Ika Septihandayani
Poligami, Kekerasan bagi Perempuan Islam
Mungkin masih sangat jelas terekam dalam ingatan kita bagaimana reaksi masyarakat ketika seorang ulama terkenal Indonesia, KH.Abdullah Gymnastiar atau lebih sering disapa Aa’ Gym, memutuskan untuk berpoligami. Banyak sekali pro dan kontra bermunculan sehubungan dengan pernikahan kedua Aa’ Gym tersebut. Poligami pun menjadi buah bibir yang naik daun.
Kebanyakan orang percaya bahwa poligami adalah sesuatu yang dibolehkan dalam Islam. Sungguh suatu ironi, karena agama yang dipercaya akan membawa kedamaian dan menjunjung tinggi derajat perempuan, ternyata menjustifikasi kekerasan terhadap perempuan dengan membolehkan perempuan untuk diperlakukan sebagai objek yang sah untuk dimiliki berapapun jumlahnya. Yah…meskipun beberapa sumber mengatakan jumlah maksimal istri adalah empat namun dalam kenyataannya banyak laki-laki Islam yang punya belasan istri bahkan puluhan. Menurut mereka hal itu sah-sah saja, asalkan berada dalam ikatan pernikahan. Menurut mereka agama membolehkan mereka berpoligami dan menyelamatkan mereka dari perbuatan zina. Benarkah demikian?
Pernahkah kita membayangkan bagaimana perasaan seorang perempuan yang suaminya, dengan alasan kasihan terhadap nasib wanita lain atau dengan alasan untuk memenuhi kewajiban agama atau hanya karena keinginan nafsu belaka, ingin menikahi wanita lain? Dalam tahap ini perempuan mengalami berbagai kekerasan, baik secara prikologis dengan adanya tekanan dari suami maupun juga tekanan untuk memenuhi kewajiban ajaran agama itu sendiri dengan bersedia dipoligami. Sebagian besar perempuan mungkin memilih untuk bercerai saja daripada dipoligami. Namun, bagaimana nasib wanita Islam yang “terpaksa merelakan” dirinya untuk dipoligami? Benarkah mereka bahagia dan terbebas dari kekerasan bathin dalam kehidupan poligami sang suami? Seandainya tidak ada aturan tertulis dalam Islam yang membolehkan poligami, seandainya tidak ada kewajiban bersedia dipoligami bagi istri yang baik dalam Islam, mungkin Teh Ninih, istri Aa’ Gym dan istri-istri yang lain tidak akan lagi bersedia merelakan dirinya dipoligami.
Menadion
Agama Sebagai Legitimasi Kekerasan: Tepatkah?
Tampaknya Perang Salib adalah salah satu konflik paling fundamental yang semangatnya masih terasa bahkan ribuan tahun setelah ia usai. Bahkan beberapa kalangan masih menganggap perang ini belum sepenuhnya usai. Sentimen agama yang mendasari konflik ini dirasa masih relevan dengan konteks kontemporer (konflik Tepi Barat). Bahkan Samuel P. Huntington meramalkan bahwa semangat inilah yang nantinya akan memicu perang besar, atau lebih ekstremnya Perang Dunia III, yakni antara peradaban Barat (Katholik) dengan Timur(Kristen Ortodoks&Islam). Pertanyaannya kemudian, apakah agama merupakan faktor utama pendorong konflik kekerasan? Mungkin antara ya dan tidak.
Ya, karena secara praktis masing-masing pihak berkeyakinan bahwa segala ancaman terhadap eksistensi agama yang dianutnya adalah sesuatu yang harus dilenyapkan. Dan konflik kekerasan adalah instrumennya. Merekapun rela mati atas nama agama. Apakah konflik kekerasan adalah cara paling tepat?Sekaligus menjawab pertanyaann sebelumnya, maka bisa dibilang tidak. Dari segi substansi, agama pada dasarnya mengajarkan perdamaian. Dalam Kristen misalnya, Yesus berfirman bahwa manusia seharusnya mencintai musuh seperti mencintai diri sendiri. Islam pun demikian. Muhammad dalam Haditsnya kerap mencontohkan perdamaian terhadap pemeluk agama lain.
Lalu kenapa masih ada kekerasan atas nama agama? Menururt Johny Indo (Da`i mantan napi), ini terjadi dikarenakan beberapa kalangan fundamentalis yang hanya memahami firman-firman Tuhan secara parsial. Dari pembacaan yang tidak holistik ini kemudian munculah kekerasan-kekerasan yang sebetulnya tidak perlu. Ini karena tiap agama pasti menawarkan alternatif perdamaian. Sepakat, Bung!
Adri Arlan
Kekerasan dengan Dalih Budaya terhadap Perempuan
Perempuan merupakan sosok yang identik dengan kata mulia dan senantiasa menjunjung tinggi rasa kasih sayang sebagai seorang Ibu,namun meskipun sudah banyak yang menganggap bahwa posisi wanita sederajat dengan pria,masih banyak permasalahan yang timbul akibat dari bertahannya budaya yang menepikan peran perempuan didalam keluarga. Praktik-praktik tradisional yang mengakar yang membatasi hak-hak perempuan serta sering mengakibatkan penderitaan mereka karena adanya kekerasan dan bahkan kematian, tetap tersebar luas di seluruh kawasan, tetapi sering dipinggirkan dalam perdebatan dan kebijakan publik. Perkosaan, kawin paksa, kejahatan membela “kehormatan” dan pelecehan terhadap perempuan serta gadis-gadis di daerah konflik terus berlanjut. Di Papua Nugini misalnya, kekerasan seksual tetap merupakan pengalaman sehari-hari bagi banyak perempuan, dan tuduhan menggunakan ilmu sihir mengakibatkan pembunuhan atau penculikan terhadap perempuan. Walaupun begitu, pihak yang berwenang hampir tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan kejahatan semacam itu. Di Afghanistan, kawin muda dan kawin paksa serta praktik-praktik tradisional seperti penukaran dengan anak perempuan sebagai alat penghentian pertikaian tetap merupakan ancaman yang masih ada terhadap kesejahteraan perempuan dan para gadis.Hal inilah yang senantiasa membatasi ruang gerak wanita dalam menentukan masa depannya. Akan tetapi, pekerjaan yang dilakukan oleh para aktivis perempuan di kawasan tersebut telah membuahkan sejumlah hasil. Di Pakistan, kejahatan pemerkosaan dan kekerasan seksual diamendemen untuk menjamin bahwa pengaduan pemerkosaan tidak bisa lagi diubah menjadi tuntutan perselingkuhan atau perzinahan. Di India akhirnya diperkenalkan undang-undang tentang kekerasan terhadap perempuan. Hal ini bisa dikatakan sebagai sinyalemen positif bagi keseimbangan gender bagi perempuan agar dapat lebih unjuk gigi dalam berkreasi dalam mengutarakan pendapat,apalagi bagi wanita di negara India dan Pakistan yang memiliki budaya yang terkesan tidak menghargai perasaan perempuan. Tentunya akan terjadi suatu pemahaman tersendiri bagi masing-masing pihak untuk dapat mengakomodasi kepentingannya masing-masing. Untuk itu dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya tidak boleh dijadikan dasar alasan bagi seseorang untuk menindas hak maupun harga diri seseorang sebab pada dasarnya manusia berkedudukan sama di depan penciptaNya.Hal inilah yang menjadikan landasan agar setiap pihak dapat saling menghargai perannya masing-masing didalam kehidupan ini,baik dia adalah seorang laki-laki maupun perempuan.
Yohana M. Simamora
Kekerasan Berbasis Gender
Menurut saya, kekerasan berbasis gender merupakan kekerasan terhadap wanita. Kekerasan wanita adalah perwujudan ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan dominasi dan diskriminasi terhadap perempuan. Dalam sejarah peradaban Hindu, hingga abad ke-6 Masehi, perempuan dianggap sebagai sesajen bagi para dewa. Peradaban Yahudi, pra abad ke-6, perempuan dianggap sebagai sumber laknat dan malapetaka karena menyebabkan Adam terusir dari surga. Hal yang sama juga terjadi dalam sejarah peradaban besar seperti Arab dan Cina yang mengganggap perempuan sebagai makhluk tidak berguna, remeh dan berhak di bunuh. Ironisnya, kekerasan terhadap perempuan (baik secara fisik, psikis, dan seksual) masih berlaku hingga di zaman modern.
Setidaknya ada dua penyebab utama mengapa kekerasan berbasis gender senantiasa eksis hingga saat ini, yakni : Penafsiran agama yang salah dan budaya yang patriarki. Agama yang kita anut ternyata tanpa kita sadari berkemampuan untuk menimbulkan kekerasan karena salah tafsir. Contoh konkritnya adalah tradisi yang sangat dijunjung tinggi Gereja Katolik karena tradisi ini dibangun diatas basis budaya Yahudi, dimana ada pandangan bahwa ‘perempuan adalah setan penunggu gerbang yang siap menggoda‘, perempuan juga tidak menggambarkan citra Allah, dan perilaku-perilaku diskriminasi lainnya yang mengakibatkan penghayatan iman pun terpengaruh. Dalam Islam, mengakui bahwa kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum perempuan sehingga pemukulan terhadap istri dianggap sebagai hak suami sebab suami dianggap memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Sementara itu adanya dominasi nilai-nilai patriarki membentuk konstruk budaya masyarakat untuk memberikan otoritas lebih kepada laki-laki daripada perempuan mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum laki-laki. Saya mencontohkan keluarga saya. Saya lahir di keluarga yang patrilineal dengan menyandang nama keluarga Simamora. Dalam tradisi Batak, anak laki-laki adalah harta (hamoraon) dan kehormatan (hagabeon) yang tak ternilai harganya. Keluarga Batak tanpa anak laki-laki dianggap aib. Bahkan, seorang wanita akan dicemooh oleh keluarga pihak suami jika tidak mampu memberikan anak laki-laki yang dianggap sebagai penerus keluarga. Hal ini masih berlangsung hingga sekarang. Belum lagi pada kegiatan-kegiatan adat lainnya, dimana pihak laki-laki duduk di muka sementara wanita duduk di jauh belakang. Pada awalnya saya merasa tidak adil, karena saya hanya dihargai dengan nama belakang keluarga saja yang suatu saat akan hilang ketika saya dipersunting oleh pria Batak dengan nama keluarga lainnya. Ketika saya tanyakan hal ini kepada orangtua saya, mengapa perempuan diperlakukan tidak adil? Ayah saya berkata bahwa memang sudah dari sono-nya seperti itu.
Fauzia Ariani
KEKERASAN BERBASIS AGAMA
Saya beragama Islam. Islam menjadi semakin banyak dibicarakan orang seiring dengan isu terorisme yang merebak di berbagai belahan dunia, khususnya pasca 9/11, ketika seorang muslim fundamentalis bernama Osama bin Laden dituduh sebagai biang keladi penabrakan pesawat ke gedung kembar WTC. Khususnya sejak saat itu, yang disertai dengan jejak-jejak fundamentalis muslim lainnya yang menjadi pengebom bunuh diri dan aktivis radikal anti-Amerika (contoh:kasus Van Gogh, Bom Bali), Islam semakin dikaitkan dengan terorisme dan kekerasan. Yang terlintas di benak banyak orang sepertinya ISLAM = TERORISME = AGAMA KEKERASAN. Namun demikiankah? Tentu saya tidak setuju. Dari sebuah film (Ayat Ayat Cinta), saya mengambil sebuah pelajaran. Ketika di sebuah kereta di Mesir, yang notabene penumpangnya beragama mayoritas muslim, ada dua penumpang Nasrani, dan tak seorang pun bersedia memberi mereka tempat duduk, lalu seorang muslimah memberikan tempat duduknya. Kemudian seorang penumpang memprotes bahwa mereka kafir dan tidak boleh diberi tempat duduk. Seorang muslim yang lain (sang tokoh utama) muncul dan mengatakan bahwa Rasul SAW bersabda, “Bila kamu melukai orang asing, maka kamu melukai diriku, dan bila kamu melukaiku, sama saja kamu melukai Allah SWT”. Dari adegan itu jelaslah bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan, bahkan pada seorang asing sekalipun. Dari Al Qur'an serta tauladan muslim Nabi Muhammad SAW juga banyak diajarkan bagaimana seorang muslim tidak diperkenankan menyakiti orang lain. Meski demikian, melihat realitas dan merunut sejarah, saya tidak menampik adanya tindak berbau kekerasan, namun saya melihat alasan yang cukup jelas bila hal tersebut harus terjadi. Misalnya, membela diri karena diserang terlebih dahulu, seperti perang di Palestina, atau ketika seseorang sudah diingatkan berkali-kali namun tetap tak acuh. Saya yakin bahwa semua itu tidak dilakukan untuk sengaja menyakiti, berbeda dengan oknum-oknum yang mengatasnamakan agama (Islam), kemudian menyakiti, membunuh orang yang tidak berbuat apa-apa/tidak bersalah, hanya karena mereka bukan beragama Islam. Menurut saya, para fundamentalis demikian karena mereka melahap mentah-mentah apa yang ada dalam Al Quran dan As Sunnah, tidak memahaminya secara kontekstual.
M. Noor Indrawan
Kekerasan Berbasis Islam
Islam, adalah agama yang banyak dikaitkan dengan isu terorisme yang terjadi karena pelakunya sendiri adalah para anggota organisasi Islam fanatik, yang memicu Islamophobia di negara-negara barat setelah terjadinya kasus terorisme itu, sebut saja peristiwa 11 September di Amerika Serikat yang paling banyak menelan korban jiwa. Ajaran untuk berjihad mungkin telah disalahartikan sehingga menjadi sebuah pembenaran untuk membunuh. Islam dipandang sebagai agama yang sarat dengan kekerasan. Orang juga menilai terhadap hukum Islam lain yang dikaitkan dengan kekerasan yakni hukum potong tangan bagi pencuri serta hukum cambuk dan rajam untuk hukuman berzina. Sekali lagi Islam diasumsikan sebagai agama kekerasan. Mengapa? Karena banyak orang yang tidak mengerti hakekat dari Islam itu sendiri. Padahal dalam kitab suci Islam, Al-Qur'an, disebutkan bahwa Islam adalah agama yang membawa perdamaian dan rahmat bagi umat. Islam adalah agama yang damai. Orang Islam yang benar-benar tahu ajaran agamanya tidak akan mau untuk menyakiti orang lain. Dakwah atau penyebaran ajaran agama Islam pun harus disampaikan dengan cara-cara damai. Jihad juga mempunyai ketentuan-ketentuan sendiri yang tidak mesti harus diwujudkan dengan perang atau kekerasan, sebagai contoh bekerja sungguh-sungguh adalah jihad, bahkan bercinta dengan istri bisa menjadi jihad. Oknum yang menggunakan kekerasan mengatasnamakan Islam sejatinya bukan orang Islam yang sejati, karena orang Islam adalah agama perdamaian untuk semua manusia.
Adhe Nuansa Wibisono
Seppuku : Cara Samurai Memandang Kehormatan
Kali ini saya akan mengangkat kisah tentang seppuku (tindakan membunuh diri) yang terdapat pada budaya samurai di Jepang pada abad pertengahan (15-17). Seppuku adalah nama formal dari harakiri, bedanya seppuku dilakukan secara formal dan ada aturan pelaksanaannya. Latar belakang budaya seppuku muncul dari pandangan hidup kelas samurai bahwa kematian lebih terhormat daripada kekalahan dan kegagalan. Diduga pandangan ini muncul dari pengaruh agama Budha dalam memandang kehidupan sebagai sesuatu yang fana dan kemuliaan dalam kematian. Biasanya seppuku dilakukan karena kekalahan dalam peperangan, kegagalan dalam melaksanakan tugas, bentuk kekecewaan terhadap majikan, bentuk loyalitas apabila majikan telah gugur dan sebagai pilihan daripada mati di tangan musuh. Seppuku dalam pandangan jalan samurai mencerminkan nilai-nilai seperti kehormatan, keberanian, loyalitas, rasa tanggung jawab dan pengorbanan.
Secara formal seppuku dilakukan dengan tata pelaksanaan sebagai berikut, sang pelaku akan menggunakan baju putih sebagai tanda kesucian. Pelaku akan meminum dua cangkir sake dengan masing-masing dua tegukan maka akan terdapat empat tegukan. Dalam bahasa jepang empat (shi) berarti juga kematian. Sebelum melakukan penusukan diri pelaku akan menggubah satu syair yang secara alamiah memancarkan pandangan dan perasaan pelaku dalam memandang hidup. Pelaksanaan seppuku tidak dilakukan sendiri, secara formal dilakukan dengan seorang kaishakunin yang akan memenggal kepala pelaku seppuku, biasanya dilakukan oleh sahabat atau keluarga terdekat sang pelaku. Dalam beberapa situasi khusus pelaksanaan formal seperti di atas tidak dapat dilakukan dan digantikan dengan cara menusuk diri sendiri dalam peperangan, menjatuhkan diri dari atas benteng dan memenggal kepala sendiri.
Merujuk beberapa referensi dan novel samurai yang saya baca budaya seppuku ini berdampak dan berpengaruh besar dalam cara pandang masyarakat Jepang. Secara umum para samurai mengaggap seppuku adalah sebuah tindakan menjunjung kehormatan dan keberanian. Seperti yang dapat dilihat di dalam sejarah abad pertengahan Jepang, banyak dari samurai terkemuka melakukan seppuku karena berbagai hal. Beberapa nama masyhur dalam epos Taiko karangan Eiji Yoshikawa seperti Oda Nobunaga dan Shibata Katsuie memilih melakukan seppuku untuk mengakhiri hidupnya.
Yang dapat saya amati ternyata budaya seppuku tidak hanya berhenti pada zaman samurai tetapi juga terus berkembang pada saat ini. Kasus terbaru yang dilakukan oleh elit politik Jepang, Toshikatsu Matsuoka sebagai menteri pertanian, kehutanan dan perikanan Jepang pada masa Shinzo Abe membuktikan hal tersebut. Dia melakukan bunuh diri karena terlibat sakandal dana politik dan merasa beratnggung jawab dengan melakukan seppuku. Tidak hanya di kalangan elit politik tetapi budaya seppuku telah merasuk dalam pandangan hidup orang Jepang. Beberapa kasus bunuh diri diduga berdasarkan kegagalan dalam bisnis, kehidupan asmara atau bahkan tidak lulus ujian akademis.
Melihat konteks seppuku saya menyimpulkan bahwa pandangan dan keyakinan ternyata sangat berperan penting dalam hidup manusia. Seorang samurai akan melakukan seppuku dengan kesadaran dan keyakinan karena menganggap seppuku sebagai suatu nilai kebenaran. Dalam hal ini kita dapat melihat bagaimana pandangan hidup dapat mempengaruhi demikian besar dalam kehidupan manusia yang dapat menjadi pengarah bahkan tujuan kehidupan sekaligus. Timbul satu lintasan pikiran terakhir, bagaimanakah kebenaran yang hakiki...?
Referensi
http://www.win.net/rastnest/archive21.htm, The Fine Art of Seppuku
http://fortunecity.com, Seppuku-Ritual Suicide
Wildan Mahendra Ramadhani
Berawal dari Kelamin
Sebenarnya saya tidak tahu persis dimana kebudayaan ini ada, namun yang saya sering dengar kejadian tersebut terjadi di pedalaman pulau Kalimantan. Cerita ini berawal dari seorang tentara yang sedang ditugaskan di suatu daerah pedalaman pulau Kalimantan. Seperti kita tahu masa tugas seorang prajurit tentara tidak hanya satu atau dua hari saja tetapi berminggu-minggu bahkan bulanan. Dalam waktu yang cukup lama tersebut seorang prajurit yang notabene adalah manusia normal pasti membutuhkan penyaluran hasrat seksual. Singkat cerita maka terjadilah hubungan antara si prajurit dengan seorang gadis dari suku pedalaman Kalimantan tempat ia (prajurit tentara) bertugas.
Malapetaka terjadi ketika masa tugas dari tentara tersebut habis dan mau tidak mau harus meninggalkan daerah pedalaman Kalimantan dimana ia bertugas. Tanpa tanggung jawab ia tinggalkan gadis yang telah ia renggut keperawanannya tadi begitu saja. Alhasil ketika ia berada diatas kapal laut--dalam perjalanan pulang--si prajurit tersebut kena batunya. Ketika sedang membuang air kecil ia mendapati alat kelaminnya sudah tidak ada (maaf). Sontak hal tersebut membuat shock si prajurit tentara. Di tengah situasi itu ada seseorang yang menyarankan bahwa ia (prajurit tentara) harus kembali kepada keluarga gadis yang ia renggut keperawanannya tadi untuk minta maaf dan bertanggung jawab.
Tanpa pikir panjang akhirnya prajurit tersebut kembali ke pedalaman Kalimantan tempat ia bertugas untuk mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sesampainya di rumah si gadis, ia melihat alat kelaminnya tadi sudah tergantung di depan pintu. Setelah meminta maaf dan mengakui kesalahannya kepada keluarga si gadis tersebut--yang juga merupakan syarat yang harus dipenuhi--kelamin si prajurit kembali seperti semula.
Kejadian di atas merupakan bukti bagaimana kebudayaan berparadigma ganda. Di satu sisi kebudayaan merupakan identitas diri yang perlu dilestarikan, namun di sisi lain kebudayaan--dimaksud di sini adalah kepercayaan akan kekuatan supranatural--merupakan media untuk menjustifikasi kekerasan. Tepatnya kekerasan dalam bentuk penekanan langsung. Konsep atau ritual kebudayaan di atas tak jauh beda dengan santet di Banyuwangi, debus di banten, dsb.
Tomy Nanda Aditias
Kekerasan stuktural yang dijustifikasi beberapa diantaranya ialah kekerasan yang mengatasnamakan suatu budaya atau ajaran suatu agama tertentu untuk membenarkan kekerasan yang dilakukannya. Penjustifikasian kekerasan struktural ini tergantung dengan jenis kekerasan apa itu, mengapa dan siapa yang membenarknnya. Karena beberapa diantaranya dibenarkan oleh golongan itu sendiri yang melakukan kekerasan tersebut kepada diri mereka sendiri juga. Contohnya seperti kekerasan yang dilakukan oleh sebuah golongan muslim di Irak dengan mencambuki diri mereka untuk memperingati kematian cucu Nabi Muhammad SAW, Hassan dan Hussein, yang pada masa Saddam Hussein berkuasa dilarang. Tradisi tahunan tersebut dibenarkan oleh budaya mereka, terutama budaya golongan mereka sendiri. Meski orang lain yang menyaksikan hal tersebut merasa hal tersebut adalah merupakan bentuk kekerasan struktural yang terjadi pada masyarakat tersebut.
Contoh lainnya adalah pembagian raskin kepada masyarakat menengah ke bawah secara cuma-Cuma. Raskin adalah singkatan dari bers miskin, maksudnya ialah beras yang hanya dibagikan atau diberikan kepada masyarakat miskin. Permasalahannya ialah bahwa kualitas dari beras tersebut sangat jauh dari kualitas beras-beras standar yang dikonsumsi kebanyakan masyarakat. Berasnya kotor, bau, dan banyak kotoran beras. Diskriminasi terhadap golongan masyarakat yang kurang mampu ini adalah bentuk kekeraan struktural yang dibenarkan oleh sistem masyarakat di Indonesia. Raskin dibagikan secara cuma-cuma hanya kepada beberapa anggota masyarakat yang dianggap kurang mampu, maka sudah sepantasnyalah mereka mendapatkan jatah yang “seperti itu”. Hal tersebut di ataslah yang membuat diskrimasi pada lapisan masyarakat yang dibenarkan oleh golongan masyarakat lainnya.
Dostları ilə paylaş: |