Sketsa: Merampok Ribuan Triliun Melalui Transfer Pricing Pajak (I)


“Singkat kata, dengan pola demikian perusahaan PT HtY Indonesia seumur-umur dibuat



Yüklə 95,11 Kb.
səhifə2/3
tarix22.08.2018
ölçüsü95,11 Kb.
#74145
1   2   3

“Singkat kata, dengan pola demikian perusahaan PT HtY Indonesia seumur-umur dibuat merugi terus, keuntungan lari keluar,” ujar Sutikno. Kalimat itu ia sampaikan kepada Hakim ketua SB, seorang wanita, dan anggota J dan M.

Namun seperti sidang di kasus perusahaan makanan dan otomotif yang saya hadiri, sebagaimana sudah sata tulis di Sketsa I, suara di ruang persidangan itu saya amati terlalu banyak mengupas istilah pembukuan, istilah peraturan ini dan itu, untuk menyisati kesalahan untuk dilegalkan, kendati pun sulit dicerna logika sehat.

Bahkan ketika Sutikno menjabarkan dengan sederhana pola TP terjadi, sehingga PT HtY Indonesia akan terus merugi, nada suara hakim meninggi.

“Iya, pahamlah aku itu! Tapi di kasus PPH, di tahun lama perkaranya sudah inkrah, tuntas. Kamu jangan bahas-bahas lagi perkara yang sudah inkrah, kecuali ada novum baru,” ujar SB, Hakim Ketua dengan nada tinggi.

Dalam hati saya, kok congkak kali?

Bukankah sang hakim wakil negara, mewakili rasa keadilan, demi negara memiliki tambahan pendapatan, menambah darah pembangunan?

Jika dipikir dengan logika umum saja, paparan Sutikno lebih masuk akal.

Tepat di saat nada congkak keluar dari mulut hakim SB, tamparan hujan berkuprakan menghantam kaca dinding luar Lantai 9 Gedung Sutikno Slamet itu. Cuaca Jakarta menangis.Rintik deras tetesan hujan seakan turut meradang berang.

Saya pun sedih. Jika demikian langgam hakim pengadilan pajak, esensi pengadilan menegakkan kebenaran dan keadilan, menjadi tanda tanya?

Pengadilan siang itu berjalan hingga 12.30, dan masih akan berlanjut pada 27 April 2010 mendatang. Saya bermimpi, sidang-sidang mendatang, bisa pula disiarkan langsung televisi, agar khalayak dapat melihat laku para hakim pengadilan pajak. Para hakim itu umumnya mantan pegawai DJP, terindikasi pula umumnya kotor dalam menjalankan pekerjaan ketika menjadi staff DJP.

Saya lalu keluar ruang sidang. Di daftar sidang hari itu di sebuah papan dinding, tertera setidaknya ada 50 perusahaan dari pagi hingga petang bersidang. Mereka di antaranya, salah satu produsen mobil Jepang lainnya dan Perusahaan elektronik Jepang yang pernah menjadikan Dian Sastro model.

Sekelebat mata jahil saya teringat akan kecantikan Dian Sastro melenggok. Ia mengucapkan tag line iklan produk elektronik perusahaan itu. Perusahaan itu juga terindikasi ratusan miliar melakukan TP, mengangkangi pembayaran pajak untuk negeri ini, yang berguna bagi rakyat mendapatkan pelayanan publik lebih dari negaranya.

Hakkul yakin: pastilah sosok Dian Sastro tak tahu-menahu. (bersambung)

Iwan Piliang, literary cizen reporter, blog-presstalk.com

Sketsa III: Tambun Raib di Transfer Pricing Pajak, Tambunan Kecil!

 01 April 2010 jam 16:55



Setelah Senin dan Selasa pekan ini saya menulis Sketsa soal transfer pricing (TP) dan pengadilan pajak, Rabu 31 Maret, pintu-pintu di ruang pengadilan pajak sudah mulai dibuka, tidak tertutup seperti sebelumnya. Sayang, sebagaimna biasa, wartawan, televisi, tak ada meliput ke dalam ruang sidang. Almarhum Budiman S Hartoyo, wartawan senior, pernah bilang, “Kini jurnalisme kita, jurnalisme ludah.” Bagi saya bukan saja liur, tetapi jurnalisme TSM ( trend sekejap mencuat). Gayus Tambunan diuber bak artis terkenal. Ribuan triliun penggelapan pajak tambun di proses pengadilan pajak, sepi wartawan. Sketsa ketiga, soal penggelapan pajak, oleh UU, boleh diselesaikan di luar pengadilan. Hanya di Indonesia kejahatan besar menggelapkan pajak, damai di UU!

RABU 31 Maret 2010 saya tidak ke Pengadilan Pajak di Gedung Sutikno Slamet, Departemen Keuangan, Jl Dr. Wahidin Raya No. 1, Jakarta Pusat. Cuaca Jakarta dibalut mendung. Beberapa area hujan. Saya menghubungi Haryono, sebut saja namanya begitu, staf bagian Transfer Pricing (TP), Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ia mengatakan sudah ada lagi perubahan situasi ruang persidangan pajak: Pintu-pintu masuknya kini terbuka di saat sidang berlangsung. Berbeda dari hari sebelumnya: tertutup.

Pembaca Sketsa ini di kompasiana.com, Ary Bustami, mengaku datang ke pengadilan pajak Rabu. Ia menuliskan di Sketsa II, di bagian komentar “ Di beberapa sidang tampak orang boleh nonton, hadir dan keluar masuk.”

“Salah satu sidang sampai penontonnya luber.”

“Saya longok dari luar karena tidak kebagian tempat duduk. Ada presentasi pake proyektor. Ada konsultan pajak ke luar dari ruangan itu dengan beberapa stafnya dengan tas-tas besar bertuliskan TRANSFER PRICING. Jangan-jangan itu sidang KI?” tulis Ary.

Setelah saya cek ke DJP, sidang yang dimaksud Ary, memang sidang KI, sebagaimana yang telah saya tulis pada Sketsa I, Senin lalu.

“Ada bapak-bapak berambut putih dan gondrong nanya aku terus, ini sidang apaan sih, kok presentasinya bahasa Inggris semua?” tulis Ary.

Adakalanya memang bahasan TP karena menyangkut perdagangan internasional mengutip apa yang dikeluarkan oleh Organization for Economic Co-operation an Development (OECD Tranfer Pricing Guidelines: Contohnya guideline paragraph 7.33:

“Depending on the method being use to establish an arms’ length charge for intra-groups services, the issue may arise whether it is necessary that the charge be such that it result in a profit for the service provider. In an arms length transaction, on independent enterprise normally would seek to charge for services in such a way as to generate profit, rather than providing the services merely at cost”

Begitulah, hal demikian dibacakan dalam persidangan.

Sebagaimana sudah saya deskripsikan di dua Sketsa sebelumnya, di dalam persidangan itu pengunjung akan disuguhi dengan beragam istilah dari para konsultan keuangan pajak, perusahaan bermasalah. Semua itu rona-ramanya bermuara ke silat-lidah mengakali dengan berbagai teori; bahwa laku terindikasi merampok hak negara dengan jalan TP dapat dibenarkan. Pokoknya wajib pajak seakan mulia benar!

”Emang sidang pengadilan pajak sekarang terbuka ya?” tanya Ary.



“Sidang memang terbuka untuk umum berdasarkan pasal 50 ayat (1) UU NO 14 tahun 2002, “ tulis Sebastian Napitupulu, masih di Kompasiana menjawab pertanyaan Ary Bustami.

Setelah saya verifikasi, memang demikianlah adanya. Maka sangatlah aneh, mengapa DJP, khususnya Depertemen Keuangan, membuat suasana dirinya tertutup, bangunan dan ruang pengadilan sempit. Padahal mereka bisa saja menganggarkan menggelar persidangan di ruang terbuka, lebar.



Lebih jauh lagi, karena adanya UU 14, 2002 itu, bagi saya tidak ada lagi ketentuan secara etika jurnalisme tidak boleh menulis lengkap nama perusahaan yang disidangkan, karena memang harus dibuka bagi publik. Jurnalisme bekerja bagi publik

Dari dialog yang saya kutipkan di atas, inilah keunikan blogging, media alternatif, yang dapat saling melengkapi tambahan info, bahkan termasuk untuk mengoreksi seketika. Ini sebuah nilai tambah.

Maka ketika seorang pembaca di blog apakabar.ws (Super Koran), menulis untuk saya: Mengapa tulisan yang komprehensif macam saya tulis ini tidak dikirim saja ke media mainstream agar dapat disimak lebih banyak?

Saya menjawab ringan.

Sketsa ini panjang. Acuannya kata, acap kali ditulis di atas 2.000 kata. Sementara koran mengandalkan jumlah karakter. Plus pula media mainstream mempunyai sudut pandang tentang sebuah isu. Di era kini kuat dugaan indikasi keberpihakan kepentingan. Bagaimana mereka dengan enteng memuat sebuah produsen makanan bermasalah, jika iklan produsen itu berjibun di media mereka.

Simaklah ini: Demi keterbukaan itu, tiga perusahaan yang pernah saya tulis dan hadiri persidanganya di dua Sketsa sebelumnya dengan inisial: KI, Otomotif Terkenal dan HtY Indonesia, ketiga secara faktual adalah: PT Kraft Indonesia, PT Toyota Manufacturing Indonesia, dan PT Hyatt Indonesia. Ketiganya terindikasi bermasalah dengan praktek Transfer Pricing (TP). Dan tentu bukan tiga perusahaan ini saja yang tersangkut kasus TP. Ada ribuan lain kini mengantri sidang.

Bisa Anda bayangkan, apa mau teve M, menayangkan pengadilan pajak PT Kraft Indonesia, sementara mereka mendapatkan iklan Oreo dan Keju Kraft? Dan atau apa mau teve O menayangkan indikasi pengangkangan hak rakyat dari pajak melalui TP yang dilakukan Toyota Manufactur Indonesia di mana pendapatan ekspor mereka di bruto dari menjual Kijang Innova pada 2005 : -7,98% (minus) dan dari melego Avanza: -14,36% (minus), sementara untung bruto lokal Innova hanya 2,91% dan Avanza hanya saja 2,58%. Logikanya pendapatan lokal jika di-netto-kan bisa-bisa nol.Di sinilah tampak jelas indikasi ketidak-warasan urusan setoran perpajakan itu.

Jika Anda semua hadir di pengadilan pajak, dan UU sudah mengatakan terbuka untuk umum, betapa, darah Anda akan mendidih. Khusus mobil, misalnya, sudahlah program Departemen Perindustrian seumur-umur utamanya menjual mobil dan motor sebanyak-banyaknya, plus pula diberikan kemudahan dan dukungan negara sebanyak-banyaknya, tetapi balasan dari produsen semacam itu?

Lalu apa yang mereka berikan untuk negeri ini? Bisa jadi hanya hembusan angin surga menampung puluhan ribu tenaga kerja. Dan puluhan ribu tenaga kerja itu kini, sebagian besar sudah pula di-out-sourcing-kan. Beda dengan di Amerika Serikat segenap SDM out-sourcing memiliki jaminan sosial memadai. Di sini langgam out-sourcing diadopsi, tetapi layanan sosial pah-poh.

Di tengah minimnya layanan sosial itu, dimana negara sesak nafas pula menghimpun dana bagi pembangunan infrastruktur dan sosial lainya, sang pengusaha yang kadung menikmati enaknya pasar tambun negeri ini, seakan mencekik lagi hak rakyat bangsa ini hingga mata mendelik, maaf - pantat mengeluarkan kotoran kering.

Di tengah keadaan demikian - - ingat 750 PMA pada 2005 mengaku rugi terus - - pantaskah para PMA, pantaskah multinasional company, perusahaan besar tambun masih mengaku ada high cost economy terjadi di bangsa ini?

Lebih naïf ada di antara multi nasional company yang masuk ke sini, terindikasi turut membiayai lembaga NGO asing untuik memperingkatkan: bahwa Indonesia negara terkorup. Maka atas laku ini keluarlah lema saya: biadab! Dan lebih biadab dari laku-laku itu pembuat UU tentang pajak, membolehkan penggelapan pajak, selesaikan dengan di luar pengadilan dan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.

Sesungguhnyalah surga dunia bisnis itu, bukan saja alamnya, adalah Indonesia di muka bumi ini, karena anggota Dewan-nya pun terindikasi tajam bisa dibeli dalam membuat UU untuk mengibuli rakyatnya sendiri!
SELASA, 3 Maret 2010. Usai dari Pengadilan Pajak, saya berusaha menemui beberapa staf DJP. Saya ke gedung DJP menjelang pojokan Patung Tani dari arah Gambir, Jakarta Pusat. Bangunan bersebelahan dengan Gedung Departemen Perdagangan itu, di bagian lobbynya tampak ramai dengan tamu yang hendak melaporkan SPT pribadi. Kursi tamu dan suasana interior macam di bank moderen kebanyakan.

Saya menuju le kantai mezanin di lantai tiga. Saya melewati sebuah aula, yang siang itu dibiarkan gelap. Lantai aula itu jika tak ada kegiatan, seperti saat saya lewat tampak menghampar ambal tipis hijau, penanda bagi lapangan bulu tangkis.

Naik tangga ke bagian samping, ada celah bagi para pedagang kecil menjual aneka makanan. Tetapi betapa terkejutnya saya, lantai di ruang kecil itu basah. Rupanya atapnya bocor. Beberapa hamparan plastik di atas kepala saya duduk mengelayut menampung air hujan. Setiap saat air menggayut itu bisa menghempas kepala. Bagi saya ini aneh lagi, di gedung mentereng, ada niat menampung pedagang kecil makanan, namun upaya memberikan atap memadai tak ada. Padahal yang makan di sana umumnya juga karyawan DJP. Bentuk lain kontrasnya kehidupan.

Dalam suasana demikianlah saya bertemu dengan beberapa staf DJP. Kami ngalor- ngidul membicarakan media teve. Bukan rahasa lagi misalnya teve M akan bersemangat membicarakan urusan pajak kelompok usaha Bakrie, tapi sebaliknya mereka akan menghindar membicarakan praktek transfer pricing yang dilakukan oleh PT Asian Agri, milik kelompok usaha Soekanto Tanoto. Kini RAPP, kelompok usaha Soekanto Tanoto lainnya, sedang akan disidang pula urusan indikasi TP mereka mencapai Rp 4 triliun.

Lalu teve O, terindikasi akan lebih bersemangat untuk menghantam Menteri Keuangan Sri Mulyani. Termasuk agaknya, mungkin mikir mengundang saya lagi jika topik yang akan mereka angkat soal TP, sebab bisa pula saya menyenggol indikasi TP kelompok usaha Bakrie yang juga triliunan, dimana di teve O, Bakrie ikut memiliki saham.

Kepada para staf di DJP di saat hujan rinai-rinai, saya katakan, pada penghujung 2007, Bill Kovach, penulis buku The Elemen of Jounalism, memilki optimisme terhadap dunia Citizen Reporter di medium blog di internet di dunia.

Satu saja kekuatiran Kovach, “Bagaimana blogger atau Citizen Reporter dapat memiliki pendapatan indpenden. Sehingga tidak terpengaruh macam media maisntreaam oleh kepentingan kekuasaan dan atau uang?”

Di saat itu pula saya lalu teringat akan wajah Kovach. Ia pada penghujung 2002 pernah bertandang ke Indonesia. Ia berharap dunia jurnalisme kian berkualitas, terutama berpihak kepada publik, kepada verifikasi mencari kebenaran, tiada lain.

Untuk itu, biarlah kita bersama, bahkan siapa saja Anda dari pembaca Sketsa ini, sudilah berkenan bahu membahu mengungkap aib yang membuat anak bangsa ini kekurangan darah. Timbunan darah yang dihisap melalui mengakali pajak di TP, mengakibatkan pembangunan berbagai kepentingan publik buyar.*** (bersambung)

Iwan Piliang, literary citizen reporter, blog-presstalk.com

Sketsa IV: Miliun Triliun Raib di Pajak & Uang Negara di Rekening Liar Pejabat
 06 April 2010 jam 10:25

Sketsa ke-4 tentang pajak urusan kewajaran atau Transfer Pricing (TP), jumlah menambun lenyap menguap. Pada 2009 terindikasi Rp 1.300 triliun bermasalah. Uang siluman di rekening pribadi pejabat dan mantan pejabat juga ratusan triliun? Pengadilan Pajak terindikasi diatur Panitera & Hakim. Hakim selain mantan pegawai Ditjen Pajak, juga ada pengurus Kadin Indonesia. Mereka umumnya pro memenangkan kalangan usaha, kendati pun bersalah. Pada 2008, saya pernah menanyakan di Presstalk, QTV, kepada Fuad Bawazier, mantan Dirjen Pajak dan Menkeu: Bagaimana soal rekening Pajak Bumi dan Bangunan, sebelum masuk ke kas negara, mampir dulu ke rekening pribadi Fuad di BBD, kini Mandiri? Ia berkelit. Di era Gusdur, Fuad mengaku menghimbau membereskan rekening liar. Majalah Wartaekonomi pada Maret 2010 sekilas menyinggung soal uang negara di rekening liar pejabat. “Jika mau membereskan pajak, tangkap dulu pejabat dan mantan Dirjen,” ujar Burhanudin, di Facebok saya.

SENIN, Rabu dan Kamis pekan lalu, saya menuliskan Sketsa, mereportase keadaan di pengadilan pajak. Sketsa pertama, tidak berlebihan bila saya katakan membawa perubahan bagi mulai munculnya wartawan media mainstream ke pengadilan pajak. Sketsa kedua, membuka pintu - - pintu ruang sidang dalam arti riil - - di pengadilan pajak, yang selama ini tertutup, sebagaimana dilihat dilaporkan Ary Bustami, pembaca Sketsa di Kompasiana.com. Ia sangaja datang ke Pengadilan Pajak, pada Selasa 30 Merat 2010.

Senin 5 April 2010. Sosok Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada media di Jakarta mengatakan, “Mengakui banyak kelemahan di Pengadilan Pajak.”

Jika saja telunjuk layak ditudingkan maka alamat tepat kening Menkeu. Bagaimana seorang Menteri Keuangan tidak pernah mengontrol secara fisik Pengadilan Pajak?

Sebagaimana sudah saya deskripsikan, ruang Pengadilan Pajak itu sekitar sepertiga lapangan basket saja. Kursi untuk wajib pajak, tergugat, atau terbanding tersedia masing-masing lima, termasuk untuk wakil Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Hadirin pengunjung lain sulit kebagian kursi. Jika tak ada tempat duduk, otomatis Anda di luar, dan atau cari-cari kursi menambahnya, itu pun harus orang DJP melakukan. Tamu yang baru sekali datang pasti kebingungan.

Pintu ruang sidang, seperti ruang dokter kandungan di sebuah klinik ditutup rapat. Padahal menurut pasal 50 ayat (1) UU NO 14 tahun 2002, Pengadilan Pajak terbuka untuk umum. Nah di urusan ini saja Menkeu tak tahu menahu. Setelah media alternatif menuliskan maka tekuaklah.

Pelanggaran UU sudah terjadi.


Ary Bustami, di blog Kompasiana.com, mengomentari Sketsa I, menambahkan pengamatannya di Pengadilan Pajak. “Saya baru ngeh. tukang koran yang bung Iwan lihat di sebelah penjual makanan di lantai 9 pengadilan pajak, juga menjual kumpulan putusan pengadilan pajak tahun-tahun silam.”
“Sayangnya, harganya mahal sekali., “ tulis Ary Bustami.
Riuh-rendah urusan oknum pejabat bermain di Pengadilan Pajak. Mulai dari panitera yang mengatur perkara, konsultan pajak, hingga hakim. Perihal ini terlihat tajam pada kasus Gayus Tambunan.

Pada urusan hakim, di saaat mengikuti persidangan PT Toyota Motor Manufactur Indonesia (TMMI), yang terindikasi tajam mengakali penjualan ekspornya minus tak berkira pada penjualan Innova dan Avanza. Mereka mencatatkan laba penjualan lokal minim di 2% persen saja menjadi akal-akalan pengurangan pajak, menginjak logika kewajaran, mengindikasikan permainan praktek apa yang disebut Transfer Pricing (TP).

Lebih terperanjat saya, bahwa ketika saya menemui secara informal staf TP di DJP, mengabarkan bahwa sidang TP Pengadilan Pajak TMMI, sudah berlangsung untuk terakhir kalinya pelan lalu.

“Kami hadir ke persidangan, namun pihak TMMI sudah merasa cukup persidangan. Mereka hanya menyerahkan keputusan kepada hakim,” ujar Sutarno, sebut saja begitu, pejabat di seksi TP, DJP.

Senin, 5 April 2010, di siang hari di saat Jakarta mendung menjelang hujan, seorang pejabat TP DJP, sengaja datang ke kediaman saya. Ia mengambil undangan wawancara untuk program teve saya Presstalk, QTV, yang kami rencanakan bersama anggota konisi XI DPR, Achsanul Kosasi, akan dilakukan pada Selasa pukul 16.00. Kala itulah Ahmad buka kartu.

“Itu hakim ketua yang mengadili TMMI, adalah pengurus Kadin Indonesia,” ujarnya.

“Bisa dibayangkan, bagaimana keputusan hakim nanti, padahal jelas-jelas angka yang dimainkan TMMI, tak ketulangan akalan-akalannya.”

“Jika Kadin suaranya sumbang terhadap pengadilan pajak, jelas mereka menyuarakan kepentingan penguasaha besar itu.”

Sudah demikian parahkah Kadin Indonesia kini? Bukankah misinya menumbuhkan pengusaha sebanyak-banyaknya, bukan melindungi laku kriminil pengusaha?

Sebagai sosok yang pernah menjadi pengurus di Kadin Indonesia itu, saya tak terlalu kaget mendengar permainan pengusaha anggota Kadin Indonesia mengakali pajak. Namun yang membuat saya terperanjat, Hakim Ketua yang mengadili TMMI, adalah: Pengurus Kadin Indonesia.

Mengapa bisa?

Apa tidak terjadi konflik kepentingan nanti, tanya saya?

“Yah begitulah Pak, ini info saja, sebab selain pejabat mantan pegawai Ditjen Pajak, hakim itu juga bersal dari pengurus Kadin, atau direkomendasikan Kadin,” tutur Ahmad.

Tidak cukup satu konflik kepentingan rupanya. Konflik kepentingan kedua di kasus kelompok Toyota Astra di mana TMMI ada. Konon unit uasaha Toyota Astra, Tonny Soemarsono, sebagai salah satu komisaris. Fakta ini sulit dikonfirmasi secara tertulis. Namun, menurut kenalan di Bursa Efek Jakarta, nama Tonny memang ada dalam jajaran unit usaha sebagai komisaris. Tonny adalah suami Sri Mulyani, Menteri Keuangan. Kalau sudah begini keadaan, di satu kasus saja, pah-poh-lah suasana.

“Wah kalau Ibu Menteri dengan suaminya ketat, sampai pakai fasilitas kantor saja, ngga boleh,” ujar Ahmad membela sang Menteri,

Ia kuatir soal urusan keluarga ini disangkut pautkan.

Tetapi ini kan urusan logika saja kata saya.

Sama dengan logisnya Ahmad menghubungkan logika Pengurus Kadin Indonesia, dominan mememangkan pengusaha, merugikan negara.

Bisa Anda bayangkan Sidang Pembaca. Jika satu saja kasus, sudah demikian berpilinnya temali kepantingan. Beragam “pawang’ menjaga. “Pawang” bukan pawang anak bawang. Mereka duduk dalam struktur, bahkan menjadi hakim pengadilan.



Maka ketika saya saya mengamati di ruang sidang body language wakil dari TMMI, pandangannya sisnis ke staf TP DJP. Ketika hakim menegur bahan yang diajukan staf DJP, dua staf perempuan wakil TMMI yang duduk di barisan belakang bertepuk tangan pelan. Saya artikan, itulah tepuk tangan mengakali hak negara; tepuk tangan bagi sekolah rubuh; anak-anak kurang gizi; infrastruktur tak terurus.

Tameng sejarah dan kekuatan kelonpok usaha Toyota Astra di Indonesia, juga membuat gengsi yang bertepuk tangan pede.. Seakan mereka balik logika, mereka Goliath, negara cecere.

Faktanya di negara inilah mereka mendapatkan profit. Pada 2009 mencapai Rp 20 triliun, sesuai yang diumumkan ke publik. Tapi anehnya unit-unit usaha rugi, dan atau impas-impas.

Mereka mencengkram bangsa ini melalui Departemen Perindustrian untuk selalu menempatkan program utama menjual mobil dan motor sebanyak-banyaknya. Jika diteruskan paparan saya, sudah sejak lama saya menduaa, matinya kemampuan industri otomotif hebat seperti di PT Perkasa Engineering, yang berkemampuan membuat mobil setara Astra, bahkan lebih - - terbukti mampu membuat truk 4 x 4 bagus, kini dipakai TNI - - bahkan panser sekalpiun, akhirnya tenggelam karena indikasi tekanan tangan industri Jepang.

Maka tidak berlebihan, jika hampir semua PMA Jepang di Indonesia melakukan praktek transaksi ketidakwajaran atau Transfer Pricing (TP). Dari 750 PMA yang seumur-umur mengku rugi pada 2005, sebagian besar dari Jepang: berdagang, bertransaksi tidak dalam kewajaran.

Sosok Ahmad yang naik motor ke kediman saya, menikmati gaji dan remunerasi memadai. Dugaan saya, ia mengantungi hampir Rp 20 juta sebulan. Karenanya ia dan tim kepada saya mengatakan, “Kami ingin bekerja serius buat negara. Tapi jika keadaan demikian, bagaimana hasil kerja kami,?”

“Acapkali kami seakan tamu di Pengadilan Pajak?” tutur Ahmad.

Saya lepas kepergian Ahmad dari kediaman saya di siang hari di saat hujan mulai rintik. Mendung menggayut, udara berkabut. Alam seakan paham betapa gundah hati ini melihat kasus pajak di Pengadilan Pajak.

Di dalam benak saya, tentulah tidak adil jika kenyatan ini menyalahkan Menkeu semata. Semua orang tak ingin hidup melarat. Namun jika segenap pejabat menjadi bagian menghisap hak rakyat, kehidupan menjadi kualat.

Biang kerok kekualatan itu, akan tajam Anda baca bila menyimak UU Nomor 36 2008 tentang pajak. Di pasal 44 jelas dikatakan penggelapan pajak boleh diselesaikan di luar pengadilan dengan denda maksimum 400% dari pajak yang digelapkan.

Pasal inilah rupanya menjadi landasan penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, bahkan pengadilan pajak sendiri, melihat celah resmi negosiasi. Maka ketika DPR mengusulkan membuat Pansus Pajak, saya hanya bertanya, apa tak keblinger, bukankah lebih baik mereka merevisi secepatnya UU, agar keadaan tak kian parah?

Seorang kawan di Facebook saya mengatakan: UU pajak menciptakan para drakula.

Apakah anggota DPR kini tak menyadari mereka menjadi bagian kedrakulaan itu?

SEORANG kawan lain di Facebook sengaja menitip kan pesan. Sosoknya pernah bekerja di mantan Dirjen Pajak Fuad Bawazier. Ia banyak tahu sepak terjang mantan pejabat satu ini. “Maka untuk membongkar kebobrokan di pajak, seharusnya tangkap semua pejabat Dirjen pajak, termasuk mantannya” ujar Burhanudin, sebut saja begitu.

Kalimat kawan itu mengingatkan saya kepada suatu petang di Gedung DPR RI. Baru saja sebulan anggota DPR yang sekarang ini dilantik. Sore itu kawan aktifis ini menyambut saya dengan jabat tangan erat.

“Akhirnya kita berkantor juga di sini,” ujarnya.

Kita?


Anda, kata saya.

Wajah kawan itu kini banyak tampil di televisi di saat kasus Bank Century. Ia anggota Tim 9.

Dalam obrolan ringan, tak lama kemudian masuk satu rekannya se-fraksi dari Komisi XI, yang membawahi keuangan. Ia dulu bekerja sebagai kepala kantor wilayah pajak. Saya tanyakan soal Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang lama saya verifikasi. Bagaimana sebuah rekening PBB, uang negara masuk dulu ke rekening Fuad Bawazier?

“Dulu itu sebelum PBB gabung ke direktorat pajak, kebetulan saya berasal dari PBB, ada yang namanya upah pungut (UP).”

“UP itu semacam dana non bujeter, terakhir sebelum digabung ke direktorat jumlahnya besar sekali,” ujar Sunan, sebut saja demikian anggota Komisi XI itu.

Jika ranah perpolitikan kini semuanya harus dibeli dibeli dengan uang, bukan mustahil masuknya Sunan menjadi anggota dewan, karena asupan gizi ke pemilih nyata.

Dari Sunan pulalah saya mendapatkan gambaran bahwa wewenang pejabat memang sangat sakti di pajak.

Maka kembali saya teringat akan wajah Fuad Bawazier saat saya wawancarai di Presstalk. Ia sempat kaget soal rekening liar yang saya tanyakan. “Ia saya bongkar itu di era Gusdur, agar rekening liar ditertibkan,” ujar Fuad berdalih kala itu.

Dalam verifikasi di lapangan, laporan kekayaan Fuad Bawazier, sebagai contoh. Ia pernah membuat laporan kekayaan ke KPK: property dan uang sebagai hibah Rp 40 miliar.

Entah siapa yang menghibahkan?

Dari verifikasi saya di lapangan, setidaknya ada puluhan unit property miliknya berupa rumah mewah di Kemang, Jakarta Selatan, rumah Mewah di Menteng, Jakarta Pusat, juga apartment, juga kawasan tanmah yang belum dibangun, serta resort di luar kota. Termasuk rumah di dekat Sunda Kelapa, Menteng, yang dijadikan kantor KAHMI versi Fuad. Dari beberapa property itu, memang tidak semuanya atas namanya. Fuad tercatat mendanai banyak pendirian partai di awal. PAN, PKS, diantaranya. Kini ia juga tokoh penting pendana Hanura.

Ichsanudin Noorsy, di Metro TV Senin, 5 April malam, “Makin tinggi jabatan seseorang di pajak, makin tinggi pula wewenang angkanya dalam membuat keputusan negosiasi tentang pajak.”

Begitulah sebagai contoh, Sidang pembaca.

Jika semua ranah politik kita memang mahal, dan harus dibiayai dengan sumber dana yang tak jelas, dan setiap orang berlomba-lomba mempertebal pundi demi bargaining politik sakti, ke depan tenggorokan terasa akan kian sakit jadinya: ranah abu-abu, politik nego, dagang sapi, menjadi-jadi!

Dan hari-hari ke depan, suguhan media hanya akan berada di ranah kulit, apatah pula beberapa media mainstream, pemiliknya terindikasi tajam dalam permainan mengemplang pajak. Apa yang hendak dikata?

Hingga pada kenyataan inilah lahir kalimat saya, agar para para kufur di umur uzur untuk mundur. Sebagai rakyat biasa saya bertanya, apa yang kalian ingin cari, toh jika mati, hanya tulang tanah berkalang.

Revolusi di ranah pajak, adalah merevolusi diri sebagai pemimpin, yang di dalam lubuk bangsa ini sesungguhnya ada tauladan, seperti berkaca ke Muhammad Hatta.

Karena cermin yang selama ini ditutupi, maka tak malu-malu diri para pejabat menampung sekitar 50.000 rekening uang negara ke rekening pribadinya. Wartaekonomi edisi Maret 2010 ini, sekilas menulis soal ini.

Inti soal maukah ranah jagad para pemimpin ini kembali melirik ceruk yang selama ini mereka tutupi sendiri, padahal di lubuk kemuliaan, berlian kehidupan nyata adanya. ***

Iwan Piliang, Literary Citizen Reporter, blog-presstalk.com.

Sketsa V: Cigin Indikasi Toyota Transfer Pricing, Pocari Pun Terindikasi Hisap Negeri
 08 April 2010 jam 10:08

Rabu , 7 April 2010, azan subuh berkumandang, gempa di Simeuleu, Aceh, berdentang. Musibah lagi datang: Nun di Mamuju, Sulawesi Barat, sudah dua kejadian, anak miskin tak terawat ber-ulat. Di Topik Siang ANTV, bayi 14 bulan luka berbelatung kepala tak bisa berobat. Andai saja sudah sejak 20 tahun lalu bangsa ini memiliki negarawan; Presiden Negarawan; Menteri Keungan Negarawan, segenap warga Depkeu negarawan, khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mafhum, maka perampokan bangsa melalui Transfer Pricing (TP), tidak sampai menghisap belulang, pemandangan bayi berulat tak terawat lewat; segenap musibah bantuan ada melimpah; kecerdasan generasi meningkat. Kini? Negarawan oh negarawan ke mana Anda? Kian keblinger DPR berapat dengan DJP,mengusulkan out sourcing orang pajak. Padahal salah satu inidikasi korupsi tajam di sistem teknologi informasi DJP, akibat di-outsoucing. Mengapa anggota DPR tidak instropeksi diri, laku membuat UU, pengemplangan pajak bisa dinego?


Yüklə 95,11 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin