by Setiyo on August 4th, 2009 at 9:12 am
Posted In: sholat
Menjelang ramadhan ini banyak persiapan yang dilakukan dari mulai membersihkan masjid hingga persiapan persiapan lainnya. Namun sudahkah kita mempersiapkan mental ruhaniah kita? Maka marilah kita sambut ramadhan ini dengan terlebih dahulu mengenal hakikat dari puasa sehingga nanti dalam menjalankan dapat berlangsung dengan benar dan khidmat. Hakikat segala sesuatu dapat kita lihat pada ending nya, puasa ending adalah kita kembali kepada yang suci (idul fitri) yaitu suatu kesadaran diri yang benar benar bersih dan suci. Kesucian inilah yang akan menjadi tujuan utama dalam puasa, untuk itu kita harus pegang betul tujuan ini dan kemudian kita gali bagaimana untuk memperoleh kesucian tersebut.
Cara pertama adalah dengan mengenal tentang diri terutama bagian dari diri yang suci yaitu Ruh. Ruh memiliki 3 sifat yang pertama adalah suci, kedua bashiroh (tahu) dan yang ketiga adalah kembali kepada Allah. Suci adalah sifat Ruh, tahu atau bashiroh adalah pekerjaan Ruh dan kembali adalah tugas Ruh untuk mengantar manusia kembali kepada Allah. Untuk mendapatkan kesadaran Ruh yang suci ini manusia harus bersedia kembali mengikuti ruh yaitu ke Allah karena ini merupakan jalan satu satunya untuk mendapatkan kebaikan bagi jiwa itu sendiri. Kembali dalam artian pulang ke Allah meninggalkan tubuh. Kita tinggalkan tubuh karena letak hawa nafs ada pada tubuh. Ibadah puasa adalah meninggalkan tubuh kita dengan tidak memberi makan, tidak memberikan kelonggaran kepada syahwat dan maksiat batin lainnya.
Cara kedua adalah dengan menyengaja meninggalkan tubuh untuk kembali ke Allah terutama disaat puasa siang hari. Dalam artian selama puasa kita usahakan untuk selalu pasrah kembali kepada Allah dalam segala aktivitas. Sekali kita turun ke jasad maka pahala puasa akan berkurang banyak. Maka dalam puasa nanti kita mempertahankan diri untuk berada dalam kondisi ON yaitu berada pada kesadaran ruhaniah.
Kedua cara tersebut akan mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa puasa adalah latihan untuk menjadi atau kembali kepada yang fitrah, untuk di hari idul fitri kita merayakan dengan saling memaafkan, ternyata memaafkan ini juga merupakan ekspresi dari ruhaniah yang tidak mau menyimpan dendam dan dosa terutama kepada orang lain.
Sebagai kesimpulan bahwa marhaban yaa ramadhan tidak sekedar tulisan spanduk yang terbentang di masjid masjid dan jalan raya namun merupakan persiapan diri kita untuk menyambut bulan training puasa. Training ini nanti akan menghasilkan suatu keadaran yang dulu pernah kita raih yaitu kesadaran ruhaniah.
└ Tags: artikel, marhaban, puasa, ramadhan, ruh
Struktur Insan Dari Pak Alif
by Setiyo on August 4th, 2009 at 11:21 am
Posted In: sholat
Salaam,
Untuk menjelaskan struktur insan yang kompleks ini maka Imam Al-Ghazali ra menggambarkan bahwa manusia itu adalah hewan yang mampu berpikir (hayyawan nathiq)., maksudnya berjasmani seperti hewan, tapi juga mampu mencerap pengetahuan tentang Allah SWT sebagaimana malaikat. Perbedaan antara manusia dengan hewan adalah adanya tambahan unsur jiwa (an-nafs) yang membuat manusia mampu berpikir dan mewujudkan apa yang dipikirkannya (nathiq), baik dalam bentuk perkataan hingga perbuatan, sehingga bila saja binatang diberi jiwa (an-nafs) sebagaimana yang diberikan kepada manusia, tentu ia akan sanggup berpikir dan akhirnya mukallafah.
Struktur makhluq yang seperti ini oleh Imam Al-Ghazali ra dibagi dalam tiga aspek: Jiwa (an-nafs), Ruh dan Jasmani (jism).
Jasmani manusia terbentuk dari berbagai komponen dan unsur yang sanggup ‘membawa’ dan mempertahankan ruh dan nafsnya, yang kemudian menjadi suatu tubuh berpostur yang memiliki wajah, dua tangan dan kaki, serta bisa tertawa. Unsur-unsur jasmani tersebut adalah unsur yang sama dengan unsur makrokosmos yaitu air, udara, api dan tanah. Hal ini terlihat dari proses penciptaan jasmani Nabi Adam as yang dilukiskan melalui tahapan ath-thiin dan shalshal di mana kedua jenis tanah liat tersebut merupakan hasil dari perubahan empat unsur tanah, air, udara dan api. Bagi anak-cucu Nabi Adam as, proses tersebut tidak transparan lagi karena jasmani bani adam terbentuk dalam rahim ibu melalui fase-fase nuthfah, ‘alaqah dan mudhghah. Meski begitu secara hakiki jasmani bani adam tetap berasal dari 4 unsur tersebut dan akan kembali ke bentuk unsur dasar itu.
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan insan dari suatu saripati (berasal) dari tanah (thiin). Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).Kemudian air mani itu Kami ciptakan jadi segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami ciptakan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami ciptakan menjadi tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk (berbentuk) lain. Maha Memberkahi Allah, Sebaik-baiknya Maha Pencipta. (Al-Mu’minun [23]: 12-14)”
Dan (ingatlah), ketika Rabbmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku menciptakan seorang basyar dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam (shalshal) yang diberi bentuk.” (Al-Hijr [15]: 28)
Kemudian adanya ruh membuat manusia mirip dengan hewan karena ruh yang dimaksud di sini adalah ruh yang juga dimiliki oleh hewan, yaitu ruh hewani. Dalam Al-Qur’an dikenal dengan istilah “nafakh ruh”. Ruh hewani ini adalah sesuatu yang bertempat, sehingga eksistensinya bisa dideteksi oleh ilmu kedokteran. Ia berjalan (mengalir) di seluruh anggota tubuh, pembuluh darah , urat nadi dan syaraf. Kehadirannya di suatu anggota tubuh, membuat bagian tubuh tersebut menjadi hidup. Apakah itu berwujud gerakan, sentuhan, menatap, mendengar, dan sebagainya. Ibaratnya seperti pelita yang beredar menelusuri suatu tempat yang penuh dengan lorong-lorong; tempat tersebut adalah ibarat tubuh. Bagian-bagian tubuh yang diibaratkan dengan lorong-lorong akan hidup ketika cahaya pelita menerangi lorong tersebut.Cahaya pelita itulah ibarat dari ruh hewani yang mengalir dan beredar di seluruh tubuh. Ruh tersebut tidak memberi petunjuk pada pengetahuan. Ia tak lebih daripada perangkat unik yang bisa mematikan badan, di mana misi Rasulullah Saw bukan ditujukan pada ruh tersebut. Ruh inipun bukanlah Ruh Amr yang dimaksud di Al-Israa’ [17]: 85
Dan mereka bertanya kepadamu tentang Ar-Ruh. Katakanlah: Ar-Ruh itu berasal dari Amr Rabbku, dan tidaklah engkau diberi pengetahuan tentang itu melainkan sedikit. (Al-Israa’ [17]: 85)
Sehingga bisa dikatakan bahwa Imam Al-Ghazali meluruskan pemahaman sebagian umat Islam yang menyamakan makna Ar-Ruh dengan Nafakh Ruh (ruh hewani).
Kemudian manusia juga memiliki jiwa (an-nafs) yang merupakan jauhar, yaitu yang berdiri sendiri, tidak berada di tempat manapun dan juga tidak bertempat pada apapun. Jiwa adalah alam sederhana yang tidak terformulasi dari berbagai unsur (materi) sehingga tidak mengalami kehancuran sebagaimana benda materi. Karena itu, kematian bagi manusia sesungguhnya hanyalah kematian tubuh dimana yang hancur dan terurai kembali ke asalnya adalah tubuh, sedangkan jiwa tidak akan hilang dan tetap eksis, sebagaimana firman Allah di Ali ‘Imran [3]: 169.
“Janganlah engkau sekali-kali mengira bahwa orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu mati: bahkan mereka itu hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki”. (Ali ‘Imran [3]: 169)
Jiwa (an-nafs)merupakan esensi yang sempurna dan tunggal yang tidak muncul selain dengan cara mengingat, menghapal, berpikir, membedakan dan mempertimbangkan sehingga dikatakan bahwa ia menerima seluruh ilmu. Ia mengetahui masalah-masalah yang rasional maupun yang ghaib. Dialah yang sanggup memahami, berpikir dan merespon segala yang ada; bukan tubuh maupun otak yang sebenarnya hanyalah sebentuk materi. Bahkan Imam Al-Ghazali ra mengatakan bahwa ilmu pengetahuan sebenarnya adalah suatu kondisi yang ada pada jiwa. Adanya ilmu menggambarkan jiwa yang berpikir tenang (an-nafs an-nathiqah al-muthmainnah) tentang hakikat segala sesuatu, artinya adanya pengetahuan tentang al-haq itu merepresentasikan tentang jiwa. Ini dikarenakan jiwa di dalam tubuh akan berusaha mencari kesempurnaan, agar ia sanggup mengikuti derajat malaikat yang dekat dengan Allah (muqarrabun), di mana Allah adalah sumber segala pengetahuan juga merupakan obyek ilmu yang paling utama, paling tinggi, dan paling mulia.
Kesemuanya ini adalah struktur dasar yang memiliki alamnya masing-masing, tetapi kemudian dalam totalitas diri manusia, semua ini akan saling berinteraksi dan membentuk relasi-relasi. Relasi-relasi antar alam ini kemudian bisa mewujud dan menciptakan alam-alam baru yang tak kalah eksis. Bahkan kehadiran mereka bisa membiaskan eksistensi struktur dasar jiwa-ruh-jasad sehingga manusia menjadi makhluk yang amat kompleks. Pada titik inilah usaha mengenali diri sebagaimana diisyaratkan dalam hadits Rasulullah Muhammad Saw “Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa Robbahu”, menjadi sedemikian sulit dan butuh jihad. Semakin kompleks kehidupannya, maka semakin besar jihad yang dibutuhkan.
Demikian, mohon maaf bila ada hal2 yang kurang berkenan.
wassalam.
selengkapnya silahkan baca di sini http://suluk.blogsome.com/2005/06/30/jism-aradh-jauhar-dan-ruh-amr–struktur-insan-dalam-perspektif-imam-al-ghazali/
└ Tags: insan, jasad, jism, jiwa, nafs, ruh
Dostları ilə paylaş: |