Kembali ke Istanbul
Pagi harinya kami berpisah. Teman Korea berniat melanjutkan petualangannya ke Vangolu. Ia tampak bahagia dan bersemangat karena sang suami telah menelepon dan mengatakan telah berada di Turki untuk menyusulnya. Wah bisa jadi second honeymoon untuk mereka. Saya turut berbahagia untuknya. Sedangkan saya akan kembali ke Istanbul dengan menumpang bus yang berbeda dengan keberangkatan. Saya baru tahu kalau ada bus dengan rute langsung Istanbul-Agri. Mungkin Yan, mahasiswa yang memberikan informasi kepada saya juga tidak mengetahuinya. Setidaknya saya mendapatkan banyak pengalaman berharga dari perjalanan ini.
Memet yang mengurus tiket dan mencarikan kursi yang nyaman untuk saya. Ia berpesan banyak kepada sopir dan kernet yang dikenalnya dengan baik. Berkali-kali ia menekankan agar saya mau singgah ke rumah keluarganya di Istanbul. Saya tak sampai hati menolak kebaikannya. Apalagi Memet telah menelepon putranya agar menjempu saya di terminal otogar, Istanbul.
Bus yang saya naiki melaju tanpa halangan berarti. Hanya saja saya tidak mendapat teman sebangku yang menyenangkan. Dia adalah seorang gadis remaja yang cukup egois, tak mau bertegur sapa atau bahkan tersenyum. Ia lebih asyik dengan telepon genggamnya, menyetel musik dan bersikap acuh tak acuh. Justru seorang wanita di seberang saya yang bersikap sangat ramah. Ia bersama suami dan beberapa anaknya duduk satu deret ke belakang. Walau tak bisa berbahasa Inggris, ia berusaha memahami apa yang saya katakan. Saya terharu ketika menjelang maghrib, ia memberikan sebuah apel kepada saya. Rupanya ia memperhatikan bahwa saya berpuasa karena tidak makan atau minum sama sekali selama di perjalanan.
Bus juga berhenti dua kali di rumah makan. Saya hanya makan sekedarnya, yang penting bisa sholat di tempat-tempat tersebut. Namun bus ini tidak secepat bus yang saya naiki ketika berangkat, sehingga menjelang tengah hari baru mau memasuki kota Istanbul. Memet beberapa kali menghubungi saya agar dapat mengira kapan bus tiba di terminal Otogar, sebab ia telah meminta putranya yang bernama Volkan untuk menjemput saya.
Lebih dari jam dua belas ketika bus melewati gerbang terminal. Hujan baru saja turun dan belum sepenuhnya selesai. Langit masih menyisakan rintik-rintik air dan awan hitam masih menyembunyikan matahari. Saya turun dengan ragu-ragu, apakah saya akan menemui putra Memet? Namun sulit untuk mengelak dari sebuh kebaikan yang tulus. Kami bertemu dan berkenalan. Ia pemuda yang tampan dan ramah. Tanpa diminta ia mengambil ransel saya dan membawanya. Saya mengikuti langkahnya menembus hujan, mencari bus yang menuju kawasan tempat tinggalnya. Pemuda ini minta maaf karena tidak bisa menjemput dengan kendaraan pribadi karena mobilnya sedang berada di bengkel. Saya hanya tersenyum. Bagi saya tak jadi soal dengan apa kami bisa sampai. Tubuh saya lelah dan saya ingin istirahat secepatnya.
Turun dari bus, kami malah disambut hujan deras. Kepalang basah, saya mengajak pemuda itu untuk terus melanjutkan perjalanan. Dia tampaknya enjoy saja berjalan bersama saya. Berkali-kali ia melirik mencuri pandang. Saya hanya berlagak acuh tak acuh. Masa bodoh, kalau saya dianggap tomboy biar saja, karena pada dasarnya saya memang tomboy. Dengan basah kuyup kami tiba di sebuag gedung apartemen. Rumah di Istanbul, lazimnya memang sebuah apartemen. Sangat jarang ada orang yang memiliki gedung sendiri untuk dibuat rumah kecuali ia adalah orang yang kaya raya.
Kami naik ke lantai dua dimana mereka tinggal. Seorang perempuan setengah baya membuka pintu. Saya menduga bahwa dia adalah Fatma, istri Memet. Memang tidak salah, putra Memet memperkenalkan dia sebagai ibunya. Setelah melepas jaket yang basah dan meletakkan tas di sudut ruangan, saya diajak ke ruang keluarga. Dalam ruangan itu ada satu set kursi dan sebuah televise. Saya diperkenalkan dengan anggota keluarga yang lain. Volkan adalah putra ketiga, dia memiliki dua orang kakak dan satu adik laki-laki. Semuanya sangat ramah dan baik hati. Apalagi kakak pertama yang paling fasih berbahasa Inggris. Saya banyak mengobrol dengannya. Apalagi dia juga menyukai politik sebagaimana saya. Kami membicarakan tentang politik Turki. Saya mendapat pengetahuan dari laki-laki muda tersebut.
Ketika hujan berhenti, sang ibu mengajak saya ke pasar kaget untuk berbelanja. Volkan dan kakak keduanya pergi berbuka puasa dengan teman-temannya. Saya menggandeng Fatma karena ia tidak begitu kuat lagi naik turun tangga. Istanbul memang seperti perbukitan, ada tanah yang rendah dan ada yang tinggi. Gedung apartemen ini berada di tanah yang tinggi, sedangkan pasar, ada agak jauh di bawah. Kami harus menuruni tangga untuk mencapai pasar tersebut.
Banyak barang-barang yang dijual, bukan hanya makanan untuk berbuka puasa. Ada juga penjual pakaian dan peralatan, semua digelar baik menggunakan meja atau hanya alas karpet plastic. Fatma membeli beberapa potong pakaian untuk putra bungsunya dan dirinya sendiri. Selain itu, ia juga membeli sejenis bumbu dan sayuran untuk memasak. Setelah membeli barang-barang yang diperlukan, kami kembali ke apartemen.
Saat maghrib menggema, saya berbuka puasa dengan Fatma dengan putra pertama dan putra bungsu. Fatma memasak sup yang dimakan dengan roti. Untunglah rasanya lumayan, tidak begitu aneh seperti sup-sup yang saya cicipi tempo hari. Coca cola adalah minuman yang biasa terhidang di setiap rumah. Agaknya orang Turki sangat menyukai coca cola dan sejenisnya. Saya hanya minum sedikit karena kurang baik untuk berbuka puasa. Porsi makan orang Turki juga sangat besar, dua kali lipat orang Indonesia. Apalagi saya yang terbiasa makan dengan jumlah sedikit, terpaksa menolak tawaran makanan berikutnya dari Fatma.
Setelah makan selesai, kedua putra Fatma pergi ke masjid untuk sholat. Saya sholat di rumah lalu membantu Fatma membereskan sisa makanan dan mencuci piring. Kami tak bisa banyak bercakap karena Fatma tidak mengerti bahasa Inggris. Beberapa saat kami menonton televise, lalu saya tidur karena merasa lelah. Biarlah nanti saya sholat tarawih menjelang sahur saja. Fatma pun tidur sambil menunggu putra-putranya pulang ke rumah. Dia sungguh ibu rumah tangga yang baik, mengurus putra-putranya tanpa mengeluh. Saya tahu betapa repotnya mengurus anak-anak lelaki. Namun ia tampak bahagia karena keempat putranya juga menunjukan perhatian dan kasih sayang kepada ibunya. Karena itulah saya bertekad untuk segera meninggalkan rumah ini. Saya tidak ingin merepotkan perempuan baik ini lebih jauh.
Malam telah larut ketika Volkan kembali dari masjid. Ia sendiri saja, sedangkan saudara-saudaranya entah kemana. Mungkin ketiga saudara laki-lakinya bermalam di apartemen satunya, yang dimiliki kakak tertua. Pemuda itu mengira saya sudah tidur, padahal saya masih terjaga, hanya berpura-pura memejamkan mata. Ia pun langsung ke kamar setelah Fatma mengunci pintu. Namun rupanya Volkan tidak jadi tidur karena ia berada di dapur saat saya terbangun untuk sahur. Ia sedang menghangatkan makanan. Rajin juga dia, sehingga ibunya tak perlu repot-repot menyediakan makanan. Sementara dia sibuk di dapur, saya melaksanakan sholat tarawih.
Setelah shubuh, seperti biasa saya tertidur kembali hingga pukul delapan. Demikian pula Fatma dan Volkan. Saya mandi dan sholat dhuha, lalu mulai berkemas-kemas. Pemuda itu tampak heran saat saya mengatakan akan pamit melanjutkan perjalanan. Ia menanyakan tujuan saya pergi. Saya hanya menjawab sekenanya, bahwa saya akan menemui teman-teman mahasiswa dari Indonesia. Sepertinya Volkan kurang percaya, tapi ia tidak melarang sama sekali. Saya berterima kasih kepada Fatma yang mau menerima saya seperti anggota keluarga. Volkan mengantarkan saya hingga saya naik bus yang menuju Taksim.
Sebenarnya saya tidak akan mencari tempat menginap di Taksim lagi, saya ingin mencoba tempat lain. Karena itulah saya justru ke kawasan Masjid Sultan Ahmet dengan menggunakan Trem. Seingat saya, banyak hotel bertebaran di seberang rel yang menghadap Masjid. Kemudian saya mencoba menyusuri sisi rel dan bertanya-tanya tentang hotel di sana. Ah, ternyata jauh lebih mahal. Paling murah sekitar 50 Lira dan keadaannya tidak begitu baik. Saya kecewa dan akhirnya duduk di taman dekat loket masuk kuil Medusa.
Selama setengah jam saya menikmati suasana di taman itu. angina yang berhembus sejuk membuat saya terlena dan setengah mengantuk. Daripada tertidur, saya lalu berjalan ke halaman Masjid Sultan Ahmet dan memperhatikan para turis yang lalu lalang di sana. Setelah merasa lelah, saya kembali duduk di kursi taman halaman masjid. Setidaknya ada anjing yang menemani, duduk termangu di bawah pohon, tak jauh dari tempat saya. Mungkin dia sedang jenuh seperti halnya saya yang sendirian di halaman yang luas.
Menjelang tengah hari, saya melanjutkan pencarian penginapan. Saya berjalan terus ke bawah, sepanjang rel. setelah lampu merah ada beberapa hotel yang tidak begitu besar, tetapi tarifnya masih agak mahal. Saya lalu masuk menyusuk ke dalam gang yang lebih kecil. Gang ini penuh dengan kafe-kafe yang digelar sepanjang sisi trotoar. Alhamdulillah, saya menemukan sebuah hotel yang cukup murah. Hotel ini hanya tiga lantai, dan paling bawah digunakan untuk restoran. Kamar single room tarifnya 35 Lira. Sayangnya semua sudah penuh, terisi oleh para wisatawan. Besok baru akan kosong. Kamar yang ada adalah kamar ‘liliput’ dengan tariff 20 Lira semalam. Soalnya saya belum pernah menemukan kamar sekecil ini. Luasnya mungkin hanya 1,75 x 1,75. dipan hanya pas di badan dan mentok ke tembok. Ada lemari kecil dan meja kecil, sisa ruangan hanya pas untuk ukuran sholat. Sedangkan kamar mandi ada di luar, bergantian dengan penghuni kamar yang lain. Dengan senang hati saya menerima kamar ini, yang penting bisa untuk istirahat, aman dan tenang.
Saya sholat jamak qoshor di dalam kamar, malas keluar karena udaranya panas. Kemudian saya tidur hingga sore hari. Menjelang maghrib saya berjalan lagi kea rah Sultan Ahmet. Tampaknya langit mulai mendung dan hembusan angin cukup kuat. Ada hawa dingin yang mulai terasa menggigit kulit. Saya kembali duduk di kursi taman masjid dan melihat sekeliling. Wisatawan yang datang jauh lebih banyak dibandingkan siang tadi.
Mendekati maghrib, sekitar pukul 19 00, saya bangkit menuju masjid Sultan Ahmet. Tiba-tiba ada seorang turis pria ganteng yang mirip bintang film Triple X menegur saya dan menanyakan lokasi masjid. Dia menyangka saya berasal dari Malaysia. Dalam hati saya kecewa karena banyak orang yang lebih mengenal negara tetangga tersebut daripada Indonesia sendiri. Pria itu mengedipkan mata sebelum meninggalkan saya, padahal ada seorang perempuan di sisinya, yang saya yakin adalah istrinya. Dasar laki-laki, sempat saja menggoda wanita lain.
Di depan masjid saya membeli jajanan untuk berbuka puasa. Bentuknya seperti martabak, saya belum tahu rasanya. Tapi harganya cukup mahal, 4 lira. Padahal saya mengira harganya hanya dua lira, sudah terlanjur pesan maka harus dibayar. Mengenai minuman, ada penjual teh tak jauh dari depan pintu masuk Masjid, sayangnya belum siap sepenuhnya. Kemudian saya bersuci, masuk ke dalam masjid dan menunggu azan setelah melaksanakan sholat tahiyatul masjid. Saya menyesal tidak membeli air mineral terlebih dahulu karena makanan yang mirip martabak ini pasti akan menimbulkan rasa haus. Saya melihat beberapa perempuan yang juga menanti berbuka puasa dengan bekal yang lengkap.
Suasana di dalam masjid, seperti biasa ramai oleh para turis, tetapi sebetulnya kering dengan jamaah. Saya taksir paling hanya dua shaf pria yang akan sholat. Kebanyakan justru wisatawan yang mengambil foto di dalam masjid. Sungguh suatu alih fungsi yang menyedihkan. SultanAhmet bukan pusat ibadah melainkan pusat pariwisata. Bahkan beberapa turis mengambil foto saya dan beberapa perempuan yang sedang menanti adzan dengan berzikir. Eh, saya jadi obyek perhatian karena mereka tertarik melihat mukena saya yang mengkilat.
Rejeki memang tidak lari kemana, ketika adzan berkumandang, ada seorang perempuan paruh baya yang membagikan kurma. Alhamdulillah, ada sesuatu yang manis untuk berbuka puasa. Saya suka kurma, dan buah ini selalu dimakan Rasulullah sebagai pembuka puasa. Kemudian, ada seorang ibu yang menyuruh putrinya untuk memberikan sebotol air mineral kepada saya. Rupanya dia memperhatikan bahwa bekal saya minus air minum, saya sangat berterimakasih. Akhirnya saya tidak merasa kehausan ketika memakan martabak tersebut yang rasanya sangat asin, bahkan di tengahnya kurang matang, masih berupa tepung.
Setelah sholat berjamaah, saya ke taman dan membeli teh manis yang sekarang sudah siap dan matang. Harganya 1 TL per gelas plastik ukuran Aqua. Saya sangat menikmatinya sambil duduk di kursi taman dan memandangi dedaunan dihembus angin. Ini menjelang akhir ramadhan, sehingga jamaah semakin berkurang. Tak banyak lagi orang yang datang beribadah. Rasanya tak sebanding dengan kemegahan dan kejayaan masjid ini dimasa lalu. Ataukah memang ini menggambarkan bagaimana kehidupan umat islam di Turki yang cuma memelihara symbol kejayaan islam tanpa penghayatan dan pengamalan. Selama saya di Turki, saya jarang melihat orang berpuasa, walau sebagian mengenakan jilbab atau menenteng tasbih. Mereka makan seenaknya di jalan tanpa peduli ada orang berpuasa atau tidak. Mereka tidak menghormati orang yang berpuasa, bahkan kedai-kedai makanan atau restoran saja buka sebagaimana biasa. berbeda dengan Indonesia dimana restoran selalu memasang tirai jika buka di bulan ramadhan agar orang yang makan tidak tampak dari luar. Mungkin karena mereka mengacu pada budaya di Eropa, western style yang sangat tidak islami. Dalam hal ini saya kembali bersyukur bahwa saya orang Indonesia.
Kalau di Indonesia, pada sepuluh hari terakhir akan banyak orang yang beritikaf di masjid untuk mendapatkan Lailatul Qodar. Saya sama sekali tidak melihat kebiasaan itu negeri Ataturk ini. Bahkan ketika saya berusaha itikaf, saya mendapati masjid-masjid dikunci, tidak bisa dimasuki oleh orang lain. Aduhai, keinginan saya untuk itikaf tahun ini digagalkan dengan kondisi yang memprihatinkan. Akhirnya saya menyerah mancari masjid, dan berdiam diri di kamar penginapan, sholat dan zikir dalam keadaan sedih.
Keesokan harinya, saya memutuskan untuk bergabung dengan Rani dan mahasiswa Indonesia lainnya untuk merayakan lebaran Idul Fitri. Saya akan menghubungi Rani dan merencanakan untuk datang ke asrama kampus Sabanci yang berada di Istanbul bagian Asia. Namun saya justru kaget ketika Rani mengatakan bahwa ia dan teman-temannya justru mau datang ke tempat saya. Medi telah mengabarkan bahwa lebaran di Turki jatuh pada hari kamis, tanggal 9 September yang berarti besok. Saya tak menyangka sama sekali karena ingatan saya, di Indonesia Idul Fitri jatuh pada hari Jumat tanggal 10 September.
Untuk meyakinkan hal itu, maka saya bertanya pada pengelola penginapan. Sang pria resepsionis memperlihatkan kalender Turki, dan memang di situ tertera bahwa hari lebaran adalah Kamis. Saya akhirnya percaya juga dan mengabarkan Rani akan hal ini. Rani dan kawan-kawan malah minta dipesankan kamar karena mereka berniat untuk segera datang agar besok pagi bisa sholat Idul Fitri di masjid SultanAhmet. Kebetulan ada satu ruangan yang cukup besar, bisa menampung empat orang di lantai bawah, tidak jauh dari ruang resepsionis. Saya memesan kamar tersebut untuk teman-teman mahasiswa.
Pada rabu sore itu kami janjian bertemu di Taksim. Kami berbuka puasa di sebuah rumah makan yang murah dan mempunyai cita rasa yang lumayan, bisa diterima di lidah orang Indonesia seperti saya. Di samping itu kami menemani Romel melihat jadual kebaktian di gereja Taksim. Sangat sulit mencari gereja katolik di Istanbul ini, kebanyakan adalah gereja orthodok. Gereja katolik yang kami tahu adalah di jalan Istiklal, Taksim. Malam itu tidak ada kebaktian, tetapi Romel akan datang pada Minggu pagi, mengikuti kebaktian sekitar jam 11.
Setelah berbuka puasa, kami tidak langsung ke penginapan, melainkan datang lagi melihat-lihat di bazaar ramadhan. Ini malam terakhir sebelum lebaran, jadi besok bazaar ini bakal bubar. Bahkan beberapa kios tampak sudah mulai dibongkar. Pengunjung bazaar ini juga dapat dihitung dengan jari. Tidak ada barang yang kami beli, kami malah duduk-duduk santai di anak tangga untuk melihat keramaian lalu lintas dan turis-turis asing yang berkerumun di bawah.
Tak lama kemudian kami memutuskan untuk ke penginapan. Saya mengajak mereka naik tunnel dan trem. Mereka belum pernah naik kendaraan itu karena waktu ke Sabanci hanya menggunakan bus shuttle. Mereka senang sekali dan antusias mencoba kendaraan modern tersebut. Saya memberitahu bagaimana caranya membayar tiket dan menggunakan koin untuk masuk. Di tempat penginapan, saya menunjukkan kamar yang telah dipersiapkan untuk mereka. Saya yakin setelah sholat Isya, mereka akan segera jatuh tertidur.
Idul Fitri
Seperti biasa saya sudah terbangun sebelum shubuh dan karena hari ini sudah lebaran, saya tidak tidur lagi. Sayangnya tidak ada masjid yang mengumandangkan takbir sebagaimana di Indonesia. Hari raya kok nyaris tidak ada perbedaan dengan hari biasa. saya melongok keluar dari jendela, suasana sangat sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Begitu pula ketika saya turun ke bawah, tak ada seorang pun di ruang resepsionis. Semua orang masih tidur.
Pada pukul 06.30 saya sudah siap pergi ke masjid, tetapi anak-anak mahasiswa itu belum bangun. Rupanya mereka tidur begitu lelap. Ketika saya mengetuk pintu, barulah mereka terbangun. Cukup lama juga saya menunggu mereka mandi satu persatu dan berdandan. Sampai saya sudah merasakan kantuk lagi. Maklum biasanya setelah shubuh tidur lagi. Akhirnya saya, Rani dan Nikita berangkat, ementara Romel memilih menunggu di hotel. Kami menuju SutanAhmet untuk melaksanakan sholat Ied.
Suasana di jalan masih sangat sepi. Rasanya hanya kami yang sedang berjalan menuju masjid. Sedangkan toko-toko, café-café masih belum buka. Dan dapat dipastikan para turis masih tidur dengan nyenyak. Ah betapa sepinya lebaran di Istanbul. Tidak banyak orang yang pergi ke masjid. Saya sedih dan kecewa karena jamaah yang datang ke masjid terbesar itu hanya dua pertiga dari kapasitasnya. Sedangkan perempuan yang ikut berjamaah hanya sekitar 20 orang. Entah karena perempuan Turki tidak biasa ke masjid atau karena mereka memang tidak mau datang ke masjid. Selain kami, ternyata masih ada perempuan Indonesia lainnya. Di sana kami berkenalan.
Perempuan-perempuan Indonesia yang sholat menarik perhatian jamaah lain. Karena kami mengenakan mukena satin, yang menurut mereka sangat indah. Mukena adalah barang langka yang hanya dikenakan orang Indonesia. Sedangkan perempuan dari Turki dan Negara sejenis hanya mengenak rok lebar dan panjang dengan rambut ditutupi selendang. Laki-laki Turki yang melaksanakan sholat Ied mengenakan jas resmi sehingga tampak rapi. Begitu kebiasaan mereka jika sholat Jumat dan hari raya, walau belum tentu mereka rajin sholat lima waktu.
Keamanan masjid dijaga ketat. Saya melihat beberapa polisi ada di setiap sudut, lengkap dengan pistol dan senapan. Bahkan mobil patroli polisi ada di tengah taman. Sholat Ied di sini tidak terasa khidmat, karena turis-turis asing non muslim dibiarkan berkeliaran dan mengambil gambar. Setelah sholat, kami dan teman-teman baru tadi menyempatkan diri untuk berfoto-foto. Selain saya, Vero, perempuan Indonesia yang bekerja di Istanbul ini membawa kamera manual. Dia rupanya menyukai fotografi. Kameranya dilengkapi beberapa lensa tele. Keluar dari masjid, kami mendapati ada orang-orang yang dermawan membagikan sesuatu di halaman. Ada yang menyediakan sup gratis dalam gelas plastic, ada yang membagikan kurma dan manisan, bahkan ada yang menyemprotkan minyak wangi. Kami kembali ke tempat penginapan, saya menenteng satu gelas sup untuk sarapan Romel yang telah menunggu.
Resepsionis pria yang sudah akrab dengan saya ternyata berbaik hati. Ia menyediakan teh manis dan sepiring permen. Laki-laki itu menghormati saya dan teman-teman mahasiswa yang merayakan lebaran. Dia sendiri, meski mengaku beragama islam, tidak menjalankan ibadah puasa dan sholat. Gaya hidupnya sama dengan wisatawan dari Eropa Barat. Bagaimana pun juga saya menghargai perhatiannya dan mengucapkan terima kasih karena bersusah payah menyediakan minuman hangat dan gula-gula. Saya mengajak Rani dan Nikita untuk menikmatinya.
Pada jam 12 siang kami check out dari tempat penginapan, kembali ke masjid Sultan Ahmet. Medi mengajak kami bergabung dengan orang-orang Indonesia lainnya yang akan berkumpul di halaman masjid sambil membawa makanan atau masakan masing-masing. Kami tidak punya modal makanan untuk dibagi, tapi justru mau nimbrung ikut makan di hari lebaran. Mereka yang membawa makanan adalah orang Indonesia yang sudah bekerja atau menikah dan tinggal di Turki. Lebaran di sini jelas tanpa ketupat seperti di Indonesia, tapi ada yang membawa nasi dan kentang opor. Satu-satunya masakan yang berbau Indonesia adalah sambal. Kami senang sekali bisa bertemu sambal di antara makanan-makanan tersebut.
Semula orang Indonesia yang berkumpul tidak begitu banyak, sekitar lima belas orang. Rupanya banyak yang datang terlambat, satu persatu ada saja yang kemudian bergabung hingga akhirnya mencapai 50 orang! Wah lumayan juga, jumlah orang Indonesia yang ada di Istanbul banyak juga. Ada beberapa perempuan Indonesia yang mengajak serta suaminya yang memang laki-laki Turki. Di antara mereka ada seorang perempuan Indonesia yang sedang hamil tua. Dia didampingi suami dan kedua orang tuanya yang kebetulan sedang berkunjung ke Turki. seorang perempuan lagi, membawa bayinya yang baru berusia dua minggu, sangat mungil dan masih merah. Suaminya yang bekerja di hotel menyempatkan diri datang sebelum bertugas.
Laki-laki Turki sangat care terhadap keluarganya. Saya seringkali melihat betapa laki-laki Turki mau menggendong dan membawa anak-anaknya beberapa orang sekaligus. Namun mereka kelewat protektif terhadap istrinya. Menurut Yan, sebaiknya perempuan Indonesia lebih baik tidak menikah dengan orang Turki. Mereka sangat pecemburu dan mudah curiga terhadap laki-laki lain yang tampak akrab dengan istrinya. Meski pun teman laki-laki itu juga berasal dari Indonesia. Karena itu sangat sulit berkunjung ke rumah seorang perempuan Indonesia yang telah menikah. Pertemuan dengan teman-teman Indonesia lainnya hanya bisa terjadi dalam suatu acara yang melibatkan banyak orang. Selain itu, yang patut diwaspadai dari karakter laki-laki Turki adalah kecenderungannya berbuat kasar jika sedang marah atau cemburu. Yah, ini masukan yang bagus dari Yan untuk para perempuan Indonesia, tapi sayangnya kalau sudah jatuh cinta, tentu akan melupakan peringatan-peringatan seperti ini. Mudah-mudahan saja perempuan Indonesia yang menikah dengan pria Turki akan baik-baik saja dan bahagia.
Teman-teman mahasiswa yang datang lebih banyak. Medi memperkenalkan kami kepada anak-anak lain. Ada Alvin dan Lucky yang sangat jenaka, senangnya bergurau dan membuat orang lain tertawa. Sedangkan yang perempuan, ada Citra, Rini, Meli, Ayu dll. Berhubung saya adalah penumpang baru, maka saya hanya mengikuti mereka saja. Kalau semua mencicipi suatu hidangan, maka saya juga ikut mencicipi. Sebetulnya malu juga karena kami tidak membawa makanan apa pun. Namun teman-teman mahasiswa menikmatinya. Begitulah sifat anak-anak mahasiswa justru bergembira jika ada ibu-ibu yang membawa makanan, mungkin perbaikan gizi…
Kami senang berkumpul bersama teman-teman sebangsa dan setanah air. Menurut mereka, selalu ada kerinduan untuk bercengkrama dengan sesame orang Indonesia, maklum di perantauan. Lebih mudah untuk curhat, saling berbagi suka dan duka dengan teman sebangsa. Ajang seperti ini membuat orang-orang Indonesia kembali bersemangat menjalani hidup di negeri orang. Selain saya, Rani, Romel dan Nikita, ternyata masih ada orang-orang lain yang juga baru bertemu dan berkenalan di tempat itu. Berkat Medi, yang rajin menyebar informasi dan berkomunikasi dengan teman-teman lainnya, terbentuk persaudaraan yang dibutuhkan oleh kami semua.
Setelah asyik makan-makan dan bercengkrama, kami berfoto bersama. Banyak yang membawa kamera, terutama teman-teman mahasiswa. Medi juga membawa kamera manual yang lengkap dengan tele sehingga mampu mengambil banyak orang sekaligus. Adegan berulang kali, bahkan berpindah-pindah tempat. Ulah teman-teman mahasiswa yang heboh mengundang perhatian para turis yang kebetulan melintas. Mungkin mereka heran dengan apa yang dilakukan sekelompok orang di halaman Masjid Sultan Ahmet ini. Uniknya, ada beberapa orang turis yang minta bergabung untuk berfoto bersama. Lho, ini kan perkumpulan orang Indonesia, kok nyelonong minta ikutan? He he.
Dostları ilə paylaş: |