Rumah-Surau-Sekolah
RUMAH-SURAU-SEKOLAH
Tungku nan Tigo Sajarangan
dalam Membentuk Watak dan Perilaku
Generasi Muda Minang
dalam Menghadapi Tantangan
Ke Masa Depan
Mochtar Naim
1 Sep 2015
I
SELAMA ini kita baru mengenal TTS (Tungku nan Tigo Sajarangan): Niniak Mamak, Alim Ulama, Cadiak Pandai, dalam kita menjelaskan mengenai sistem kepemimpinan yang berlaku dalam masyarakat tradisional Minangkabau. Ketiganya memperlihatkan sosok dengan fungsi yang berbeda dari ketiga unsur kepemimpinan tradisional Minangkabau itu, tapi bersatu dalam satu kesatuan kepemimpinan yang sifatnya egaliter-demokratis dan saling isi-mengisi bersinergi.
Dulu, ketika alam Minangkabau masih belum dimasuki oleh unsur-unsur budaya luar kecuali Islam, sistem kepemimpinan TTS itu relatif berjalan utuh dan efektif. Di zaman kolonial Belandapun, kendati urusan pemerintahan dan ekonomi serta pendidikan juga diatur oleh pemerintah, tetapi ke dalam, pemerintah kolonial sengaja hands-off berlepas tangan dan menyerahkan urusan adat, agama dan sosial-budaya dari penduduk pribumi ke tangan mereka masing-masing. Sebagian karena pertimbangan efisiensi karena masalah adat, agama dan sosial-budaya itu tidak terkait langsung dengan urusan politik dan ekonomi yang mereka kuasai dan utamakan, tapi juga di belakangnya itu karena pemerintah kolonial tidak cukup punya tangan dan tenaga untuk mengatur semua-semua itu sampai ke tingkat sosietal akar rumput. Makanya banyak hal diserahkan kepada pribumi, terutama yang berkaitan dengan adat, agama dan sosial-budaya itu. Apalagi, di Eropah sendiri waktu itu yang muncul dan berkembang adalah filosofi liberal-kapitalistik dan sekuler-materialistik.
Sekarang, budaya Minangkabau di Sumatera Barat sendiri sudah tidak sendiri. Di samping itu ada budaya nasional yang masuk sebagai konsekuensi logis dari dibentuknya Indonesia ini menjadi satu negara kesatuan yang mencakup seluruh wilayah Nusantara, di mana Sumbar hanya satu dari keseluruhan wilayah NKRI itu. Dan ada budaya global yang juga masuk melalui berbagai jalur transmisi budaya yang tidak kurangnya juga turut membentuk watak dan perilaku warga masyarakat Minangkabau, seperti juga lain-lainnya.
Dengan makin dominannya faktor-faktor luar yang masuk, sendirinya faktor internal dari budaya lokal sendiri tergerus, bahkan lama-lama mengering dan terkelupas. Yang terjadi bukan lagi asimilasi dan integrasi tapi penyingkiran budaya lokal-primordial-tradisional itu – seperti yang juga terjadi di banyak negara-negara baru berkembang lainnya di manapun di dunia ini. Karenanya, banyak dari ekspresi dan manifestasi budaya lokal-primordial-tradisional Minangkabau itu hanya tinggal di ucapan tapi tidak di praktek pengamalannya. Hal ini dengan nyata bisa kita lihat pada generasi muda anak-anak kita sendiri, di mana mereka lebih banyak dibentuk oleh faktor-faktor budaya luar itu, baik melalui sekolah, permainan dan pergaulan, maupun melalui berbagai transmisi budaya yang tidak lagi mengenal filter saringan budaya dan agama. Kita lalu mempertanyakan, sampai seberapa jauh mereka masih dibentuk oleh budaya lokal-primordial itu, dan seberapa jauh pula sebaliknya mereka telah dibentuk oleh budaya nasional dan global itu walau mereka tinggal di bumi bertuah kampung halaman sendiri dan diasuh oleh orang tua di bawah ayoman masyarakatnya sendiri.
Dan ini akan berjalan terus, yang ujungnya adalah subordinasi dari budaya-budaya lokal-primordial-tradisional itu di manapun manakala tidak ada upaya untuk melakukan resistensi dan penyaringan mana-mana yang akan diterima dan mana-mana yang harus ditolak. Betapa banyak sudah masyarakat-masyarakat tradisional di dunia sedang berkembang yang kehilangan budaya leluhurnya yang kemudian lalu menghablur ke dalam budaya impor yang masuk itu.
II
Dalam menghadapi era nasionalisasi dan globalisasi di abad ke 21 sekarang ini waktunyalah kita juga melakukan introspeksi, sampai seberapa jauh kita mau tak mau harus membukakan diri terhadap berbagai unsur budaya luar yang masuk itu di samping juga, sampai seberapa jauh kita harus dan mau tak mau mempertahankan budaya leluhur
Minangkabau itu. Sebagai kita tahu, Budaya Minangkabau itu adalah persenyawaan atau sintesis dari budaya adat dan syarak yang dibuhul dalam paradigma budaya ABS-SBK: Adat Bersendi Syarak, Syarak Bersendi Kitabullah.
Untungnya, baik adat maupun agama Islam yang dianut oleh rata-rata masyarakat Minangkabau, baik yang di kampung halaman maupun yang di rantau pun, menganut faham budaya yang sifatnya terbuka dan akomodatif dengan prinsip: Semua yang baik, dari manapun datangnya, yang sesuai dengan adat dan syarak, diterima, sementara semua yang tidak baik, dari manapun pula datangnya, yang tidak sesuai, apalagi bertentangan dengan adat dan syarak, dibuang. Sifatnya adalah kaffah-menyeluruh, yang “kalau dibalun sebalun kuku, kalau dikembang selebar alam.” Begitu kata pepatahnya.
Coraknya adalah sintetik, bukan sinkretik seperti di Jawa. Sintetisme terjadi manakala unsur-unsur budaya yang masuk dan bertemu itu tidak bertentangan dengan Kitabullah yag menjadi pedoman dan patokan utama dari prinsip ajaran ABS-SBK itu. Sementara dalam masyarakat Jawa, yang sekarang juga melebar menjadi budaya Nusantara di bawah kendali NKRI dengan adagium Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, sinkretisme budaya berlaku, di mana semua agama dan semua budaya diperlakukan sebagai sama, karena semua adalah sama baiknya, dengan prinsip Kejawen: “Sadaya agami sami kemawon” – semua agama sama adanya. Silahkan pilih dan silahkan gabung.
Kendati Sila Pertama Pancasila mengatakan: Ketuhanan Yang Maha Esa, yang dianut oleh hanya Islam, tetapi yang Tri-esa, tiga dalam satu (Kristen), yang Poli-esa, bertuhan banyak (Hinduisme), yang tidak tahu entah ada Tuhan itu entah tidak (Budhisme), atau yang menentang adanya Tuhan itu sendiri seperti marxismenya PKI di zaman Orde Lama di bawah Sukarno dulu, dan bahkan yang percaya pada dewa-dewa dan roh-roh nenek moyang (Kong Hu Chu), yang juga diterima oleh Gus Dur sebagai agama negara ketika sempat sebentar jadi Presiden di awal Reformasi dulu – semua diterima. Jadilah dia agama dan filosofi bernegara gado-gado. Dan itulah dia sinkretisme yang berasal dari kepercayaan Kejawen itu yang sekarang dianut secara nasional oleh dan di NKRI.
III
Dari kegalauan budaya yang juga membelit Sumatera Barat sendiri, pantas kalau generasi muda berumur sekolah rata-rata tidak ada yang tahu dengan prinsip-prinsip dasar dari budaya leluhurnya, yaitu budaya ABS-SBK yang menempatkan syarak di atas adat, dan Kitabullah Al Qur’an sebagai pedoman hidup tertinggi yang menerangi dan membimbing semua liku-liku kehidupan itu. Mereka, seperti juga kebanyakan warga budaya Minangkabau lainnya, hanya tahu mengucapkannya tapi tidak memahami dan menghayatinya.
Jadilah masyarakat Minang sekarang ini -- atau bahkan masyarakat Indonesia secara keseluruhannya -- baik di kampung halaman maupun di rantau di manapun, baik yang muda maupun yang tua, secara sosial-budaya berada dalam keadaan “diaspora.” Tak lagi tahu mana jalan yang akan ditempuh, dan mana jalan bekas lalu. Semua berjipang dan bersimpang-simpang, sehingga tidak tahu lagi mana yang akan dipilih. Karena semua itu ada: yang lokal, yang nasional dan yang global, tanpa jelas kaitannya antara satu sama lain. Ujung-ujungnya, seperti kita lihat dan rasakan sekarang ini: semrawut, kacau, galau, yang produk sampingannya adalah korupsi, anarki, birokratisme, neo-feodalisme, kapitalisme, liberalisme, dsb.
Dalam menghadapi semua ini, apa akal kita, dan bagaimana kita? Firasat budaya Minang menunjukkan: “Sesat di ujung jalan, kembali ke pangkal jalan.” Dan secara agamanya: Tobat! Istighfar! Bagaimanapun Allah telah menyiapkan suluh bendang dalam kehidupan di dunia ini, yaitu Kitabullah, Al Qur’anul Karim, dan suri tauladan dari Rasulullah Muhammad saw. Orang Minang khususnya harus kembali ke pangkal jalan ini kalau memang akan tetap mempertahankan paradigma hidup: ABS-SBK itu. Dan ini harga mati. To be or not to be. Take it or leave it.
Sebagai konsekuensinya, orang Minang harus secara terbuka mengakui dan sekaligus mengamalkan prinsip dasar yang sudah dia punyai untuk diikrarkan kembali, dan sekarang menjadi suluh-bendang dalam nagari, yang ruang lingkupnya adalah provinsi Sumatera Barat dan yang rantaunya yang juga menerima dan mengikuti filosofi ABS-SBK ini adalah daerah Melayu di Nusantara ini, sampai ke Malaysia dan Negeri Sembilan, sampai ke Pattani di negeri Siam, ke Serawak, Brunai, dan Sabah di Borneo Utara, sampai ke Moro, belahan jiwa orang Minang dan Melayu di Filipina.
Berangkat dengan filosofi dan azam yang kuat untuk menghidup-suburkannya kembali paradigma budaya ABS-SBK itu, orang Minang harus kembali tampil ke permukaan dan ikut memimpin Dunia Melayu ini menjadi DMDI: Dunia Melayu Dunia Islam, yang terompetnya sudah dibunyikan di tahun 1980an yl di Melaka untuk pertama kali.
Inti dari semua itu adalah menyatunya kembali Bumi Minang dengan Dunia Melayunya dengan seluruh Dunia Islam dalam satu kesatuan yang mondial, universal; dari Maroko di Barat ke Merauke di ujung Timur Indonesia ini, sebagai modal dasar titik berangkat, lalu menerobos masuk ke benua baru: Eropah, Amerika dan Australia di abad ke 21 dst ini. Dengan itu juga tidak ada lagi dikotomi antara yang sakral-religius-spiritual dan yang profan-liberal-sekuler seperti yang dihembuskan dari Barat selama ini. Semua menyatu bersintesis di bawah naungan Kitabullah Al Qur’anul Karim. Ummat seluruhnya di dunia ini menuju kepada Islam yang kaffah, universal di bawah naungan rahmah dan maghfirah Allah. Islam sebagai rahmatan lil’alamin.
Dan ini kebetulan adalah juga gerakan “Gelombang Ketiga” (The Third Wave) dari Dunia Islam yang masing-masing berjalan selama 7 abad. Gelombang pertama dari lahirnya Islam di padang pasir Arabia di abad ke 6-7 sampai ke tingkat zenitnya di abad ke 14 di Baghdad dan Kordoba. Gelombang Kedua dengan menurunnya Dunia Islam sesudah itu selama 7 abad pula sampai ke titik nadirnya di Perang Dunia Kedua di pertengahan abad ke 20 yl, di mana semua negara Islam berada di bawah penjajahan Barat yang Kristen. Sedang Gelombang Ketiga sekarang ini dari usainya PDII di mana semua negara Islam, kecuali satu-dua seperti Palestina dan Afghanistan yang masih harus berjuang, kembali merdeka dan menyelesaikan dirinya untuk menghadapi renaisans kebangkitan kembali Dunia Islam untuk, insya Allah, tujuh abad ke depan pula. Kita sekarang baru di awal era kebangkitan kembali Dunia Islam itu. Dan dalam kaitan ini kita di bagian Timur Dunia Islam ini bersama-sama dengan negara-negara Melayu lainnya di Asia Tenggara ini mengumandangkan gerakan kolosal DMDI: Dunia Melayu Dunia Islam.
IV
Dalam dunia kecil kita dalam era Gelombang Ketiga Dunia Islam ini, di kampung halaman di Sumatera Barat sendiri, yang pertama setelah memperbaharui iktikad dan tekad yang bersifat kolosal-universal itu adalah membina kembali hubungan kesatuan
bernagari, baik ke dalam di nagari-nagari, maupun ke luar ke daerah rantau di manapun dan ke manapun mereka mencari rezeki dan menimba ilmu dan pengalaman.
Dengan Nagari sebagai unit kesatuan sosietal di tingkat terendah di Negara Republik Indonesia ini, ke depan kita mempersiapkan Nagari pada waktu dan detik yang sama: (1) Nagari sebagai unit kesatuan administratif pemerintahan yang otonom-mandiri; (2) Nagari sebagai unit kesatuan keamanan dan pengamanan yang menjadikan pemuda sebagai penjaga dan pelindung Nagari; (3) Nagari sebagai unit kesatuan ekonomi dan wirausaha lainnya dengan prinsip kerjasama syirkah-syariah dan menjadikan Nagari itu sendiri sebagai sebuah korporasi berbentuk koperasi syariah; (4) Nagari sebagai unit kesatuan adat, agama dan sosial-budaya di bawah payung-panji Kitabullah Al Qur’anul Karim.
Maka, dalam pengimplementasiannya, di samping menghidupkan kembali sistem kepemimpinan TTS: Niniak Mamak, Alim-Ulama, Cadiak-Pandai, yang sekarang sudah layu dan tak terlihat lagi dinamisme dan kreativitasnya, dan berjalan sendiri-sendiri, perlu pula diperjelas apa dan bagaimana peranan sosietal dari Bundo Kanduang dan Pemuda dalam konteks sistem kepemimpinan kolegial di bumi Minangkabau itu.
Dan, di samping itu, last but not least, yang justeru menjadi tumpuan dari tulisan ini, adalah mendudukkan peran dan fungsi Rumah, Surau dan Sekolah, sebagai institusi sosial di bidangnya masing-masing yang mestinya saling terkait dan saling membantu satu sama lain, sehingga semua merupakan rangkaian TTS: Tungku nan Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin, dalam membentuk dan mempersiapkan generasi penerus ke masa depan. Karena di tangan merekalah nanti Indonesia ini akan bergumul di medan laga di forum global-dunia dan di tanah air sendiri, dan kepada mereka kita pertaruhkan masa depan dari bangsa dan negara ini serta wilayah adat dan syarak dari bumi Minangkabau dan Dunia Melayu umumnya.
Rumah, Surau dan Sekolah, jelas tiga institusi sosial yang secara sendiri-sendiri dan bersama-sama menjadi basis dari pembentukan watak dan perilaku generasi muda dalam menghadapi tantangan ke masa depan itu. Masing-masing memiliki fungsi dan peranan sendiri-sendiri, tapi masing-masing juga saling melengkapi, saling isi-mengisi dan bantu-membantu dalam satu kesatuan bersinergi yang utuh.
Dengan demikian, masing-masing tidak lagi jalan sendiri-sendiri tanpa ada kaitan satu sama lain. Semua sebaliknya saling bersinergi bantu-membantu dengan basis dan motif yang sama itu.
Rumah dan rumah tangga adalah tiang utama. Di rumah dan rumah tangga anak-anak diasuh, dibelai dan dididik. Mereka sejak dari dini dipersiapkan untuk menjadi generasi penerus yang tangguh, tanggap dan bertanggung-jawab. Mereka dipersiapkan dan mempersiapkan diri untuk menjadi manusia sempurna – insan kamil – yang tidak hanya berfikir untuk diri tapi juga untuk sesama, dan tidak hanya untuk dunia ini tapi juga untuk akhirat nanti yang lebih lestari. Mereka berfikir sentrifugal, seperti diajarkan oleh adat dan agama kita; bukan sentripetal seperti kecenderungan sekarang ini. Sentrifugal: Diri untuk masyarakat yang lebih luas; Sentripetal: Masyarakat yang lebih luas untuk Diri. Kekalutan budaya nasional sekarang ini adalah karena kita berfikir sentripetal untuk diri bukan sentrifugal untuk masyarakat yang lebih luas itu. Kaitannya juga dengan cara berfikir yang sinkretik dengan yang sintetik tadi. Pilihan kita di Sumatera Barat dan Minangkabau ini adalah: sintetik-sentrifugal. Bukan sinkretik-sentripetal.
Bandingkanlah antara cita-cita yang bersifat aspiratif itu dengan kehidupan nyata anak-anak di rumah dan rumah tangga sekarang. Diskrepansi antara cita-cita dan kenyataan itulah yang kita tautkan kembali sehingga rumah dan rumah tangga benar-benar menjadi tempat pengasuhan pertama dan utama sekali dalam mempersiapkan generasi baru ke masa depan itu. Sendirinya tugas ibu, bapak, orang tua, dan semua ahli keluarga tidak ringan. Dan semua dilakukan dengan rasa cinta dan kasih sayang serta penuh rasa tanggung jawab.
Begitu anak-anak sudah mulai pandai mengasuh dirinya, dan sudah pula pandai ikut-ikut ke surau dan masjid umumnya, tentu saja anak-anak itupun akan mendapatkan bimbingan dan asuhan dalam beragama dan bermasyarakat, menyambung dari yang diberikan secara berangsur-angsur di rumah tangga. Di surau mereka belajar mengaji dan belajar bermasyarakat. Di surau mereka mendapatkan pengenalan terhadap dunia yang lebih luas, tidak hanya yang material-fisikal tetapi juga yang spritual-emosional dan etikal. Di surau mereka dilatih untuk menjadi “orang.” Orang yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Masalahnya: mana surau itu sekarang ini? Surau oleh karenanya perlu dihidupkan kembali untuk membina sisi spiritual, emosional dan etikal dari anak-anak dan generasi muda kita.
Ketika umurnya sampai, anak-anakpun masuk sekolah. Selama ini sekolah hanya mengajarkan apa-apa yang masuk ke otak ke kepala tetapi tidak ke hati dan tidak ke sekujur tubuh dan rohaninya. Karenanya si anak bisa dari tidak tahu menjadi tahu, dan lalu menjadi orang terpelajar; tetapi bisa saja tidak bermoral dan beragama. Meruyaknya
praktik-praktik korupsi dan penyalah-gunaan wewenang dan kekuasaan di NKRI sekarang ini bisa ditelusuri melalui jalur pendidikan di sekolah ini karena yang didapatkan oleh anak didik di sekolah hanya ilmu yang disuntikkan ke kepala, tetapi tidak akhlak dan budi-pekerti luhur yang diperlukan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
Kerjasama TTS: Rumah, Surau dan Sekolah dalam artian yang integral-terpadu, yang saling isi-mengisi dan tupang menupang, saat ini dan ke masa depan, sangat diperlukan. Melalui kerjasama TTS: Rumah, Surau dan Sekolah inilah, sebagaimana TTS yang pertama dalam kepemimpinan tiga serangkai: Niniak Mamak, Alim Ulama dan Cadiak Pandai, yang kemudian diperkuat oleh peranan potensial Bundo Kanduang dan Pemudanya, insya Allah, kita kembali membangun masa depan yang cerah untuk kita wariskan kepada anak-anak kita sendiri. Di tangan mereka terletaknya hari depan yang cerah itu.
***
Mochtar Naim
Dostları ilə paylaş: |