Tanya-jawab pembelajaran pendidikan ips 2 Jelaskan inovasi besar yang sedang dilakukan dunia pendidikan di Indonesia ! Mengapa ?



Yüklə 217,5 Kb.
səhifə3/5
tarix06.09.2018
ölçüsü217,5 Kb.
#78479
1   2   3   4   5

Dalam alam, perubahan kecil dalam sistem dapat menimbulkan konsekuensi berskala besar. Dalam teori chaos biasa disebut ”efek kupu-kupu” dengan bahasan geometri Factal untuk menerangkan konsep dasar kompleksitas dengan contoh krisis moneter tahun 1998 :
Ketika Mandelbrot menerbitkan buku perintisnya pada pertengahan tahun 70-an, ia tidak menyadari hubungan antara geometri fraktal dengan teori chaos, namun tidak lama kemudian para matematikawan dan ia sendiri menemukan bahwa penarik-penarik aneh ini merupakan contoh-contoh indah mengenai fraktal. Jika bagian-bagian dari strukturnya diperbesar, mereka akan memperlihatkan substruktur yang berlapis-lapis, yang di dalamnya pola-pola yang sama akan diulangi lagi dan lagi. Dengan demikian lazim mendefinisikan penarik aneh sebagai lintasa-lintasan peluru di dalam fase ruang yang menampilkan geometri fraktal.

. Hubungan penting lainnya antara teori chaos dengan geometri fraktal ialah perubahan dari kuantitas menjadi kualitas. Seperti telah kita lihat, mustahil memprediksikan nilai variabel-variabel dari suatu khaotik pada waktu tertentu, tetapi kita dapat memprediksikan ciri-ciri kualitatif perilaku sistemnya. Sama halnya, mustahil menghitung panjang atau area suatu bentuk fraktal, tetapi kita dapat mendefinisikan tingkat ”kebergerigian (jaggedness)” – nya dengan cara kualitatif.

Di Indonesia tahun 1998 terjadi krisis moneter, yang diawali dengan nilai mata uang Rupiah anjlok dari $ 1 = Rp. 3.000 menjadi $ 1 = Rp. 10.000. Mengapa ini sampai terjadi ? Berawal dari sekelompok orang yang memiliki banyak uang, dan mereka suka sekali berpergian ke luar negeri dan suka berbelanja. Selain itu mereka lebih senang memiliki uang dolar dari pada uang rupiah, sehingga menukar uangnya ke dalam uang dolar.

Pada saatnya persepsi nilai uang rupiah mulai berkurang dan menaiknya persepsi nilai uang dolar, terjadilah krisis moneter. Krisis ini terus berlanjut kepada dunia perdagangan, terutama pada barang impor yang menggunakan standar nilai mata uang dolar. substansi yang paling merugikan pada utang negara yang kian membungbung tinggi. Sementara nilai ekspor lebih rendah dari nilai impor, devisa semakin berkurang. Perekonomian dalam negeri mulai goncang karena harga semakin naik sementara nilai uang rupiah makin kecil. Masyarakat daya belinya menurun. Maka masyarakat yang sudah banyak miskin, kini makin bertambah jumlahnya, dengan ketidak mampuan dalam daya beli.

Kekecewaan rakyat semakin bertambah-tambah terhadap pemerintah. Muncullah permasalaha baru atau dalam teori chaos disebutkan sebagai peluru yang meluncur dan mengembang kepada fase berikutnya. Yaitu krisis kepercayaan rakyat kepada pemerintah. Krisis ini akhirnya mendorong rakyat melakukan demontrasi bahkan perusakan sarana umum.

Fase selanjutnya semakin melebar pada masalah yang lebih serius dan lebih besar lagi, yaitu dekadensi moral. Dengan daya beli yang kecil sementara kebutuhan harus tetap dipenuhi. Terjadi tindak kejahatan dimana-mana. Tidak hanya sekedar itu, munculnya masalah yang lain dalam fase ini, yaitu masalah KKN, Nepotisme, dan korupsi.

Jadi permasalahan krisis moneter ini terus berkembang menjadi masalah nasional. Dari satu masalah yaitu nilai uang rupiah terhadap mata uang dolar beranjak kepada masalah multi deminsi pada tingkat nasional.

”Bagaimanpun juga, ini merupakan kesimpulan yang sangat optimistik, bahwa semula studi terhadap choas merupakan usaha untuk menemukan aturan-aturan sederhana yang terdapat dalam jagad di sekitar kita ......usaha-usaha itu selalu mencari penjelasan-penjelasan sederhana atas realitas-realitas yang rumit. Tetapi perbedaan antara kesederhanaan dengan kerumitan tak pernah dapat dibandingkan di manapun dengan apa yang kita temukan dalam konteks ini” (Mandelbrot)

Pesona besar yang ditampilkan oleh teori chaos dan geometri fraktal pada orang di segala bidang, dari ilmuwan, manajer hingga seniman, barangkali merupakan tanda yang menjanjikan bahwa pengucilan matematika sedang berakhir. Sekarang ini matematika baru mengenai kompleksitas semakin menyadarkan orang bahwa matematika lebih dari pada sekedar rumus-rumus yang kering ; dunia hidup di sekiling kita, dan segala persoalan mengenai pola, keteraturan, dan kompleksitas pada dasarnya bersifat matematis. (11) (11) Fritjof Capra. (2002). Jaring-Jaring Kehidupan. Yogyakarta. Fajar Pustaka Baru

Tanggung jawab cendikiawan, menurut Edward Said (1998), merupakan kewajiban moral yang harus dipenuhi karena mereka merupakan individu yang mampu mengartikulasikan pesan, pandangan, gagasan, atau filsafah kepada publik.


  1. Julien Benda dengan ”La Trahison des Clercks”

Buku yang terbit untuk pertama kali di Prancis pada 1927 ini berisi sebuah renungan mendalam tentang peran dan kewajiban para cendekiawan di tengah-tengah masyarakat. Kemunculan esai ini bermula dari sebuah peristiwa (disebut "L'Affaire Dreyfus") yang menggemparkan masyarakat Prancis pada tahun 1894, sewaktu seorang perwira Prancis berdarah Yahudi, Dreyfus, diadili atas tuduhan menjual rahasia militer kepada dinas intel Jerman. Dreyfus dinyatakan bersalah dan dibuang selama sepuluh tahun.

Sebagai reaksi terhadap pengadilan yang tidak adil itu, sejumlah cendekiawan -- antara lain Emile Zola -- bangkit dan mengumumkan sebuah "Manifes Para Intelektual". Dengan manifes itulah para cendekiawan (yaitu para ilmuwan, seniman, dan filosuf) untuk pertama kali menyatakan diri sebagai sebuah golongan masyarakat. Peristiwa ini pulalah yang kemudian mendorong Benda untuk memikirkan hubungan kaum cendekiawan itu dengan negara, dengan kaum militer, dan dengan dunia politik.

Roy Eyerman mencoba menjernihkan pemahaman kita mengenai proses menjadi cendekiawan. Dalam fenomena kontekstualisasi historis, misalnya, posisi cendekiawan ada yang muncul dari pihak negara atau kerajaan dan ada pula kelompok cendekiawan yang berkembang karena panggilan sejarah dari massa rakyat dalam hubungannya dengan kelas menengah. Rusia pada masa Peter Agung (awal abad ke-19) bisa dijadikan contoh bagaimana sekelompok cendekiawan yang dibentuk atas restu Kaisar tentu saja berkepentingan dan digunakan posisinya untuk mendukung dan menjalankan misi dari negara. Baru setelah satu dan dua generasi kemudian muncul kaum cendekiawan yang makin terdiversifikasi posisinya dan semakin berfungsi kritis serta menjadi jembatan pendidik massa rakyat dan kelas menengah lainnya. (12) (12) Roy Eyerman (1994), Between Culture and Politics Intellectuals in Modern Society

Istilah cendekiawan atau padanannya intellectual dalam bahasa asing, untuk pertama kali muncul di penghujung abad ke-19 di Barat, untuk memberi sebutan kepada sekelompok elite yang mematuhi kaidah-kaidah tertentu sebagai panutan dalam kehidupan masyarakat, terutama dalam menghadapi pelbagai persoalan fundamental yang perlu ditanggapi secara fundamental pula.

Di Barat sana, kehadiran kaum cendekiawan sebagai tokoh masyarakat, seperti dikatakan J.P. Nettl, berkaitan erat dengan budaya (nilai, norma, gagasan) dan konflik, yaitu hal-hal yang juga terjadi di sini, bahkan di mana pun. Selama ada orang-orang yang berusaha mengubah sistem nilai dengan jalan mengatur ulang prioritas dari komponen-komponennya, kerap muncul konflik antara gagasan-gagasan (ideas), dan konflik macam itu lantas menemukan gema strukturnya yang khas; di Yunani Purba, misalnya, berbentuk transformasi intelektual dari sistem kepercayaan ideal menjadi gerakan sosio politis; di Rusia berupa perubahan revolusioner kekuasaan dari kekuasaan ortodoks ke diktator proletar.

Julien Benda memosisikan seorang cendekiawan dalam sosok yang ideal, yaitu seseorang yang dalam perhatian utamanya mencari kepuasan dalam mengolah seni, ilmu pengetahuan atas renungan metafisika, dan bukan hendak mengejar tujuan-tujuan praktis. Mereka itu, dalam pandangan Benda, adalah para ilmuwan, filosuf, seniman, dan ahli metafisika yang menemukan kepuasan dalam penerapan ilmu, bukan dalam penerapan hasil-hasilnya.

Para cendekiawan zaman dulu adalah moralis yang aktivitasnya merupakan perlawanan terhadap realisme massa. Benda memaknai kecenderungan tersebut sebagai kecenderungan awam untuk menuruti kehendak-kehendak pribadi yang sifatnya sesaat.

Karena peran kaum cendekiawan inilah, menurut Benda, walaupun selama 2.000 tahun umat manusia berbuat jahat, mereka tetap menghormati yang baik. Namun, ujar Benda, sejak akhir abad ke-19, semuanya praktis berubah. Kini, mereka berbalik menggelorakan dan memuaskan gairah-gairah politik, dan menjungkirbalikkan tatanan moral.

Sekarang, mayoritas kaum sastrawan, ilmuwan, filosuf, dan ulama, ikut serta dalam paduan suara kebencian rasial dan kelas, serta turut mendukung gairah yang menuju pada cauvinisme, fanatisme yang memicu terjadinya perang, xenobia, sebagaimana tercermin dalam pikiran Nietzsche, Georges Sorel, dan Bergson, yang mementingkan keperkasaan serta mengagungkan sikap kekerasan, mendapat tempat persemaian yang lapang. Dengan munculnya fenomena semacam ini, maka menurut Benda, para cendekiawan tadi telah kehilangan "kecendekiawanan"-nya dan menjadi tidak berbeda lagi dengan kaum awam. Pembalikan peran atau fungsi inilah yang oleh Benda kemudian ditengarai sebagai "pengkhianatan kaum cendekiawan

Begitulah Julien Benda. Meski La Trahison des Clercs ini ditulis 77 tahun lalu, namun getaran semangatnya masih sangat relevan untuk memikirkan, merefleksikan, dan menilai ulang eksistensi dan situasi para cendekiawan kita di Indonesia, tentang peran mereka dalam masyarakat, tentang kewajiban mereka terhadap bangsa, dan tentang hubungan mereka dengan negara. (13) (13) Tulisan Drs. Alex Sobur, M.Si, dosen bidang kajian ilmu jurnalistik Fikom Unisba, mahasiswa program doktor BKU Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Unpad. Pikiran Rakyat, 16 Juli 2004.



Kaitan antara kaum cendikiawan dengan identitas nasional, atau nasionalisme (elaborasi):

“…dosa paling besar seorang intelektual adalah apabila ia tahu apa yang seharusnya dikatakan tetapi ia menghindari mengatakannya…” (Edward W. Said)

Edward W. Said lebih menyukai batasan cendekiawan yang diberikan Antonio Gramsci dalam bukunya Selection from Prison Notebooks (1978). Gramsci mengatakan, "Semua manusia adalah cendekiawan (intelektual), namun tidak semua orang dalam masyarakat memiliki fungsi cendekiawan." Gramsci mengelompokkan dua jenis cendekiawan.

Pertama, cendekiawan tradisional semacam guru, ulama, dan para administratur. Mereka ini secara terus menerus melakukan hal yang sama dari generasi ke generasi. Kedua, cendekiawan organik, yaitu kalangan profesional. Menurut Said, definisi Gramsci ini lebih dekat kepada realitas daripada konsepsi Julien Benda, terutama pada akhir abad ke-20 ketika muncul begitu banyak profesi baru

Apa dan siapa cendekiawan itu? Jawaban yang kita peroleh tak pernah seragam. Namun, satu hal yang menarik ketika kita membincangkan ihwal cendekiawan adalah karena dengannya kita seolah diajak untuk bersolek di depan cermin. Kita diminta untuk selalu memandang dan menyadari bahwa di depan kita hadir sebuah wajah yang senantiasa berubah keberadaannya, wajah manusia. Mau tak mau, memang, membicarakan golongan berlabel cendekiawan mengharuskan kita memperhatikan jati dirinya yang paling asal, sebagai manusia, sebagai pribadi, bukan sebagai kolektiva.

"Memberikan nama atau predikat kepada seseorang sebagai cendekiawan merupakan suatu self-definition, yakni mendefinisikan diri sendiri," demikian tulis Zygmunt Bauman (1987). Yang ia maksudkan adalah bahwa biasanya para cendekiawanlah yang menulis mengenai cendekiawan lain. Boleh jadi, pendapat ini ada benarnya, khususnya bila seseorang menyetujui bahwa para cendekiawan adalah mereka yang menulis buku-buku dan artikel-artikel ilmiah. Jika pendapat itu kita terima, maka tentu terjadi banyak upaya untuk mendefinisikan diri sendiri, dan bukannya untuk mengerti diri sendiri.

Menurut EWS, dengan mengutip dan memperbandingkan beberapa pendapat pakar filsafat, para intelektual adalah pencipta bahasa –dalam arti dia merupakan penyampai dan tukang publikasi dari segala ide yang menuju ke perbaikan kemaslahatan umum. Namun, catatan penting dari EWS, kaum intelektual bukan hanya sebagai boneka atau juru bicara semata.

Intelektual adalah figur representatif dari persoalan - persoalan itu sendiri. Saya simpulkan, bahwa kaum intelektual harus menapakkan makna terhadap apa yang dilontarkan. Ya. Makna. Karena kaum intelektual adalah kaum yang membangun kesadaran manusia lainnya, untuk itu dia butuh ‘makna’. Dalam tulisan EWS, dia mengutip pendapat Julien Benda yang kondang itu, namun, saya malah sengaja menyejajarkan dengan pandangan - pandangan Ali Syari’ati, jagoan intelektual muslim - pemikir revolusioner asal Iran. Syari’ati seringkali ‘membebankan’ perjuangan terlalu berlebihan kepada kaum intelektual atau cendekiawan, yang dalam pendapat Syari’ati disebut dengan ‘raushanfikr’.

Menurut Syari’ati, dalam suatu masyarakat yang tengah berjuang untuk menjadi ideal membutuhkan tokoh intelektual yang mampu melontarkan pemikiran, menyadarkan masyarakat, merintis ideologi masyarakat, dan menggerakkan masyarakat tersebut untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Membangun kesadaran biasanya akan kontradiktif dengan posisi status quo. Dan dalam dunia ini tauladan intelektual versi Syati’ati adalah Muhammad pendakwah Islam.

EWS juga mengingatkan bahwa posisi kaum intelektual selalu berada di jurang yang curam. Pernyataan yang cukup mengganjal. Karena selalu berpikir kritis dan mendasar maka posisi kaum intelektual adalah cenderung beroposisi ketimbang akomodasi. Walau bagi saya hal ini terlalu berat, namun EWS memastikan hal itu. Pasti. Intelektual cenderung tidak akomodatif. Dan, karena tuntutan untuk ‘tidak sekedar berbicara’, melainkan harus bertindak dan bergerak sebagai rentetan aksi ideologi, maka konsekwensi oposisi ini semakin berat, setidaknya bagi saya. Namun, sekali lagi EWS memastikan. EWS mencontohkan posisi non-akomodatif seorang intelektual Italia bernama Gramsci yang berlangganan dipenjara oleh Mussolini.

Komposisi oposisi ini semakin menjengkelkan karena ternyata –menurut Julien Benda dan diamini dengan lantang oleh EWS, jumlah kaum intelektual ini tidak pernah banyak alias sedikit sekali. Sedikit, tetapi harus memberikan penetrasi kepada persoalan sosio-kultur, sekaligus menggagas ide, menyadarkan secara kolektif, dan menggerakkan.Tolong cocokkan dengan komunitas sekitar anda ihwal minoritas ini. Minoritas yang menggerakkan, oposisi.
Dengan segala kondisi itulah, maka dugaan bahwa setiap revolusi pasti terkait dengan peran intelektual, demikian juga keterlibatan kaum intelektual dalam segala pancaroba revolusioner dan atau kontra-revolusi, pastilah tidak bisa dihindarkan lagi.

Mengutip pendapat C.Wright Mills, EWS menyampaikan bahwa peran intelektual saat ini adalah menyingkap topeng dan menghancurkan visi stereotip dan intelek dengan mana komunikasi modern membanamkan kita.

Namun, kenapa terjadi pembalikan peran? Tampaknya dunia modern, seperti ditunjukkan Benda, telah menjadikan cendekiawan sebagai "warga negara," yang dibebani dengan segala kewajibannya. Maka itu, lebih sulit bagi mereka untuk menolak gairah-gairah awam. (14)(14) Haris Fauzi, Majalah Solid, Situs Keluarga, Kolom KENISAH, 71 Desember 2007

Kasus Indonesia, zaman Orde Baru dikenal „Mafia Berkeley“, juga pada Orde berikutnya golongan intelektual dimanfaatkan (Komperatif) :

Julien Benda, penulis buku klasik, Pengkhianatan Kaum Intelektual, membagi masyarakat dalam dua bagian yang tidak bersentuhan sama sekali (Dhakidae, 2003). Pertama adalah cendekiawan yang dipandang sebagai golongan yang mendedikasikan hidupnya dalam pencarian kebenaran-utama. Mengikuti prinsip yang dikembangkan dalam metode ilmiah, pencarian terhadap kebenaran menjadi tujuan utama. Karena itu, cendekiawan dipandang bukanlah orang yang mengejar kepentingan duniawi. Cendekiawan tidak tergoda oleh nikmatnya kekayaan dan manisnya kekuasaan. Justru sebaliknya, mereka mencari kebenaran di dalam kesederhanaan.


Golongan kedua adalah kaum awam yaitu mereka yang seluruh hidupnya terikat kepada fungsi mengejar kepentingan material dan duniawi. Termasuk dalam golongan ini adalah pedagang, politikus, dan masyarakat biasa. Oleh Julien Benda, kaum awam ditempatkan pada posisi yang lebih rendah daripada cendekiawan. Karena itu, intelektual yang mengabdi kepada kaum awam, terutama penguasa, dianggap pengkhianat. Mereka mengkhianati tujuan hidupnya dan mengingkari posisi kelasnya yang terhormat.

Benda menempatkan cendekiawan dalam posisi yang sangat tinggi, bahkan nyaris absolut. Tetapi, realitasnya tidak hitam putih seperti yang ditulis oleh Julien Benda. Pencarian kebenaran yang menjadi obsesi oleh kaum cendekiawan sejatinya tidak berada di ruang hampa. Pengembangan ilmu pengetahuan membutuhkan campur tangan kekuasaan. Karena itu, sesungguhnya kekuasaan politik, dalam tingkatan tertentu, turut menentukan kebenaran itu sendiri.




Peran Intelektual Indonesia

Zaman Kolonial

Pasca Kemerdekaan

Orde Lama

Orde Baru

Kaum Cendikia (intelektual Organik) muncul yang terdiri dari elite pribumi yang berprofesi dokter, sarjana hokum, insinyur, mahasiwa, dll memelopori pergerakan nasional untuk kemerdekaan

Terjadi pergeseran posisi kaum intelektual yang praktis menjadi penguasa, mereka memainkan peranan baru dengan semangat berlebih. Mereka tampil lebih populis dan merasa lebih teremban untuk mencerdaskan dan memajukan rakyat, mereka umumnya tetap tampil sebagai benteng akal sehat yang bias kritis terhadap kekuasaan itu sendiri

Kaum cendikiawan terimbas dengan pemimpin Negara (Soekarno). Para cendikian menjadi pemberontak/simpatisan karena otoriternya dari kepemimpinan Negara.

Tak terhitung jumlah para cendikia yang kehilangan nyawa, dibui atau pergi ke pengasingan



Para intelektual terbagi menjadi dua bagian, yang menang menuju akses kekuasaan. Intelektual masuk dalam dunia politik dan masuk dalam birokrasi. Intelektual teranggas dengan eufisme dan kehipokritan

Intelektual Independen masih ada (YB Mangunwijaya, Arief Budiman, Goerge Junus Aditjondro



Tokoh : Wahidin, Tjipto, Sutomo, dll

Tokoh : Sjahrir, Soedjatmoko, Soemitro, dll

Tokoh : Sjarifuddin P, Natsir, Hatta, dan Soemitro Djojohadikusumo

Tokoh : Widjojo Nitisastro, Ginanjar Kartasasmita, Daoed Joesoef, Fuad hasan

(15) www.yahoo.com. Tersedia dalam diosdias wordpress.com. Diakses tanggal 29 November 2007

Tentu masih segar dalam ingatan kita pengalaman di bawah pemerintahan Orde Baru yang represif.


”Mafia Berkeley” muncul dari perdebatan pola industrialisasi yang akan di pakai oleh bangsa Indonesia. Seorang ekonom California yaitu Berkeley memberikan gambaran dan contoh transformasi ekonomi AS bukanlah di awali dengan landasan terjadinya pergeseran struktural dari sektor pertanian ke industri dalam bentuk tenaga kerja dan output nasional, melainkan dilandasi oleh adanya proses yang mendorong peningkatan produktivitas di sektor pertanian secara luar biasa. Sektor pertanian secara sengaja telah dijadikan sebagai sektor inti (core sector). Sebagai sektor yang dinamis, sektor pertanian telah menjadi aktor utama yang mendorong ekspansi industri-indudtri hulu dan hilir di sektor manufaktur. Sebagian besar ekonom di Indonesia yakin bahwa peningkatan produktivitas sekotr pertanian merupakan prasyarat bagi keberhasilan industrialisasi. Skenario produktivitas pertanian yang meningkat akan menciptakan permintaan awal (input) bagi barang-barang industri. (16) (16) Dr. Ahmad Erani Yustika, 2007 ; Perekonomian Indonesia, Satu Dekade Pascakrisis Ekonomi – BPFE _ UNIBRAW. Ekonom yang mendukung pola industrialisasi atas pendapat Berkeley, akhirnya mereka disebut sebagai ”mafia Berkeley”.

Kekuasaan turut menentukan apa yang boleh dipelajari, apa yang dilarang. Saat itu bahkan intelijen bisa hadir di ruang kelas, mengikuti ceramah akademis dan ikut menentukan buku apa yang boleh dan harus dibaca. Intervensi kekuasaan juga berimplikasi pada pendanaan. Topik penelitian yang disukai oleh penguasa akan mendapat kucuran dana besar. Sebaliknya, gagasan yang berseberangan atau paradigma yang berlawanan, tidak akan mendapat dukungan pendanaan yang memadai.

Oleh sebab itu, posisi cendekiawan tidaklah setinggi seperti yang digambarkan oleh Julien Benda. Bahkan cendekiawan kerap menjadi bagian dari aparatur kekuasaan. Apalagi kekuasaan juga beroperasi, salah satunya, melalui bahasa sehingga keberadaan cendekiawan sangat diperlukan untuk mempertahankan kekuasaan.

Tentang cendekiawan, Daniel Dhakidae memberikan gambaran yang lebih realistis tentang cendekiawan. Menurutnya, cendekiawan merupakan hasil dari suatu pola hubungan antara modal, kekuasaan, dan kebudayaan. Karena itu, meskipun cendekiawan adalah anak kandung kebudayaan, eksistensinya tidak bisa dipisahkan dari modal dan kekuasaan (Dhakidae, 2003). Mengikuti pengertian ini, cendekiawan yang menjadi bagian dari kekuasaan, dapat dengan mudah tergelincir untuk menyalahgunakannya. Termasuk melakukan korupsi. (17) (17) www.republika.co.id. Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 4 Mei 2005

Di awal-awal masa reformasi 1998-an yang lalu, negeri kita sebenarnya telah melahirkan banyak cendekiawan generasi baru. Mereka kemudian tergabung dalam kelompok atau organisasi cendekiawan. Mereka tampil "cantik" lewat panggung-panggung media. Mereka berdebat di forum-forum seminar. Mereka semua berangkat dengan tujuan yang sama, menyuarakan nurani rakyat.

Kini, kemudian, kita tahu. Para cendekiawan ramai-ramai membangun partai. Sebuah organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, mungkin tidaklah aneh. Terlebih lagi jika sejak awal mula kelahirannya, kecenderungan ke arah itu sudah tampak. Kalau organisasi kaum cendekiawan berubah menjadi partai politik, semua itu sah-sah saja. Masing-masing individu cendekiawan bergabung ke partai politik tertentu, juga boleh-boleh saja.

Namun, peralihan pemihakan dari soal ilmiah maupun segi-segi sosial dalam hidup rakyat ke praksis politik, seperti terjadi belakangan ini, tampaknya tak bisa diberi makna lain kecuali bahwa itu berarti tak ada lagi orang mau peduli akan hidup rakyat.

Pergeseran peran dan orientasi kultural kaum cendekiawan menjadi mesin-mesin partai politik berarti juga sebuah pergeseran bahwa rakyat memang tak lagi punya kawan. Rakyat tak punya lagi pendamping yang bersedia membela mereka secara gigih. Ketika kaum cendekiawan makin tak peduli atas nasib rakyat, mereka harus berjuang atau membela nasib sendiri.

Tak perlu kita mungkiri, lewat partai politik orang bisa meraih cita-cita politiknya untuk melakukan mobilitas sosial. Bila ditanya secara terbuka dan kaum cendekiawan mau bicara jujur, jalur politik memang lebih mereka sukai. Barangkali cuma sedikit cendekiawan yang tetap sabar berjuang di jalur ilmiah dan berani hidup jauh dari partai politik. Mereka yang memiliki naluri politik, dan sebab itu besar pula ambisi politiknya, jelas akan menganggap jalan politik seperti itu paling strategis bagi perjuangan mereka. Mereka pura-pura lupa, atau pura-pura tidak tahu bahwa bila tujuan politik kita tercapai, kita lantas diam. Mereka pura-pura tidak tahu bahwa jalan politik pada batas tertentu merupakan jalan buntu. Wadah politik memang mendekatkan mereka ke kekuasaan. Namun ia juga hampir otomatis menjauhkan diri dari rakyat.

Apabila kaum cendekiawan sudah berketetapan hati untuk masuk dalam jaring-jaring partai, maka kita sudah bisa menduga-duga bahwa di dalam partai politik mereka akan lebih suka diam, apalagi jika mereka leluasa menikmati fasilitas partai maupun kemewahan.

Jika kaum cendekiawan kita rame-rame menjadikan dirinya sebagai komoditas politik; jika kaum cendekiawan kita sudah pada banyak berharap memperoleh keuntungan politis yang jelas buat diri sendiri maupun kelompoknya; dan jika akhirnya kemudian kaum cendekiawan kita sudah kehilangan kekuatan kultural dan jati dirinya; lantas, siapa lagi yang akan memainkan peran sebagai penjaga hati nurani masyarakat? Siapa lagi yang akan berdiri dalam posisi memberi kontrol atas jalannya proses politik?

Pemilihan Umum 1999 diselenggarakan oleh KPU yang beranggotakan perwakilan partai politik. Dalam perjalanannya, KPU justru sering terperosok dalam konflik tiada akhir di antara anggotanya. Klimaksnya, hasil akhir dari Pemilu 1999 tidak ditentukan oleh KPU yang gagal menyatukan suara, melainkan oleh Presiden Habibie waktu itu.


Pada saat yang sama, berbagai dugaan korupsi merebak dalam pengadaan barang dan jasa di KPU. Korupsi diduga terjadi pada hampir seluruh pengadaan material untuk pemilu. Alih-alih mendapatkan harga murah dan menghemat keuangan negara, anggota KPU justru memberikan kontrak kepada pengusaha dekatnya. Karena korupsi, dua mantan anggota KPU telah divonis bersalah oleh pengadilan. Belajar dari pengalaman, KPU pun diubah. Anggotanya bukan lagi perwakilan dari partai politik tetapi tokoh masyarakat yang independen. Diharapkan, mereka menjadi wasit yang adil bagi partaipolitik yang berkompetisi. Dalam situasi seperti ini, sejumlah cendekiawan dan aktivis berhasil menjadi anggota KPU. Masuknya cendekiawan dalam KPU tidak bisa dilepaskan dari pandangan yang menempatkan kaum intelektual pada posisi tinggi dan terhormat dimasyarakat. Para pencari kebenaran sejati itu dianggap tidak memiliki hasrat politik untuk berkuasa dan menimbun harta. Apalagi sebagian di antaranya masih aktif di dunia akademis. Dunia yang sangat mengedepankan nilai-nilai kejujuran dan etos kerja keras. Karena itu, beranggotakan cendekiawan, KPU diharapkan menjadi wasit yang adil dan bersih.

Pemilu 2004 berjalan dengan lancar. Bahkan ancaman munculnya konflik horizontal tidak terjadi selama proses pemilu. Dari sisi penyelenggaraan, KPU patut mendapat penghargaan. Tetapi keberhasilan menyelenggarakan Pemilu 2004 ternoda oleh dugaan korupsi. Seperti kejadian dalam Pemilu 1999, korupsi diduga mewarnai pengadaan barang dan jasa di KPU. Bahkan situasinya lebih buruk, anggota KPU nan terhormat justru tertangkap basah melakukan penyuapan.
Seakan tidak belajar dari pengalaman sebelumnya, ada sejumlah penjelasan mengapa KPU bisa jatuh dalam praktik korupsi. Pertama, korupsi pada dasarnya merupakan penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memegang kekuasaan. Semakin besar kekuasaan, semakin besar pula godaan untuk melakukan korupsi. Dalam konteks ini, cendekiawan yang menjadi anggota KPU memegang kekuasaan yang amat besar dan dengan mudah tergoda untuk menyalahgunakannya.

Kedua, korupsi sering kali tidak terjadi dan dilakukan secara telanjang, seperti mengambil uang di atas meja. Korupsi dilakukandalam birokrasi dengan segala prosedurnya dan terjadi tanpa disadari. Seolah-olah dana yang mengalir ke kantong adalah harta yang sah. Karena itu, diperlukan keahlian teknis pada bidang-bidang khusus untuk bisa mencegah terjadinya korupsi. Dalam konteks ini, korupsi di KPU terjadi karena absennya sistem integritas. (18) (18) www.republika.co.id. Diakses tanggal 28 November 2007 J Danang Widoyoko, anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch (ICW))

Pendidikan IPS

Pendidikan IPS adalah suatu program pendidikan yang memilih bahan pendidikan dari disiplin ilmu-ilmu sosial dan humaniti, yang diorganisir dan disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan (Wesley, 1989). Berdasarkan pengertian ini ditunjukkan bahwa salah satu ciri utama pendidikan IPS adalah kerjasama disiplin ilmu pendidikan dengan disiplin ilmu-ilmu sosial.

Secara ideal, Djahiri (1993) mengkonsepsikan program Pendidikan IPS yang: (a) secara kognitif melatih dan membekali anak didik dengan conceptual-knowledge yang layak, kemampuan berpikir dan memecahkan masalah yang cukup; (b) secara metacognitive-awareness and skills membekali kemampuan penalaran dan belajar yang luas; (c) secara moral-afektual membina perbekalan tatanan nilai, keyakinan dan keadilannya maupun pengalaman dan kemampuan afektual siswa; dan (d) secara sosial membina ketegaran akan harga diri dan self-concept serta kemampuan melakukan interpersonal relationship. Pendidikan IPS erat kaitannya dengan ilmu sosial, yaitu ilmu pengetahuan yang membahas hubungan manusia dengan masyarakat dan tingkah laku manusia dalam masyarakat (Preston, 1968).

Mempelajari kehidupan manusia dalam masyarakat dengan berbagai aspeknya, tentu tidak dapat dipisahkan seperti ilmu-ilmu sosial yang membahas dari berbagai sudut pandangnya, seperti sejarah, geografi, psikologi, ekonomi politik, dan sebagainya. Bahkan MM Ohlsen (dalam Vembriarto; 1979) menegaskan eratnya hubungan Pendidikan IPS dengan ilmu-ilmu sosial, bahwa Pendidikan IPS merupakan keterpaduan dari berbagai ilmu sosial, termasuk geografi, sejarah dan kewarganegaraan. Demikian juga Kenworthy (1973) menegaskan bahwa pada kenyataannya dapat disebutkan bahwa antropologi dan sosiologi, ilmu ekonomi, geografi, ilmu politik, sejarah, psikologi merupakan lapangan Pendidikan IPS. Disebutkan pula bahwa Pendidikan IPS berhubungan erat dengan seni dan musik, agama dan filsafat serta ilmu-ilmu lain.

Dengan banyaknya ilmu-ilmu sosial yang tercakup dalam Pendidikan IPS, tidak berarti bahwa Pendidikan IPS adalah penjumlahan dari bermacam-macam ilmu sosial tersebut, namun suatu pembelajaran tentang hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang lain, serta menolong siswa mengembangkan kompetensi dan sikap menjadi warga negara dalam masyarakat bebas, dengan menggunakan bahan dari berbagai ilmu sosial untuk memahami masalah-masalah sosial (Gross, 1979).

Pada dasarnya Pendidikan IPS merupakan penyederhanaan dari materi ilmu-ilmu sosial untuk keperluan pembelajaran di sekolah. Dengan penyederhaan materi tersebut, maka para siswa dengan mudah dapat melihat, menganalisis dan mamahami gejala-gejala yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Konsep utama Pendidikan IPS menurut Yusnidar (1987) adalah interaksi individu dengan lingkungannya. Sedangkan pembelajaran Pendidikan IPS mempergunakan pendekatan integratif.

Tujuan Pendidikan IPS dapat dikelompokkan menjadi empat kategori berikut ini. Knowledge, yang merupakan tujuan utama Pendidikan IPS, yaitu membantu para siswa belajar tentang diri mereka sendiri dan lingkungannya. Hal-hal yang dipelajari sehubungan dengan ini adalah geografi, sejarah, politik, ekonomi, antropologi dan sosiopsikologi. Keterampilan, yang berhubungan dengan tujuan Pendidikan IPS, dalam hal ini mencakup keterampilan berpikir (thinking skills). Attitudes, dikelompokkan menjadi dua, yaitu kelompok sikap yang diperlukan untuk tingkah laku berpikir (intelectual behaviour) dan tingkah laku sosial (social behaviour). Value, dalam hubungan ini, adalah nilai yang terkandung dalam masyarakat yang didapatkan dari lingkungan masyarakat sekitar maupun lembaga pemerintahan (falsafah bangsa). Termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kepercayaan, nilai ekonomi, pergaulan antarmanusia, ketaatan pada pemerintah, hukum, dan lain-lain.

Sedangkan tujuan utama Pendidikan IPS adalah untuk melatih siswa dapat bertanggung jawab sebagai warga negara yang baik (Gross, 1978). Di samping itu juga untuk menolong anak dan pemula untuk dapat aktif berpengetahuan, menjadi manusia yang mampu beradaptasi, mampu berfungsi dan berperan dalam menghadapi seluruh kehidupannya dan mampu menyesuaikan dengan kondisi lingkungannya lewat kegiatan pembelajaran Pendidikan IPS di SD (Joyce, 1979).

Terdapat beberapa orientasi Pendidikan IPS, yang sebenarnya dari waktu ke waktu akan berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat, yaitu pertama, menanamkan etika sosial, dengan mengupayakan peserta didik agar berperilaku sesusai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku, seperti berkelakuan baik, berani membela kebenaran dan keadilan, bekerja sama, suka menolong, dan sebagainya. Kedua, orientasi nilai disiplin ilmu yang dapat memperkuat orientasi pertama tadi. Dalam orientasi ini, ilmu-ilmu variabel-variabelnya, dengan hukum-hukumnya, sehingga terjadi peristiwa sosial tertentu.

Ketiga, orientasi keterampilan teknik dan partisipasi sosial dalam kehidupan sosial di tempat mereka berada. Dari praktek kehidupan nyata itulah siswa belajar lebih jauh, sehingga akhirnya mereka lebih adaptif terhadap kehidupan yang senantiasa berubah. Keempat, orientasi kemampuan memecahkan masalah dan berinovasi, yang diperlukan setelah siswa mampu berpartisipasi aktif. Dalam hal ini maka tindakan orang yang mengalami PIPS dengan tidak akan berbeda. Mereka mampu berinovasi dalam memperbaiki kualitas hidupnya, bahkan juga masyarakatnya ke arah yang lebih baik (Achmad Sanusi, dalam Akub Tisna Somantri, 1993).

Pendidikan IPS di SD merupakan bidang studi yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan pada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, antropologi, tata negara dan sejarah. Pendidikan IPS yang diajarkan di SD sebagaimana diungkapkan di atas terdiri dari dua bahan kajian pokok: pengetahuan sosial dan sejarah. Bahan kajian pengetahuan sosial mencakup lingkungan sosial, ilmu bumi, ekonomi dan pemerintahan, sedangkan bahan kajian sejarah meliputi perkembangan masyarakat Indonesia sejak lampau hingga kini.

Adapun fungsi Pendidikan IPS di SD ialah mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar untuk melihat kenyataan sosial yang dihadapi siswa dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan pengajaran sejarah berfungsi menumbuhkan rasa kebangsaan dan kebanggaan terhadap perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga masa kini. Pendidikan IPS di SD bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran sejarah bertujuan untuk mengembangkan pemahaman tentang perkembangan masyarakat Indonesia sejak masa lalu hingga kini agar siswa memiliki kebanggaan sebagai Bangsa Indonesia dan cinta tanah air (Kurikulum Pendidikan Dasar, 1994/1995).

Pembelajaran Pendidikan IPS di Sekolah Dasar

Pembelajaran IPS di sekolah dasar bersifat integratif, materi yang dibelajarkannya merupakan akumulasi sejumlah disiplin ilmu sosial (Martorella, 1985). Pembelajaran IPS pun lebih menekankan aspek "pendidikan" daripada "transfer-konsep", karena melalui pembelajaran IPS siswa diharapkan memahami sejumlah konsep, dan melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Hakikat belajar adalah suatu aktivitas yang mengharapkan perubahan tingkah laku pada diri individu yang belajar. Perubahan tingkah laku terjadi karena usaha individu yang bersangkutan. Belajar mempengaruhi oleh berbagai faktor, yakni bahan yang dipelajari, faktor-faktor instrumental, faktor-faktor lingkungan, dan kondisi individual si pelajar (Depdikbud, 1983).

Percival dan Ellington (1984) menggambarkan model sistem pendidikan dalam proses belajar, bahwa masukan untuk sistem belajar terdiri atas orang, informasi, dan sumber lainnya. Sedangkan keluarannya berupa siswa dengan penampilan yang lebih maju dalam berbagai aspek. Di antara masukan dan keluaran terdapat kotak hitam yang berupa proses pembelajaran atau pendidikan. Reigeluth (1983) secara lebih spesifik menyoroti tentang variabel-variabel pembelajaran yang meliputi tiga komponen: metode, kondisi, dan hasil-hasil. Metode merupakan cara menyampaikan isi pesan kepada peserta didik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kondisi pembelajaran mencakup karakteristik siswa, lingkungan belajar, bahan pembelajaran dan tujuan kelembagaan. Sedangkan hasil-hasil pembelajaran menggambarkan apa atau seberapa jauh tujuan-tujuan pembelajaran telah dicapai.

Pembelajaran sebagai suatu proses, menurut Surya (1982) melandaskan diri kepada prinsip-prinsip: (1) sebagai usaha memperoleh perubahan tingkah laku; (2) hasil pembelajaran ditandai dengan perubahan tingkah laku secara keseluruhan; (3) merupakan suatu proses; (4) terjadi karena adanya sesuatu pendorong dan tujuan yang akan dicapai; dan (5) merupakan bentuk pengalaman.

Sedangkan ciri-ciri perubahan khas yang menjadi karakteristik perilaku belajar, meliputi perubahan intensional, perubahan positif dan aktif, perubahan efektif dan fungsional (Surya, 1982). Perubahan intensional mengandung konotasi bahwa siswa menyadari akan adanya perubahan yang dialami atau sekurang-kurangnya ia merasakan adanya perubahan dalam dirinya. Perubahan bersifat positif, artinya bermanfaat dan sesuai dengan harapan. Juga berarti bahwa perubahan itu senantiasa merupakan penambahan, yakni diperolehnya sesuatu yang baru dan lebih baik daripada yang telah diperoleh sebelumnya. Sedangkan aktif berarti bahwa perubahan itu terjadi tidak dengan sendirinya, tetapi lebih karena usaha siswa itu sendiri. Sedangkan perubahan yang bersifat efektif artinya berdayaguna, membawa pengaruh, makna, dan manfaat tertentu bagi siswa. Bersifat fungsional artinya bahwa hasil dari perubahan itu relatif menetap, dan setiap saat apabila dibutuhkan, perubahan itu dapat direproduksi dan dimanfaatkan.

Kombinasi antar-variabel pembelajaran, khususnya karakteristik siswa dan metode yang digunakan, akan menghasilkan keluaran berupa siswa dengan ketiga bentuk perubahan tadi yang mencakup ranah-ranah afektif, kognitif, dan psikomotorik (Bloom, 1974) sebagai akibat pengalaman belajar. Untuk mengukur efektivitas metode tertentu dihubungkan dengan karakteristik siswa, dapat dilakukan dengan cara mengukur penampilan siswa setelah belajar.

Wahab, et al (1986) menyatakan, guru IPS dalam merencanakan pelajaran dapat menciptakan suasana yang demokratis-kreatif, di mana siswa terlibat secara aktif sebagai subjek maupun objek pelajaran. Pengertian belajar demokratis ini dapat diartikan sebagai suatu upaya merubah diri siswa dalam meningkatkan kemampuan siswa sesuai dengan potensi dan minatnya. Apapun strategi belajar-mengajar yang dipergunakan dalam proses belajar mengajar haruslah diusahakan agar kadar keterlibatan mental siswa setinggi mungkin.

Lebih jauh Djahiri (1993) mengemukakan bahwa kualitas suatu pengajaran diukur dan ditentukan oleh sejauh mana kegiatan belajar-mengajar tertentu dapat merupakan alat perubah tingkah laku individu ke arah yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Sehubungan dengan itu maka guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar di kelas hendaknya mampu mengembangkan pola interaksi antara berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. Guru harus pandai memotivasi siswa untuk terbuka, kreatif, responsif, interaktif, dan evaluatif.

Dalam konteks tersebut model pembelajaran role playing dapat dijadikan salah satu alternatif selain metode ceramah yang hampir dijadikan sebagai satu-satunya metode pembelajaran IPS di sekolah dasar. Menurut Wahab, et.al. (1986) banyak alasan mengapa metode ceramah menjadi sangat terkondisi dalam proses belajar-mengajar, di antaranya ialah: (1) mengikuti kebiasaan umum yang lazim menggunakannya; (2) kebiasaan yang telah membaku (inheren) pada diri guru; (3) pertimbangan praktis, murah, mudah, cepat, dan tidak memerlukan fasilitas yang banyak; (4) kurangnya waktu dan jumlah program; dan (5) tidak mengetahui cara menggunakan metode lainnya.

Model Role Playing

Seperti telah dikemukakan di atas, bahwa penggunaan model ini dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan. Zuhaerini (1983) mengemukakan bahwa tujuan penggunaan model ini dalam proses belajar mengajar antara lain:


  1. Apabila pelajaran dimaksudkan untuk menerangkan suatu peristiwa yang didalamnya menyangkut orang banyak dan berdasar pertimbangan didaktis, lebih baik didramatisasikan, daripada diceritakan, karena akan lebih jelas dan dapat dihayati oleh anak.

  2. Apabila pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka mampu menyelesaikan masalah-masalah yang bersifat sosial psikologis.

  3. Pelajaran dimaksudkan untuk melatih anak-anak agar mereka dapat bergaul dan memberi kemungkinan bagi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.

Ada empat asumsi yang mendasari model mengajar ini yang kedudukannya sejajar dengan model-model mengajar lainnya. Keempat asumsi tersebut ialah: Pertama, secara implisit bermain peran mendukung suatu situasi belajar berdasarkan pengalaman dengan menekankan dimensi "di sini dan kini" (here and now) sebagai isi pengajaran. Kedua, bermain peran memberikan kemungkinan kepada para siswa untuk mengungkapkan perasaan-perasaannya yang tak dapat mereka kenali tanpa bercermin kepada orang lain. Ketiga, model ini mengasumsikan bahwa emosi dan ide-ide dapat diangkat ke taraf kesadaran untuk kemudian ditingkatkan melalui proses kelompok. Keempat, model mengajar ini mengasumsikan bahwa proses-proses psikologis yang tersembunyi (covert) berupa sikap-sikap nilai-nilai, perasaan-perasaan dan sistem keyakinan dapat diangkat ke taraf kesadaran melalui kombinasi pemeranan secara spontan dan analisisnya.

Untuk dapat mengukur sejauhmana bermain peran memberikan manfaat kepada pemeran dan pengamatnya ditentukan oleh tiga hal, yakni (1) kualitas pemeranan; (2) analisis yang dilakukan melalui diskusi setelah pemeranan; (3) persepsi siswa terhadap peran yang ditampilkan dibandingkan dengan situasi nyata dalam kehidupan. Pembelajaran dengan model role playing dilaksanakan menjadi beberapa tahap, yaitu sebagai berikut: (1) tahap memotivasi kelompok; (2) memilih pemeran; (3) menyiapkan pengamat; (4) menyiapkan tahap-tahap permainan peran; (5) pemeranan; (6) diskusi dan evaluasi; (7) pemeranan ulang; (8) diskusi dan evaluasi kedua; (9) membagi pengalaman dan menarik generalisasi.

Kemampuan Guru dalam Pembelajaran IPS

Kemampuan guru dalam arti performansi dalam pembelajaran merupakan seperangkat perilaku nyata guru pada waktu memberikan pelajaran kepada siswanya (Johnson, dalam Natawidjaya, 1996). Menurut Sunaryo (1989) dan Suciati (1994), performansi guru dalam melaksanakan proses pembelajaran mencakup tiga aspek, yaitu membuka pelajaran, melaksanakan pelajaran, dan menutup pelajaran.

Membuka pelajaran adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk menciptakan suasana kesiapan mental dan menumbuhkan perhatian siswa terhadap hal-hal yang akan dipelajari. Dasar kesiapan mental yang dimaksud, menurut Sumaatmadja (1984) antara lain minat, dorongan untuk mengetahui kenyataan, dan dorongan untuk menemukan sendiri gejala-gejala kehidupan. Menurut pendapat Connel (1988), kesiapan belajar siswa meliputi kesiapan afektif dan kesiapan kognitif. Sedangkan menurut Bruner (dalam Maxim, 1987), kesiapan merupakan peristiwa yang timbul dari lingkungan belajar yang kaya dan bermakna, dihadapkan kepada guru yang mendorong siswa dalam berbagai peristiwa belajar yang menggugah.

Berdasarkan kutipan pendapat di atas, aktivitas membuka pelajaran pada hakikatnya merupakan upaya guru menarik perhatian siswa, menimbulkan motivasi, memberi acuan, dan membuat keterkaitan. Menarik perhatian siswa dapat dilakukan antara lain dengan gaya mengajar, penggunaan alat-bantu mengajar, dan pola interaksi yang bervariasi. Kemampuan melaksanakan proses pengajaran menunjuk kepada sejumlah aktivitas yang dilakukan oleh guru ketika ia menyajikan bahan pelajaran. Pada tahap ini berlangsung interaksi antara guru dengan siswa, antarsiswa, dan antara siswa dengan kelompok belajarnya. Selanjutnya, Oregon (1977) mengemukakan pula mengenai cakupan pelaksanaan pengajaran seperti aspek tujuan pengajaran yang dikehendaki, bahan pelajaran yang disajikan, siswa yang belajar, metode mengajar yang digunakan, guru yang mengajar, dan alokasi waktu dalam mengajar.

Kemampuan mengakhiri atau menutup pelajaran merupakan kegiatan guru baik pada akhir jam pelajaran maupun pada setiap penggalan kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini dilakukan dengan maksud agar siswa memperoleh gambaran yang utuh mengenai pokok-pokok materi yang dipelajarinya. Menutup pelajaran secara umum terdiri atas kegiatan-kegiatan meninjau kembali dan mengevaluasi. Meninjau kembali pelajaran mencakup kegiatan merangkum inti pelajaran dan membuat ringkasan, sedangkan mengevaluasi pelajaran merupakan kegiatan untuk mengetahui adanya pengembangan wawasan siswa setelah pelajaran atau penggal kegiatan belajar berakhir


Yüklə 217,5 Kb.

Dostları ilə paylaş:
1   2   3   4   5




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin