Selanjutnya, ucapan terima kasih kami haturkan kepada Ibu. Rinnanik selaku Dosen mata kuliah Usul Fiqh I, yang telah memberikan Bimbingan kepada penulis untuk Menyusun sebuah makalah yang berjudul “ Kaidah Ushuliyah ‘Lafadz ‘Amm, Lafadz
Selanjutnya, ucapan terima kasih kami haturkan kepada Ibu. Rinnanik selaku Dosen mata kuliah Usul Fiqh I, yang telah memberikan Bimbingan kepada penulis untuk Menyusun sebuah makalah yang berjudul “ Kaidah Ushuliyah ‘Lafadz ‘Amm, Lafadz Khos, Amar (perintah) dan Nahi (larangan) ” ini
Selanjutnya, ucapan terima kasih kami haturkan kepada Ibu. Rinnanik selaku Dosen mata kuliah Usul Fiqh I, yang telah memberikan Bimbingan kepada penulis untuk Menyusun sebuah makalah yang berjudul “ Kaidah Ushuliyah ‘Lafadz ‘Amm, Lafadz Khos, Amar (perintah) dan Nahi (larangan) ” ini
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Sumbersari, 05 April 2010
Penyusun
LATAR BELAKANG MASALAH
LATAR BELAKANG MASALAH
Merupakan suatu kewajiban bagi Setiap muslim untuk memahami hukum islam secara menyeleruh berdasarkan sumber agama islam (Al-Qur’an & Al-Hadist). Karena ditakutkan ketika dalam memahami islam hanya setengah-setengah hanya akan memberikan dampak negatif. Seperti timbulnya aksi para teroris yang mengatas namakan islam dalam meluncurkan agresinya. Mereka memahami islam hanya sebagai sosok yang memberikan motivasi untuk berjihad tanpa memperdulikan wajah-wajah islam yang lain.
Oleh karena itu, usaha yang dilakukan untuk memahami islam adalah kita harus mampu membuka setiap kata dan makna yang terkandung dalam sumber-sumber islam yaitu Al-qur’an dan Al-Hadist itu. Untuk itu, kita memerlukan sebuah metode istimbat (Penggalian Hukum) yakni usul fiqh.
Disini penulis akan mencoba sedikit mengulas tentang metode istimbat dalam usul fiqh yang berkisar pada “Amar, Nahi, ‘Amm, dan khos, dengan harapan semoga sedikit membantu dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadist.
RUMUSAN MASALAH
Apakah pengertian “Amar, Nahi, ‘Amm, dan khos”?
Apakah hukum yang ditunjukan oleh “Amar, Nahi, ‘Amm, dan khos”...?
LAFADZ AL- ‘AMM
LAFADZ AL- ‘AMM
1. Definisi dan bentuk-bentuk al-’amm
Al-’Amm menurut bahasa lafadz yang menunjukan akan mencakupnya terhadap keseluruhan satuan yang sesuai dengan maknanya tanpa ada yang membatasi. Ada bebrapa lafadz yang menunjukan makna umum, diantaranya :
Kata Kull كلّ dan kata Jami’ (جميع) seperti yang terdapat ayat :
…كلّ امرئ بما كسب رهين (الطّور: 21)
هو الذي خلق لكم ما فى الأرض جميعاً.....(البقرة:29)
kata Jama’ yang disertai alif dan Lam diawalnya, seperti pada lafadz Al-Walidatu (para ibu) dalam surat al-Baqarah :233.
Kata Tunggal yang dima’rifatkan dengan Alif dan Lam. Contoh lafadz AL-Insan dalam surat al-Ashr :2.
Isim Isyarah (kata benda yang disyaratkan) seperti kata man )مَنْ ) dalam suratan-Nisa’ :92.
Isim Nakirah (indenfinite noun) yang dinafikan seperti lafadz la junaha (لاجناح)dalam surat al-Mumtahanah :10.
Isim mausul (kata ganti penghubung), seperti kata Alladzina ((الذين dalam ayat 10 surat an-Nisa’.
إنّ الذين يأكلون أموال اليتمى ظلماً أنّما يأكلون فى بطونهم ناراً وسيصلون سعيراً (النسأ:10)
Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena terdapat dalil atau indikasi yang menutup kemungkinan adanya Takhsis (pengkhususan). Misalnya surat Hud :6.
Lafadz umum yang dikehendaki keumumannya karena terdapat dalil atau indikasi yang menutup kemungkinan adanya Takhsis (pengkhususan). Misalnya surat Hud :6.
وما من دابّة فى الأرض إلاّ على الله رزقها ويعلم مستقرّها ومستودعها كلّ فى كتاب مبين (هود : 6)
yang dimaksud binatang melata pada ayat tersebut adalah bersifat umum,mencakup semua jenis binatang tanpa terkecuali. Karena diyakini bahwa yang memberikan rizki bagi semua mahluk adalah Allah swt.
Lafadz ‘Amm akan tetapi yang dimaksud adalah khusus karena ada indikasi yang menunjukkan makna tersebut. Contoh Qs. At-Taubah : 120.
ماكان من أهل المدينة ومَنْ حوله من الأعراب أن يتخلّفوا عن رسول الله ولا يرغبوا بأنفسهم عن نفسه ....(التوبة : 120)
sepintas ketika kita memahami ayat tersebut diperuntukan kepada semua masyarakat madinah dan bangsa arab yang ada disekitarnya. Namun, yang dimaksud ayat tersebut bukanlah makna umum, tetapi hanyalah orang-orang yang mampu.
Lafadz al-Amm yang ditakhsis. Yaitu al-’Amm yang mutlak, tidak disertai dengan alasan yang yang meniadakan kemungkinan adanya takhsis, tidak pula alasan yang menunjukkan atas keumumannya secara pasti. Lafadz ini secara lahir umum, sampai terdapat dalil yang mengkhususkanya. Seperti terdapat pada ayat 228 surat al-Baqarah.
والمطلّقا ت يتربصن بأنفسهنّ ثلاثة قروءٍ....(البقرة : 228 )
Lafadz umu pada ayat tersebut (Al-muthallqat / wanita-wanita yang ditalak), terbebas dari indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah makna umumnya atau sebagianya. Dalam hal ini menurut jumhur ulama’ usul fiqh, seperti yang dikemukakan oleh Muhammad Adib Shaleh, kaidah usul fiqh yang berlaku adalah bahwa sebelum terbukti adanya penakhsisnya, ayat itu harus diterapkan pada semua satuan cakupannya secara umum.
B. Lafadz Khusus (khos)
B. Lafadz Khusus (khos)
Lafadz khusus adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapapengertian yang terbatas. Abu Zahrah menyatakan, bahwa lafadz khos dalam nas syara’ menunujuk kepada pengertiannya yang secata qoth’I (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak terdapat indikasi terhadap pengertian lain. Contoh lafadz khos adalah QS. Al-Maidah : 80.
...فكفارته إطعام عشرة مساكين من أوسط ما تطعمون أهليكم وكسوتهم...(المائدة: 89)
kata ‘asyara pada ayat tersebut diciptakan hanya untuk bilangan sepuluh, tidak kurang dan tidak lebih. Arti sepuluh itu sendiri tidak terdapat kemungkinanpengertian lain. Begitulah dipahami setiap lafadz dalam al-qur’an, selama tidak aeda dalil yang memalingkan kepada pengertian lain seperti lafadz majazi (metafora. Jika terdapat indikasi yang menunjukan bahwa yang dimaksud adalah bukan makna hakikatnya melainkan makna majazi, maka terjadilah ta’wil yaitu memalingkan kepada majazi yang akan dijelaskan pada pembahasan Mutlaq dan Muqoyyad.
Pengertia Amar dan bentuk-bentuknya.
Pengertia Amar dan bentuk-bentuknya.
Mayoritas ulama’ mendefinisikan amar sebagai sebuah tuntutan (perintah) dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah derajatnya. Perintah untuk melakukan suatu perbuatan seprti yang dikemukakan Khudlori Bik dalam bukunya Tarikh At-Tasyri’, disampaikan dalam berbagai redaksi anatara lain.
Perintah tegas dengan menggunakan lafadz amara (أمر (dan yang seakar dengannya. QS. An-Nahl : 90.
Perintah dalam bentuk pemberitaan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas seseorang dengan memakai lafadz Kutiba (كتب). QS. Al-Baqarah : 178.
Perintah dengan memakai redaksi pemberitaan (Jumlah khobariyah) namun yang dimaksud adalah perintah. QS. Al-Baqarah : 28.
Perintah dengan memakai kata kerja perintah secara langsung. QS. Al-Baqarah : 238.
Perintah dengan menggunakan Lafadz Fi’il Mudhore’ yang disertai lam Amar.QS. Al-Hajj : 29.
Perintah dengan menggunakan lafadz Faradho (فرض)/ mewajibkan. QS. Al-Ahzab : 29.
Perintah dalam bentuk penilaian bahwa perbuatan tersebut adalah baik. QS. Al-Baqarah : 220.
Perintah dalam bentuk menjanjikan kebaikan yang banyak kepada pelakunya. QS. Al-Baqarah : 245.
Suatu bentuk perintah bisa menunjukkan berbagai perngertian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh guru besar usul fiqh universitas Damaskus. Diantaranya Sebagai berikut.
Suatu bentuk perintah bisa menunjukkan berbagai perngertian sebagaimana yang telah dikemukakan oleh guru besar usul fiqh universitas Damaskus. Diantaranya Sebagai berikut.
Menunujukan hukum wajib, seperti perintah untuk melakukan sholat.
Menjelaskan bahwa sesuatu itu booleh dilakukan. Qs. al-mu’minun : 51.
Sebagai anjuran. QS. Al-Baqarah : 282.
Untuk melemahkan. QS. Al-Baqarah : 23.
Sebagi ejekan atau hinaan. QS. Ad-Dukhan : 49.
Kaidah Pertama : “الأصل فى الأمر للوجوب“ meskipun suatu perintah menunjukkanberbagai perngertia, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan, kecuali terdapat indikasi lain yang memalingkan dari hukum tersebut.
Kaidah Pertama : “الأصل فى الأمر للوجوب“ meskipun suatu perintah menunjukkanberbagai perngertia, namun pada dasarnya suatu perintah menunjukan hukum wajib dilaksanakan, kecuali terdapat indikasi lain yang memalingkan dari hukum tersebut.
Kaidah Kedua : “دلالة الأمر علي التّكرار او الوحدة “, adalah suatu perintah haruslah dilakukan berulang kali atau hanya sekali. Menurut jumhur ulama’ usul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus berulang-ulang kali dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukan untuk itu.
Kaidah ketiga : “دلالة الأمر علي الفور او التّراخى“ adalah suatu perintah haruslah dilakukan sesegera mungkin atau ditunda-tunda. Menurut jumhur ulama’ usul fiqh, pada dasarnya suatu perintah tidak menunjukkan harus segera dilakukan kecuali ada dalil yang menunjukan untuk itu. Karena yang dimaksud oleh suatu perintah hanyalah terwujudnya perbuatan yang diperintahkan.
Pengertia Amar dan bentuk-bentuknya.
Pengertia Amar dan bentuk-bentuknya.
Mayoritas ulama’ mendefinisikan Nahi sebagai sebuah larangan mengerjakan suatu perbuatan dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah derajatnya. Dalam melarang suatu perbuatan Alah memakai berbagai gaya bahasa, diantaranya :
Larangan secara tegas dengan menggunakan lafadz Naha (نهى (dan yang seakar dengannya. QS. An-Nahl : 90.
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu diharamkan. QS. Al-’A’raf ; 33.
Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan itu tidak halal dikerjakan. QS. An-Nisa’ : 19.
Larangan dengan memakai kata perintah namun, bermakna tuntutan untuk meninggalkannya. QS. a-l-’an’am : 120 .
larangan dengan menggunakan Fi’il Mudhore’ yang disertai lam Nahi. QS. a-l-’an’am : 152 .
Larangan dengan cara mengancam pelakunnya dengan siksaan yang pedih. QS. At-Taubah : 34.
Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan. QS. Ali ‘Imron : 180.
Larangan dengan meniadakan wujud perbuatan itu sendiri. QS. Al-Baqarah : 193
Para ulama’ Ushul Fiqh merumuskan kaidah yang berhubungan dengan larangan, diantanranya sebagai berikut :
Para ulama’ Ushul Fiqh merumuskan kaidah yang berhubungan dengan larangan, diantanranya sebagai berikut :
Kaidah Pertama : “ الأصل فى النّهى التّحريم“pada dasarnya suatu larangan menunjukan hukum haram dilaksanakan, kecuali terdapat indikasi lain yang memalingkan dari hukum tersebut.
Kaidah Kedua : “الأصل فى النّهى يطلق الفساد مطلقاً “, adalah suatu larangan menunjukan fasad (rusak) perbuatan yang dilarang itu jika dikerjakan. Para ulama’ ushul fiqh bersepakat bilamana larangan tersebut tertuju pada zat atau esensi dari perbuatan, bukan terhadap hal-hal yang terletak diluar esensi perbuatan tersebut.
contoh dari larangan terhadap zat adalah larangan berzina, menjual bangkai, shalat dalam keadaan hadas. Larangan-larangan dalam hal-hal tersebutmenunjukkan batalnya perbuatan-perbuatan tersebut bilamana dikerjakan.
Kaidah ketiga : “ النّهي شيئ أمر بضدّه “ suatu larangan terhadap sesuatu berarti perintah terhadap perintah terhadap kebalikannya.
Al-’Amm menurut bahasa lafadz yang menunjukan akan mencakupnya terhadap keseluruhan satuan yang sesuai dengan maknanya tanpa ada yang membatasi.
Al-’Amm menurut bahasa lafadz yang menunjukan akan mencakupnya terhadap keseluruhan satuan yang sesuai dengan maknanya tanpa ada yang membatasi.
Lafadz khusus adalah lafadz yang mengandung satu pengertian secara tunggal atau beberapapengertian yang terbatas. Abu Zahrah menyatakan, bahwa lafadz khos dalam nas syara’ menunujuk kepada pengertiannya yang secata qoth’I (pasti) dan hukum yang dikandungnya bersifat pasti pula selama tidak terdapat indikasi terhadap pengertian lain.
Mayoritas ulama’ mendefinisikan amar sebagai sebuah tuntutan (perintah) dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
Mayoritas ulama’ mendefinisikan amar sebagai sebuah tuntutan (perintah) dari orang yang lebih tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah derajatnya.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Usul Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Prof. Dr. Abdul Wahhab Kholaf, Ilmu Usul Fiqh, Jakarta : Pustaka Amani, 2003.
Prof. Dr. H. Satria Efendi, M. Zein, M.A. , Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2008.