Pembangunan Semesta/Nasional Berencana
Meski pada era Demokrasi Terpimpin sudah dilancarkan suatu Rencana Pembangunan Semesta (8 tahun) tetapi pelaksanaannya tersendat-sendat oleh banyak hal, terutama semasa RI terlibat konflik politik konfrontasi dan obsesi Bung Karno / Presiden menggalang semangat membangun kekuatan politik The New Emerging Forces (Nefos) mengimbangi kserakahan The Old Established Forces (Oldefos). Pada era Orde Baru ini baru ada suatu sistim Perencanaan Strategis Nasional, yang mndasarkan kepada dua dokumen hasil Seminar TNI Angkatan Darat ke-II 1966 yaitu Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi, sebagai “acuan dasar” untuk merancang rencana besar Pembangunan Nasional berkelanjutan.
Segera setelah Jenderal TNI Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden RI ke-2 masalah utama yang menjadi perhatian Presiden dan Kabinetnya ialah mengatasi keterpurukan Ekonomi dan Moneter. Inflasi sudah melambung tinggi, investasi baik dari kekuatan modal domestik maupun dari luar negeri praktis belum ada. Kesejahteraan sosial masih sangat rendah. Perdagangan belum berkembang pada semua strata. Pengelolaan fungsi-fungsi pemerintahan tidak efektif.
Pembinaan kesehatan masyarakat dan pendidikan sekolah sebagai tumpuan masa depan bangsa masih sangat terabaikan. Meski keadaan rusuh sudah surut tetapi keadaan ketertiban dan keamanan masih memerlukan kesiagaan tinggi aparat keamanan, terutama fungsi intelijen dan teritorial sepadan dengan program aksi (sisa-sisa) PKI yang sudah beralih menjadi Organisasi Tanpa Bentuk (OTB), dan untuk itu Pemerintah mempertahankan Kopkamtib sebagai lembaga Keamanan yang langsung dipimpin Presiden RI dibantu oleh seorang Wakil Panglima Kopkamtim yang sehari-hari mengelola pelaksanaan tugas pokok Kopkamtib.
Dalam rancangan pertama Pembangunan Nasional (Bangnas) yang mendapat prioritas tinggi ialah berturut-turut: Kesejahteraan Rakyat (pangan, sandang dan papan). infrastruktur (perhubungan darat, laut dan udara) terutama guna memperlancar mengalirnya produk hasil daerah pedalaman ke kota, pengembangan industri melalui imnvestasi modal LN dan memelihara stabilitas keamanan dan ketertiban. Dengan antusiasme tinggi dan kerja keras Rakyat serta Pemerintah dan faktor-faktor kondisinal seperti “boom” minyak bumi yang menghasilkan dollar (“petro dollar”), peluang (benefit) yang amat menjanjikan untuk investasi yang tidak terlalu rumit (perakitan kendaraan dan berbagai mesin, farmasi) dan perkayuan tanpa pengolahan di DN, dalam jangka waktu 10 tahun pertama Bangnas sudah meningkatkan secara meyakinkan keberhasilan pemulihan keadaan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Keadaan yang sudah cukup stabil dan terkendali dikembangkan lebih lanjut dalam sektor-sekior lain yang juga sudah mulai perlu diberi perhatian. Yang sangat mengesankan antara lain ialah rencana-rencana Bangnas di bidang Pendidikan pada semua strata tapi lebih diutamakan Pendidikan Dasar dengan hampir di setiap desa (juga di daerah terpencil) tersedia Sekolah Dasar (SD Inpres) dan di setiap Kecamatan tersedia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP/SMP).
Yang juga sangat disyukuri oleh Rakyat ialah dibangunnya ribuan fasilitas Kesehatan Masyarakat seperti Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), Pos Pelayanan Ibu dan Anak (Posyandu), Pada tingkat perawatan kesehatan yang memerlukan kecanggihan ilmu pengetahuan dilaksanakan secara proyek khusus yang diprakarsai dan disupervisi Ibu Tien Soeharto (istri Pak Harto/Presiden), antara lain Rumah Sakit (Penyakit) Jantung, Rumah Sakit Ibu dan Anak dan lain lainnya.
Di bidang papan/tempat tinggal diadakan proyek-proyek Perumahan Nasional dengan konstruksi dan desain yang amat sederhana tetapi memadai memenuhi kepentingan sebagai tempat tinggal, sayang sekali para pelaksana, baik di Pusat mau pun di daerah karena luasnya jaringan pembangunan banyak dimanfaatkan mereka untuk memanipulasi proyek demi kepentingan pribadi (Korupsi, Kolusi/persekongkolan, dan Nepotisme/memenangkan kerabat sendiri). Akibatnya banyak proyek Inpres yang fiktif dan atau kontruksinya tidak sesuai rancangan/bestek .
Dalam hal infrastruktur terjadi pengembangan yang amat mendukung keberhasilan proyek/sektor lain, seperti antara lain pembangunan waduk (menyekat aliran sungai dan memanfaatkan untuk kanalisasi/pembagian air untuk pertanian dan serba instalasi produksi). Untuk pembangkitan tenaga listrik yang dengan cepat meningkatkan kapasitas tenaga listrik nasional mengimbangi pertambahan perumahan dan industri.
Dalam hal pengembangan infrastruktur perhubungan telah dibangun dan atau direhab ratusan kilometer jalan raya, jembatan dan penyeberangan sungai beserta terminal/pelabuhannya. Lapangan udara makin banyak jumlahnya dan menungkat kapasitas pelayanannya dengan pertambahan pesawat udara yang dikontrak dari maskapai LN rekanan perusahaan penerbangan nasional. Perhubungan telekomunikasi pun mengalami perkembangan yang amat pesat. Meski siaran radio dan televisi diperkirakan sudah menjangkai 5/8 penduduk sangat disesalkan bahwa kemanfaatannya sebagai “media” kependidikan dan pengacu kesadaran kebangsaan masih amat rendah.
Akhir-akhir ini lingkup media komunikasi digelorakan oleh bermunculannya alat-alat dan sistim komunikasi dengan teknologi canggih (digital) seperti antara lain “internet” (sampai ada “warung internet”/warnet yang rupanya menjadi pendamping “warteg/warung Tegal” warung makan yang sudah lebih dulu ada). Bukan hanya itu dimanfaatkan masyarakat Bangsa Indonesia tetapi pesawat telepon seluler (“ponsel”) pesawat genggam yang multiguna merekam suara dan gambar yang dapat direproduksi kembali. Pesawat jenis itu paling sulit dikendali dan atau diawasi bila digunakan untuk kejahatan dan penyebaran isu-isu terorisme (psy war).
Dalam hal penambangan yang amat melonjak ialah penambangan minyak bumi yang sebagian dilakukan di luar pantai (offshore). Kemudian menyusul penambagan gas bumi. Tetapi produksi Dalam Negeri yang sebagian besar dikelola atau dalam naungan modal asing, masih tidak mencukupi kebutuhan bahan bakar mnyak nasional sehingga masih menjadi beban anggaran nasional yang harus disubsidi. Penambangan tembaga di Irian Barat/Papua yang dilaksanakan suatu perusahaan Amerika Serikat di pegunungan Jaya Wijaya dengan deposit yang amat besar ternyata juga memiliki deposit bebatuan mineral lain yang lebih tinggi nilainya daripada sekedar tembaga. Keadaaan ini tentu saja merugikan Bangsa Indonesia yang sebagian dari pembiayaannya berasal dari hutang LN yang tentunya harus dilunasi. Mismanagement seperti juga terjadi pada sektor pengusahaan hutan atau perkayuan. Sektor ini tidak dikelola secara baik dan cermat yang memberi peluang terjadinya pembalakan/penebangan liar di luar areal yang dialokasikan. Ratusan ribu ton kayu gelondongan atau pun yang sudah diolah mengalir kaluar wilayah Indonesia dengan “gratis”, terutama memanfaatkan daerah perbatasan dan atau muara sungai di pantai kita yang ribuan kilomter panjangnya dan tidak semua dihuni penduduk.
Sektor kelautan dan segenap potensinya adalah juga satu sektor yang kurang mendapat perhatian dan diperhitungkan dalam perencanaan strategis nasuonal mau pun daerah. Sedangkan negeri ini adalah negara kepulauan, negara maritim dengan wilayah laut yang amat luas dan didalamnya terhimpun kekayaan laut atau biota laut yang siap diangkat ke permukaan sebagai karunia Allah SWT memberi kemaslahatan anak negeri Nusantara Indonesia. Sampai dengan sekarang kekayaan laut nasional dijarah habis-habisan dan menjadi penghasilan anak negeri Sakura dan anak negeri Gajah Putih dan nelayan negara-negara tetangga RI yang lain.
Selama kurun waktu 20 tahun (1971-1981/Repelita I s/d IV) melaksanakan Pembangunan Nasional telah mampu meningkatkan derajat dan martabat warga bangsa pada umumnya dan kedaulatan negara pada khususnya. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa masyarakat merasakan kehidupan dalam kecukupan. Prestasi Nasional yang dicatat sejarah antara lain berikut.
-
Penghargaan PBB atas keberhasilan Swa Sembada Beras.
-
Penghargaan PBB atas keberhasilan dan kemajuan Bangsa Indonesia menyelenggarakan Program Keluarga Berencana (pembatasan kelahiran demi Keluarga Sejahtera di masa depan).
-
Peluncuran satelit komunikasi “Palapa” dengan bantuan lembaga angkasa luar NASA, yang membuka peluang membangun jaringan telekomunikasi ke seluruh pelosok Nusantara Indonesia.
-
Karya besar Tim Nasional dalam pimpinan Dr. Ir. Djuanda menetapkan wilayah kedaulatan RI dengan Zona Ekonomi Eksklusif-nya dalam Sidang Umum PBB.
-
Kepercayaan Dewan Keamanan PBB yang banyak kali menugasi Tentara Nasional Indonesia sebagai Pasukan Pemelihara Perdamaian PBB (UNEF).
-
Rakyat dan Pemerintah Indonesia menerima permohonan Rakyat Timor Timur untuk mengintegrasikan diri ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meskipun untuk itu ABRI harus melaksanakan Operasi Militer “Seroja” untuk mengamankan penduduk dari gangguan sisa-sisa gerombolan bersenjata.
Gejala Pembangunan Nasional Yang Tidak Sehat
Pada dasawarsa ke 3 pelaksanaan Bangnas bermunculan gejala yang tidak sehat dalam memilih/menetapkan sasaran pembangunan. Kebijakan pembangunan sektoral sering tidak dikoordinasikan dengan sektor-sektor terkait lainnya. Pendayagunaan lahan menjadi “perebutan” kepentingan antara sektor yang satu dengan yang lain. Pertimbangan faktor lingkungan hidup dan faktor hak/pemilikan penduduk berdasarkan hukum adat. Program Perumnas menyurut digantikan oleh kompleks perumahan yang serba mewah dan gedung pencakar langit yang dalam pembangunannya menyedot semen dan bahan bangunan lain yang juga membutuhkan sehingga terjadi krisis semen di pasaran dan yang mengakibatkan perlu import dengan valuta asing. Hampir di semua kota bermunculan “mart”, super market, plaza dan mall dibarengi dengan penggusuran kios-kios kaki lima dan pasar tradisional. Demikian pula yang terjadi pada sektor makanan jajanan yang dimatikan pelan-pelan oleh tumbuhnya McDonald, Kentucky Fried Chicken, Pizza Hut. Keadaan ini bukan sekedar masalah mengubah gubuk menjadi gedung bertingkat, tetapi lambat atau cepat Generasi Muda kita diubah menjadi klien konsumerisme dan terbiasa dengan makanan yang bahan bukan produksi negeri sendiri. Suatu kemewahan luar biasa bagi masyarakat yang masih berjuang untuk mengatasi kemiskinan terlilit hutang.
KKN Makin Menjadi-jadi
KKN yang makin menjadi-jadi, menopang tumbuh dan berkembangnya puluhan perusahaan yang berkait dengan keluarga Pak Harto atau Cendana. Demikian pula dilakukan oleh banyak pejabat tinggi pemerintahan Pusat dan Daerah. Membanjirnya dana pembiayaan pembangunan dengan sekitar 30 – 40 prosen menguap, maka tidak bisa dihindarkan membaranya “uang panas” yang mendorong berkembangnya konsumtisme masyarakat. Dengan menambahkan kenyataan bahwa jumlah tenaga pengangguran masih di atas 26 juta dan pertambahan anak usia sekolah (SMP–SMU) yang mendadak jadi miskin karena musibah bencana alam) akan berakibat makin besarnya kerentanan masyarakat kita si kemudian hari,
Dalam lingkup Kebudayaan kita masih boleh berbangga karena sudah mampu menerbitkan dua buku referensi Indonesia yaiu: Kamus Besar Indonesia dan Ensiklopedi Indonesia. Dengan sangat menyesal Buku Sejarah Nasional Indonesia yang sudah terbit sebanyak 7 jilid banyak dikecam para pakar kesejarahan. Penggunaan bahasa Indonesia makin kesehari makin tidak tertib bukan hanya dalam pergaulan tetapi juga dalam keresmian.
Perkembangan Politik Memanas
Perkembangan pplotik pun menjadi makin memanas yang kemudian dimanfaatkan para penentang politik Presiden Soeharto. Kondisi ini juga merapuhkan dukungan kepada kepemimpinan Soeharto. Berbagai konsep politik bermunculan yang pada umumnya menginginkan pergantian Pimpinan Nasional yang lebih demokratis. Dalam kecamuk politik ini kehadiran B.J. Habibi dengan Ikatan Cendekia Muslim Indonesia (ICMI) berpengaruh besar dalam kaitan pergantian kepemimpinan tersebut. Demekian pula dalam lingkungan Golkar yabg lebih di tingkat Pusat yang telah dibanjiri oleh orabg-orang eks HMI sebagian besar memimpin departemen-departemen DPP. Kerisuhan kepemimpinan telah pula digarap oleh kekuatan asing dengan komprador politiknya di Indonesia.
Keadaan menjadi makin tak terkendali dengan krisis moneter yang berimbas amat kepada RI yang amat bergantung kepada bantuan pinjaman LN dan duperparah oleh keniasaan buruk KKN yang sudah merambah ke segenap strta dan sektor kehidupan bansa. Krisis ini kemudian berkembang menjadi krisis multi dimensional yang bermuara pada keruntuhan rezim Soeharto dengan Golkarnya.
Latar Keadaan Khusus:
Globalisasi dan Reformasi Nasional
Globalisasi adalah suatu kenyataan yang wajar dari perkembangan umat sedunia sebagai akibat (atau hasil) makin besarnya pengembangan dan penggunaan ilmu dan teknologi secara universal. Permasalahan utama ialah makin besar tumbuh-nya kemauan orang untuk bersama-sama mengendalikan akibat buruk penerapan teknologi yang merugikan dan mengancam kehidupan umat sedunia (seperti antara lain teknologi nuklir, masalah ozon, narkoba, pestisida yang meresap dalam bahan makanan, wabah penyakit dll). Keadaan ini berkembang pada fungsi-fungsi sosial seperti perdagangan, distribusi, produksi termasuk permasalahan enerji, tandon air tanah dan kesuburan tanah serta masalah kelautan.
Permasalahan ini kemudian merambah kepada kebijaksanaan (policy) masing-masing negara dan malahan juga secara perhimpunan negara-negara secara regional. Posisi masing-masing negara atau himpunan regional ialah memperjuangkan keadilan dan kebersamaan/kesederajatan. Di lain pihak negara-negara adhi daya (meminjam istilah Bung Karno: The Old Established Nation/Oldefo) kuat bertahan pada perikehidupan sebagai yang sudah mereka capai dan nikmati sekarang ini, kalau perlu “dipaksakan” norma-norma mereka sebagai “model” masyarakat masa depan.
Posisi “pantang undur” dalam berbagai usaha membangun kerja sama yang berkesetaraan dan berkeadilan paling sering di-intimidasi oleh bayang-bayang hegemoni Amerika Serikat, yang oleh banyak kalangan pakar politik internasional disebut sebagai wacana “Globalisme”. Globalisasi sebagai isme dengan menerapkan kaidah-kaidah Kapitalisme dan Liberalisme dengan perlindungan kekuatan militer dan intelijnnya, yang mau atau tidak mau melemahkan posisi negara yang masih sangat bergantung kepada “bantuan” dari luar seperti halnya Indonesia.
RI Paling Kedodoran
Republik Indonesia paling kedodoran berkenaan dengan perkembangan ini, karena sesungguhnya pemerintah Orde Baru sedang penuh imajinasi untuk melancarkan “pembangunan tinggal landas” (masih dengan bantuan LN!?). Pertama didera oleh krisis moneter internasional, kemudian berlanjut sebagai krisis ekonomi dan mengerucutnya menjadi krisis politik yang dengan cepat menyusutkan wibawa pemerintahan Presiden Soeharto.
Berbagai elemen politik yang semula menjadi penopang keberhasilan pemerintahan Orde Baru berbalik menentang atau tidak berbuat sesuatu guna memulihkan krisis pemerintahan ini, termasuk Golongan Karya baik yang dalam Kabinet mau pun yang di parlemen (DPR/MPR). Demikian pula Fraksi ABRI di DPR/MPR “membeku” menyertai keruntuhan Pemerintahan Orde Baru yang awalnya mereka prakarsai (1966). “Pergulatan” yang dramatis terjadi dalam diri Pak Harto merasakan pahitnya krisis politik yang justru didukung (?) oleh orang-orang kepercayaannya di kalangan Golkar dan ABRI.
Dua pilar utama pendukung Pemerintahan Orde Baru. Usaha Presiden Soeharto untuk membangun “pilar” keempat yang diharapkan dari kekuatan politik Islam belum menjadi kenyataan. Maka dengan pertimbangan kearifan dan jiwa besar, di hadapan para Ketua dan Hakim Mahkamah Agung, Pak Harto menyerahkan jabatan kepresidenan kepada Wakil Presiden B J Habibi pada Mei 1998. Ini suatu peristiwa ketatanegaraan yang tidak taat asas/konsisten dengan aturan konstitusional sebagai suatu keadaan darurat. Tidak dapat dibayangkan seandainya, entah Presiden Soeharto, entah Ketua MPR memaksakan serah terima jabatan itu dilaksanakan di gedung MPR, yang waktu itu sudah “diduduki” kelompok-kelompok mahasiswa yang sesungguhnya hanya ratusan orang saja. Adu kekerasan akan pasti terjadi bila aparat keamanan mengusir para mahsiswa itu keluar dari komplek DPR/MPR dan dapat diperkirakan betapa besar korban jiwa yang akan terjadi. Inilah keruntuhan pemerintahan Orde Baru yang selama 30 tahunan membangun negeri tercinta ditopang oleh kekuatan politik Golongan Karya, kekuatan birokrasi/Korp Pegawai Negeri (Korpri) dan Angkatan Bersenjata RI (ABRI) dengan Dwi Fungsinya.
Berakhir sudah era pemerintahan Orde Baru yang selama 30 tahun telah mampu menampilkan “Indonesia Modern” yang serba gebyar teknologi sampai dengan industri yang kompleks seperti halnya penerbangan/aviation tetapi gagal membangun ketahanan nasional kesejatian diri yang tidak mudah luluh berantakan diterpa badai Globalisme yang secara filsafati bertentangan dengan Pancasila sebagai kesejatian diri Bangsa Indonesia modern. “Kemenangan” kaum yang memperjuangkan “perubahan” tata pemerintahan dan pembangunan yang didambakan oleh segenap Rakyat sesungguhnya sangat terbatas, yaitu:
(1) Segera atasi/normalisasi keadaan ekonomi.
(2) pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN)
(3) Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa .
Tuntutan tersebut sudah cukup sering dilakukan oleh Lembaga Masyarakat (LSM) dalam berbagai forum diskusai terbuka, seminar dan sarasehan yang juga sering ditayangkan berbagai mass media, cetak maupun elektronik. Masyarakat menilai pemerintah terlalu lamban mengatasi keadaan krisis dan ini ditangkap oleh gerakan Mahasiswa di berbagai daerah sebagai dorongan untuk maju ke depan mendesak agar pemerintah pada strata mana pun berbuat memenuhi hasrat Rakyat dan begitulah yang awalnya damai tetapi padat dengan ketegangan akhirnya tidak tertahan meledak aksi-aksi demonstrasi yang juga sering dijuluki “parlemen jalanan”.
Perubahan suasana politik yang terkendali segera berubah “lepas bebas”. Bermunculan partai-partai politik sehingga jumlahnya melebihi 60 unit dengan berbagai paham dan aliran dengan satu dua tidak mencantumkan Pancasila sebagai dasar pendiriannya.
Pemerintahan Presiden BJ Habibi mengkonsentrasikan upaya perbaikan keadaan ekonomi dan moneter (kurs nilai mata uang) dan cukup berhasil dan meredam/menenangkan keresahan mayarakat. Tetapi di lingkup politik Habibi membuat “kejutan” yang membuat masyarakat geram dan merasa terhina rasa kebangsaannya, yaitu karena sebagai Presiden memutuskan tanpa lebih dulu membahas bersama para menteri terkait, menyetujui penyelenggaraan referendum bagi Rakyat Timor Timur yang sudah 26 tahun sebagai Propinsi RI. Suatu tragedi politik dalam sejarah nasional Indonesia. Suatu contoh Kepemimpinan Nasional yang mencederai kaidah Permusyawaratan dan aturan-aturan konstitusional yang berkenaan dengan kewenangan Presiden.
Dalam Pemilihan Presiden tahun 1999, oleh Sidang Umum MPR Dr. Ing. Habibi ditolak pertanggungjawabannya selanjutnya diberhentikan dari jabatan Presiden RI. Dengan itu, surut kejayaan Golongan Kekaryaan termasuk keberadaan (Fraksi) ABRI di forum MPR. DPR/MPR kini dalam penguasaan Partai-Partai Politik yang sebagian besar berhaluan liberal. Dalam Sidang Umum Pemilihan Presiden juga terjadi hal yang menunjukkan kesemrawutan (sistim) liberal yang dipraktekkan kaum politik Indonesia. Meskipun yang memenangkan Pemilihan Umum adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tetapi yang terpilih oleh sidang adalah K. H. Abdulrahman Wahid (Gus Dur) wakil dari fraksi kecil Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Demikianlah “demokrasi” dikembangkan oleh kaum “reformis”.
Pemerintahan Gus Dur Tidak Mampu Bertahan Lama
Pemerintahan Abdurahman Wahid (Gus Dur) tak mampu bertahan, karena partai-partai pendukung yang memenangkannya dari Megawati, merasa bahwa Gus Dur kurang bersungguh-sungguh menanggapi aspirasi Rakyat terutama yang berkenaan sengan perbaikan sektor kehidupan ekonomi dan usaha-usaha kesejahteraan Rakyat, Gus Dur juga memaksakan penyederhanaan struktur pemerintahan dengan mengaktifkan beberapa Departemen/kementerian antara lain: Penerangan, Sosial, Pemuda dan Olahraga, Pemberdayaan Wanita dan lain lagi yang menurut pendapatnya “sudah bisa diurus sendiri oleh masyarakat!”.
Perombakan struktur yang sudah melembaga dari Pusat sampai ke daerah dan desa bukan pekerjaan mudah dan bukannya tidak beresiko, terutama pada aspek pembinaan personel, dan pengamanan arsip. Juga pendirian Presiden dalam menangani persoalan peka seperti halnya tentang bendera dan dibenarkannya sebutan/nama Papua untuk propinsi Irian Jaya yang sebenarnya adalah wewenang SU MPR. Tentang pembebasan Tapol (tahanan politik) berkait dengan peristiwa Gerakan 30 September (G30S) PKI September 1965 yang pada dasarnya masih tetap membara di banyak kalangan masyarakat, termasuk masyarakat Nahdatul Ulama kekuatan pendukung utama Gus Dur. Pendiriannya sebagai “demokrat” yang dituangkannya dalam berbagai kebijakan Presiden itu yang membuat hubungan Presiden dan DPR menjadi amat rentan.
Kemudian gaya pribadinya yang sering “seenaknya” dalam menanggapi permasalahan nasional, yang antara lain amat terkenal sebagai identitas/gaya kepemimpinan Gus Dur ialah selorohnya “Gitu aja kok dibikin repot!”. Yang membuat sebagian besar anggauta DPR amat geram ialah ketika Presiden menyebut bahwa “DPR itu sama dengan Taman Kanak Kanak”. Akhirnya Gus Dur terjebak pada persoalan KKN yaitu “Kasus Bulog” dan perusahaan Goro yang dimodali oleh salah seorang putera Pak Harto. Tahun 2001 atas desakan berbagai Fraksi DPR oleh MPR diselenggarakan Sidang Istimewa membahas konflik politik antara Presiden dengan DPR. Sidang paripurna dengan hormat mencabut mandat dan dengan segala atributnya. memberhentikan K. H. Abdulrahman Wahid dari jabatan Presiden RI dan mengangkat Wakil Presiden RI Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan sebagai Presiden RI ke-4 menyelesaikan tugas pemerintahan hasil Sidang Umum MPR 1999.
Sekali lagi Bangsa Indonesia harus mengalami pergantian pemerintahan yang dipaksakan karena sengketa (politik) internal Presiden dengan MPR: Bung Karno ( 1945 - 1967 ), Pak Harto ( 1967 - 1998 ) dan sekarang (Gus Dur 1999 - 2001) . Presiden Megawati mulai kembali membenahi kabinetnya, termasuk kementerian/departemen yang dibekukan oleh Gus Dur. Kabinet baru ini terkesan mendahulukan menggali sumber-sumber keuangan untuk membeayai program programnya. Dalam pergumulan politik untuk memenangkan Pemilu dan Pemilihan Presiden 2005, Megawati dan PDI Perjuangan dengan berbagai manuver politik menggalang kekuatan politik Islam, terutama yang “sependeritaan” di era pemerintahan Orde Baru, maka untuk maju sebagai calon Presiden, ia menggandeng Hamzah Haz Ketua Umum PPP (bendera berlambang Ka’bah kiblat segenap umat Islam). sebagai calon Wakil Presidennya. Dan benar pasangan ini menang dalam meraih kekuasaan tertinggi dalam pemerintahan negeri ini. Kebijakan Pemerintah yang cukup “rawan politik” dalam latar kesejarahan nasional adalah hal-hal sebagai berikut.
(1) Penjualan saham BUMN-BUMN secara acak, terutama penjualan saham perusahaan telekomunikasi Indosat, yang sesungguhnya merupakan salah satu kebanggaan nasional layaknya “gaung lagu kebangsaan Indonesia Raya dan kibaran bendera Merah Putih di keluasan angkasa raya” dan masih cukup handal untuk dikembangkan di masa depan. Penjualan saham kepada suatu perusahaan Singapura memberi fihak asing untuk ikut menentukan kebijakan pemanfaatan media ini sebagai kepentingan nasional yang seyogyanya tidak dicampuri kepentingan pihak asing siapa pun itu. Kekecewaan itu juga karena sesungguhnya Indosat termasuk sedikit BUMN yang sehat dan sedang berkembang maju. Mengapa justru BUMN ini yang dikurangi saham Pemerintah RI?
(2) Pembelian peralatan perang yang canggung membeli helikopter tempur dan pesawat tempur dari Rusia tanpa disertai kelengkapan persenjataannya(!?), meskipun alasannya ialah sekedar punya untuk pendidikan dan latihan. Benarkah demikian? Apakah dasar pemikiran ini sudah diakomodasi dalam perencanaan strategis Pertahanan Nasional Jangka Panjang (10–25 tahun kedepan). Yang kemudiian menjadi runyam dengan munculnya isu dua arah: (a) politik, yaitu Megawati galang dukungan kekuatan ABRI. (b) sebagai kegiatan bisnis keluarga Presiden yang dipaksakan jadi urusan negara (APBN).
(3) Ini resiko karena dihilangkannya Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yaitu dokumen negara berisi Perencanaan Nasional 25 tahun direview dan disesuaikan dengan kebutuhan 5 tahun ke depan guna disahkan oleh Sidang Paripurna MPR, sudah di-amandemen sehingga tidak lagi diberlakukan pembahasan atas Rencana Pembangunan Nasional Berkelanjutan (5–25 tahun), digantikan dengan Kebijaksanaan Pembangunan Nasional yang dipersiapkan oleh Dewan Pimpinan Pusat yang kemudian disempurnakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Ini yang paling berat bagi Presiden Megawati, yaitu menerima dan meresmikan Undang Undang Dasar 1945 yang selama 4 kali persidangan MPR (1999–2002) empat kali mengamandemen UUD 1945 tanpa mengusik Pembukaannya, meskipun seluruh pasal-pasal yang semula/aslinya 37 itu ditambah-kurangi hingga mencapai 103 pasal dan dengan menghilangkan seluruh Bagian Penjelasan.
Yang menjadi masalah mendasar dengan amandemen ini, bukanlah banyaknya perubahan, penggantian dan perbaikan kata-kata atau pasal-pasal tetapi bahwa penggantian atau penambahan rumusan baru itu bersumber/implementasi dari kaidah-kaidah faham (Neo) Liberalisme, (Neo) Kapitalisme dan Individualisme yang tidak serasi dengan isi 4 butir pernyataan kesejatian diri Bangsa Indonesia yang tercantum dalan Pembukaan UUD 1945 (asli).
Ini yang perlu disesalkan karena ternyata dalam proses Reformasi sudah disisipi (di-infiltrasi) konsep atau idea ideologis asing untuk menumbangkan Pancasila dalam gerakan Reformasi melalui dan oleh suatu LSM Indonesia yaitu Cetro yang disponsori oleh suatu organisasi politik National Democratic Institution Amerika Serikat. Manuver mereka melalui pengacauan (di DPR) “General Election Reform” terus menuju ke “Constitutional Reform”.
Infiltrasi ideologis ini belum akan berhenti sampai dengan terhapusnya faham Pancasila dari benak dan nurani Bangsa Indonesia. Jalur-jalur lain ialah melalui bidang Ekonomi (konsumerisme) dan budaya (serba tayangan elektronik “entertainment”, “talk show” yang cenderung memperkenalkan idea berlatar ideologi asing dan terutama memanfaatkan internet yang akhir-akhir ini menjadi “hit” di kalangan kaum muda),
Idea federalisme melalui aturan tentang Otonomi dan Otonomi Khusus makin marak didiskusikan secara terbuka. Sebegitu besar dana yang di-main-kan untuk membiayai Pilkada dan patut dipertanyakan dari mana semua itu sumbernya? Apa mungkin dari “hot money” hasil korupsi ataukah mereka itu semua “keturunan/pewaris Orang Kaya” atau dari kegiatan melanggar hukum (illegal acts) seperti produksi dan perdagangan narkoba, pembalakan liar kehutanan dan penyelundupan barang haram, perdagangan manusia tenaga kerja; ataukah ada “sumber” luar negeri/kekuatan adhi daya yang menyusup melalui bentuk “grant” ke dalam keuangan kita?
Sekedar sebagai contoh di bawah ini dicantumkan salinan salah satu Balance Sheet Financial 30 September 2000.
Salinan Financial Statements Pusat Reformasi Pemilu Foundation ( CETRO ) Balance sheet as of 30 September 2000
Statement of Activity :
Revenues
|
Grants 4.918.654.587 Rp
|
OtherIncomes 216.859.364 Rp
|
Total Revenues 5.136.513.951 Rp
|
Expenses
|
1 Direct President Election 2.407.542.521 Rp
|
2 Amendment Constitution 336.946.079 Rp
|
3 Opinion Polling Gen Ass. 236.396.376 Rp
|
4 Amendment Constitution 152.369.786 Rp
|
5.Amendment Constitution 126.371.110 Rp
|
6. Institutional Support 1.172.604.784 Rp
|
Total Expenses 4.432.330.656 Rp
|
Dostları ilə paylaş: |