Dr . Mahjah Ghalib Abdurrahman;
Character Building; Metode Pendidikan Ideal
By vanza
Sejak dulu kita sudah akrab dengan pepatah “knowlegde is power but character is more”. Bahkan Mahatma Gandhi mengatakan bahwa diantara tujuh dosa yang mematikan adalah “knowlegde without character”. Maka tak mengherankan lagi ketika semua orang sekarang sibuk membicarakan wacana tentang pendidikan berbasis pembangunan karakter, sebagai upaya mengatasi berbagai keterpurukan yang melanda sebuah bangsa bahkan kehidupan muslim secar umum. Hilangnya karakter individu sudah barang tentu berakibat pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan mungkin akan segera hilang dari pandangan kita kehidupan yang ‘beratmosferkan’ nilai-nilai agama. Kita bisa bayangkan apa yang akan terjadi ketika kita kehilangan karakter? ketika sebuah negara kehilangn karakter?. Tragisnya, keterpurukan kita tak cukup sampai disitu, tetapi semakin akut karena ternyata kita juga menderita keterpurukan keilmuan. Maka jangan ‘protes’ ketika kemajuan hanya ditangan mereka yang mempunyai kesadaran tinggi terhadap ilmu pengetahuan. Francis Fukuyama menuliskan, maju dan survivenya sebuah bangsa dalam persaingan global hanyalah bagi mereka yang mempunyai high trust society atau tingkat kepercayaan yang tinggi antar individunya. Jika demikian, apalagi yang kita miliki dan kita harapkan selain kesadaran bahwa kita harus segera bangkit dari keterpurukan tersebut. Dan semua itu bisa kita mulai dari skup paling mikro yaitu pendidikan individu. Maka kualitas pendidikan yang ada harus bisa memenuhi kebutuhan tersebut.
Bagaimankah pendidikan yang ideal menurut Islam sekaligus sesuai dengan kehidupan sekarang? Berikut wawancara singkat reporter Shaffatul ‘Aisyiah (Eva Linta Cahyani dan Ria Agustina) bersama Dr. Mahjah Ghalib Abdurrahaman, Kajur Ilmu Tafsir dan Ilmu al-Quran Universitas al-Azhar (kampus putri) yang berhasil kami temui ditengah-tengah kesibukan beliau.
Bagaimana pendidikan dalam Islam?
Mari kita bagaimana ayat al-Quran yang pertama diturunkan, sejak awal Allah melalui nabi Muhammad telah memerintahkan kita untuk menjadi orang-orang yang berilmu dengan membaca. Ini adalah perintah nyata yang menjadi landasan bagi kita, bahwa Islam mamperhatikan pendidikan. Kita juga bisa mendapatkan dalil-dalil yang berasal dari nash al-Quran dan Hadits memerintahkan hal yang sama. Maka sudah menjadi kewajiban kita untuk menuntut ilmu dan menjadi orang orang yang alim agar kita tak lagi terpuruk seperti sekarang.
Lantas, bagaimana sebenarnya pendidikan yang ideal menurut Islam?
Mau tidak mau kita harus mengakui pendidikan yang kita miliki masih jauh dari kata ideal. Pendidikan yang berkembang masih cenderung berkonsentrasi pada pengembangan kecerdasan intelektual saja. Hal itu membuat pembentuksn karakter terlupakan. Kelulusan atau kenaikan selalu diukur dari keberhasilan akademik saja. Akibatnya kita melihat fenomena ketidakseimbangan antara pengertian dan tindakan. Artinya, berapa banyak orang yang sukses akademik tetapi dia tidak memiliki kesuksesan pribadi, dia tak ‘berkepribadian’. Maka pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memberikan porsi yang seimbang antara keduanya. Memang hal ini tidak mudah, peran orang tua, ibu khususnya sangat berpengaruh, karena tidak semua hal bisa didapatkan dibangku sekolah.
Kongkritnya?
Sudah semestinya kita memperhatikan kemampuan itrapersonal dan interpersonal anak sejak dini. Pendidikan sebagai sarana untuk menyiapakan generasi dua puluh tahun yang akan datang harus berbasis pada pembangunan karakter. Tidak harus merujuk pada satu sistem saja, tapi dengan meramu dan menggabungkan beberapa metode seperti developmentally appropriate practice yaitu mendidik anak sesuai dengan tahapan perkembangannya, brain bassed learning yaitu mengajarkan anak sesuai dengan bagaiman otak bekerja atau belajar ‘ramah otak’. Selanjutnya, ada contextual and concrete learning yaitu belajar sesuai dengan konteks dan konkrit bukan ‘mengawang-awang’, inquiry based learning bagaiman mengajak anak selalu bertanya atau melakukan brain storming supaya anak berpikir dan juga skill oriented learning dan metode-metode lainnya. Educational practice harus dikembangkan, metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good yang terus menerus akan membantu pembentukan karakter anak. Yang lebih penting lagi adalah membangun pondasi yang kuat(ketauhidan ) terutama pada masa kanak-kanak, foundation of learning. Kesemuanya diramu menjadi sebuah metode yang disebut pendidikan holistik berbasis karakter (Character Building Holistic Education). Dengan begitu kita tak perlu risau dengan apa yang datang dari Barat, karena dengan sendirinya anak akan memiliki kemampuan untuk menfilternya.
Kok kesannya kita mengikuti Barat?
Tidak, sama sekali tidak!. Kenapa saya cenderung tidak menggunakan dalil- dalil normatif? karana kita sudah sama-sama mengetahui bagaimana Islam mengajarkan umatnya untuk mulai mendidik semenjak dalam kandungan, bagaiman Islam mengajarkan anak untuk shalat? Lihat bagaiman kisah Luqman dan anaknya dalam Q..S Luqman ayat 13-19!. Semua sudah ada dalam Islam, sekarang tinggal bagaimana kita mengembangkannya apa yang sudah ada tanpa harus keluar dari koridor syariat.
Kenyataanya, Barat lebih maju dari kita?
Kita tidak boleh lupa sejarah bahwa Islam pernah berabad-abad memimpin peradaban dunia. Jika sekarang harus berakhir pada kenyataan ‘pahit’, maka itu tidak boleh menjadikan kita pesimis. Ingat! ilmu pengetahuan saja tidak cukup, kita masih membutuhkan pembangunan karakter. Lagi-lagi saya ingatkan jangan sampai kita terjebak dan konsen terhadap image building saja, yang penting ‘modern’. Kemudian kita menggeser character building bahkan nyaris meninggalkannya. Mereka boleh menganggap dunia sudah ada ditangan mereka, tetapi lihat bagaimana kehidupan individu mereka? Rusak! Itu karena mereka hanya mengedepankan intelektual saja, mereka tidak pernah menempatkan agama seperti kita umat Islam menempatkan agama sebagai jalan hidup.
Jadi, ilmu pengetahuan saja tidak cukup?
Ya jelas! Membangun karakter individu berarti membangun karakter bangsa. Ketika mayoritas penduduk sebuah negara mempunyai kualitas karakter yang mulia, maka akan tercipta iklim yang damai, menjadikan suatu bangsa bermartabat dan terpercaya.
Apa maksud dari manusia yang berkarakter?
Karakter mempunyai arti yang sangat luas. Namun bisa juga kita persempit dan kita definisikan sebagai sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral, yang dimanifestikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, saling menghormati, empati, dan sifat luhur lainnya. Berkarakter berarti berakhlakul karimah. Membangun karakter berarti menumbuhkan moral, akhlak luhur yang berdasarkan nilai spiritual. Menjadi manusia yang utuh, yang mempunyai rasio, rasa, nurani, kaki dan tangan yang ‘hidup’.
Bagaimana menciptakan pribadi yang ber karakter?
Aspek moral atau karakter bukanlah suatu yan given (alami sudah ada dengan sendirinya), faktor watak atau karakter dapat dibangun, diusahakan, seperti membanagun fisik yang sehat. Jika kita belum mampu mendirikan sekolah berbasis pembangunan karakter, bukan berarti harapan kita putus disitu. Kita harus ‘cerdas’, semua sudah ada dalam Islam, tinggal bagaimana kita menerapkannya dalam kehidupan. Pendidikan formal saja tidak cukup, maka peran orang tua sangat diperhitungkan, meskipun parenting education adalah hal yang sulit. Bagaimana orang tua mampu menjadikan rumah sebagai sebuah ‘sekolah kepribadian’, bagaimana agar semua yang dilihat, didengar, dan dilakukan didalam rumah adalah sebuah pendidikan. Dan ini hanya bisa didapatkan dengan menerapkan ajaran Islam. (pendapat beliau dikuatkan dengan sebuah seminar bertajuk ‘ishlaahu al insaan asasu at taqaddum wa at tanmiyyah’ yang kami ikuti sehari setelah wawancara. Seminar ini diadakan di Shaleh Ahmad Kamil Center for Islamic Economic, yang dihadiri oleh Direktur Utama Shaleh Ahmad Kamil, Dekan Fakultas Tarbiyah, Kepala Jurusan Aqidah-Filsafat, dosen-dosen, serta beberapa wakil dari negara Arab lainnya).
Bagaimana hak pendidikan dan peran perempuan dalam pandangan anda?
Islam tidak pernah membeda-bedakan hak menuntut ilmu bagi perempuan. Mereka mempunyai hak yang sama dengan laki-laki dalam menuntut dan mengembangkan apa yang mereka punya. Wanita juga mempunyai kewajiban untuk beramal (lihat Q.s An-nahl: 97 dan Q.s At-taubah:105), dia juga punya peranan dalam bidang sosial (lihat Q.s At-taubah: 71). Intinya perempuan punya kewajiban internal dalam lingkup keluarga dan kewajiban eksternal yaitu masyarakat.Tapi jangan lupa ya , perempuan adalah ‘ra’iyyah’ bagi kehidupan rumah tangga, suami dan anak-anaknya. Jika kewajiban itu bisa terpenuhi secara maksimal, maka silahkan saja berkarir dalam bidang apapun, termasuk pendidikan. Namun, apabila peran tersebut mengorbankan kewajiban terhadap rumah tangganya, maka ia harus tegas untuk memilih salah satu diantaranya, atau malah menghancurkan keduanya.
Jadi rumah tangga harus didahulukan?
Iya. Ini adalah pendapat pribadi saya. Seorang perempuan harus mendahulukan rumah tangga suami dan anak-anaknya sebelum mengerjakan yang lain. Jika timbul pertanyaan, bagaimana kalau kita lebih dibutuhkan orang lain? saya akan menjawab dengan jawaban yang sama. Ketika seseorang mampu menata kehidupan pribadinya maka dalam waktu yang sama sebenarnya dia sedang berusaha menata kehidupan sekitarnya. Rumah tangga adalah miniatur kehidupan bermasyarakat, dan disinilah proses pembentukan karakter berjalan. Terlepas dari isu feminisme, kesetaraan gender, dan sebagainya, perempuan tetap bertanggung jawab terhadap keluarganya.
Bisa anda ceritakan bagaimana pendidikan di Mesir dan sikap pemerintah terhadap perempuan?
Saya tidak ingin menghakimi negara saya sendiri, sebagai seorang alumni al-Azhar, saya hanya ingin menyampaikan bahwa sampai saat ini al-Azhar masih terus mengadakan pertukaran pelajar dan mengutus ulama-ulama untuk berdakwah di negara lain. Satu lagi, keberadaan anda(masisir) adalah bukti bahwa al-Azhar sangat memerhatikan pendidikan. Maka tugas anda untuk menyampaikan apa yang anda dapatkan dari al-Azhar kepada mereka yang tidak berkesempatan menimba imu di al-Azhar. Mengenai peran perempuan, Mesir memberi hak yang seluas-luasnya, bahkan terdapat undang-undang khusus yang memberikan cuti kerja bagi perempuan yang mempunyai anak balita, juga undang-undang yang memberikan keringanan jam kantor bagi ibu menyusui. Ini adalah salah satu usaha pemerintah Mesir untuk meningkatakan kwalitas pendidikan
Pesan anda untuk kaum perempuan?
Pertama, kita harus menjadi perempuan yang cerdas, menjadi perempuan- perempuan yang peduli terhadap pendidikan.
Kedua, jadilah khairu ummah. Megajarkan, menyampaikan dan mengamalkan apa yang dimiliki, tidak hanya diam saja.
Ketiga, utamakan rumahmu. ketika rumah sudah tertata, maka kehidupan masyarakatpun insyaallah demikian juga.
Curriculum Vitae:
Nama: D.r Mahjah Ghalib Abdurrahman
Jabatan: Kajur Ilmu Tafsir dan Ilmu al-Quran Universitas al-Azhar (kampus purti)
TTL:
Suami:
Anak:
Riwayat pendidikan:
S.1
S.2
S.3
Alamat:
Hand phone:
Dostları ilə paylaş: |