Terusan adbm



Yüklə 283,82 Kb.
səhifə1/7
tarix07.01.2019
ölçüsü283,82 Kb.
#91452
  1   2   3   4   5   6   7

Terusan ADBM

(Lanjutan ADBM versi mbah_man)


Jilid 397

NAMUN mereka segera menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi ketika orang yang rambutnya sudah ubanan itu meloncat mundur sambil mencabut senjatanya, sebuah golok yang berukuran cukup besar.

“He, kalian orang-orang bodoh, apakah kalian menikmati permainan ini,” teriaknya sambil meloncat maju menebaskan goloknya mengarah leher Rara Wulan, “cepat bantu kami menangkap perempuan iblis ini, ternyata selama ini dia telah mengelabui kita. Dia tentu telik sandi yang dikirim oleh orang-orang Mataram.”

Bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk, para pengikut Pangeran Ranapati pun segera berloncatan menebar mengepung Rara Wulan sambil mencabut senjata masing-masing. Ada yang bersenjatakan sepasang pedang pendek, tombak bermata dua, bahkan ada yang bersenjatakan seutas rantai baja yang pada ujungnya dikaitkan sebuah bandul berupa bola baja berduri yang mengerikan.

Sejenak Rara Wulan berdiri termangu mangu di tengah-tengah kepungan para pengikut Pangeran Ranapati. Diedarkan pandangan matanya menyapu seluruh lawan-lawan yang mengelilinginya.

“Lima belas orang,” desisnya dalam hati.

Dengan penuh percaya diri, segera saja Rara Wulan mengurai selendangnya.

“Gila”, geram orang yang rambutnya sudah ubanan, “kau kira kami akan menari janggrung bersamamu, nduk? Tidakkah kau sadari bahwa senjata-senjata kami akan dapat melumat tubuhmu, sementara kau hanya mengandalkan selendangmu? Kau tidak akan bertahan lebih dari sepenginang, nduk.”

“Menyerahlah, anak manis,” seorang yang masih terhitung muda dan berkumis tipis maju selangkah sambil mengacukan tombak pendek yang ujungnya bercabang dua kearah dada Rara Wulan, “Kami akan mengampuni selembar nyawamu, asalkan kau tidak banyak tingkah dan bersedia melayani kami dengan baik.”

Rara Wulan tidak menjawab. Dia sudah benar-benar muak menghadapi tingkah polah para pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja diputar selendangnya diatas kepala dengan disertai pengerahan tenaga cadangan. Akibatnya benar-benar luar biasa, gaung yang keras disertai dengan udara yang berputar terasa menggetarkan setiap dada orang-orang yang mengepungnya, bahkan Glagah Putih yang bersembunyi tidak jauh dari arena perkelahian itupun merasakan getarannya.

“Luar biasa,” kata Glagah Putih dalam hati, “agaknya Rara Wulan sudah tidak dapat menahan hatinya lagi untuk menghabisi lawan lawannya.”

Rara Wulan tidak menunggu lawan lawannya menyadari keadaannya karena pengaruh putaran selendangnya. Dengan sebuah loncatan panjang, Rara Wulan justru menyerang lawan yang berdiri tidak jauh di sebelah kanannya. Sebuah hentakan kuat dari ujung selendangnya berhasil menghentak dada orang tersebut. Sebuah umpatan kotor demikian saja terlontar dari mulutnya. Sambil mendekap dadanya yang serasa tertimpa sebongkah batu padas, dia terhuyung-huyung beberapa langkah kebelakang. Namun ketahanan tubuh orang itu ternyata tidak begitu kuat. Dengan keluhan tertahan, akhirnya orang itupun jatuh terlentang, pingsan.

Para pengikut Pangeran Ranapati yang lain pun terkejut ketika melihat salah seorang kawannya dengan begitu mudah dilumpuhkan oleh Rara Wulan. Dengan teriakan kemarahan yang menggelegar, mereka pun segera menyerang Rara Wulan dari segala arah.

Rara Wulan menyadari bahwa dia harus berpacu dengan waktu. Semakin cepat dia mengurangi jumlah lawan lawannya, akan semakin berkurang pula tekanan yang dialaminya.

Sejenak kemudian, Rara Wulan pun semakin mempercepat serangannya. Ujung Selendangnya serasa semakin dekat dengan kulit para pengikut Pangeran Ranapati yang mengeroyoknya.

Demikianlah, akhirnya sekali lagi terdengar keluhan tertahan disertai dengan sebuah umpatan yang sangat kotor ketika ujung selendang Rara Wulan kembali menggores lambung salah satu lawannya. Sebuah sabetan mendatar mengarah dada tidak mampu dielakkan walaupun lawannya sudah berusaha menghindar dengan melompat ke samping, namun ujung selendang Rara Wulan masih sempat melukai lambungnya. Walaupun goresan itu tidak terlampau dalam, namun karena tempat yang terkena goresan adalah bagian tubuh yang lemah, darah pun segera terpancar dari luka yang menganga.

Dengan mendekap erat lambungnya, orang itu pun berusaha bergeser dari arena perkelahian. Setapak demi setapak dia terhuyung dan akhirnya jatuh tertelungkup tidak bisa bangkit lagi.

Orang yang rambutnya sudah ubanan itu pun menggeram sambil menggeretakan giginya. Dengan sebuah lompatan panjang dia berusaha memotong gerak Rara Wulan yang melontar ke samping kiri menghindari tebasan pedang salah seorang lawannya. Sementara seorang pengikut Pangeran Ranapati yang bersenjatakan seutas rantai yang pada salah satu ujungnya terdapat bandul bola baja yang bergerigi berusaha menggapai sejauh mungkin tubuh Rara Wulan dengan menjulurkan senjatanya lurus kedepan dari arah meluncurnya Rara Wulan.

Rara Wulan tersenyum menyambut serangan beruntun ini. Dengan sedikit merendahkan tubuhnya, bandul bola baja bergerigi yang akan merobek punggungnya lewat sejengkal diatas kepalanya. Ketika tebasan golok orang yang rambutnya sudah ubanan itu tinggal sejengkal dari dadanya, dengan cepat dimiringkan tubuhnya dan dengan gerakan yang hampir tidak kasat mata, ujung selendang Rara Wulan menggeliat membelit pergelangan tangannya. Dengan sebuah sentakan yang kuat, orang yang rambutnya sudah ubanan itu pun bagaikan terhisap oleh kekuatan yang tiada taranya. Tubuhnya terlontar dengan deras membentur dinding rumah yang selama ini digunakan oleh Pangeran Ranapati dan para pengikutnya bersembunyi.

Terdengar pekik kemarahan dan makian dari mulut orang yang rambutnya sudah ubanan itu. Dengan tangkas dia mencoba meloncat berdiri, namun benturan yang terjadi tepat di kepalanya dengan dinding rumah itu agaknya telah membuat pandang matanya nanar. Sambil menyeringai menahan sakit di kepalanya, dia mencari lawannya yang telah berhasil melemparkannya membentur dinding. Dengan kemarahan dan dendam sampai ke ubun-ubun, orang yang rambutnya sudah ubanan itupun segera bersiap untuk terjun kembali ke arena perkelahian yang semakin sengit.

Sementara itu, Pangeran Ranapati yang telah meninggalkan halaman rumah itu ternyata tidak pergi terlalu jauh. Dengan langkah perlahan lahan dia kembali mendekati regol halaman rumah yang selama ini ditempatinya. Beberapa langkah dari regol halaman, lamat-lamat dia telah mendengar keributan perkelahian yang terjadi di halaman rumah itu.

Tidak ada seorang pun yang memperhatikan, ketika pintu regol terkuak dan sesosok bayangan tinggi besar muncul berdiri di tengah-tengah regol. Sejenak orang itu termangu mangu. Ditebarkan pandangan matanya kearah perkelahian. Seseorang telah terbaring tertelungkup, kemudian seorang lagi terlentang yang entah pingsan atau mati. Beberapa orang nampak tertatih-tatih bergeser setapak demi setapak menghindar dari arena perkelahian yang mengerikan itu. Tinggal enam orang sisanya yang benar-benar bertempur melawan Rara Wulan, sedangkan lainnya sudah tidak dapat memberikan perlawanan yang berarti.

Agaknya Rara Wulan telah bermaksud untuk segera menyelesaikan perkelahian itu, kalau saja sudut matanya tidak menangkap bayangan seseorang yang mendekati perkelahian dengan langkah satu-satu.


Sebersit keragu-raguan muncul di benak Rara Wulan. Rasa rasanya dia mengenal orang itu, orang yang selama ini dikenal dengan nama Pangeran Ranapati.

“Gila”, geram Rara Wulan dalam hati, “Ternyata Pangeran Ranapati tidak jadi meninggalkan rumah ini, apakah dia sudah menyadari apa yang sebenarnya terjadi selama ini? Bahwa selama ini aku telah menyamar dan berpura-pura menjadi perempuan kebanyakan?”

Ketika Pangeran Ranapati tinggal beberapa langkah dari arena perkelahian, Rara Wulan pun tidak dapat menahan diri lagi. Dengan sebuah lompatan panjang, dia surut kebelakang. Lawan lawannya tidak memburunya, karena mereka tahu itu tidak akan ada gunanya. Bahkan mereka sangat bersyukur dapat sejenak mengatur nafas mereka yang berkejaran keluar masuk lewat lobang hidung.

“Selamat malam, Pangeran”, sapa Rara Wulan ramah, “Apakah Pangeran merasa ada sesuatu yang berharga yang tertinggal di rumah ini sehingga Pangeran memutuskan untuk kembali lagi?”

Pangeran Ranapati itupun tersenyum masam, jawabnya pelan dan datar, “Tentu saja ada. Ada yang ingin aku bawa dari halaman rumah ini, nduk. Sehingga aku memutuskan untuk kembali.”

“Apakah itu, Pangeran?”

“Kepalamu, perempuan iblis,” Geram Pangeran Ranapati, “Ternyata dugaanku selama ini benar sejak aku melihat bentuk punggungmu, punggung seseorang yang pernah mempelajari olah kanuragan tidak akan sama dengan punggung orang kebanyakan, betapapun engkau mencoba mengelabuhi aku. Nah, apakah sekarang engkau akan menyerah? Aku berjanji tidak akan membuatmu terlalu lama menderita menjelang kematianmu, asalkan engkau menyerah secara baik-baik, dan jangan lupa sebut dimana kawan kawanmu bersembunyi sehingga prajurit prajuritku bisa menangkap mereka dan menggantung mereka di alun-alun sebagai peringatan kepada orang-orang yang mencoba mencampuri urusan seorang Pangeran dari Mataram, Pangeran Ranapati sekaligus Senopati kepercayaan Adipati Panaraga, Pangeran Jayaraga.”

Rara Wulan tertegun sejenak, dipandanginya Pangeran Ranapati dari ujung rambut sampai kaki, seolah olah dia ingin meyakinkan seberapa kekuatan yang tersimpan di tubuh yang kokoh itu.

“Aku yakin,” Desisnya dalam hati, “Aku dan kakang Glagah Putih pasti dapat mengatasinya.”

Namun ternyata Rara Wulan tidak menjawab sepatah kata pun dari pertanyaan Pangeran Ranapati. Yang dilakukannya justru melangkah surut beberapa langkah lagi, kemudian sambil berpaling pada sebuah gerumbul di belakangnya dia berkata, “Kakang, apakah kakang masih senang bersembunyi di semak-semak dan dikerubuti nyamuk setelah Pangeran Ranapati sendiri telah hadir disini?”

Tidak segera terdengar jawaban. Gerumbul itu masih diam, tidak ada tanda-tanda seseorang bersembunyi didalamnya.

Tiba-tiba mereka yang hadir di halaman itu telah dikejutkan oleh suara seseorang yang berat dan dalam , termasuk pangeran Ranapati,

“Jangan kuwatir, Rara. Aku sudah siap membantumu menghadapi segala kemungkinan, meskipun untuk itu kita harus mempertaruhkan nyawa.” Jawab Glagah Putih yang berdiri beberapa langkah saja disamping Rara Wulan.

Pangeran Ranapati mengerutkan keningnya. Kehadiran Glagah Putih yang sedemikian saja tanpa sepengetahuannya telah mengisyaratkan kepadanya bahwa orang itu tentu memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi ketika secercah cahaya lampu minyak yang tergantung di pendapa menimpa wajah Glagah Putih, betapa Pangeran Ranapati melihat seraut wajah yang tenang dan tegar, wajah yang hanya dimiliki oleh orang yang mempunyai landasan ilmu dan kepercayaan diri yang tinggi.

“Baiklah,” kata Pangeran Ranapati kemudian, “Aku tidak tahu, apakah laki-laki di sampingmu itu adalah salah seorang kawanmu yang selama ini dicari oleh pengikutku. Tetapi yang pasti, aku akan membunuh kalian berdua yang telah dengan lancang berani mengikuti jejakku sejak dari lereng Merapi sampai ke Panaraga.”

Namun sebelum ketiga orang itu bersiap untuk memulai sebuah perkelahian yang dahsyat, terdengar sebuah isak tangis yang tertahan tahan disertai suara gemerisik dedaunan yang tersibak. Nampak sesosok tubuh yang ramping berjalan terseok-seok mendekati ketiga orang yang sudah berhadap hadapan untuk mengadu tebalnya kulit dan kerasnya tulang.

“Pangeran,” isak perempuan itu sesampainya di depan Pangeran Ranapati.

Sambil berjongkok merangkul kaki Pangeran Ranapati perempuan itu kembali menangis menghina-iba, “Jangan tinggalkan hamba, Pangeran. Hamba takut.”

“Kaukah itu, Kanthil?”

“Hamba, Pangeran.” Suara Nyi Mas Kanthil hampir tidak terdengar diantara sedu-sedannya.

“Mengapa engkau masih disini, Kanthil?” Suara Pangeran Ranapati terdengar berat dan dalam.

Masih dengan berjongkok dan merangkul kaki Pangeran Ranapati, Nyi Kanthil menjawab dengan suara bergetar menahan gelora di dadanya, “Hamba hanya ingin mengabdi kepada Pangeran, hamba tidak akan pernah bermimpi lagi untuk menjadi istri Pangeran. Selebihnya biarlah hamba menjadi pelayan di istana kepangeranan paduka, hamba rela dan hamba tidak akan menuntut apapun yang terjadi pada diri hamba yang hina ini.”

Pangeran Ranapati menarik nafas dalam-dalam. Ditatapnya Nyi Kanthil yang masih berjongkok merangkul kakinya sambil menangis tertahan tahan. Sebersit keraguan muncul di hati Pangeran yang keras hati ini. Bukankah dia nantinya akan memerlukan beberapa pelayan juga di istananya untuk menyiapkan keperluannya sehari hari?

Atas pertimbangan itulah akhirnya Pangeran Ranapati pun berkata lunak, “Sudahlah Kanthil, suwitamu aku terima. Engkau kuangkat menjadi kepala pelayan di istanaku. Namun karena istanaku sedang dipersiapkan, untuk sementara kamu tinggal disini, pada saatnya nanti akan ada utusan yang aku perintahkan untuk menjemputmu.”

Bagaikan tersiram banyu sewindu hati Nyi Kanthil, sehingga tanpa bisa mengendalikan gejolak perasaannya, kaki Pangeran Ranapati pun diciuminya sambil menangis sejadi-jadinya.

Rara Wulan yang berdiri tidak jauh dari Nyi Kanthil dan menyaksikan semua kejadian itu seutuhnya hanya bisa mengusap dada. Satu lagi gambaran sifat manusia, apabila cita-cita sesuai yang diimpikannya tidak tercapai, dia tetap akan berusaha meraih apa saja yang ada di depannya, dengan mengorbankan keyakinan akan cita-citanya semula, bahkan harga dirinya sekalipun.

“Berdirilah, Kanthil,” kata Pangeran Ranapati sambil menarik bahu Nyi Kanthil, kemudian sambil berpaling kepada orang yang rambutnya ubanan dia berkata, “Antar Nyi Kanthil masuk kedalam. Untuk selanjutnya perlakukan dia baik-baik kecuali jika kalian sudah bosan mempunyai kepala.”

Orang yang rambutnya ubanan itu hanya bisa membungkuk hormat, kemudian katanya kepada Nyi Kanthil, “Marilah, Nyi. Aku antar ke dalam.”

Sambil membenahi pakaiannya yang kusut dan sesekali menyeka sisa-sisa air matanya, Nyi Kanthil beringsut mundur sambil membungkuk hormat kearah Pangeran Ranapati, “Pangeran, hamba mohon diri.”

Pangeran Ranapati tidak menjawab, hanya mengangguk sekilas kemudian katanya kepada orang yang rambutnya ubanan, “Setelah mengantar Nyi Kanthil, kumpulkan kawan kawanmu yang terluka dan yang mungkin terbunuh. Obati yang terluka dan kubur yang terbunuh. Jangan lupa menyiapkan dua lubang kubur untuk orang-orang ini. Aku hanya memerlukan waktu sekejab, sebelum matahari terbit mereka aku jamin sudah terbujur menjadi mayat.”

Kata-kata itu memang sempat menggetarkan hati Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun sebagai dua orang yang berilmu tinggi, mereka tidak pernah meremehkan lawan bagaimanapun ujudnya, apalagi menghadapi Pangeran Ranapati yang sudah mereka saksikan berilmu sangat tinggi ketika terjadi benturan ilmu di arena adon-adon di alun-alun Panaraga

Demikianlah, sepeninggal Nyi Kanthil, perhatian Pangeran Ranapati pun segera kembali tertuju kepada lawan lawannya. Dengan perlahan namun penuh dengan kekuatan direnggangkan kedua kakinya selebar bahu dan bersamaan dengan itu, disilangkan kedua tangannya didepan dada. Sejenak kemudian tangan yang kanan pun ditarik mengepal sejajar dengan lambung bersamaan dengan kaki kanan yang ditarik kebelakang. Sementara tangan kirinya terjulur kedepan dengan telapak tangan terbuka dan jari-jari mengembang bagaikan cakar seekor rajawali yang siap menerkam mangsanya. Dengan bertumpu pada kaki kirinya yang sedikit ditekuk, Pangeran Ranapati pun siap melontarkan serangan dahsyat.

Sejenak Glagah Putih dan Rara Wulan saling berpandangan, mereka pun segera menyadari bahwa lawannya tidak akan melakukan serangan penjajagan terlebih dahulu, namun langsung pada tataran tinggi dari ilmunya yang nggegirisi.

Suasana di halaman rumah yang digunakan oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi itu pun menjadi sangat mencekam. Para pengikut Pangeran Ranapati yang masih tersisa diam-diam bergeser menjauh dari arena perkelahian agar tidak menjadi korban sia-sia dari lontaran ilmu dari ketiga orang yang berilmu tinggi itu.

“Kasihan sekali kamu, nduk,” Orang yang rambutnya ubanan itu berkata dalam hati, “Seandainya mungkin, aku ingin memintakan ampun untukmu pada Pangeran Ranapati, tetapi itu semua tidak mungkin.” Orang yang rambutnya ubanan itu menghela nafas dalam-dalam, tatapan matanya lekat pada seraut wajah cantik Rara Wulan. Dia tidak bisa membayangkan bahwa wajah secantik itu akan hancur lumat diterjang ilmu Pangeran Ranapati.

Namun lamunan orang yang rambutnya ubanan itu bagaikan selembar awan yang tertiup badai di musim kemarau, hancur berantakan ketika tiba-tiba saja dia merasakan bumi yang dipijaknya bergetar keras. Mula-mula dia mengira bahwa itu adalah akibat dari benturan ilmu dari Pangeran Ranapati dan lawan lawannya, namun anggapan itu segera dibantahnya sendiri ketika dia melihat orang-orang yang sudah bersiap untuk mengadu ilmu itu sama sekali belum beranjak dari tempat mereka. Bahkan mereka pun kelihatannya juga terpengaruh oleh getaran yang belum diketahui sebabnya.

Bumi yang mereka pijak pun semakin bergetar keras disertai suara gemuruh yang semakin lama semakin mendekati rumah yang dipakai oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi.

Sejenak kemudian mereka pun baru menyadari bahwa suara gemuruh itu berasal dari derap kaki kuda yang jumlahnya puluhan berderap bersama di jalan padukuhan menuju ke tempat mereka berada.

“Pasukan berkuda Kadipaten Panaraga,” Desis pangeran Ranapati sambil mengerutkan keningnya ketika dilihatnya beberapa ekor kuda beserta penunggangnya menghambur memasuki pintu regol.

Segera saja pasukan berkuda itupun bergerak melingkar mengepung orang-orang yang ada di halaman rumah itu. Jumlah mereka tidak kurang dari lima puluh.

“Selamat malam, Pangeran. Apakah kami sudah terlambat?”

Seseorang yang berkuda paling depan menyapa Pangeran Ranapati sambil melompat turun dari kudanya. Diserahkannya kendali kudanya kepada seorang Lurah prajurit di sebelahnya yang sudah melompat turun dari kudanya lebih dahulu. Orang itu ternyata Mas Panji Wangsadrana.

Pangeran Ranapati menggeram, jawabnya, “Mengapa engkau malam-malam begini membawa pasukan segelar sepapan kesini, Mas Panji? Apakah engkau tidak punya kerjaan lain sehingga telah membangunkan seluruh isi padukuhan ini dengan pasukan berkudamu?”

Mas Panji Wangsadrana pun tersenyum, dia sudah tahu benar watak dari Pangeran Ranapati yang mudah tersinggung dan naik darah.

Dengan membungkuk hormat, Mas Panji Wangsadrana pun menjawab, “Maafkan kami Pangeran, sesungguhnya kami telah menerima laporan dari prajurit yang sedang meronda bahwa telah terjadi perkelahian di halaman rumah ini, sehingga kami memutuskan untuk datang membantu Pangeran.”

“He,” Segera saja wajah Pangeran Ranapati menjadi merah padam.

“Apakah engkau mengira aku tidak akan mampu menyelesaikan clurut-clurut ini sendirian? Justru kedatangan kalian telah memberi kesempatan kepada mereka untuk menghirup udara malam ini lebih lama lagi. Seharusnya mereka berdua sudah terbujur menjadi mayat.” Teriak Pangeran Ranapati sambil berpaling kearah Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun alangkah terkejutnya Pangeran Ranapati, ternyata kedua orang lawannya sudah tidak ada lagi di tempatnya. Yang terbentang di hadapannya hanyalah kegelapan yang masih tersisa di penghujung malam menjelang dinihari.

“Pengecut” Teriak Pangeran Ranapati. Dalam sekejab tubuhnya melenting bagaikan seekor bilalang yang kemudian hinggap diatas pagar tembok pembatas halaman rumah itu. Sejenak kemudian diedarkannya pandangan matanya menyapu ke seluruh sudut-sudut diluar pagar tembok yang mungkin dapat dijadikan tempat persembunyian bagi Glagah Putih dan Rara Wulan. Namun yang terlihat hanyalah pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu yang bergoyang perlahan dipermainkan oleh angin pagi yang bertiup lembut. Sementara kicau burung pun terdengar semakin ramai menyambut fajar.

Mas Panji Wangsadrana yang melihat Pangeran Ranapati berusaha mengejar lawan lawannya bermaksud untuk menyusulnya. Namun baru saja Mas Panji Wangsadrana bergeser beberapa langkah, ternyata Pangeran Ranapati telah meloncat turun dari pagar tembok, kemudian dengan tergesa-gesa melangkah mendekati Mas Panji Wangsadrana.

“Tidak ada gunanya kita berlama lama disini,” Katanya kepada Mas Panji Wangsadrana, kemudian sambil berpaling kepada orang yang rambutnya ubanan, Pangeran Ranapati pun memberikan perintahnya,”Kumpulkan kawan kawanmu yang tersisa, ajak Nyi Kanthil serta, kita harus segera meninggalkan tempat ini. Para telik sandi Mataram ternyata sudah mengetahui tempat kita ini sehingga tidak ada gunanya kita mempertahankan tempat ini sebagai sarana pertemuan kita. Aku harap Mas Panji Wangsadrana bersedia memberikan tempat berteduh bagi para pengikutku serta Nyi Kanthil, apapun ujudnya tempat itu, aku tidak akan berkeberatan.”

“Baiklah Pangeran,” sahut Mas Panji Wangsadrana, “Aku mempunyai sebuah rumah warisan dari orang tuaku. Rumah itu kosong tetapi aku jamin tetap bersih dan terpelihara karena selama ini ditunggui oleh sepasang suami istri pembantu rumah tangga keluarga kami dulu, walaupun mereka sudah cukup tua, namun masih rajin bekerja.”

Pangeran Ranapati mengangguk angguk, kemudian katanya, “Terima kasih Mas Panji. Marilah kita segera berangkat mumpung hari belum begitu terang. Kita akan memasuki kota sebelum fajar benar-benar terbit sehingga tidak banyak menarik perhatian.”

Demikianlah, akhirnya iring iringan itu pun bergerak meninggalkan rumah yang selama ini dijadikan oleh Pangeran Ranapati dan pengikutnya bersembunyi. Pasukan berkuda itu bergerak mendahului dengan dipimpin oleh seorang Lurah Prajurit. Sementara itu Pangeran Ranapati berkuda berjajar dengan mas Panji Wangsadrana, sedangkan pengikut pangeran Ranapati dan Nyi Kanthil mengikuti dari belakang dengan berjalan kaki.

Dalam pada itu, Glagah Putih dan Rara Wulan yang berhasil lolos dari pengamatan Pangeran Ranapati telah semakin jauh meninggalkan rumah yang dijadikan persembunyian Pangeran Ranapati dan pengikutnya selama ini. Mereka sengaja mengambil jalan yang tidak banyak dilalui orang, jalan-jalan setapak, lorong-lorong sempit bahkan tidak jarang mereka harus melompati pagar-pagar yang tinggi dari halaman rumah seseorang hanya untuk sekedar memotong jalan agar segera sampai di rumah yang selama ini dipakai mereka berkumpul, Ki Madyasta dan para telik sandi yang lain.

Ketika mereka sampai pada sebuah sungai yang mengalir membelah sisi utara kota Panaraga, tanpa berjanji mereka segera menghambur menuruni tebing sungai yang cukup curam. Bagi orang kebanyakan mungkin memerlukan waktu serta ke hati-hatian yang tinggi untuk menuruni tebing sungai tersebut, apalagi dimalam hari. Namun seakan mereka tanpa benjanji telah berlomba dengan mengerahkan tenaga cadangan mereka untuk berloncatan dari batu yang satu ke batu yang lainnya. Semakin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga seandainya ada orang yang sedang menyusuri sungai tersebut yang entah karena suatu keperluan, pasti dia mengira telah melihat hantu-hantu yang sedang berterbangan mencari mangsanya.

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih menghentikan langkahnya sambil berdesis pelan, “Wulan, apakah engkau merasakan sesuatu?”

Rara Wulan yang juga menghentikan langkahnya pun ikut tertegun sejenak, jawabnya, “Aku merasa aneh Kakang, sewaktu kita berlari larian diatas batu-batu sungai tadi, ada sebuah bayangan yang menyambar diatas kita dengan sangat cepat dan mendahului langkah kita.”

“Apakah engkau yakin itu bukan sebangsa burung atau apapun yang terbang diatas kita?” Bertanya lagi Glagah Putih untuk memastikan bahwa mereka tidak salah menilai atas apa yang baru saja mereka alami.

“Tidak kakang,” jawab Rara Wulan sambil mengedarkan tatapan matanya menyusuri tebing-tebing disebelah menyebelah sungai, “Aku tidak yakin kalau itu seekor burung atau sebangsanya yang dapat terbang melebihi kecepatan kita berlari.”

Glagah putih menarik nafas dalam-dalam. Malam sudah hampir sampai ke ujungnya. Dengan jelas glagah putih dapat memperhatikan setiap jengkal tanah yang ada di sekitarnya, gerumbul-gerumbul perdu yang berserakan di sisi sebelah menyebelah tebing yang rendah, serumpun pohon bambu yang menjorok agak jauh di sisi kiri sungai, serta sebuah pohon Lo yang besar dan berdaun rimbun yang tumbuh condong hampir rebah beberapa puluh langkah dihadapan mereka. Dahan dan rantingnya yang besar dan panjang -panjang itu bagaikan tangan-tangan hantu yang siap memangsa setiap orang yang lewat dibawahnya.


Yüklə 283,82 Kb.

Dostları ilə paylaş:
  1   2   3   4   5   6   7




Verilənlər bazası müəlliflik hüququ ilə müdafiə olunur ©muhaz.org 2024
rəhbərliyinə müraciət

gir | qeydiyyatdan keç
    Ana səhifə


yükləyin