bawahnya, saya kaget. Sebab jubah itu adalah milik Siti Fatimah, putri Rasulullah. Masya Allah, begitu sederhananya pakaian seorang putri Nabi. Saya memang membaca bahwa Fatimah hidup sangat sederhana bersama suaminya Ali. Mereka hanya tidur dengan selembar tikar lusuh dan sering berpuasa untuk menghemat makanan. Saya sungguh terharu melihatnya, teringat bahwa begitu banyak perempuan yang tidak menyukuri apa yang dimilikinya. Merasa masih kurang cukup walau lemari sudah penuh dengan pakaian. Mudah-mudahan saya bisa meneladani putri Rasulullah.
Saya segera keluar dari ruangan karena tak dapat menahan keharuan, duduk di bawah sebuah tiang penyangga istana. Betapa saya merasakan bahwa orang-orang yang saya hormati dan saya cintai begitu dekat. Saya menarik nafas dalam-dalam untuk mengendalikan perasaan yang berkecamuk di dada. Dalam hati saya berterima kasih kepad Allah yang telah memberi kesempatan untuk melihat benda-benda bersejarah tersebut. hal itu memacu saya untuk lebih giat lagi menjalankan perintah Allah dan Rasulnya, terutama dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Yan, yang tadinya menunggu di bawah pohon lalu bergabung dengan saya . Namun Puput dan Bayu lama sekali keluarnya, tak diragukan lagi kedua anak itu pasti terpukau melihat semua benda yang dipamerkan. Sayangnya dengan kepadatan pengunjung, sangat sulit memotret dengan kamera karena kalau berhenti sebentar saja dari antrian, maka petugas keamanan akan menegur. Saya yakin Bayu yang hobi fotografi tak punya kesempatan mengabadikan benda-benda tersebut.
Hampir setengah jam barulah Puput dan Bayu muncul di pintu keluar. Wajah mereka tampak menunjukkan kekaguman. Dan komentar pun meluncur dari bibir kedua anak tersebut. saya menanggapinya karena merasakan hal yang sama. Sedangkan Yan hanya tersenyum-senyum. Ia sudah tak heran lagi melihat orang-orang seperti kami yang takjub dengan peninggal benda-benda bersejarah milik Rasulullah. Kami lalu menuju pintu gerbang. Setelah lewat pukul lima sore, pintu ini akan ditutup, pengunjung tidak boleh lagi masuk, dan yang masih di dalam istana, akan digiring keluar.
Dari istana Topkapi, kami mendatangi kuil Medusa. Kuil ini juga masih dalam satu area dengan masjid Sultan Ahmet. Kuil yang dibuat pada masa Byzantium ini masih kokoh dan terpelihara dengan baik. Kuil Medusa tidak begitu kelihatan dari permukaan tanah, kecuali loket tempat membeli tiket. Ya, kuil ini memang ada di dalam tanah, kita akan melewati lorong tangga yang menjorok ke dalam bumi. Harga tiket sama dengan tempat-tempat sebelumnya. Lagi-lagi saya mengandalkan Puput untuk membayar tiket saya. Mereka sungguh beruntung dapat menghemat dengan harga mahasiswa.
Setelah menuruni tangga maka tampak deretan tiang-tiang kuil yang tinggi dan kokoh. Seluruh kuil didominasi oleh air. Jalan yang disediakan untuk turis hanya selebar dua meter, dibangun di atas kolam yang berisi air dengan ribuan ikan. Sepertinya ikan-ikan ini dianggap keramat, sebab tak ada yang berani mengambil ikan-ikan tersebut. Namun ikan-ikan ini akan muncul jika pengunjung melempar makanan. Sementara itu, tiang-tiang yang menyangga kuil setinggi lebih dari sepuluh meter tampak menyimpan misteri, apalagi cahaya lampu dibuat temaram dan jatuh berkilauan di permukaan air. Kalau tidak salah, Jacky Chan pernah menggunakan kuil ini untuk salah satu filmya. Sungguh hebat dia bermain kungfu di antara tiang-tiang di atas air. Saya memang salah satu penggemar aktor tersebut
Kami menemukan Medusa di sebuah pojokan yang paling gelap. Medusa adalah dewi berkepala ular dalam mitos Yunani. Konon dalam sebuah perkelahian, Medusa kalah dan salah satu kepalanya terlempar kemari. Karena itu para pemujanya membangun kuil itu di sini. Kepala Medusa persis ada di kaki salah satu tiang dengan posisi terbalik, menghadap langit. Para wisatawan banyak memotret kepala Medusa. Ada suasana mistis di sini, suasana yang tidak biasa. Jelasnya saya merasakan kehadiran makhluk-makhluk lain yang tinggal di dalam kuil. Saya berpikir tempat ini cocok sekali untuk uji nyali, salah satu acara yang ada di televisi tanah air.
Saya tidak ingin terlalu lama berada di dalam kuil, bukan karena takut. Tetapi karena tidak ada tempat duduk satu pun yang disediakan untuk turis. Padahal kaki saya sudah capek. Jadi saya naik tangga menuju pintu keluar, dan duduk di atas tangga yang paling tinggi untuk menunggu teman-teman mahasiswa. Memang mereka tidak mudah lelah, masih cukup bugar berjalan ke sana kemari. Mungkin karena perbedaan usia di antara kami. Mereka masih muda, lebih dari sepuluh tahun di bawah usia saya. Seandainya usia saya sama dengan mereka, tentu saya juga masih prima untuk keliling kota dalam sehari.
Kuil Medusa bukan akhir perjalanan pada hari ini. Yan mengajak kami berbuka puasa di pantai, di bawah jembatan Bosphorus yang terkenal itu. Sayangnya, Yan tidak tahu pasti bus yang menuju ke sana. Dia mengajak kami berjalan kaki sejauh empat atau lima kilometer. Masya Allah, benar-benar melelahkan bagi saya. Usia ternyata tak bisa ditipu, saya berkali-kali tertinggal jauh dari mereka yang berjalan cukup cepat. Apalagi Yan, dengan tubuhnya yang kurus kecil, langkahnya sangat ringan. Ia sudah terbiasa mengimbangi kecepatan berjalan orang-orang Turki. Kadang-kadang Puput memperlambat jalannya untuk menemani saya. Gadis itu sungguh baik, ia tidak banyak mengeluh. Saya hanya berdoa dalam hati agar masih kuat berjalan mengikuti mereka.
Kami melewati istana Dolma Bahce yang dipagari begitu tinggi. Istana ini bentuknya memanjang dan menghadap pantai. Istana ini juga dijaga ketat, saya melihat beberapa prajurit yang memegang senjata laras panjang. Ada yang berdiri di pintu gerbang, ada yang di pos jaga, dan ada yang berkeliling. Istana ini dulu juga merupakan salah satu tempat tinggal Sultan. Wisatawan boleh masuk dengan membayar tiket dan mengikuti aturan yang ada. Sebagaimana tempat wisata lainnya, kunjungan para turis dibatasi sampai pukul lima sore. Karena itu kami tidak mampir ke sana. Kami membeli sejenis kebab pada pedagang yang membawa gerobak. Selain itu Yan dan Bayu juga membeli buah anggur dan minuman dari sebuah mini market.
Kelelahan saya terbayar dengan menyaksikan pemandangan indah di bawah jembatan Bosphorus. Jembatan yang menghubungan antara Istambul bagian Eropa dengan Asia ini memang dipenuhi lampu warna-warni dengan air laut di bawahnya, menimbulkan kesan yang romantis. Banyak kafe-kafe kecil bertebaran di bawah jembatan. Ada taman yang juga menyediakan kursi-kursi bagi para pengunjung. Kami duduk saja berjejer di tembok taman yang meninggi, menikmati angina yang bertiup kencang sehingga jilbab yang saya kenakan berkibar-kibar.
Tak lama kemudian adzan maghrib berkumandang dari masjid yang ada di seberang taman. Alhamdulillah, kami segera membuka bekal dan mulai makan dengan rasa syukur. Kebab yang dibeli ternyata tidak seenak kebab-kebab sebelumnya, terlalu banyak bawang bombay. Namun daripada mubazir, kami habiskan juga. Untung ada buah anggur yang bisa menetralisir rasa. Buah anggur di sini jauh lebih murah daripada buah lainnya. Mungkin karena tanah dan udaranya cocok untuk bertanam anggur. Anehnya buah yang mahal adalah pisang. Menurut Yan, pisang dianggap makanan para raja. Lagipula buah pisang didatangkan dari negara lain seperti dari benua Afrika. Padahal buah pisang berlimpah ruah di tanah air. Jenisnya bermacam-macam dan harganya murah. Sungguh Allah memberkati nusantara dengan banyak hal, dan tanpa disadari kita kurang bersyukur akan hal itu.
Kami sholat maghrib bergantian untuk menjaga barang-barang. Saya dan Puput duluan, lalu Bayu dan Yan. Kami cukup lama berada di sana, rasanya cukup betah melihat pemandangan indah yang terbentang di hadapan. Sesekali ada kapal Ferry kecil yang merapat menurunkan penunmpang. Kapal itu hanya singgah lima belas menit dan berangkat lagi ke seberang. Saya ingin sekali naik kapal Ferry itu, mungkin nanti dilain hari. Di dekat taman ada penjual teh manis. Ini mengingatkan saya pada pedagang the dan kopi di sekitar Istiqlal atau lapangan Banteng. Saya kangen minum teh, jadi saya pesan untuk dibuatkan. Teh yang dijual ukurannya sangat kecil, hanya satu gelas sloki, harganya 1,5 TL. Duuh, mana puas minum hanya satu gelas sloki, padahal di Indonesia saya biasa minum dengan cangkir besar atau mug.
Di sisi lain tama nada bazaar pernak-pernik perhiasan dan selendang. Saya dan Puput hanya melihat-lihat sejenak. Harga yang ditawarkan kurang sreg di hati kami, rasanya masih ada tempat yang menjual lebih murah. Kami justru tertarik mencoba makanan sejenis wafel yang berisi buah-buahan campur seperti kiwi, strawberi dll. Harga wafel itu cukup mahal, sebesar 8 TL, karena itu kami patungan. Saya dan Puput patungan masing-masing 4 TL, begitu pula Bayu dan Yan. Wafel itu memang cukup besar dan rasanya enak, kami tidak menyesal membelinya.
Waktu telah mendekati tengah malam ketika kami pulang dengan menumpang bus yang menuju Taksim. Saya bersyukur dalam hati karena tidak perlu berjalan kaki sejauh tadi. Kami tiba di Taksim, Istiklal Caddesi masih ramai dengan lalu lalang wisatawan. Kami membeli makanan untuk sahur di salah satu kedai. Kali ini yang dibeli adalah menu yang berbeda yaitu cofte dan sop corba. Saya pikir ingin makan nasi dengan sesuatu yang berkuah, maka saya membeli makanan tersebut. Untuk itu saya membayar sebesar 8 TL.
Begitu sampai di kamar hostel, tak samapai lima menit, Yan sudah tertidur pulas. Bayu kemudian menyusul. Ah rupanya begini anak-anak laki-laki, gagah di jalan selanjutnya terkapar di tempat tidur. Saya tidur paling lambat, setelah mereka mendengkur dengan nikmat. Pada pukul empat pagi saya sudah terbangun dan kemudian membangunkan anak-anak untuk sahur. Makanan yang saya beli ternyata tidak seindah yang saya sangka. Rasanya sangat aneh di lidah dan menimbulkan perasaan mual di perut. Karena itu, saya tak sanggup menghabiskannya. Puput menawarkan sebagian makananya untuk saya. Yan dan Bayu langsung terlelap kembali setelah makanan habis. Pada pukul enam pagi saya bangunkan mereka untuk sholat shubuh.
Seperti kemarin, anak-anak lelaki baru bangun sekitar jam dua belas siang. Setelah mandi, pukul satu kami keluar hostel. Menurut rencana, kami akan mengunjungi laut hitam yang jaraknya cukup jauh dari Taksim. Kami naik bus berwarna hijau dengan nomor 25 T yang ada di terminal bundaran Taksim. Perjalanan cukup lama, memakan waktu sekitar satu jam. Setelah itu kami tiba di sebuah terminal dan berganti bus nomor 151 dengan tujuan Maden Kilyos. Dengan bus ini, naik turun melewati bukit yang berliku-liku sampai ke Laut Hitam.
Pada umumnya lokasi wisata pantai dipenuhi dengan penginapan dan kafe. Demikian pula dengan area pantai Laut Hitam ini. Namun suasana di sini sangat sepi, kami hanya melihat satu atau dua turis asing yang kebetulan berpapasan. Saya heran, sebab setahu saya pantai sangat digemari oleh para wisatawan. Ketika kami tiba di pantai, saya jadi kecewa. Pantai ini tidak menarik sama sekali. Pasir yang ada di pantai ini tak berwarna abu-abu atau putih sebagaimana pantai-pantai di Indonesia, tetapi berwarna coklat seperti tanah, dan kalau diinjak ambles sehingga agak sulit untuk melangkah.
Masuk wisata pantai ini gratis alias tidak dipungut biaya. Namun tidak ada tempat yang nyaman untuk duduk-duduk di pantai kecuali jika kita membawa alas tikar dari rumah. Saya melihat kawasan wisata pantai laut hitam ini tidak luas, paling hanya sepanjang 500 meter saja. Itu pun sudah dibatasi rambu-rambu bahaya. Lucunya ada banyak toilet yang berjejer di ketinggian tanah di belakang pantai. Saking banyaknya terlihat sangat mubazir karena sebagian besar tampak rusak tak terawatt. Secara logika buat apa membangun toilet begitu banyak karena saya perkirakan wisatawan pasti sedikit dengan luas pantai yang terbatas.
Selain itu, ada penyewaaan kursi-kursi pantai yang digunakan para turis untuk mandi sinar matahari. Kursi-kursi itu juga terlalu banyak digelar padahal saat itu miskin turis. Saya hanya melihat dua turis asing yang sedang membaringkan diri. Begitu kami duduk di salah satu kursi, pemiliknya langsung mendatangi minta uang sewa sebesar 5 lira. Karena tak ada tempat lain untuk duduk-duduk, maka kami terpaksa menyewa kursi itu. Kami tidak berniat berlama-lama di sana, jadi tidak perlu menyewa empat kursi, tetapi hanya dua. Saya dengan Puput dan Bayu dengan Yan. Di tengah-tengah pantai ada sebuah café tempat menjual makanan dan minuman, ada beberapa orang turis yang sedang makan di sana.
Menurut Yan, memang begini sajalah wisata pantai laut hitam, tidak ada sesuatu yang menarik. Berbeda jauh dengan pantai-pantai di tanah air yang begitu indah. Pantai ini sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan Parang Tritis di Yogya, apalagi jika dibandingkan dengan Bali, NTB dan ribuan pantai yang tersebar di seluruh Indonesia. Lucunya, para penjaga pantai di sini sangat over active. Ombak baru setinggi satu meter saja, turis sudah dilarang bermain air laut. Mereka mengatakan sangat berbahaya. Ombak itu kan masih kecil, bayangkan ombak di laut selatan yang biasanya dua atau tiga meter. Mereka belum tahu Indonesia sih. Yan mengatakan, satu-satunya bahaya adalah arus dingin di laut hitam. Jika kita mandi di laut, kadang-kadang ada arus dingin yang menarik tubuh kita ke bawah laut. Suhu di atas air bisa saja 30 derajat celcius, tetapi di bawah air laut hanya 5 derajat. Hal ini menyebabkan kaki kram dan ancaman tenggelam.
Kami hanya ngobrol saja di pantai itu. Bayu mengambil beberapa foto tanpa semangat. Rupanya dia juga tidak antusias dengan pantai ini, tidak banyak obyek foto yang menarik. Sesekali melintas seekor kuda yang ditunggangi oleh seorang turis. Kuda ini juga kuda sewaan, pemiliknya mengikuti dari belakang dengan kuda lain. Timbul keinginan Bayu untuk mencoba naik kuda. Saya tak tahu berapa harga sewa kuda itu, tetapi saya duga lebih mahal dari sewa kursi pantai ini. Memikirkan harga sewa, Bayu membatalkan keinginannya.
Tidak sampai satu jam kami berada di pantai laut hitam, sebab tidak ada yang bisa dinikmati lebih lama. Kami lalu bangkit meninggalkan area pantai. Kantuk telah menyerang, tak mungkin kami tidur di sini. Kami lalu berjalan kembali ke terminal kecil tempat menunggu kendaraan umum atau bus. Tak jauh dari terminal itu ada sebuah masjid yang tampak menarik, kami lalu menunaikan sholat dhuhur di sana. Saya menyukai masjid itu, interiornya sangat cantik, membuat saya merasa betah berada di dalamnya.
Bus yang kami tunggu begitu lama datangnya sehingga angin yang bertiup membuat saya merasa sangat mengantuk. Betapa beratnya menahan kelopak mata agar tidak terpejam. Kalau tidak mengingat rasa malu dengan beberapa orang penduduk asli yang juga menunggu bus, mungkin saya sudah jatuh tertidur di kursi halte. Akhirnya bus yang ditunggu datang juga, kami segera naik. Sayangnya di bus ini tidak bisa tidur karena perjalanan naik turun dan berliku-liku. Setelah berganti bus ke Taksim, barulah kami dapat tidur dengan nyenyak.
Sampai di Taksim, kami tidak langsung balik ke hosteal, tetapi melihat-lihat isi bazaar. Bayu dan Puput berniat membeli beberapa oleh-oleh souvenir sebelum kembali ke Indonesia. Mereka naik pesawat dari Ankara, karena itu besok mereka akan meninggalkan Istanbul dengan menggunakan kereta yang berangkat sore hari. Di bazaar, Puput dan Bayu membeli boneka-boneka berpakaian sufi, pajangan gantungan dan topi khas Turki. Mereka juga membeli pipa merokok yang berbentuk kendi dengan selang panjang itu, untuk oleh-oleh dosen pembimbing. Saya teringat pada dokter gigi langganan saya, lalu membeli sebuah gantungan khas Turki.
Kami sholat ashar di masjid yang berada di tengah-tengah jalan Istiklal. Masjid ini tidak padat oleh jamaah, tetapi selalu ada orang yang datang untuk sholat. Setidaknya masjid ini tetap terbuka sepanjang siang dan sore hari. Setelah itu kami kembali ke hostel untuk meletakkan barang-barang yang tadi dibeli. Menjelang maghrib kami keluar lagi mencari tempat untuk berbuka puasa. Saya menyarankan untuk ke Mc Donald saja, karena rasa makanannya sudah familier, tidak seperti masakan Turki yang aneh di lidah. Saya kapok memakan sop corba seperti kemarin.
Saya memesan paket ramadhan seharga 8,45 lira. Isinya cukup banyak, dua crepes, satu kentang ukuran medium, satu pudding, satu gelas coca cola, satu gelas air putih dengan teh. Puput dan Bayu juga memesan menu ini. Saya makan dengan nikmat. Tidak semuanya dihabiskan, nanti bisa kekenyangan. Satu crepes dikantongi untuk makan sahur. Saya puas makan dengan menu ini. Kami sholat maghrib di masjid kecil yang ada di ujung jalan Istiklal. Setelah itu melihat konser musik ramadhan yang pangggungnya ada di tengah area bazaar.
Banyak pengunjung yang datang menonton konser musik irama khas Turki ini. Kami harus berjejal agar dapat melihat penyanyinya. Namun saya kecewa melihat perempuan yang menyanyi di atas panggung. Konser ini kan konser ramadhan, yang digelar pada bulan suci. Namun penyanyinya tidak mengenakan pakaian yang sopan dan pantas. Ia hanya mengenakan gaun model kemben yang terbuka bahunya. Memang dia cantik, tetapi apa gunanya jika tidak mencerminkan nilai-nilai islami yang seharusnya ditunjukkan dalam rangka ramadhan. Setidaknya artis-artis Indonesia mengubah pakaiannya untuk menghormati bulan suci. Saya jadi tidak respek melihat penyanyi perempuan tersebut, ia justru menebar dosa dengan membiarkan laki-laki melihat bagian tubuhnya yang terbuka.
Lagu-lagu Turki semakin membosankan, sangat tidak variatif. Saya pikir musik di sini ketinggalan zaman, tidak dinamis seperti perkembangan musik di tanah air. Saya bangga pada grup musik Gigi, Ungu, Opick, Hadad Alwi atau Bimbo yang mampu menciptakan lagu-lagu bernuansa islami yang indah dan enak didengar dengan berbagai variasi irama. Saya rasa mereka akan terkejut dan takjub jika sekiranya grup musik Gigi konser di sini. Mereka tidak akan mengira ada lagu dakwah dengan irama rock! Mungkin suatu saat nanti ada promotor yang bisa melakukannya.
Akhirnya kami hanya duduk-duduk di tangga bersama wisatawan lain. Bayu mencoba bercakap-cakap dengan seorang Pria Turki untuk mengasah bahasa yang dipelajarinya selama di Ankara. Sayangnya laki-laki itu ‘kuper’ karena tidak mengenal Indonesia. Ia mengira negara Indonesia itu ada di Afrika! Astaghfirullah, rupanya Indonesia perlu promosi besar-besaran agar tidak dianggap negeri antah berantah.
Setelah puas melihat keramaian malam, kami meninggalkan bundaran Taksim hendak kembali ke hostel. Jalan Istiklal yang begitu padat membuat saya terpisah dengan anak-anak. Saya membeli hamburger dan mineral untuk menu sahur seharga 4,5 lira. Mereka entah membeli makanan dimana, karena saya tunggu di kedai kemarin, tidak nongol juga. Saya pun kembali ke hostel seorang diri. Kunci kamar dipegang Yan, karena itu saya tidak bisa masuk ke dalam. Saya lalu menunggu di kafe hostel sambil menulis beberapa catatan.
Hampir satu jam kemudian mereka baru muncul. Rupanya mereka mencoba membeli makanan di kedai lain dengan menu yang baru. Saya tidak tertarik untuk mencoba menu Turki lainnya, kuatir tidak cocok di lidah. Kami ngobrol dulu di bawah sebelum naik ke kamar. Di dalam kamar kami membicarakan rencana selanjutnya untuk esok hari. Saya akan melanjutkan pencaharian perahu Nabi Nuh dengan beberapa petunjuk dari Yan. Sedangkan Yan akan mengantar Puput dan Bayu ke Ankara. Namun mereka masih akan jalan-jalan mengunjungi taman miniature Istanbul dan pusat perbelanjaan grand bazaar karena kereta ke Ankara baru berangkat pukul lima sore.
Malam itu kami sudah berkemas-kemas, membereskan barang-barang ke dalam tas. Terutama Puput dan Bayu yang perlu merapikan oleh-oleh souvenir agar mudah dan ringkas dibawa. Alat untuk merokok yang mirip lampu aladin yang dilengkapi pipa sebesar selang air itu, tidak muat masuk ke dalam tas, jadi kardusnya hanya bisa diikat dengan tali. Agak ribet, tapi karena itu pesanan dosen, maka Bayu tidak berani menolaknya. Seperti malam kemarin, mereka mudah tertidur pulas. Saya membangunkan mereka untuk sahur dan sholat shubuh.
Kami check out bersama-sama dari hostel. Namun saya memisahkan diri sebelum lepas dari jalan Istiklal. Saya masuk ke kedutaan Perancis untuk mencari tahu, bisakah mengurus visa ke Perancis dari kota ini. Siapa tahu saya nantinya bisa langsung menyeberang ke Eropa Barat. Yan dan Bayu yang berjalan cepat, telah beberapa puluh meter di depan saya. Jadi saya hanya pamit pada Puput. Tujuan kami sudah berbeda sekarang. Puput dan Bayu akan mengunjungi taman miniature dan kalau sempat akan ke grand bazaar karena masih ada pesanan dosen yang belum ditemukan.
Di kedutaan Perancis, saya menemui seorang petugas berseragam yang sangat ramah. Ia menerangkan bahwa mengurus visa ke Perancis lebih sulit karena saya orang Indonesia. Dia kuatir saya tidak akan bisa memenuhi persyaratan-persyaratan yang diminta. Petugas itu malah menyarankan agar saya pulang ke Indonesia dan mengurus visa dari tanah air karena jauh lebih mudah. Dalam hati, kalau tahu begitu lebih baik saya urus sendiri sejak sebelum berangkat. Namun tidak ada waktu untuk mengurus visa ke Perancis, karena akan memakan waktu dua minggu. Sedangkan saya sudah akan berangkat ke Turki.
Penjelasan tentang visa selesai, tetapi petugas laki-laki itu justru senang mengobrol dengan saya. Ia menyatakan keinginannya untuk datang ke Indonesia. Bahkan ia telah mengajukan proposal permintaan agar dipindahkan ke Indonesia. Petugas yang ramah ini sudah sering mendengar tentang negeri kita dari teman-temannya. Mereka telah menyeritakan bahwa di Indonesia memiliki laut-laut yang indah dengan gelombang yang besar. Sangat sesuai untuk surfing. Olahraga yang sangat digemari laki-laki ini. Ia ingin sekali merasakan surfing di laut Indonesia. Saya menjadi bangga mendengarnya. Saya senang jika ada orang yang mengagumi negeri saya.
Akhirnya saya memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan saya menuju perahu Nabi Nuh. Saya berpegang pada petunjuk-petunjuk dari Yan. Kemudian saya turun ke stasiun trem. Tanpa Yan yang memiliki kartu magnet, maka saya harus membayar sendiri. Ongkosnya sebesar 1,5 TL. Uang itu harus dimasukkan ke dalam mesin khusus yang akan mengeleluarkan sebuah koin. Koin itu yang akan membuka besi-besi berputar (pntu loket yang seperti di mal). Saya naik trem ke Kabatas.
Dari Kabatas, saya beli koin lagi dengan harga sama dengan tujuan Zeytinbunru. Rupanya tujuan saya cukup jauh, karena telah melewati Sultan Ahmet dan banyak stasiun lainnya. Hamper satu jam barulah saya tiba di Zeytinbunru, yang ternyata tujuan akhir dari trem ini. Saya harus pindah lagi ke Metro way, sebuah kereta yang akan membawa saya ke terminal Otogar. Ongkosnya juga sama, jadi saya tidak boros. Terminal Otogar ini adalah terminal terbesar di Istanbul tempat berkumpulnya bus-bus yang keluar kota. Bahkan ada yang keluar negeri (negeri tetangga) seperti Bulgaria dan Yunani.
Jalan kereta ini semakin menurun ke lorong bawah tanah ketika mendekati terminal Otogar. Jadi stasiunnya persis di bawah terminal Otogar. saya suka sekali menikmati petualangan baru ini. Saya lalu naik ke atas, tempat bus-bus luar kota. Terminal ini lebih luas dari terminal kampong Rambutan. Di atas, saya mencari-cari shlter bus yang menuju Vangolu. Ada beberapa orang yang saya Tanya, tetapi tidak mengerti bahasa Inggris. Namun ketika saya menyebut Vangolu, seorang pemuda menunjuk sebuah biro dimana bus Vangolu mangkal. Dengan rasa syukur saya langsung ke biro travel tersebut.
Kantor-kantor atau biro perjalanan yang mengoperasikan bus-bus ini memang berjejeran sampai mengelilingi terminal, sesuai dengan tujuannnya masing-masing. Bus yang saya cari ternyata berangkat sore hari, jadi saya masih harus menunggu lama. Sebelumnya saya sudah memesan tiket dengan bahasa isyarat, sebagai turis, saya harus menunjukkan passport. Tiket menuju Vangolu sebesar 80 TL. Saya belum tahu seberapa jauh kota ini dari Istanbul. Tapi menilik para penumpangnnya yang banyak membawa tas dan barang-barang, berarti kota ini cukup jauh. Tampaknya saya adalah satu-satunya turis yang menumpang bus ini. Saya berharap tidak mendapat banyak kesulitan di perjalanan.
Saya lalu pergi ke masjid yang terletak di salah satu sudut terminal. Sebelum memulai perjalanan jauh, maka saya menjamak qashar shalat dhuhur dan Ashar. Saya kuatir bus tidak akan berhenti samapai beberapa jam. Karena itu saya harus mencari kesempatan sholat selagi ada masjid. Setelah sholat, saya membeli bekal makanan untuk berbuka puasa di kios dalam terminal. Makanannya adalah dua buah roti, sebotol lipton ice tea dan sebotol air mineral. Semua hanya menghabiskan uang 5 lira, cukup murah. Bekal makanan itu saya simpan di dalam ransel.
Bus berangkat pukul 15.00 sesuai jadual yang ditetapkan. Semula bangku di sebelah saya kosong. Saya mengira bisa leluasa bergerak dengan kosongnya bangku sebelah. Ternyata setengah jam perjalanan, bus berhenti di sebuah tempat, menaikkan beberapa penumpang lagi. Rupanya penumpang-penumpang tersebut telah memesan tempat sebelumnya dan menunggu di jalan yang paling dekat dengan tempat tinggalnya. Begitulah akhirnya ada yang menempati posisi di sebelah saya.
Teman sebangku saya adalah seorang gadis manis yang agak gemuk. Namun walau ia tidak berbahasa Inggris, ia sangat ramah. Kalau ia makan atau minum sesuatu, ia menawarkan pada saya. Saya menjelaskan dengan isyarat, bahwa saya sedang berpuasa. Ia segera meminta maaf karena sedang tidak berpuasa dan makan di hadapan saya. Saya hanya tersenyum dan mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi masalah. Di antara kami terjalin ‘persahabatan tanpa kata’. Kami selalu berdua, baik ketika makan atau ke kamar kecil seakan-akan kami sudah lama saling mengenal. Banyak orang memperhatikan saya yang berwajah Asia. Maklumlah, mereka rata-rata tinggi besar, berkulit putih dan berhidung mancung.
Pukul delapan malam bus berhenti di sebuah rumah makan di pinggir jalan. Restoran ini cukup jauh dari pemukiman, sekelilingnya adalah bebatuan dan semak-semak. Saya pikir, rumah makan ini memang dibangun untuk bus-bus antar kota sebagaimana di tanah air yang ada di sepanjang jalur pantura. Teman sebangku saya memesan teh dan makan malam. Saya berbuka puasa dengan bekal yang tadi dibeli dan sholat maghrib di mushola yang ada di restoran tersebut.
Setelah lepas dari restoran tersebut, sang kondekutr kemudian mengeluarkan kereta dorong. Oh ternyata dia membagikan minuman gratis. Kondektur bus ini memang merangkap pramugara, dengan seragam yang rapid an mengenakan dasi. Ia menuangkan minuman yang kita pinta. Ada kopi, teh atau soft drink, persis seperti di kereta atau pesawat. Tentu saja saya memesan kopi, karena minuman inilah yang paling saya gemari. Gadis sebelah saya hanya memesan segelas teh. Satu-satunya kekuarang di dalam bus ini, tidak disediakan toilet. Padahal untuk perjalanan yang sangat jauh, dan hanya berhenti tujuh jam kemudian, toilet sangat dibutuhkan. Saya jadi tidak berani minum banyak, takut harus buang air di tengah jalan.
Bus berhenti sekali lagi sekitar jam tiga dini hari di restoran yang jauh lebih besar dari restoran pertama. Rumah makan ini sangat lengkap, menyediakan aneka barang-barang yang mungkin dibutuhkan penumpang. Bahkan ada barang-barang kerajinan asli penduduk setempat. Banyak yang unik dan menarik, tapi saya tidak membelinya. Saya kuatir nanti bekal saya habis sebelum waktunya. Saya memesan makanan untuk sahur. Namun harga makanan di restoran itu sangat mahal, tiga kali lipat dari harga biasa. Teman sebangku saya sampai tidak jadi membeli makanan karena kesal. Sedangkan saya, kan memang harus makan sahur, jadi terpaksa membeli sepiring nasi yang mirip nasi goreng karena harganya yang paling murah, segelas teh hangat, sepiring sayuran (yang cuma terdiri dari tomat, timun dan bawang) dan buah anggur. Semua habis 13 lira. Saya menawarkan makanan saya kepada gadis manis itu, tetapi dia menolak. Mungkin dia tidak mau mengurangi makanan sahur saya.
Pagi begitu cerah, matahari menerobos dari sela-sela bukit. Bus melewati jalan yang mulus. Boleh dikatakan perjalanan ini adalah melewati pedalaman di Turki. Tapi yang namanya pedalaman di sini adalah desa-desa kecil yang ada di kaki bukit-bukit cadas. Hampir sepanjang jalan saya melewati bukit-bukit batu cadas. Saya tidak pernah melihat pepohonan besar , yang ada hanya semak-semak. Pohon yang paling besar adalah pohon cemara. Di musim panas, rerumputan mengering dan sulit mencari kehijauan. Tapi bebatuan yang besusun-susun itu, tampak indah juga. Apalagi jika ada satu atau dua rumah penduduk desa. Rumah itu juga terbuat dari batu bukit, dengan bentuk yang sederhana. Penduduk asli biasanya beternak biri-biri karena binatang ini memang bertahan di wilayah bukit cadas. Perjalanan dengan bus ke Vangolu ini sangat melelahkan, memakan waktu 22 jam. Masya Allah, kaki saya sampai bengkak karenanya, dan tulang-tulang seperti mau rontok.
Setelah melalui jalan berbukit-bukit, naik turun dan berliku-liku, maka kami mulai mendekati wilayah Vangolu. Ini terlihat dari pemandangan di sisi jendela. Dari lembah landai di sela-sela bukit, tiba-tiba saya melihat air biru yang begitu tenang. Inilah rupanya bagian dari Vangolu. Saya baru tahu kalau Vangolu itu artinya danau Van. Golu adalah danau dalam bahasa Turki. Danaunya begitu luas seperti sebuah laut kecil sehingga tampak membiru dari kejauhan. Ada desa-desa kecil di tepiannya. Beberapa perahu tampak mengapung di tengah danau. Ujung dari danau itu belum terlihat, karena bentuknya memanjang, sebagian membelah jalan dan hilang di balik bukit. Saya rasa ujungnya tak jauh dari kota Vangolu itu sendiri.
Pada pukul lima sore, bus memasuki sebuah kota kecil. Saya yakin inilah kota Vangolu karena danau tadi telah mencapai ujungnya di sini. Dan ada beberapa hotel berdekatan di tepi danau yang juga sekaligus tepi jalan raya. Tak berapa lama kemudian, bus menyusuri jalan-jalan yang agak kecil, lalu tahu-tahu masuk ke dalam terminal yang tampak sepi. Saya rasa, semua penumpang harus turun di sini. Saya harus mencari informasi lagi di kota asing ini.
Di Vangolu, saya berpisah dengan gadis teman sebangku. Saya melihat seorang pemuda tampan menjemputnya. Agaknya ia telah ditunggu oleh sang kekasih. Mereka berpelukan dengan gembira. Si gadis manis tidak melupakan saya. Ia mengajak saya bersalaman dengan kekasihnya. Kemudian gadis itu memeluk saya erat-erat sebagai tanda perpisahan. Saya jadi terharu. Ia sungguh-sunggguh gadis yang baik. Semoga Allah merahmatinya. Dengan begitu, saya sendiri lagi. Tidak ada yang bisa bisa lakukan kecuali segera mengadu pada Yang Maha Mengetahui. Saya segera bersuci dan mencari mushola yang ada di lantai dua. Di tempat ini saya sempat juga istirahat, meluruskan kaki yang agak bengkak karena terlalu lama di dalam bus.
Saya turun dari mushola sekitar pukul lima sore. Masya Allah, terminal sudah sangat sepi, tak ada penumpang satu pun yang terlihat. Saya hanya melihat beberapa orang yang agaknya sopir dan petugas-petugas agen perjalanan. Saya kebingungan dan bertanya pada beberapa orang. Sudah diduga, jarang yang bisa berbahasa Inggris. Untunglah ada satu pemuda, teman seorang sopir taksi yang bisa berbahasa Inggris. Saya disarankan untuk menginap di hotel karena semua bus hanya ada pada pagi hari. Pemuda itu mengatakan kalau perahu Nabi Nuh ada di Nemrud, yang bisa dicapai dengan sebuah bus yang berangkat pada jam sepuluh. Kalau sudah sore, tidak ada lagi yang berangkat ke luar kota. Taksi itu membawa saya ke hotel murah yang tidak begitu jauh dari terminal. Sopir taksi minta dibayar 15 lira, padahal jarak dari terminal ke hotel itu tidak begitu jauh. Timbul rasa curiga dalam hati, mungkin mereka sengaja ‘nembak’ saya.
Bahaya mengancam
Saya dibawa ke sebuah hotel tua dekat pertokoan dengan tarif sekitar 35 lira semalam. Hotel yang tampak sudah tua itu bernama hotel Tekin. Kecurigaan saya semakin kuat, saya membaca tariff yang tertera di daftar adalah 25 lira. Saya yakin 10 lira adalah komisi untuk si pemuda dan sopir taksi yang membawakan tamu. Namun saya tidak memrotes lebih lanjut. Bahkan saya mengiyakan sopir taksi yang berjanji akan menjemput saya esok pagi. Sebelum maghrib, saya membeli roti dan minuman di toko kue depan hotel. Saya tidak melihat adanya makanan lain yang lebih menggugah selera. Namun hotel itu ternyata kurang aman untuk perempuan. Petugas resepsionis hotel itu, seorang laki-laki yang saya perkirakan berusia 40-an, berusaha merayu saya di ruangannya. Saya menolak dan menunjukkan padanya bahwa saya adalah perempuan baik-baik, dan muslim yang taat. Saya katakan bahwa saya sedang berpuasa dan akan segera menjalankan ibadah shalat. Untunglah dia tak memaksakan keinginan buruknya. Demi menjaga keamanan, maka secepatnya saya masuk ke dalam kamar dan menguncinya rapat-rapat.
Mengingat bahwa hotel ini bukan hotel yang aman, saya kurang tidur dan pagi-pagi sudah berkemas-kemas. Saya ingat teman sopir taksi itu mengatakan bus yang bisa membawa saya ke tempat perahu Nabi Nuh berangkat pukul sepuluh pagi. Pada jam delapan saya sudah siap di lobby hotel menunggu kedatangan mereka. Ternyata setelah ditunggu-tunggu, taksi kemarin tidak datang jua. Nah, ini membuktikan sopir taksi kemarin memang hanya memeras uang saya dan pagi ini tidak berani muncul. Akhirnya saya keluar hotel mencari taksi sendiri di jalan. Alhamdulillah, sopir taksinya jujur dan baik hati. Saya diantar ke terminal dengan baik. Ongkosnya hanya sepuluh lira, berbeda dengan taksi kemarin yang meminta 15 lira.
Saya kembali mencari informasi. Lagi-lagi kendalanya adalah persoalan bahasa, tak ada satu pun petugas terminal atau aparat keamanan yang mengerti bahasa Inggris. Bahkan mereka tidak tahu apa yang saya maksud dengan perahu Nabi Nuh. Mereka hanya menangkap bahwa saya adalah seorang arkeolog yang sedang mencari sisa peninggalan purbakala. Akhirnya salah satu dari polisi menitipkan saya ke sebuah bus yang kebetulan akan berangkat. Saya pasrah, dengan membayar 20 lira saya naik bus itu dengan harapan akan membawa saya pada tujuan yang benar.
Saya duduk seorang diri. Dalam perjalanan bus mengalami pemeriksaan tentara. Maklum sudah mendekati perbatasan dengan Iran, jadi ada penjagaan ketat. Pemeriksaan itu membuat jantung saya berdebar keras. Semua penumpang diperiksa identitasnya dengan seksama, semua kartu akan dibawa ke markas untuk dicek kebenarannya melalui computer satu persatu. Saya orang asing di sini, tidak punya identitas kecuali passport. Kalau mereka membawa saya ke kantor, agak riskan karena saya perempuan. Saya berzikir terus agar saya dibebaskan kesulitan ini. Alhamdulillah, Allah melindungi saya, semua orang diperiksa tetapi tentara itu melewati bangku yang saya duduki tanpa menoleh. Beberapa penumpang memandang saya dengan heran atas kejadian itu, tetapi saya hanya diam saja. Bis tertahan cukup lama karena pemeriksaan tersebut dan kami harus bersabar tanpa mengeluh.
Di sebuah terminal yang cukup besar, bus menaikkan beberapa penumpang. Saya harus pindah tempat karena bangku yang saya duduki ternyata sudah dimiliki nomornya oleh penumpang baru. Tadi saya ditempatkan oleh kondektur tanpa nomor tiket dan saya manut saja. Rupanya ini menimbulkan persoalan. Seorang kondektur baru yang lebih muda naik pula dan memeriksa tiket. Terjadi miss communication, kondektur muda itu mengira saya penumpang gelap dari Afghanistan. Saya dikira pengungsi dari Afghanistan! Masya Allah, saya bukan penumpang gelap, sebelum naik bus ini kan sudah bayar 20 lira, lagipula saya merasa tampang saya sangat Indonesia, sangat Asia. Bagaimana dia bisa menyangka begitu ya, hidung saya tidak mancung seperti mereka dan saya membawa ransel serta berpakaian modern. Bagaimana cara menerangkannya? Untunglah kondektur lama masih ada. Saya lalu melambai padanya agar memberi penjelasan pada kondektur muda tersebut.
Pemeriksaan oleh tentara penjaga perbatasan kembali terulang beberapa jam kemudian di kota kecil lainnya, tetapi kali ini tidak begitu ketat seperti yang pertama. Serdadu yang menghentikan bus kami memaksa ke pinggir. Namun tidak ada tentara yang naik ke dalam bus. Kondektur cukup mengumpulkan kartu identitas penumpang dan menunjukkannya pada prajurit yang bertugas. Saya tidak perlu memberikan identitas, sang kondektur sudah mengerti hal itu. Saya terselamatkan lagi dari pemeriksaan ini. Tentara hanya melihat barang-barang yang berada di bagasi dan kartu-kartu identitas hanya dibaca di tempat. Tidak sampai setengah jam, bus sudah boleh berjalan kembali.
Sekarang bus melintasi wilayah-wilayah yang semakin sepi, jarang sekali berpapasan dengan kendaraan lain. Rumah penduduk yang terlihat hanya satu atau dua buah di atas bukit yang tinggi. Sesekali bus berada di tepian jurang, agak ngeri juga karena kondisi jalan tidak begitu bagus. Beberapa kali kami melihat sekawanan biri-biri, yang merupakan ternak paling banyak di negeri ini. Di antara bukit-bukit ini ada kawasan pemukiman atau desa penduduk yang tampaknya sangat sederhana.
Di sebuah kota kecil saya diturunkan karena bus itu hanya sampai di situ. Dengan isyarat saya disuruh melanjutkan perjalanan dengan bus lain. Melihat saya kurang yakin, kondektur bus yang baik itu memanggil seorang pemuda yang bisa berbahasa Inggris dan memberi penjelasan tentang bus yang harus saya naiki. Saya melanjutkan perjalanan dengan bus lain yang sama besarnya menuju kota Agri yang konon merupakan lokasi terdekat perahu Nabi Nuh..Anehnya, bus sebesar itu hanya mengangkut tujuh orang penumpang. Rupanya jarang orang yang bepergian ke kota tersebut. saya agak cemas juga, kuatir tersesat di pedalaman yang tidak bersahabat.
Saya duduk di bangku sebelah kiri deretan kedua dari depan. Ada pasangan suami istri yang menempati bangku di depan saya. Walau saya merasa heran, karena si wanita tampak jauh lebih tua dari si pria. Namun dengan adanya seorang balita bersama mereka, maka saya meyakinkan diri mereka adalah suami istri. Bocah laki-laki yang berusia sekitar satu tahun itu sangat tertarik pada saya. Ia selalu merambat di bangku dan menegur saya dengan ocehan yang tidak jelas. Saya menggodanya sehingga ia terkekeh-kekeh. Ibunya sampai geli melihatnya. Bocah itu bahkan menggenggam jemari saya erat-erat seakan-akan sudah lama mengenal saya.
Di suatu tempat yang sepi, bus mogok. Wah, ini sungguh di luar perhitungan. Untung tak jauh dari situ ada penjual bensin. Bus berusaha diperbaiki dengan peralatan seadanya. Tidak ada yang bisa membantu karena penjual bensin juga tidak memiliki apa-apa. Bahkan bensin yang dijualnya juga sudah habis. Akhirnya bus bisa berjalan lagi dengan sangat pelan alias agak terseok-seok. Saya berdoa agar bus dapat sampai ke tujuan karena wilayah ini sangat sepi, kami tidak menjumpai makhluk hidup lagi setelah penjual bensin tersebut.
Pukul empat sore, saya tiba di kota Agri. Kota itu memang tidak besar dan sudah tampak sepi. Ternyata di kota ini juga bus-bus tak ada yang kembali ke luar kota setelah jam dua siang. Yah, jadi ini termasuk kota pedalaman, dekat perbatasan Iran. Saya turun dari bus dengan celingukan. Hal pertama yang terlintas di kepala adalah segera mencari masjid untuk sholat dan meminta petunjuk Allah.
Dijebak pria jahat
Saya sedang berjalan di pinggiran terminal ketika seorang karyawan travel biro mendatangi dan menawarkan suatu perjalanan wisata. Saya menolak dan mengatakan bahwa saya sedang mencari masjid. Namun tiba-tiba ada seorang pria yang memanggil karyawan tersebut dari pintu kantor travel di pojokan terminal. Sepertinya dia adalah bos karyawan tersebut, apalagi dia bisa berbahasa Inggris. Pria itu melarang saya mencari masjid dan menyarankan agar saya sholat di kantor tersebut. Saya memandang ini sebagai satu kebaikan. Dia bahkan menggelarkan sajadah untuk saya sholat.
Setelah sholat, pria itu menanyakan tujuan saya. Dia mengatakan tahu tentang gunung Ararat tempat perahu Nabi Nuh dan obyek wisata lainnya di sekitar kota itu. Saya memutuskan untuk menggunakan jasanya sebagai guide, yang juga menyediakan kendaraan. Namun hal itu baru bisa dilakukan esok pagi, mengingat hari telah sore. Karena saya berniat kembali ke Istanbul besok dengan bus jam sepuluh pagi, kami akan berangkat jam delapan. Dia menjamin cukup waktu bagi saya untuk mengunjungi tempat tersebut karena letaknya sangat dekat.
Ketika saya berniat mencari hotel, ia menawarkan agar saya menginap saja di apartemennya, yang merangkap kantor biro di depan terminal. Memang saya melihat ada sebuah bangunan tiga lantai di depan terminal. Paling bawah digunakan sebagai toko atau mini market. Biro miliknyan ada di lantai dua. Saya percaya dia orang baik sehingga menerima usulan tersebut. Dengan ramah ia mengatakan agar saya menganggap apartemen itu seperti rumah sendiri. Saya dipersilahkan istirahat, membaringkan diri di sofa panjang yang ada dalam ruangan setelah itu ia kembali ke terminal. Menjelang maghrib, laki-laki itu membawakan saya makanan untuk berbuka puasa. Seperti biasa, menunya semacam kebab, roti isi daging dengan bawang dan tomat. Ukurannya sangat besar, sehingga saya hanya makan setengahnya saja. Dalam hati saya bertanya-tanya, mengapa pria ini begitu baik. Apakah ia bersikap sama dengan turis-turis lainnya.
Setelah makan, ia berbicara panjang lebar, menyeritakan ketidaksukaannya pada orang Iran yang radikal. Saya pikir yang dimaksud radikal adalah golongan keras atau ekstrim yang senang berperang, tetapi ternyata ia berpikiran lain. Lama kelamaan omongannya melantur, ia bilang tidak usah terlalu saklek dalam aturan agama. Kening saya mengerinyit. Saya baru sadar maksudnya setelah dia mulai merayu saya dan mengajak berzina! Astaghfirullah Al Azhim. Saya tidak menyangka. Bagaimana seseorang yang mempersilahkan saya sholat berbuat begitu.
Saya baru menyadari bahwa saya berhadapan dengan setan berwujud laki-laki ramah. Ia tak mau mendengar bahwa kami bukan muhrim dan tak sepatutnya bersama dalam satu ruangan. Dia mengatakan bahwa agamanya juga Islam, namun sesekali kami bisa libur sebagai seorang muslim dan melupakan aturan agama. Kalau hubungan dilakukan atas dasar suka sama suka, tidak menjadi masalah. Ini gila! Bagaimana seorang pria muslim bisa berkata begitu? Dengan menenangkan diri saya tegaskan bahwa Allah dan para malaikat tidak pernah tidur. Dia tetap bersikeras mengajak berzina. Masya Allah! Ini orang memang sudah dilanda nafsu setan.
Saya ingatkan bahwa saya menganggap dia seorang gentleman yang bisa mengerti sopan santun. Sayangnya dia tetap ‘ngeyel’ dan ‘ndableg’. Akhirnya saya meminta dia keluar secara baik-baik atau saya akan nekad keluar mencari hotel. Pria gila itu mengatakan bahwa dia marah dan kecewa. Kalau dia memaksa, saya mungkin akan balik bertindak kasar. Setidaknya saya masih menguasai ilmu bela diri karate dan silat yang saya pelajari di masa muda.
Karena saya tak bergeming dan bersikap dingin, laki-laki itu mau keluar juga. Dia tetap berjanji menjemput saya pada pukul delapan pagi sebagaimana rencana semula. Namun, pria itu mengunci pintu apartemennya sehingga saya tidak bisa keluar dengan alasan untuk keamanan.Saya menarik nafas lega, setidaknya dia tidak akan mengganggu lagi malam ini.
Persoalan ternyata belum selesai. Pagi hari tiba, sejah subuh saya telah bersiap-siap. Saya tunggu sampai jam delapan, pria itu tidak datang juga. Saya tidak bisa keluar karena pintu masih dikunci. Saya mulai merasa cemas. Jangan-jangan laki-laki itu sengaja mengurung saya sebagai balas dendam karena ajakannya ditolak. Sampai pukul sembilan batang hidungnya tidak juga kelihatan. Saya mulai berpikir keras, bagaimana meloloskan diri dari tempat itu. Pintu apartemen terbuat dari besi dan cukup tebal, saya akan kesulitan jika mencoba mendobraknya. Sedangkan kalau mencoba melompat dari jendela, resikonya cukup fatal karena apartemen itu berada di lantai dua. Jalan yang saya pilih adalah mencoba mencari pertolongan.
Kebetulan jendela depan menghadap jalan terminal, saya melihat seorang anak pengangkut barang. Dengan isyarat saya minta agar dia memanggil petugas di terminal untuk membebaskan saya. Dua orang petugas keamanan terminal kemudian dating dan membuka pintu. Alhamdulillah, saya berhasil keluar dengan selamat. Pengalaman itu membuat saya menghentikan niat mencari perahu Nabi Nuh dan memutuskan untuk segera kembali ke Istanbul dengan bus yang pertama berangkat.
Perahu Nabi Nuh
Namun, ketika saya sedang mengurus tiket untuk ke Istanbul, seorang pria separuh baya mendekati saya dengan ramah. Ia menawarkan jasa untuk menjadi guide di kota itu. Karena trauma dengan pengalaman tadi, saya menolak. Laki-laki itu rupanya mengerti bahwa saya sedang kesal. Ia tidak menyerah dan berhasil meyakinkan saya untuk mencapai tujuan menemukan perahu Nabi Nuh. Dari caranya bicara, saya melihat ternyata ia jauh lebih berpengetahuan, apalagi ia lebih fasih berbahasa inggris.
Pria yang bernama Memet itu benar-benar jujur, ia mengantarkan saya ke gunung Ararat, tempat legenda perahu Nabi Nuh terdampar. Tetapi saya tidak naik ke gunung itu karena ternyata fosil perahu bukan berada persis di atas gunung itu, melainkan di atas sebuah bukit yang berjarak sekitar 20 mil dari gunung tersebut. Kami ke atas bukit dengan menggunakan mobil sewaan karena tidak ada angkutan umum. Di atas bukit ada sebuah pos perhentian wisata yang membeberkan informasi mengenai legenda perahu Nabi Nuh. Beberapa puluh meter dari pos itulah, saya melihat fosil perahu Nabi Nuh!
Subhanallah! Akhirnya saya berhasil menemukan perahu Nabi Nuh! Betapa bahagianya saya, tak terasa air mata hampir menetes karena terharu. Rasanya saya ingin melompat setinggi-tingginya. Perjalanan jauh dan penuh rintangan ini hanyalah ujian dari Allah. Kemudian saya diberi karunia untuk melihat salah satu kebesaranNya.
Untuk melihat perahu dari dekat, saya harus turun beberapa puluh meter. Bukit ini tidak begitu curam, tetapi tandus nyaris tanpa tanaman. Bentuk fosil dasar perahu yang lonjong mengerucut sangat jelas. Ada bekas patahan di tengahnya karena terdampar dengan keras. Jadi menurut hasil penelitian para ilmuwan yang diceritakan kembali oleh Memet, memang pada waktu banjir, air bah mengangkat perahu Nabi Nuh hingga ke puncak gunung Ararat. Namun ketika air mulai surut, perahu ikut terbawa ke bawah dan terdampar di atas bukit ini.
Saya memandangi fosil perahu Nabi Nuh yang disebut Noah Ark atau Nuhun Gemisi dalam bahasa Turki. Di benak saya tergambar peristiwa ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengutus Rasulnya untuk membuat sebuah perahu untuk menyelamatkan orang-orang yang beriman dari banjir besar yang diturunkanNya. Tubuh saya bergetar. Sebuah mukjizat yang kini dapat saya lihat secara langsung. Sungguh Allah Maha Pengasih dan Penyayang, memperkenankan hambanya ini datang kemari. Melihat perahu Nabi Nuh, telah mempertebal iman saya, menambah cinta saya kepada Allah SWT.
Sebagai kenang-kenangan, saya mengambil beberapa gambar melalui kamera. Sayangnya, baterai kamera sudah lemah, saya lalai untuk mengisi kembali. Baru beberapa kali memotret, sudah mati. Aduh, mudah-mudahan hasilnya cukup bagus. Selain saya, ada beberapa turis asing lainnya. Saya mengobrol sebentar dengan mereka. Kebetulan ada yang pernah ke Indonesia. Ia senang sekali berkenalan dengan saya.
Setelah puas berada di sana, saya dan Memet lalu turun dari bukit. Karena senangnya, saya membatalkan niat untuk kembali ke Istanbul hari itu. Saya mengikuti ajakan Memet untuk melihat perbatasan Iran-Turki. Tidak sulit untuk masuk ke Iran karena Memet mempunyai relasi di Kedutaan Turki yang berada di Iran. Saya juga sempat mengunjungi Istana Ishak Pasha, peninggalan masa Ottoman, yang terletak di atas bukit lain. Istana ini sungguh indah, baik dilihat dari bawah mau pun dari atas.
Di kota Agri dan sekitarnya, pada masa dahulu kala justru merupakan kekuasaan Kristiani dan agama Pagan. Namun ketika Ottoman berjaya, maka Islam merambah wilayah itu. Salah satu keturunan Ottoman menjadi Sultan di kawasan Dogubeyazid termasuk kota Agri. Selain Istana Ishak Pasha, juga ada kuburan para wali yang menjadi penyebar agama Islam. Namun sampai sekarang masih banyak penduduk yang beragama kristen di kota itu.
Saya menginap satu malam lagi di Agri, kali ini di apartemen sekaligus biro milik Memet yang bernama Tilpar Travel. Letaknya, hanya satu lantai di atas apartemen laki-laki brengsek tersebut. Namun suasananya jauh berbeda, terasa akrab dan familiar. Ada satu ruang khusus yang cukup luas dengan ambal/ karpet di lantai dan kasur-kasur tipis, lengkap dengan bantal-bantal dan selimut yang disediakan untuk para turis yang butuh tempat untuk bermalam. Ruang ini mampu menampung lebih dari sepuluh orang. Saya memilih tempat di pojok, dekat jendela yang menghadap keluar karena saya suka melihat pemandangan.
Pada mulanya saya hanya sendirian. Memet mempersilakan saya untuk mandi dan menunjukkan tempat peralatan yang mungkin saya butuhkan. Saya juga bisa mencuci pakaian di sini, ada sabun dsb. Dapurnya pun dilengkapi dengan kulkas besar tempat menyimpan makanan. Memet sendiri memiliki satu ruang khusus untuk kantor, dan ada pula balkon dengan dua buah kursi dimana kita bisa minum the sambil melihat ke jalan raya. Di sini terasa jauh lebih nyaman dan menyenangkan.
Pada mulanya saya hanya sendirian. Namun dari balkon, Memet bisa mengamati bus yang datang dan pergi dari terminal. Kebetulan ia melihat dua orang turis perempuan. Ia berteriak memanggil dalam bahasa Inggris dan bergegas turun untuk menemui kedua turis tersebut. Rupanya begitu cara Memet mendapatkan klien turis. Ia mengajak kedua gadis tersebut ke atas dan memperkenalkan saya kepada mereka. Satu orang gadis berasal dari Spanyol dan satu orang lagi berasal dari Perancis. Kami lalu ngobrol dengan akrab tanpa batasan. Memet bahkan membuat makanan untuk kami. Saya berterus terang bahwa saya dalam keadaan berpuasa. Memet tampak terkesan, apalagi setelah saya katakana bahwa saya tidak pernah merokok, apalagi minum minuman keras. Saya mengerti, sebab di Negara ini sebagian besar perempuan juga merokok, mungkin karena udara dingin yang sering menerpa. Walau begitu, obrolan kami tidak terganggu. Saya menyakinkan mereka bahwa tidak menjadi masalah mereka makan di hadapan saya.
Kedua gadis itu tidak menginap di tempat Memet karena sudah terlanjur pesan hotel. Mereka juga tidak membutuhkan jasa Memet sebagai guide. Tapi Memet tidak keberatan, ia tetap ramah ketika melepas mereka pergi. Ia sungguh guide yang baik dan patut dicontoh guide lainnya. Sungguh berbeda seratus delapan puluh derajat dengan pria yang berusaha merayu saya kemarin. Pada sore harinya, Memet berhasil mengajak seorang turis perempuan dari Korea untuk menginap dan menemani saya. Kami merasa lebih akrab karena mungkin merasa sama-sama berasal dari wilayah Asia Timur.
Menjelang maghrib, Memet mengajak saya keluar mencari makanan. Ia menawarkan beberapa restoran agar saya bisa berbuka puasa, tetapi saya menolak karena sudah merasa jenuh dengan menu Turki. Karena itu Memet lalu masuk ke sebuah super market dan membeli beberapa bahan makanan. Ia berniat memasak makanan sendiri untuk saya berbuka puasa. Betapa baiknya dia, sikapnya seperti seorang ayah yang menjaga anaknya.
Setelah berbuka puasa, kami berbincang-bincang. Si turis Korea itu ternyata sudah menikah. Ia terpaksa bepergian seorang diri karena suaminya masih sibuk bekerja. Namun suaminya sedang berusaha mengambil cuti agar dapat menyusul istrinya melancong di Turki. Mereka belum dikaruniai anak sehingga masih bisa jalan-jalan kemana saja. Memet menyeritakan tentang keluarganya kepada saya. Dia memiliki empat anak lelaki dan dua anak perempuan. Istri dan anak-anak lelakinya tinggal di Istanbul, sedangkan dia dan anak perempuannya tetap berada di Agri. Memet tinggal bersama ibunya yang sudah sepuh. Memet menunjukkan foto-foto putranya kepada saya. Dia menawarkan agar saya berkenalan dengan mereka. Memet mengusulkan agar saya ke rumah keluarganya kalau saya kembali ke Istanbul. Saya mengiyakan untuk menyenangkan hati pria paruh baya yang ramah dan baik ini.
Malam hari kami lalui dengan tenang. Memet kembali ke rumah ibunya dan menyuruh kami agar mengunci pintu demi keamanan. Kami tidak boleh membuka pintu untuk orang yang tak dikenal. Saya belum mengantuk, begitu pula dengan turis Korea tersebut. Kami lalu melanjutkan pembicaraan ke hal-hal yang lebih pribadi. Uniknya, ia berterus terang bahwa sampai sekarang belum mempercayai agama satu pun. Namun ia tampak tertarik melihat saya beribadah. Ia menanyakan tentang sholat dan arti gerakan-gerakan di dalamnya. Saya berusaha menerangkan sebaik mungkin. Siapa tahu pintu hatinya terbuka dengan melihat saya menjalankan ibadah sholat.
Bintang-bintang bertaburan di langit, saya menikmatinya seperti siraman yang sejuk pada jiwa ini. Entah berapa lama saya berdiri di jendela dengan memandang kepada langit, ketika saya menoleh, teman Korea tadi sudah tertidur pulas. Saya tidak bisa cepat tertidur. Meski angin berhembus kencang dari jendela, saya hanya membaringkan diri hingga tengah malam. Saya tidak perlu memikirkan makanan untuk sahur karena Memet telah menyediakannya.
Dostları ilə paylaş: |