BAB VIII
SISTEM POLITIK ISLAM
Kompetensi Dasar
Setelah membaca bab ini taruna diharapkan :
-
Mengerti tentang makna politik baik secara umum maupun menurut Islam
-
Memahami pengerti tentang politik Islam
-
Memahami kontribusi agama dalam kehidupan politik
-
Menjelaskan sumbangan praktis Islam dalam perpolitikan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
-
Mengerti tentang peranan agama dalam mewujudkan persatuan dan kesatuan
-
Pengertian Politik
Term politik tidak ditemukan dalam bahasa Arab, melainkan berasal dari bahasa Latin ‘politicus’ atau dari bahasa Yunani ‘politicos’ yang berarti berhubungan dengan warga negara atau warga kota. ‘Polis’ berarti kota ( Noah, l980: 437). Kata itu terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi ‘politik’ dalam bahasa Arab adalah as-siyasah (AlMunawwir,[t.th.]: 724).
Secara etimologis (istilah) dalam pengertian yang amat longgar “politik” mengandung arti; (1) pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan, sistem pemerintahan, dan dasar-dasar pemerintahan, (2) Semua urusan dan tindakan mengenai pemerintahan terhadap negara lain, (3) Pengembilan keputusan, (4) Kebijaksanaan, dan (5) pembagian atau penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat (Miriam, l993: 8-9). Deliar Noer menjelaskan ‘politik’ adalah segala aktifitas atau sikap yang berhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untuk mempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.
Bertolak dari berbagai pengertian dan kandungan yang terdapat dalam kata ‘politik’, jabarannya dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat amat luas. Pencalonan diri supaya menjadi presiden, anggota DPR, ketua suatu kelompok kesenian, kelompok diskusi, kelompok pengajian sekalipun merupakan tindakan politik karena di balik itu semua berkait dengan kekuasaan. Kegiatan kampanye, propaganda untuk memperoleh kekuasaan tersebut merupakan tindakan pilitik karena secara nyata adalah mempengaruhi orang lain supaya mengikuti kehendak pelaku kampanye atau propagandis tersebut. Ribuan buruh suatu pabrik yang melakukan demonstrasi menuntut kenaikan upah kerja adalah tindakan politik karena mempengaruhi pemilik perusahaan agar mengikuti kehendak para buruh itu. Para mubaligh yang berceramah di hadapan para jamaahnya, meskipun secara umum disebut dakwah dapat pula disebut berpolitik, praktisnya isi kongkrit ceramah adalah ajak-ajak atau mempengaruhi jamaah (audiens) agar berbuat sesuatu yang baik menurut agama.
Aneka produk perundang-perunbdangan seperti konstitusi, undang-undang dasar, peraturan pepemerintah (pp), Surat Keputusan (SK) dari presiden, mentri, gubernur, atau secara umum adalah pemerintah, atau dari badan-badan dan lembaga tertentu juga merupakan tindakan politik karena isi SK pastilah merencanakan susunan tertentu dalam masyarakat atau seseorang, yaitu mengangkat atau memberhentikan status dalam struktur tertentu.
Karena istilah politik tidak ditemukan dalam ajaran dasar dalam Islam, tetapi agama ini mengatur secara umum agar sikap, mental, dan perbuatan harus baik, termasuk di dalamnya perilaku manusia dalam berpolitik, maka kalau harus dimunculkan istilah politik Islam, pengertiannya bisa saja persis yang dikemukakan oleh Miriam Budihardjo, Deliar Noer, atau yang lainnya, kemudian ditambah frasa berdasarkan hukum-hukum Allah yang terkandung dalam Alquran maupun as-Sunnah sahihah. Wujud kekuasaan politik Islam diselenggarakan menurut Alquran dan as-Sunnah (Abdul Mu’in Alim: l994: 293). Alquran dan as-Sunnah sebagai dasar sistem poilitik inilah yang membedakan dengan sistem politik apapun yang non Islam (sekuler).
-
Sistem Politik dalam Islam
Jika mengacu kepada sejarah perpolitikan Islam terutama zaman klasik, bahkan hingga zaman kontemporer ini, sebenarnya tidak ada pembakuan secara umum yang berlaku di negara-negara yang memproklamirkan diri sebagai negara Islam. Alquran maupun as-Sunnah tidak memberikan penjelasan yang mnendetail dan rinci mengenai sistem politik. Sumber asasi di dalam Islam hanya memberi rambu-rambu yang amat global, umpama Allah berfirman:
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya).....(QS. An Nisa’ : 59).
Ayat ini secara implisit menghendaki keberadaan: (1) suatu negara yang ada pemimpinnya, (2) rakyat yang taat kepada pemimpin, (3) Jika ada pertentangan di antara kedua belah pihak hendaklah kembali kepada petunjuk Alquran dan as-Sunnah, dan (4) tidak boleh ada dominasi dari satu pihak kepada pihak yang lain. Jadi pemimpin mengayomi rakyat dan rakyat taat kepada pemimpin.
Lanjutan ayat itu berbunyi
Artinya :
“...jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya“.(QS. An Nisa’ : 59).
Empat poin dalam kandungan ayat ini adalah perwujudan iman. Implikasinya lebih jauh adalah : (1) Jika para pemimpin tidak mengayomi rakyat, (2) jika rakyat tidak taat pemimpin atau pemerintah syah, (3) jika ada perpebedaan prinsip antara rakyat dan pemerintah (pemimpin) yang cara pemecahannya tidak dikembalikan menurut petunjuk Al Quran maupun as-Sunnah, maka mereka itu tidak termasuk orang beriman.
Kata ‘iman’ seakar kata dengan amin, artinya aman tidak ada gangguan dan ancaman. Aplikasinya dalam kehidupan kenegaraan baik pemerintah maupun rakyat harus bersama-sama menciptakan suasana aman atau kondusif sehingga kehidupan bersama dalam berbagai bidang seperti : ekonomi, sosial, politik, dan yang lainnya berjalan dengan lancar aman, tanpa rasa khawatir akan berbagai macam gangguan. Siapapun yang membuat gaduh atau kacau dalam suatu negara, dia itu bukan orang beriman. Al-Amin’ juga berarti kuat dan setia, artinya sebagai warga negara harus setia terhadap negara secara kuat (nasionalisme) yaitu cinta kepada negara (hub al-wathan) sebagai bagian integral dari iman. Siapapun warga negara atau badan apapun dalam suatu negara seperti LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang menjadi antek negara asing) dan menjual dokumen-dokumen penting negaranya adalah bukan orang-orang beriman. Mereka amat berbahaya kerena pada hakikatnya mereka itu adalah mesin pengkhianat negara. Sudah sepantasnya jika keberadaan mereka harus dikikis habis tak bersisa.
Kata ‘iman juga seakar kata dengan ‘amanah’ yang berarti dapat dipercaya. Kaitannya dengan kenegaraan, baik pemerintah maupun rakyat harus saling dapat mempercayai maupun dipercayai. Rakyat bersifat anarkhis dan pemerintah yang korup, jelas masing-masing tidak dapat dipercaya atau mempercayai. Lebih dari itu mereka sebenarnya tidak beriman. Suatu negara yang pejabatnya korup, mementingkan kekayaan pribadi dengan cara menggerogoti kekayaan negara secara tidak syah, negara ini disebut al-madinah alfasiqah, yaitu negeri yang rusak (Harun Nasution, l981 : 33). Sementara itu, jika rakyat besifat anarkhis dan mamaksakan kehendaknya sendiri sehingga negara itu menjadi semrawut, para pemimpin hanya sibuk mengurusi demo-demo berkepanjangan sehingga tidak bisa mengatur negara secara baik, negara ini disebut, al-madinah al-jama’ah. Negara seperti ini semuanya ingin berkuasa. Al-madinah a-jama’iah adalah salah satu bentuk dari negeri bodoh (almadinah al-jahilah), yaitu negara baik pemerintah maupun rakyatnya hanya berusaha memenuhi kebutuhan jasmani, memperkaya diri, ambisi kekuasaan, dan mengumnbar hawa nafsu (Harun Nasution, l981 : 33). Suatu bangsa yang bentuk negara dan sistem pemerintahannya bertipologi al-madinah al-jami’ah maupun al-madinah al-jahilah secara prinsip bangsa itu dapat dikatakan sebagai bangsa yang tidak beriman karena tidak amanah.
Kata ‘iman’ seakar kata dengan al-amin artinya tenteram, damai dan aman. Kaitannya dalam kehidupan bernegara, seluruh rakyat maupun yang memangku jabatan kepemerintahan harus menciptakan ketenteraman, kedamaian, dan keamanan baik dalam level individual, secara batiniah maupun lahiriah, dan dalam level kehidupan bersama. Profokator dari manapun asalnya apakah dari unsur pemerintah maupun rakyat yang menyulut pertikaian antar golongan, antar kelompok, antar pemeluk agama, dan antar suku adalah perbuatan yang tidak bertanggung jawab dan tidak beriman kepada Allah maupun hari akhir. Kita semua harus mewaspadai para politikus kotor maupun kelompoknya sehingga ruang gerak mereka terbatas atau dinetralisir sama sekali.
Kata at-Ta’min juga seakar kata dengan iman dan artinya gadai. Kaitannya dengan kehidupan negara, setiap warga negara secara prinsip diri mereka masing-masing digadaikan kepada negara, harus tunduk dan patuh kepada negara. Inilah yang dimaksud bahwa proses terbentuknya suatu negara melalui social contract dan pemegang kekuasaan disebut pemegang amanah dari rakyat.
Karena begitu longgar petunjuk baik Al Quran maupun As-Sunnah, maka aktualisasi politik dari generasi ke generasi atau antara wilayah satu dengan wilayah lain di dunia Islam cukup berfariatif dan lebih bersifat temporal menurut selera masing-masing pendiri negara, umpama dalam menunjuk dan mengangkat kepala negara sebagai yang memerintah. Nabi Muhammad menjadi kepala negara di Madinah terjadi secara otomatis sebagai akibat ditaati oleh setiap warga di Madinah dan seluruh jazirah Arab. Abu Bakar as-Siddiq menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat -bukan dalam arti nabi maupun rasul- dipilih secara kerakyatan (Hasan, l968 : 34). Pengganti Abu Bakar adalah Umar bin Khattab menjadi khalifah ditunjuk oleh Abu Bakar kemudian disetujui oleh seluruh warganya (Hasan, l968: 37). Usman bin ‘Affan menggantikan posisi Umar bin Khattab dengan cara Umar bin Khattab menunjuk enam orang calon, satu diantaranya adalah Usman bin ‘Affan sendiri, ia memenangkan dalam pemilihan yang kemudian membawanya menjadi khalifah. Pengganti Usman bin ‘Affan adalah Ali bin Abi Thalib dengan dipilih oleh mayoritas umat Islam. Ali bin Abi Thalib sebagaimana dua pendahulunya terbunuh dalam insiden politik. Pengganti Ali bin Abi Thalib adalah Muawiyah bin Abu Sufyan dengan cara yang amat licik, yaitu melalui teknik tahkim (arbitrase) di Daumatul jandal.
Pihak Ali bin Abi Thalib diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dan pihak Muawiyah bin Abu Sufyan diwakili oleh Amru bin ‘Ash. Keduanya bersepakat dalam sidang menurunkan pemimpin masing-masing. Waktu itu Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah, semerntara Muawiyah hanya sebagai gubernur, bukan level khalifah. Abu Musa diminta supaya berpidato yang pertama. Isi pidatonya menurunkan pemimpin dari jabatannya masing-masing, dan aksi ini disetujui oleh seluruh anggota sidang. Sementara itu, Abu Musa al-Asy’ari adalah seorang ulama yang tawadhu’ dan wara’, dan amat kurang berpengalaman dalam liku-liku politik kotor. Setelah ia turun dari mimbar Amru bin ‘Ash gilirannya naik ke mimbar untuk berpidato. Isi pidato ada dua hal, (1) menyetujui penurunan Ali bin Abu Thalib dari jabatan khalifah dan (2) mengangkat Muawiyah bin Abu Sufyan sebagai khalifah dan langsung disambut sorak gempita dari pendukungnya. Pada saat itu kelompok Ali bin Abu Thalib merasa -dan memang benar-benar- ditipu oleh kelompok Muawiyah bin Abu Sufyan. Dengan demikian Muawiyah bin Abu Sufyan menjadi khalifah dengan cara kudeta tak berdarah, proses sebelumnya juga telah menumpahkan darah begitu banyak prajurit dari masing-masing pihak. Sejak Muawiyah bin Abu Sufyan mengangkat putra mahkota, maka sistem politik Islam, terutama bentuk negara menjadi sistem kerajaan atau monarkhi (Hasan, 1968: 54, 62, 66). Tetapi secara makro jika dibandingkan dengan negara-negara lain seperti di Barat, dan Cina yang sama-sama berbentuk kerajaan, Negara yang dipimpin oleh Muawiyah bin Abu Sufyan disebut sebagai negara kerajaan Islam yang secara teknis disebut daulah atau khilafah (kekhalifahan), yaitu Daulah Bani Umayyah. Kata Umayyah dinisbahkan dari kakek Muawiyah.
Selanjutnya bentuk pemerintahan semacam itu berlaku di semua wilayah Islam. Bani Umayyah tumbang digantikan oleh Bani Abbasiyah. Bersamaan dengan ini kerajaan Bani Umayyah di Andalusia (Spanyol) didirikan oleh keturunan dari Muawiyyah bin Abu Sufyan yang selamat dari pembumihangusan Abul Abbas Assafah (pendiri Bani Abbasiah). Sesudah dua kerajaan raksasa ini tumbang muncullah berbagai kerajaan di dunia Islam, seperti khilafah Bani Fatimiyah di Mesir (909-ll7l M), Khilafah Bani al-Murabbitun di Afrika Utara (l056-ll45 M), Khilafah Mamalik di Mesir maupun di Suriah (1250-1516 M), Khilafah Usmaniah di Turki (l299-l922 M), Khilafah Mughaliah di India (l526-1858 M), dan masih banyak yang lainnya.
Pada abad l8 di Eropa muncul dengan konsep dan praktik politik yang disebut nasionalisme. Melalui agitasi politik imperialisme (penjajahan) Barat ke seluruh wilayah di dunia, termasuk dan khususnya di dunia Islam pada abad l9, nasionalisme menjadi konsep politik universal (L.Stodart, l966 : l37). Sekarang ini tidak ada dimanapun di dunia yang tidak menganut paham nasionalisme, dan di sisi lain tidak bisa keluar dari paham nasionalisme itu. Maka nasionalisme menjadi paham tunggal hingga sekarang ini. Meskipun demikian, negara-negara yang akarnya kekhalifahan tetap mengelaborasi prinsip-prinsip ajaran Islam dan nasionalisme yang wujud akhirnya adalah nasionalisme yang dibedakan dari nasionalisme sekuler. Sekularisme anti atau sekurang-kurangnya memisahkan dari urusan agama, sementara nasionalisme Islam tidak demikian. Agama menjadi dasar dan sendi-sendi praktik kenegaraan.
Elaborasi antara ajaran Islam dan nasionalisme Barat menghasilkan berbagai bentuk negara Islam sesuai dengan akar sejarahnya dari masing-masing yang membentuk negara yang bersangkutan. Saudi Arabia, bentuk negaranya kerajaan, tetapi mengaku sebagai negara Islam. Iran berbentuk republik tetapi juga mengaku sebagai negara Islam. Malaisya berbentuk serikat tetapi mengaku sebagai negara Islam. OIC (Organization of the Islamic Conference) merupakan gabungan dari berbagai negara Islam yang bertujuan melenyapkan pemisahan ras, diskriminasi, dan kolonialisme dalam segala bentuk, juga bergerak di bidang ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan kegiatan vital lainnya (Esposito,IV: 201) tidak mengusahakan keseragaman bentuk negara. Urusan ini diserahkan kepada negara masing-masing anggota. Indonesia secara formal mengaku sebagai negara pancasila, bukan negara Islam, tetapi mayoritas penduduknya beragama Islam dan ikut sebagai anggota OIC. Oleh kareana itu, kebijakan apapun yang mengabaikan kepentingan umat Islam di negeri tercinta ini pasti menuai badai yang pada akhirnya akan merugikan negara itu sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada pembakuan sistem dalam Islam sehingga kepentingan umat Islam dalam membentuk negara menjadi kebebasan mereka, boleh mengambil bentuk negara kerajaan, republik, negara serikat, atau yang lainnya selagi prinsip-prinsip Islam tentang kehidupan bersama ditegakkan untuk kemaslahatan dan kemakmuran bersama (pemerintah dan rakyat).
-
Kontribusi Agama dalam Kehidupan Berpolitik
-
Syarat seorang pemimpin
Seorang pemimpin, utamanya top leader seperti raja, perdana mentri, presiden, sultan, malik dalam suatu negara (al-madinah al’uzma), gubernur untuk tingkat di bawahnya yaitu propinsi (al-madinah al-wustha), wali kota atau bupati untuk tingkat di bawah gubernur al-madinah ash-sughra), camat untuk wilayah yang lebih sempit di bawahnya, Lurah atau Kepala desa, yang seterusnya ketua RW lalu ketua RT idealnya supaya yang paling luas ilmunya dan sempurna secara fisik. Al Quran mengatakan :
Artinya :
“ Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu." mereka menjawab: "Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak ?" Nabi (mereka) berkata: "Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa." Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui “. ( QS. Al Baqarah : 247 ).
Dalam ayat itu kekayaan seorang calon pemimpin tidak menjadi syarat, melainkan ilmunya, ilmu memerintah atau ketatanegaraan. Syarat ini tentu amat penting. Dapat dibayangkan jika pemimpin tidak memiliki konsep yang matang, tepat dan benar untuk membawa negara ke arah keadilan, kemakmuran, dan ketenteraman bersama yang berlatar belakang berbagai kepentingan dari berbagai kelompok dan golongan dari suatu negara. Cepat atau lambat, mungkin yang benar secara cepat negara itu pasti ambruk, kacau, dan penuh huru-hara di negeri tersebut.
Kandungan pokok kedua dari ayat tersebut adalah seorang pemimpin haruslah sehat jasmani secara sempurna. Penampilkan seorang pemimpin, presiden, perdana mentri, raja atau yang lain yang sejenis, umpama buta, tuli, pincang kronis, gagap kalau ngomong tentu kurang menimbulkan simpati orang banyak. Orang seperti itu, mengurus dirinya butuh bantuan, bagaimana ia bisa mengurus negara ? Kebijakan-kebijakan dalam kenegaraan dari pemimpin yang cacat tubuh dikhawatirkan terjadi secara emosional, lebih-lebih kalau penyakitnya sedang akut.
Bisa saja suatu saat di suatu negara mencari putra bangsa yang memiliki prestasi basthatan fi al-ilm wa al-jism sulit. Secara fisik cacat pun boleh jika memang tidak ada yang lain dengan syarat ilmu sebagai perangkat mutlak tetap ada pada diri sang pemimpin. Dalam ayat di atas ada alternatif untuk itu, yaitu kandungan pokok yang ketiga :
Artinya : “ Allah memerintah kepada siapa yang di kehendaki “( QS. 2 : 247 )
Untuk ini Nabi bersabda :
و لوا ستعمل عليكم عبد يقود كم بكتبا ب الله فا سمعو له وا طيعوا (رواه مسلم﴾
Artinya : Seandainya ada yang memerintah atas kamu seorang budak tetapi ia yang kuat/menguasai diantara kamu mengenai kitab Allah hendaklah kamu dengar dan kamu taati perintahnya. H.R.Muslim dari kakek Husain ( Muslim,II : l30).
Dan Abu Zar mengatakan
. . . ا ن حليلى ا وصا نى ا ن سمع وا طيع وا ن كا ن مجدع
Artinya : Sesungguhnya kekasihku (Nabi) berwasiat kepadaku supaya aku mendengar dan taat terhadap pemimpin, meskipun ia buntung tangan atau kaki .)H.R. Muslim dari Abu Zar.Muslim,II : 130).
Syarat seorang pemimpin harus adil dalam semua hal yang berkaitan dengan pemerintahan. Al Quran mengatakan :
Artinya :
“ dan jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil “. (QS. Al Maidah : 42).
Artinya :
“dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu“.( QS. Al Maidah : 48 ).
Artinya :
“Maka berilah keputusan antara Kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah Kami ke jalan yang lurus“. (QS. Shad : 22).
Artinya :
“ Hai Daud, Sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan “. ( QS. Shad : 26 ).
Pengertian adil secara umum adalah wad’u syaiin fi mahallihi (menempatkan sesuatu pada tempatnya). Penerapan adil umpama menghukum yang salah dan membela yang benar dalam suatu perkara delik aduan di pengadilan.
Atas dasar syarat-syarat seorang pemimpin sebagai mana dijelaskan oleh Al Quran maupun as-Sunnah di atas harus menjadi dasar pemerintahan negara. Baik uji teoritis maupun praktis tentu konsep ini merupakan cara terbaik dibanding dengan teori manapun. Syarat keadilan yang dikehendaki Islam mencakup lintas ras, sosial, budaya, dan agama sekaligus tidak menghendaki praktik apartheit, rasialis, dan diskrimanasi.
-
Kewajiban seorang pemimpin
Bagi seorang pemimpin, umpama presiden, negara dan dan pemerintahannya adalah amanah yang dipertanggungjawabkan di hari kiyamat. (H.R.Muslim,II:124). Maka kewajiban pemimpin adalah mempertanggungjawabkan kepemimpinannya. Nabi bersabda :
. . . فا لا مير ا لذ ى على النا س راع عليهم وهو مسؤل عنهم . . .
Artinya : Seorang raja (pemimpin) bagi orang banyak adalah pengembala dan dia dimintai pertanggungjawaban tentang pengembalaannya. H.R. Abu Dawud,III: 342); Muslim,II : 125.
Lafal bagi Muslim untuk ‘anhum’ adalah ra’iyyatih. Kata ra’in yang berarti pengembala, maksudnya adalah pemimpin umat. Kata itu (ra’in) berasal dari kata kerja lampau (fi’il madi) ra’a yang berarti mengembala dan arti paraktisnya adalah pemimpin/pengelola negara. Dari kata itu juga dapat dibentuk kata ra’iyyah yang berarti gembalaan. Secara praktis gembalaan dalam suatu negara adalah umat atau orang banyak, dan kata ra’iyyah itu lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi rakyat. Jadi ra’in berarti pemimpin, dan ra’iyyah berati rakyat.
Kewajiban pokok bagi seorang pemimpin mengusahakan negara dalam keadaan aman, tenteram, dan makmur. Allah berfirman :
Artinya :
“ ....Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya.... “. (QS. Hud : 61).
Negara yang makmur adalah negara yang secara umum kondusif dan baik. Allah berfirman :
Artinya :
“ ...bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun ". ( QS. Saba’ : 15 ).
Jika seorang pemimpin tidak menjalankan amanah dengan baik secara sengaja, ia dikategorikan sebagai pengkhianat. Salah satu pengkhianatan dalam pemerintahan adalah korupsi. Koruptor akan menuai siksaannya di akhirat. Barang yang dikorupsikan akan melilit pada lehernya. Ketika itu ia meminta syafaat kepada Nabi. Nabi menjawab “Aku tidak bisa menolong (mengasihani kamu). Aku dulu pernah menyampaikan (al-haq) kepadamu (H.R.Muslim,II: 126-127). Artinya, di dunia Nabi telah memberikan penerangan supaya memerintah dengan baik, jujur, dan adil, tetapi pemimpin itu tidak mengindahkan penerangan Nabi. Mereka malah mengkhianatinya.
Kewjiban lain seorang pemimpin (imam, presiden dan yang sejenis) merupakan benteng terakhir dalam suatu negara. Di dalam kekuasaannyalah rakyat itu wajib berperang mempertahankan negara dari ancaman musuh atau mengajak semua rakyat untuk bertakwa kepada Allah. Nabi bersabda :
ا نما الا ما م جنة يقا تل من ورا ئه ويتفى به فا ن ا مربتقوى الله عز وجل كا ن له بذا لك ا جر وا ن يا مر بغيره كا ن عليه منه ( رواه مسلم عن ا بى هريرة)
Artinya :
Sesungguhnya seorang pemimpin adalah perisai orang-orang di belakangnya (rakyat) itu berperang atau takwa karena perintahnya. Jika ia memerintahkan takwa kepada Allah yang Maha Tinggi dan Maha Agung, maka ia memperoleh pahala karenanya. Jika ia memerintahkan yang selainnya, ia akan memeperoleh akibatnya. H.R. Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II: 132).
Syarat pemimpin yang demikian itu harus memiliki keberanian memutuskan sesuatu secara cepat dan tepat dalam semua keadaan. Pemimpin tidak bisa bersembunyi di balik layar kenegaraan atau hanya bersenang-senang melulu kemudian urusan negara diserahkan kepada para pembantu-pembantunya.
-
Hak pemimpin
Selagi pemimpin menjalankan kewajibannya secara baik dan tidak mengajak ke arah kemungkaran, mereka wajib ditaati baik dalam keadaan lapang atau sempit, baik dalam keadaan normal atau darurat. Nabi meminta janji setia (baiat) yang digambarkan oleh kakek Ubadah demikian :
. . . با يعنا رسول الله صلى الله عليه وسلم على السهع وا لطا عة فى ا لعسر وا ليسر وا لمنشط وا لمكره وعلى ا ثره علينا و على ا ن لا ننا رع ا لامر اهله وعلى ا ن نفول با لحق ا يمما لنا لا نما ف لو مة لا ئم (رواه مسلم عن جد عبا ده)
Artinya :
“Kami berbaiat kepada Rasulullah SAW. Untuk mendengar dan taat kepadanya baik dalam keadaan lapang atau sempit,dalam keadaan yang menyenangkan atau menjengkelkan, supaya kami mengikuti jejaknya, supaya kami tidak saling menentang suatu urusan kepada ahlinya, supaya kami senantiasa berkata secara benar di manapun kami berada, dan supaya kami senantiasa takut kepada Allah selamanya”. (H.R.Muslim, II: l3l-l32).
-
Kewajiban rakyat
Kewajiban rakyat adalah taat kepada pemimpin (pemerintah). Hadits tentang hak pemimpin di atas sekaligus menjadi kewajiban rakyat. Tetapi ketaatan rakyat kepada pemimpin hanya terbatas kepada hal-hal yang baik saja. Nabi bersabda :
. . . ا لما ا لطا عة فى ا لمعروف (رواه مسلم عن على)
Artinya : . . . bahwa taat (kepada pemimpin) hanya dalam kebaikan (Muslim,II : l31).
Dan dalam riwayat yang lain Nabi menjelaskan :
على ا لمرء ا لمسلم ا لسمع وا لطا عة فما احب وكره الا ا ن يؤ مر بمعصية فا ن ا مربمعصية فلا سمع ولا طا عة (رواه مسلم عن ابن عمر)
Artinya :
“Bagi seorang muslim wajib mendengar dan taat (kepada pemimpin) baik terhadap sesuatu yang menyenangkan atau yang menjengkelkan kecuali jika diperintah untuk bermaksiat. Jika diperintah maksiat maka tidak perlu mendengarkan atau taat (kepada pemimpin itu). )H.R. Muslim dari Ali (Muslim,II: l3l).
Jika pemimpin memiliki kebijakan yang kurang menyenangkan hendaklah bersabar, tidak boleh bughat (menentang) apalagi berdemonstrasi secara anarkhis. Nabi bersabda :
من راء من ا ميره شيئا يكر هه فليصبر فا نه من فا رق ا لجما عة شبرا فما ت فميتة جا هلية (رواه مسلم عن ا بن عبا س)
Artinya :
“Barang siapa melihat sesuatu dari amir (pemimpin) yang tidak menyenangkan hendaklah ia bersabar. Karena sesungguhnya barang siapa keluar dari jamaahnya (menentang kebijakan negara) sejengkal saja kemudian ia mati, maka matinya terhitung jahiliah. H.R. Muslim dari Ibnu Abbas (Muslim, II : 131).
Sesuatu yang tidak menyenangkan belum tentu melanggar syariat. Rakyat suatu negeri pasti terdiri atas banyak kepentingan, satu dengan yang lain sangat mungkin bertentangan. Pemerintah sering dihadapkan kepada persoalan-persoalan yang bersifat delimatis. PKL (pedagang kaki lima) yang mengakibatkan kumuh di suatu area yang demi kepentingan yang lebih luas harus asri dan bersih, dan menyebabkan arus lalu lintas sempit dan macet yang menurut ilmu kepemerintahan area itu harus lancar dan bebas hambatan dalam berlalu lintas dan bermobilisasi, harus ditata ulang yaitu dialihkan ke lokasi lain. Dalam hal ini PKL semacam ‘dikorbankan’. Dalam keadaan seperti ini rakyat, LSM, atau komponen lainnya harus tetap bersabar. Jangan malah sok menjadi pahlawan rakyat tertindas dengan cara meprovokasi rakyat untuk menentang pemerintah. Ancaman Nabi dalam hadits itu jika mereka (para penentang) kebijakan delimatis jika mati, matinya terhitung jahiliyah, alias non muslim. Senada dengan hadis itu Nabi juga bersabda ;
من حرج من ا لطا عة وفا رق ا لجما عة ثم ما ت ما ت مبتة جا هلية ومن قتل تحت را ية عمية يغضب للعصبة ويقا تل للعصبة فليس من ا متى ومن خرج من ا متى على ا يصرب برها وفا جرها لا يتحا ش من مؤ منها ولا يفى بذ ى عهد ها فليس منى (رواه مسلم عن ابى هريرة)
Artinya :
“Barang siapa yang keluar dari ketaatan (kepada iman) dan memisah dari jamaah (rakyat dalam kesatuannya) kemudian ia mati, maka ia mati secara jahiliah (non muslim), dan barang siapa yang berperang di bawah kebutaan pendapatnya maka ia dimurkai karena menuntut kepentingan kelompoknya. Barang siapa berperang karena kelompoknya, ia bukan dari golonganku (Nabi). Barang siapa keluar dari umatku, bagi umatku wajib memerangi pemutusan hubungan dan kelancangannya. Para wanitanya yang tidak takut dan tidak menepati janjinya maka mereka (juga) bukan golonganku (Nabi). H.R.Muslim dari Abi Hurairah (Muslim,II: l35).
Hadits di atas perlu dicermati dengan hati-hati dan tepat. Orang yang menentang pemerintahan dengan catatan pemerintah syah dan kebijakannya benar dengan cara mogok makan atau berdemonstrasi dengan merusak fasilitas negara dan menciptakan opini yang tidak objekktif dan menghasut orang banyak, tindakan ini sebenarnya konyol. Jika ia beragama Islam, pengakuannya tidak diterima oleh Nabi dan jika mati digolongkan non muslim. Berdalih apapun Islam tidak membenarkan mogok makan dan minum yang membahayakan kesehatannya, apalagi berakibat mati. Jika ia tidak bisa bersabar karena perilaku pemimpin (bisa berarti presiden, perdana mentri, amir, sultan, dan khalifah) selagi tidak mengajak kepada rakyat untuk bermaksiat seperti yang ia perbuat, rakyat cukup membenci dalam hati dan tidak perlu mengacuhkan. Sebagaimana Nabi bersabda :
ستكون ا مراء فتعر فون وتنكر ون فمن عرف برئ ومن ا نكرسلم ولكن من رض وتا بع قا لوا ا فلا نقا تلهم قا ل لا ما صلوا (رواه مسلم عن ا م سلمة)
Artinya :
“(suatu saat) akan ada seorang penguasa (yang berperangai jelek). Kami semua mengetahui (kejelekannya) dan kamu mengingkarinya. Barang siapa mengetahui maka ia bebas (tak ada urusannya) dan barang siapa mengingkari ia pasti selamat, sementara itu ada orang yang senang dan mengingkarinya. Sahabat bertanya: Apakah aku tidak boleh memerangi mereka wahai Rasulullah? jawabnya: Jangan. Kamu cukup membenci dan mengingkari dalam hatimu saja. H.R.Muslim dari Ummu Salamah (Muslim, II : 137).
Seandainya perilaku peminpin itu berperilaku munafik umpama ia menggunakan idiom-idiom, ikon-ikon, atau simbol-simbol agama sementara rakyat tidak lagi mempunyai wakil untuk memperbaiki keadaan tetaplah konsisten dalam kesabarannya. Nabi bersabda :
. . . فا عتزل تلك ا لفرق كلها ولو ا ن تعض على ا صل شجرة حتى يد ركك ا لموت وا نت على ذ لك (رواه مسلم عن حذ يفة بن ا ليما ن)
Artinya :
“Hendaklah mengingkari dari semua golongan itu meskipun engkau memakan dangkel pohon dan engkau menemui ajal dalam keadaan demikian. (H.R.Muslim, II : 135).
Maksud hadits itu menggambarkan para pemimpin di suatu negri dalam keadaan tidak menentu, penuh huru-hara, suasana tidak terkendali, dan -tidak lagi memiliki kawan seperjuangan atau pemimpin seperjuangan untuk mengembalikan keadaan negara yang baik dan stabil, dalam keadaan ini harus tetap beriman, tidak boleh menyeberang agama, meskipun tidak lagi memiliki makanan hingga memakan dangkel pohon, bahkan mati karenanya.
Berdemonstrasi, atau bahkan memerangi pemimpin -tetapi tidak berdemonstrasi dengan mogok makan- suatu saat justru dibenarkan dan wajib, yaitu suatu saat satu negri ada dua pemimpin, satu diantaranya harus diperangi, yaitu pemimpin yang sebenarnya tidak berhak memimpin, karena tidak mungkin dua-duanya benar. Salah satu dari keduanya pasti salah. Yang pasti salah itulah yang wajib diperangi. Lihatlah sabda Nabi :
ا ذا بو يع لخليفتين فا قتلوا الا خر منهما (رواه مسلم عن ا بى سيد ا لخذ رى)
Artinya :
Jika (kamu) dibaiat untuk dua khalifah maka perangilah salah satu dari keduanya. (HR. Muslim, Bukhari).
Satunya lagi yang tidak diperangi karena memang berhak untuk memerintah, ia wajib ditegakkan dan wajib didukung. Jika pemimpin itu pada akhirnya tidak bermoral, mengacu kepada hadits-hadits shahih tidak ada yang membenarkan untuk menggulingkan pemimpin. Hadits-hadits tentang kewajiban rakyat yang telah diuraikan itu dapat dijadikan acuan bagi kesimpulan ini. Umumnya kaum sunni seperti Asy’ari, al-Baqillani, al-Mawardi, an-Nasafi, at-Taftazani, dan an-Nawawi juga berpendapat demikian. Namun sebagian Syafi’iyyah, kaum teolog seperti al-Baghdadi, al-Ijji, al-Jurjani, Ibnu Hazm, dan kaum Mu’tazilah membenarkan pemberhentian pemimpin yang tidak bermoral, khiyanat, dan tidak melaksanakan amanahnya (Mumtaz Ahmad,l994: l03-l04).
-
Hak rakyat
Apa yang menjadi hak rakyat adalah apa yang menjadi kewajiban pemerintah, dengan demikian hak mereka memeperoleh hak hidup secara aman, tenteram, dan perlindungan dari pemerintah selagi mereka tidak mengganggu stabilitas negara dan ketertiban umum.
-
Hak dan kewajiban berimbang antara pemerintah dan rakyat
Secara prinsip hak dan kewajiban antara rakyat dan pemerintah itu berimbang. Selagi pemerintah itu melaksanakan amanahnya, yaitu mewujudkan pemerintahan yang bersih (tidak korup) dan berwibawa, memperhatikan dan mengusahakan keamanan dan kemakmuran umum, rakyat dilindungi hak-haknya, rakyat harus patuh terhadap pemerintah. Nabi bersabda,
. . . ا سمعوا وا طعوا فا نما عليهم ما حملوا وعليهم ما حملتم (رواه مسلم عن سما ك)
Artinya :
. . . dengarkanlah dan taatlah (olehmu rakyat). Apa yang menjadi (hak dan kewajiban) mereka (pemerintah) adalah memang hak dan kewajiban mereka, dan apa yang menjadi hak dan kewajiban mu memang ada padamu. (H.R. Muslim, II: l34).
-
Prinsip demokratis
Yang dimaksud demokratis adalah hak kebebasan bagi rakyat untuk memilih siapa pemimpin yang dikehendaki atau yang disenangi dan tidak memilih calon pemimpin yang tidak disenangi. Nabi bersabda :
عن رسول الله صل الله عليه وسلم خيا را ئمتكم ا لذ تحبو نهم و ويصو لون عليكم و تصلو ن عليهم و شرا را ئمتكم ا لذ ى تبغضو نهم و يبغضو نهم و تلعنهم و يلعنكم قيل يا رسول الله ا فلا تنا بذ هم با لسيف ؟ فقا ل لا ما ا قا موا فيكم ا لصلاة فاء ذا را بنم من ولا تكم شيئا نكر هم نه فا كر هوا عمله ولا تنز عوا يد ا من طا عته (رواه مسلم عن عوف بن ما لك)
Artinya :
“Dari Rasulullah SAW. Bersabda: Pilihanmu terhadap pemimpinmu adalah orang yang kamu senangi dan menjalin persaudaraan denganmu dan kamu juga menjalin persaudaraan dengan mereka. Jeleknya pemimpinmu adalah orang yang kamu memarahi mereka dan mereka memarahi kamu, kamu melaknat mereka dan mereka melaknat kamu. Dikatakan : Wahai Rasulallah ! Apakah kami tidak boleh meluruskan mereka dengan pedang ? Jawab beliau : Jangan ! Selagi diantara kamu (bebas) mendirikan shalat. Jika kamu melihat orang yang memimpin kamu berbuat hal yang tidak menyenangkan, maka membencilah kamu terhadap perbuatan mereka dan janganlah kamu menentangnya. H.R. Muslim dari ‘Auf bin Malik (Muslim,II : l38).
Hadits di atas secara implisit membolehkan adanya kelompok partai. Dari kelompok partainyalah seseorang mengajukan calon pemimpin. Kelompok lain juga berbuat yang sama. Calon pemimpin yang akhirnya menjadi pemimpin, kelompok partai manapun harus menaatinya. Ketaatan yang dimaksud hadits itu sangat ditekankan sehingga kalau kita (rakyat) melihat oknum pejabat berbuat yang tidak menyenangkan (ditinjau dari syariat), rakyat tidak boleh memberontak, melainkan cukup tidak menyenanginya atau bersabar selagi kebebasan beribadah masih tetap berlaku di negara itu.
-
Prinsip bermusyawarah (syura)
Syura berbeda dari demokrasi, khususnya dari aspek generiknya. Syura memiliki dimensi teologis karena bersumber dari wahyu ilahi dan suci (sacral) dan demokrasi tidak memiliki dimensi teologis karena bersumber dari pemikiran manusia dan bersifat provan. Dalam demokrasi secara konseptual memberikan hak kepemimpinan bagi yang memperoleh suara terbanyak dan yang selainnya supaya tetap menghormati, dan masih memberi hak oposisi untuk melakukan kontrol terhadap pemerintah; sementara itu dalam syura memberikan hak kepemimpinan kepada yang paling sanggup memikul amanah Allah dalam bermasyarakat dan bernegara meskipun tidak didukung (baiat) oleh mayoritas, tidak memberi hak oposisi, semuanya harus taat kepada pemimpin syah.
Meskipun demikian secara praktis antara demokratis dan syura amat seiring dan sejalan. Dalam memilih seorang pemimpin, wujud syura adalah baiat dan baiat secara praktis diwujudkan dengan pemungutan suara (Mumtaz, l994: l04) dan pemungutan suara adalah essensi demokrasi itu sendiri. Selanjutnya baik syura maupun demokrasi dimaksudkan untuk memecahkan semua persoalan yang menyangkut kepentingan bersama, termasuk di dalamnya mengenai kehidupan politik. Allah berfirman :
Artinya :
“ Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya “. (QS. Ali Imran : l59).
Di samping mengandung prinsip syura dalam praktik berpolitik, ayat tersebut memberikan prinsip santun dan lemah-lembut, sehingga tidak memberikan peluang praktik-praktik yang bersifat kasar, mengumpat, menghujat, memfitnah, anarkhis dan destruktif. Jika ada perbedaan antara kebijakan pemerintah dan rakyat, Al Quran menganjurkan selain bermusyawarah menuju mufakat, supaya kembali kepada petunjuk Al Quran maupun as-Sunnah. Al Quran mengatakan :
Artinya :
“ ...kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya) ... “ ( QS. An Nisa : 59 ).
Kalau Al Quran telah menjadi hakim terakhir, maka apapun keputusan Al Quran maupun as-Sunnah harus dijunjung tinggi, dilaksanakan, dan diamalkan oleh semua pihak yang bertikai. Siapa yang mengkhianati putusan atas dasar petunjuk Al Quran maupun as-Sunnah, wajib diluruskan.
-
Sumbangan Islam dalam Politik di Negara Republik Indonesia
Para pelaku sejarah perintis kemerdekaan dan pendiri negara Republik ini mayoritas adalah orang Islam. Mereka memasukkan essensi atau simpul Islam ke dalam dasar-dasar negara. Simpul-simpul Islam itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
-
Pembukaan
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 terdiri atas empat alinea. Ajaran Islam yang terserap dalam alinea ini adalah rumusan konsep peri keadilan. Adil adalah mempatkan sesuatu pada tempatnya (wad’u syaiin fi mahallih). Dengan demikian peri keadilan baik menurut sumber (Islam) maupun konsep berbangsa dan bernegara melandasi semua kebijakan yang menyangkut seluruh rakyat Indonesia.
Dalam alinea kedua terdapat kata daulat adil dan makmur. Kesemuanya berasal dari kata bahasa Arab dan simpul-simpul dalam Islam. “Daulat” berarti kekuasaan, atau perputaran. Kata daulat termuat dalam Al Quran satu kali yaitu Surat al-Hasyr/59: 7. Kata itu terserap dalam pembukaan UUD’45 dalam konteks negara yang merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri (tidak terjajah oleh bangsa asing). Sementara itu kata makmur berasal dari kata bahasa Arab ma’mur. Kata ini terdapat dalam Al-Quran satu kali :
Artinya : “ dan demi Baitul Ma' mur “ (QS. Ath-Thur : 4).
Maksud baitul ma’mur adalah Ka’bah. Ka’bah amat ma’mur karena dikunjungi berjuta-juta manusia setiap tahunnya sejak Islam generasi pertama hingga insya Allah hari akhir kelak. Dalam surat Hud/11: 61, kita diperintah supaya bumi ini dibuat menjadi makmur. Kata ma’mur berasal dari kata ‘amara yang berarti umur panjang. Kata itu juga berarti harta kekayaan yang banyak (Anis,II: 626). Negara ma’mur berarti negara yang rakyatnya berkecukupan.
Dalam alinea ketiga terdapat kata rahmat, Allah, luhur, dan rakyat. Keempat kata ini berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari ajaran Islam. Kata rahmat di dalam pembukaan UUD’45 dirangkai dengan Allah menjadi rahmat Allah. Dalam Islam rahmat Allah merupakan salah satu aqidah pokok dalam Islam. Allah berfirman :
Artinya :
“dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam“. (QS. Al Anbiya : 107).
Atas dasar pengakuan para pendiri negara ini, di samping usaha mereka dengan penuh nilai-nilai kepahlawanan juga mengaku sebagai rahmat Allah, yang tidak dapat ditafsirkan kecuali rahmat Allah secara Islam. Sementara itu kata luhur berasal dari bahasa Arab zuhur yang berarti puncak gunung (Al-Munawwir: 889). Pemakaian kata luhur dalam pembukaan dirangkai dalam ungkapan keinginan luhur yang berarti keinginan amat tinggi. Dan kata rakyat berasal dari ra’iyah.
Dalam alinea keempat juga banyak unsur serapan dari Islam. Karena di dalam alinea ini terdapat rumusan Pancasila, maka penjelasannya dituangkan dalam ruang sendiri yaitu Pancasila.
-
Pancasila
Sila pertama sejalan benar dengan prinsip tauhid baik dalam level teks suci maupun pemahaman atas teks. Tidak ada antagonisme sejak bunyi wahyu hingga konsep teologisnya. Allah berfirman :
Artinya : “ Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa “. (QS. Al Ikhlas : 1).
Artinya secara teologis menegaskan bahwa Allah itu Esa semurni-murninya, dan tidak ada rumusan lain yang bersifat dualitas, trinitas, atau kompleksitas. Rumusan murni itu kemudian masuk dalam rumusan sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. Inilah sumbangan Islam yang justru merupakan inti ajarannya ke dalam negara Republik Indonesia tercinta ini.
Dalam sila kedua “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sumbangan Islam yang langsung dapat dilihat adalah konsep adil dan beradab. Adil adalah ajaran pokok dalam Islam, khususnya dalam kehidupan bersama. Kata adil atau kata yang seakar dengannya disebut dalam Al-Quran sebanyak 28 kali yang jika diringkas hendaklah manusia itu berbuat adil terhadap Allah, dirinya sendiri, sesama manusia, terhadap tetumbuhan, binatang, maupun secara umum kapada alam semesta.
“Beradab” berasal dari kata adab. Kata ini berasal dari bahasa Arab dan juga merupakan ajaran Islam. Adab secara leksikal berarti sopan. Ini berarti hubungan antara yang satu dengan yang lain, termasuk dalam kehidupan berpolitik dan bernegara haruslah (siapapun dalam kapasitas apapun) mengembang sifat sopan dan santun. Pemerintah yang bersifat diktator atau rakyat bersifat anarkhis tidak mempunyai tempat baik dalam Islam maupun praktik kenegaraan di negara kita ini.
Sila ketiga “Persatuan Indonesia”, seiring benar dengan Al-Quran sebagai berikut:
Artinya :“ manusia itu adalah umat yang satu.... “. ( QS. Al Baqarah : 213 ).
Hakikat manusia yang sebenarnya satu itu masih diperintahkan supaya tidak saling bercerai berai. Allah berfirman :
Artinya :
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai .... “ (QS. Ali Imran : 103).
Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, merupakan perasan dari sejumlah ajaran Islam. Kata kerakyatan, hikmat, permusyawaratan, dan perwakilan berasal dari bahasa Arab dan bersumber dari ajaran Islam. Kata rakyat terambil dari kata ra’iyyyah. Kata ini terambil dari hadits,
فكلكم راع و مسئول عن رعيته. .
Artinya :
“Kamu semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya. (H.R. Muslim dari Ibnu Umar (Muslim, II:125)).
Kata permusyawaratan terambil dari kata bahasa Arab musyawarah. Kata ini terdapat dalam Al-Quran,
Artinya : “dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.“ (QS. Ali Imran : 159).
Artinya : “.sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka.” (QS. Asy Syura : 38).
Dan kata perwakilan terambil dari bahasa Arab wakil. Al-Quran menyebut kata wakila sebanyak 13 kali artinya sesuatu urusan itu diserahkan kepada yang lain untuk mengurusnya, al-mutawakilun (orang yang menyerahkan urusannya) tiga kali, dan al-mutawakkilin (orang yang menyerahkan sesuatu urusan) satu kali.
-
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
Lembaga tinggi negara yaitu DPR terdiri dari bahasa Arab semua. Kata dewan berarti mahkamah atau pengadilan. Untuk kata perwakilan dan rakyat telah dijelaskan dalam sub bab sebelum ini. DPR sebagai lembaga dengan demikian bersumber sepenuhnya dari Islam. Karena itu siapapun yang menjadi anggota DPR, baik berupa personal maupun kelembagaan haruslah bekerja dalam rangka memikul amanah dari Allah. Tidak boleh ada oknum DPR apalagi secara kelembagaan memperlihatkan praktik-praktik yang tidak terpuji dan membebani rakyat.
-
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat)
Kata majelis berasal dari bahasa Arab majlis dan berarti persidangan. Untuk kata perwakilan dan rakyat telah dijelaskan di muka. MPR sebagai suatu lembaga dalam Islam disebut ahlul hall wal ‘aqd, yaitu kumpulan tokoh dan pemimpin masyarakat, dan secara generik semuanya terambil dari Islam yang kemudian di ketatanegaraan negeri ini menjadi lembaga tertinggi negara.
-
MA (Mahkamah Agung)
Mahkamah Agung juga merupakan lembaga tinggi negara. Kata “Mahkamah” juga terambil dari bahasa Arab mahkamah. Kata ini berasal dari kata hakama dan menunjuk dengan hukum. Berbagai kata turunan dari hakama seperti hakim, mahkamah, hukmun, hukman, yatahakamu dan masih banyak lagi tercatat 192 kali yang semuanya berhubungan dengan hukum.
Mahkamah Agung sebagai suatu lembaga tertinggi di bidang hukum ini dengan demikian dimaksudkan supaya hukum Allah menurut Islam ini berjalan dengan baik dalam gelar ketatanegaraan. Mahkamah Agung merupakan benteng terdepan sekaligus terakhhir bagi tegak atau tidaknya hukum di negeri ini. Jika lembaga ini benar-benar mengedepankan supremasi hukum, tentu tidak banyak penyelewengan dalam negara. Sebaliknya jika Mahkamah Agung tidak menjadikan dirinya sebagai panglima keadilan, good govern dan clean govern tentu negara dalam waktu singkat akan ambruk karena huru-hara dan aneka penyimpangan terjadi di mana-mana justru, pendahulu dan pemicunya lembaga tinggi negara dalam bidang hukum. Karena itu sesuai dengan tujuan dibentuk lembaga tinggi dan terhormat dalam bidang hukum ini hendaklah mengemban amanat Allah, amanat negara, amanat rakyat dengan sebaik-baiknya.
Benang merah dari semua konsep di atas ialah, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang secara formal disebut negara Pancasila, essensinya adalah negara yang dibangun atas dasar fondasi Islam.
-
Peranan Agama dalam Mewujudkan Persatuan dan Kesatuan Bangsa
Agama memberikan penerangan kepada manusia dalam hidup bersama termasuk dalam bidang politik atau bernegara. Penerangan itu antara lain,
-
Perintah untuk bersatu
Islam melalui Al-Quran menganjurkan agar antar kelompok, antar golongan maupun antar partai saling melakukan ta’aruf (perkenalan). Allah berfirman:
Artinya :
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal “. (QS. Al Hujurat : 13).
Ayat ini sekaligus menjelaskan paham persamaan (egalitarianisme) untuk semua manusia atau lintas batas: ras, agama, bahasa, maupun adat istiadat. Allah menegaskan tinggi rendah martabat seseorang hanya ditentukan oleh takwa, itu saja Allah tidak menentukan di mana batas tertinggi maupun terendah takwa. Hanya Allah saja yang mengetahui karena Dia lah yang menentukan batas-batas itu. Allah justru menjelaskan bahwa kita, manusia adalah suatu organis (umat) tunggal dan Allah lah satu-satunya yang disembah. Allah berfirman:
Artinya :
“ Sesungguhnya (agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah aku “. ( QS. Al Anbiya : 92 ).
Pemahaman terhadap Al-Quran surat al-Hujarat ayat 13 menunjukkan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku, dan surat al-Mukminun ayat 52 menjelaskan bahwa manusia adalah umat yang satu. Ini berarti berbagai suku, berbagai golongan, berbagai kelompok, termasuk di dalamnya kelompok politik atau yang lainnya supaya tetap bersatu. Pengikat persatuan adalah takwa. Karakter takwa antara lain menjalankan semua perintah Allah sejauh yang diketahui dan menjauhi larangan-Nya. Jadi, ukurannya gampang kalau orang itu takwa pasti iman dan senang bersatu serta menjaga persatuan dan kesatun.
-
Larangan untuk saling curiga
Islam melarang kepada semua orang baik dalam kapasitasnya sebagai individu, sebagai kelompok sosial, maupun kelompok-kelompok yang lain termasuk kelompok politik untuk saling curiga, saling melecehkan atau yang semakna dengannya. Allah berfirman:
Artinya :
“ Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang “. (QS. Al Hujurat : 12).
Dengan demikian, terhadap orang lain atau kelompok lain haruslah saling mengembangkan husnuzhan (berprasangka baik). Kalau masing-masing kelompok saling menaruh husnuzhan tentu akan mempererat hubungan mereka sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 13 surat al-Hujarat tersebut.
Kecurigaan dan pelecehan terhadap kelompok lain hanya akan menghasilkan ketegangan antar individu maupun antar kelompok karena kelompok yang dicurigai jika mengetahuinya pasti tersinggung hanya dirinya sebagai individu maupun atas nama kelompok. Kelompok ini tentu membalas mencurigai kepada kelompok pencuriga tersebut. Akibatnya mudah ditebak, pasti timbul saling mencurigai di antara mereka. Saling curiga tentu mudah menigkat menjadi disintegrasi bahkan konflik di antara mereka. Sebagai bangsa akan menjadi lemah jika elemen-elemen di dalamnya saling mencurigai dan bertikai. Itulah sebabnya Allah melarang umat yang saling bercerai berai. Allah berfirman:
Artinya :
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai,.... “ )QS. Ali Imran : 103 ).
Perintah untuk bersatu dan larangan untuk bercerai berai disertai juga dengan al-wa’du wa al-wa’id (janji dan ancaman). Sudah barang tentu janji dan ancaman Allah pasti terjadi. Rasulullah dibebaskan dari tanggung jawab terhadap umatnya yang bercerai berai. Demikian firman Allah:
Artinya :
“ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat “. (QS Al An’am : 159).
Ayat ini juga menjelaskan bahwa Allah yang mengurus orang-orang yang memecah-mecah dari keutuhan sebagai suatu umat, dan Allah pula yang akan membalas kelakuan mereka itu, yaitu siksaan yang amat pedih.
Artinya :
“ dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat . “ ( QS. Ali Imran : 105 ).
Sebaliknya orang yang tetap istikamah dalam kesatuan umat, mereka itulah sebagai orang yang mempererat petunjuk ilahi dan dapat merasakan kenikmatan bersaudara (bersatu). Demikian firman Allah:
Artinya :
“ dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk “. (QS. Ali Imran : 103).
Mencermati perintah Allah agar kita bersatu dan larangan-Nya untuk bercerai berai itu ternyata akibatnya kembali kepada manusia itu sendiri. “Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh” merupakan kesimpulan padat dari perintah untuk bersatu dan larangan bercerai.
~~~ o0o ~~~
Latihan
-
Istilah politik dikenal dalam Islam, tetapi bukan berarti Islam tidak mengenal politik. Carilah idiom bahasa Arab yang searti dengan istilah politik. Kemudian bedakan pengertian antara politik Islam dan politik sekuler !
-
Allah berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunahnya). (Q.S. an-Nisa/4:59)”. Ayat tersebut jika dipahami melalui pendekatan ilmu politik, sekurang-kurangnya mengandung 4 hal berkenaan dengan politik. Sebutkan dan jelaskan masing-masingnya !
-
Seorang Presiden, Khalifah, Raja, Malik, Amir, Perdana Menteri adalah orang yang diberi amanah yaitu yang harus dikelola sebaik-baiknya. Kata amanah itu seakar dengan iman, amin, amanah, dan aminah. Jelaskan arti masing-masing dan berilah narasi hubungan antara istilah itu dalam kaitannya dengan kehidupan politik !
-
Islam tidak memberikan petunjuk yang mendetail dan terperinci. Ini suatu kelebihan atau kelemahan? Jelaskan pula argumen Saudara!
-
Jelaskan apa saja mengenai kewajiban seorang pemimpin berikut hak-haknya !
-
Jelaskan apa saja yang menjadi hak dan kewajiban rakyat terhadap negaranya!
-
Jelaskan perbedaan dan persamaan antara prinsip demokrasi dan prinsip syura dalam Islam !
-
Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam alinea 1, 2, 3, dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia !
-
Jelaskan sumbangan Islam sebagaiman tampak dalam perumusan sah Pancasila !
-
Jelaskan sumbangan Islam sebagaimana tampak dalam format lembaga tinggi negara MPR dan lembaga tinggi negaralainnya seperti DPR dan MA (Mahkamah Agung) !
-
Menurut Islam hakikat umat manusia itu satu, dan kesemuanya supaya taat, patuh, dan takut kepada Allah. Tulislah dalil sekurang-kurangnya terjemahannya yang menunjukkan pernyataan ini !
-
Allah menciptakan manusia bersuku-suku, untuk apa maksudnya ?
-
Islam memiliki kandungan egalitarianisme. Apa yang dimaksud dengan istilah itu ? Kemudian apa yang membedakan martabat manusia yang satu dengan yang lainnya ?
DAFTAR PUSTAKA
Almunawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia. Yogyakarta: Pondok Pesantren Krapyak. [t.th.].
Al-Azdi, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’as as-Sijistani, Sunan Abu Dawud .III.[t.tp]: Mahmud’Ali as-Sair,[t.th].
Anis, Ibrahim (et all.). al-Mu’jam al-Wasith, II. Saudi Arabia: Hasan ‘Ali ‘Aliyyah. Muhammad Syarqi Amim, [t.th.].
An-Naisaburi, Abi Husain bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi. Sahih Muslim, II. Makkah: Dar Yahya’ al-Kutub al- Arabiyyah-Indonesia,[t.th].
Budiharjo, Miriam, Dasar- dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982
Daud Ali,Mohamad. PendidikanAgama Islam.Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Delian Noer,Pengantar kePemikiran Politik. Jakarta Rajawali 1983.
Esposito, John.Ensiklopedi Oxford:Dunia Islam Moderen, IV. Bandung: Mizan, 2001.
Maududi, Abul A’la. Human Right in Islam, (terj.), Ahmad Nashir Budiman: Hak Asasi Dalam Islam. Bandung: Pustaka, l985.
Nasution, Harun. Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam. Jakarta: UI Press, l981.
Websters, Noah,Webster Twentieth Century Dictionary, USA: William Collins Publishers, l980.
Sistem Politik Islam
Dostları ilə paylaş: |